Angin mulai membabi buta bertambah kencangnya. Seiring tahlil dan doa serta selawat yang terus dilafazkan warga di rumah Nenek Lembayung. Pepohonan perdu dan akasia sepanjang jajaran tepi jalan utama desa depan rumah Almarhum Nenek Lembayung. Semakin bergoyang atas dahan dan dedaunan. “Apa ini gawat!” teriak salah satu warga yang tak kuasa menahan ketakutannya. “Terus berzikir jangan berhenti Bapak-Bapak. Setan tak akan mempan menggoda kita. Bila kita terus melafazkan kalimat-kalimat Allah,” ucap Pak Muddin meyakinkan warga. Sedangkan Raja telah berdiri di atas padi nan luas yang jua terus bergoyang tertiup angin. Namun Raja tetap santai berdiri di atas bunga-bunga padi yang menguning. Ada dua sosok yang sudah berdiri di depannya. Sosok tengkorak kembar yang sebenarnya adalah dua sosok manusia pengabdi setan. “Kalian ternyata,” sedikit ucapan Raja sambil menyulut puntung rokok yang tinggal separuh. Beberapa saat lalu ia sengaja mematikan api rokok diujung batangnya. Agar bisa dihi
Empat roda mobil Raja kembali berputar menyusuri jalan tepi pantai. Kali ini Rindu sudah berpindah tempat duduk di samping Raja yang tengah mengemudi. Namun dengan jok yang agak direndahkan ke belakang. Agar bisa berbaring dengan nyaman. Raja tampak mengemudi sambil mengelus-elus perut Rindu yang sudah makin membesar. Hari ini genap delan bulan usia kehamilan Rindu. Tampak Rindu sudah semakin berat membawa badan. Rindu juga gampang capek dan lelah. “Ayah aku jadi teringat dengan Agung dan Santi. Sedang apa ya mereka sekarang, apa benar-benar tidak apa mereka berdua?” tanya Rindu memulai pembicaraan agar perjalanan mereka tak lagi sepi. Sebab perjalanan di ring rute jalur utara memang selalu sepi. Karena jalannya yang cenderung melewati tepian pantai. “Aku rasa mereka tidak ada masalah sayang. Kalau pun ada masalah pasti mereka menghubungi kita. Apa kita menepi dahulu untuk video cal mereka. Agar rindumu juga terobati, sekalian aku juga ingin istirahat. Sebab dari desa Lembayung tad
Derap empat roda mobil Raja kembali menderu. Menggesek aspal basah sisa-sisa hari hujan kemarin malam. Ada senyum Rindu di sampingnya, ada tawa renyah antara cinta mereka berdua. Entah sampai kapan roda-roda mobil itu berputar. Mereka jua tiada tahu jua sampai ujungnya dimanah mereka terhenti untuk bermukim. Bila terhitung hari demi hari menuju pagi lalu kembali malam dan berganti pagi lagi. Mereka terus berkendara tiada arah dan tujuan. Sudah beberapa minggu sejak pemberhentian terakhir mereka di tepi pantai. Sejak saat itu mereka tiada lagi bertarung dengan musuh-musuh yang dahulu selalu mengintai mereka. “Ayah apa kah kau bosan?” setidaknya pertanyaan itu. Selalu bergulir lancar di bibir kecil Rindu dengan rasa khawatir. Sebab Raja sering melamun akhir-akhir ini. Bukan saat berkendara namun saat mereka sejenak menepi untuk melepas lelah. “Tidak sayang kenapa aku lelah dan harus menyerah. Kenapa aku bosan dan harus mengubah kisah. Ada kamu istriku dan ada calon anak kita yang ham
“Lah gang buntu Bunda putar balik atau enggak ini. Dari tadi kita mondar-mandir mencari penginapan. Belum jua menemukannya ada juga penuh. Apa kita menginap di hotel saja ya Bunda?” Raja tampak bingung sebab hari sudah begitu malam dan dia tak jua menemukan penginapan. “Sabar Ayah malam ini kita tidur di mobil lagi juga tidak apa-apa kok. Bunda di mana pun asal sama Ayah tidak jadi masalah. Besok kita cari lagi saat hari sudah terang, semoga besok dapat ya,” ucap Rindu menenangkan Raja. Raja tersenyum bangga akan memiliki istri seperti Rindu. Dahulu ia menolak untuk menggantikan Danang Kakaknya yang meninggal sebagai mempelai pria. Tetapi pada akhirnya Raja malah bersyukur memiliki Rindu yang begitu dewasa dalam pemikiran. Malah Rindu yang sering menenangkan Raja dikala Raja sudah mentok kebingungan. Malam ini mereka memutuskan kembali tidur di dalam mobil seperti biasanya. Sebenarnya tak jauh dari mobil Raja terparkir ada satu pos ronda. Namun saat Raja melewatinya beberapa saat l
“Asallamualaikum Bu ini loh ada tamu dari jauh. Tolong buatkan teh hangat dua ya. Biar tubuh mereka hangat sebab di luar dingin kasihan Bu. Ayo silakan masuk Nak siapa namanya tadi Raja. Silakan masuk Nak Raja dan Nak Rindu,” ucap Pak RT mempersilakan Raja dan Rindu masuk ke dalam rumah mereka yang sederhana. “Waalaikumsalam bentar Pak, Ibu melipat sajadah dahulu. Memang siapa Pak tamunya?” ucap Bu RT terdengar berjalan keluar. Rupanya ia ingin melihat jua siapa yang datang. Sampai di ruang tamu tempat dimanah Raja dan Rindu serta Pak RT sedang bercakap-cakap sejenak. Sebelum akhirnya mempersilakan Raja dan Rindu beristirahat. Bu RT tampak melongo melihat wajah Raja. Seakan Bu RT sudah sangat lama mengenal Raja. Perlahan Bu RT berjalan mendekati Raja. Ibu sebaya usia lima puluh lima tahun itu. Berdiri di depan Raja sambil menangis dan memegang wajah Raja. Seakan ia begitu rindu dengan Raja tak kunjung ketemu sekian lama. Seakan ada yang tergugah dihati Bu RT saat melihat wajah Raja
Kala itu aku melihatnya pergi seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun. Dia anakku Rajo tersenyum di bawah gerimis atap teras rumah kami. Malam itu mendung semakin menderu-deru di atas rumah kami. “Ayah aku pamit restui anakmu mengambil kembali calon menantumu. Bila aku tiada pulang hingga esok hari maka adakan pengajian tujuh hari. Agar jasadku lekas ditemukan dan ikhlaskanlah kepergian anakmu ini,” begitulah Rajo berpamitan padaku malam itu. Pas dipukul tengah malam buta, pas di poros tengah perputaran malam. Aku hanya bisa mengangguk lemas dan ini sebuah keputusan berat. Aku masih berdiri di ujung teras depan rumah. Tetap menatap punggung anak lelaki semata wayang kami pergi. Sampai benar-benar punggung tegar lelaki muda yang dua hari lagi akan melangsungkan pernikahannya itu pergi. “Rajo kau tetap pergi anakku, apa tidak bisa kau pikir lagi Nak!” teriak istriku berlari dari dalam rumah. Tangisannya selaras dengan petir yang bersahut-sahutan di atas atap rumah kami. “Sudah B
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal