“Loh, loh, Mbak Rindu jangan! Siapa kalian?” teriak Santi melihat Rindu tiba-tiba di dekap dua orang tak dikenal dari belakang. Santi secara langsung kaget akan suasana yang semula tenang. Kini berubah menjadi panik di depannya. Rindu yang semula berdiri di sampingnya. Secara mengejutkan ada dua orang lelaki bertubuh kekar penuh tato. Berpenampilan layaknya preman tib-tiba mendekapnya dari belakang. Membungkam Rindu dan menjambak rambut Rindu secara kasar. Bahkan saat Rindu meronta-ronta dua lelaki itu tak memedulikan dan terus menyeret Rindu. Santi tampak kebingungan sebab mau berteriak ke arah Agung dan Raja yang sedang menikmati suasana tenggelamnya matahari di depan mobil. Tapi Santi juga malah di dekap lelaki tak di kenal yang lainnya. Ternyata lelaki itu berjumlah banyak. Ada satu lelaki berewok namun cenderung lebih kecil tubuhnya dari yang lain. Tetapi seakan dialah yang memegang kendali atas sepuluh preman yang datang secara tiba-tiba. Lelaki yang lebih pendek dari sepuluh
“Hai datangmu sudah telat kawan tolong menunggu antrean. Bahkan ini sudah urutan yang ke sembilan. Sabar dahulu tunggu dua orang lagi baru giliranmu,” oceh Jampang saat melihat Agung berdiri pas di muka tangga penghubung lantai atas dan lantai pertama rumah kosong dimanah Santi tengah dieksekusi kelompok Jampang. Santi sudah berada dalam keadaan begitu lemas tak berdaya. Bahkan untuk berbicara saja Santi sudah tidak kuat membuka bibirnya. Tubuhnya sudah penuh luka memar dan luka gigitan serta bekas merah-merah. Wajah Santi sudah begitu pucat-pasih dan lunglai tak berdaya. Tali ikatan yang semula melilit seluruh badannya juga sudah dilepaskan. Bahkan untuk menoleh ke arah Agung Santi tak mampu lagi. Hanya suara mengaduh kesakitan sebab terus menerima serangan hebat dan terus berganti dari para anak buah Jampang. Agung tampak begitu marah bercampur kesal. Kedua tangannya mengepal membuat simbol pukulan. Agung tak kuasa melihat kekasihnya yang tengah tak berbusana dipaksa lelaki lain
Ban mobil Raja terus berputar meninggalkan desa Semenanjung. Air matanya mulai menetes perlahan membasahi pipinya yang kasar. Sedangkan Rindu berusaha mengusap air mata Raja yang jatuh. “Sayang sudah berhentilah bila tujuan kita hannyalah kematian dan tiada ujung pangkal. Lebih baik kita menepi di satu tempat di sebuah desa kecil. Tanpa ada yang tahu sebenarnya siapa kita berdua. Agung dan Santi juga sudah memutuskan untuk pergi,” ucap Rindu mengelus pundak Raja dan Rindu duduk di samping Raja yang tengah mengemudi. “Benar katamu istriku tak selamanya Agung dan Santi bersama kita. Sejak melawan Codet aku jadi memahami. Kasihan kalian berdua wanita-wanita kami. Selalu tersiksa menjadi sasaran empuk para musuh. Memang langkah Agung sudah benar membawa Santi pergi. Tetapi hatiku ini yang menganggap Santi sudah sebagai adik sendiri. Sanggatlah sedih melepas kepergian mereka,” jawab Raja dengan aura wajah begitu pilu. Mobil Raja terus melaju tanpa arah menyusuri sebuah jalanan sepi teru
Lembabnya area pemakaman desa Lembayung malam ini. Menaburkan aroma-aroma bau anyir darah. Mengudarakan suasana mistis yang begitu kental. Malam agak buta dengan gerimis turun berdaya rintik sedang. Menambah muram sekitar pemakaman belakang desa dengan rimbunnya pepohonan buah Maja. “Ayah kakak itu tertawa padaku duduk di atas pohon. Bajunya putih agak compang-camping dan rambutnya panjang. Ayah dia melambaikan tangan mengajakku bermain,” ucap seorang gadis kecil memberi rahu Ayahnya yang sedang mengikuti acara pemakaman Nenek Lembayung. “Sudah jangan dilihat itu bukan manusia anakku,” jawab Si Ayah. Raja yang berada di dekat mereka. Mengetahui jikalau yang dilihat gadis kecil itu adalah sosok kuntilanak. Raja mendekati Ayahnya sambil terus memandang si kuntilanak. Lalu kuntilanak itu terbang menjauh dari pohon besar yang ada di dekat mereka. “Pak kenapa adik kecil cantik ini di ajak menghadiri pemakaman. Nanti kalau adik kecil cantik ini sawan bagaimana? Sebaiknya Bapak pulang sa
Sore hari setelah magrib tiba Raja tampak rapi. Memakai baju kokoh dengan bawahan sarung hitam bermotif batik. Plus peci hitam melekat menutup rambutnya yang sudah agak panjang. Raja berdiri di samping Joni yang tengah menyambut warga yang datang. Sedangkan Rindu dan Nani istri Joni bersama Ibu-Ibu yang lain. Berada di ruang tengah bersiap-siap untuk menyiapkan suguhan makanan dan jajanan bagi warga nantinya. Mereka sedang mengadakan pengajian haru pertama atas meninggalnya Nenek Lembayung. “Silakan Pak di dalam masih longgar. Duduk di dalam saja dahulu kalau sekiranya di ruang tamu sudah tak muat. Biar nanti saya gelar tikar di teras dam halaman. Silakan Pak di dalam saja masih longgar,” seru Raja pada beberapa warga yang datang dan memilih untuk duduk di teras. Sedangkan di dalam ruang tamu masih kosong. “Benar Pak di dalam saja duduknya masih longgar. Nanti semua pada di luar yang di dalam ruang tamu malah enggak ada lagi. Mending di dalam saja Pak dahulu,” timpal Joni menambahk
Angin mulai membabi buta bertambah kencangnya. Seiring tahlil dan doa serta selawat yang terus dilafazkan warga di rumah Nenek Lembayung. Pepohonan perdu dan akasia sepanjang jajaran tepi jalan utama desa depan rumah Almarhum Nenek Lembayung. Semakin bergoyang atas dahan dan dedaunan. “Apa ini gawat!” teriak salah satu warga yang tak kuasa menahan ketakutannya. “Terus berzikir jangan berhenti Bapak-Bapak. Setan tak akan mempan menggoda kita. Bila kita terus melafazkan kalimat-kalimat Allah,” ucap Pak Muddin meyakinkan warga. Sedangkan Raja telah berdiri di atas padi nan luas yang jua terus bergoyang tertiup angin. Namun Raja tetap santai berdiri di atas bunga-bunga padi yang menguning. Ada dua sosok yang sudah berdiri di depannya. Sosok tengkorak kembar yang sebenarnya adalah dua sosok manusia pengabdi setan. “Kalian ternyata,” sedikit ucapan Raja sambil menyulut puntung rokok yang tinggal separuh. Beberapa saat lalu ia sengaja mematikan api rokok diujung batangnya. Agar bisa dihi
Empat roda mobil Raja kembali berputar menyusuri jalan tepi pantai. Kali ini Rindu sudah berpindah tempat duduk di samping Raja yang tengah mengemudi. Namun dengan jok yang agak direndahkan ke belakang. Agar bisa berbaring dengan nyaman. Raja tampak mengemudi sambil mengelus-elus perut Rindu yang sudah makin membesar. Hari ini genap delan bulan usia kehamilan Rindu. Tampak Rindu sudah semakin berat membawa badan. Rindu juga gampang capek dan lelah. “Ayah aku jadi teringat dengan Agung dan Santi. Sedang apa ya mereka sekarang, apa benar-benar tidak apa mereka berdua?” tanya Rindu memulai pembicaraan agar perjalanan mereka tak lagi sepi. Sebab perjalanan di ring rute jalur utara memang selalu sepi. Karena jalannya yang cenderung melewati tepian pantai. “Aku rasa mereka tidak ada masalah sayang. Kalau pun ada masalah pasti mereka menghubungi kita. Apa kita menepi dahulu untuk video cal mereka. Agar rindumu juga terobati, sekalian aku juga ingin istirahat. Sebab dari desa Lembayung tad
Derap empat roda mobil Raja kembali menderu. Menggesek aspal basah sisa-sisa hari hujan kemarin malam. Ada senyum Rindu di sampingnya, ada tawa renyah antara cinta mereka berdua. Entah sampai kapan roda-roda mobil itu berputar. Mereka jua tiada tahu jua sampai ujungnya dimanah mereka terhenti untuk bermukim. Bila terhitung hari demi hari menuju pagi lalu kembali malam dan berganti pagi lagi. Mereka terus berkendara tiada arah dan tujuan. Sudah beberapa minggu sejak pemberhentian terakhir mereka di tepi pantai. Sejak saat itu mereka tiada lagi bertarung dengan musuh-musuh yang dahulu selalu mengintai mereka. “Ayah apa kah kau bosan?” setidaknya pertanyaan itu. Selalu bergulir lancar di bibir kecil Rindu dengan rasa khawatir. Sebab Raja sering melamun akhir-akhir ini. Bukan saat berkendara namun saat mereka sejenak menepi untuk melepas lelah. “Tidak sayang kenapa aku lelah dan harus menyerah. Kenapa aku bosan dan harus mengubah kisah. Ada kamu istriku dan ada calon anak kita yang ham
Raja membuka matanya perlahan dan keseluruhan badannya telah basah kuyup. Bahkan ia kembali dan kembali diguyur air satu ember. Satu ember air comberan yang berbau menyengat tak sedap. Bagai bau kotoran manusia yang sangat menyengat. Byur, “Bangun kau Raja sang legenda MMA kota Bangzo. Bangun jagoan yang selalu dapat mengalahkan lawan-lawanya dari alam nyata maupun alam gaib. Lihatlah sekelilingmu sekarang Raja dan perhatikan kau ada dimanah sekarang?” Oceh Nona Ana yang tengah berdiri bertolak pinggang. Sambil membawa satu ember berukuran tanggung bekas terisi penuh air comberan yang ia guyurkan pada Raja. Raja menatap sekitar ia berada dan kali ini Raja benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kedua tangannya terikat oleh pasung dan juga lehernya. Kedua kakinya terikat rantai besi dengan bandul bola besi besar di ujungnya. Raja melihat istrinya Rindu tak memakai apa pun di tubuhnya dirantai di kedua kaki dan tangannya dengan cara direntangkan. Matanya ditutup dan mulutnya dis
Langkah kaki Raja menapak kembali rumah kosong di belakang pos hansip. Tangannya meraih pintu pagar depan yang sudah hampir hancur. Membukanya dengan cepat dan mulai berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut. “Sudah aku bilang padamu untuk berhenti Joni. Tetapi kau tetap saja tak mengindahkan perkataanku. Kalau demikian percuma aku menganggapmu saudara selama ini,” gerutu Raja yang mulai basah di beberapa bagian pakaian yang ia kenakan. Sebab kali ini tengah malam turunlah air mata langit. Berupa titik-titik gerimis dengan intensitas agak kerap. Ceklek, Gagang pintu depan rumah kosong belakang pos hansip. Segera terbuka oleh Raja hanya gelap menyeruak dari dalam rumah kosong. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa untuk menerangi mata. Agar seseorang bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hanya sebatas satu penglihatan satu sentimeter saja. Tetapi ada satu cahaya lilin di tengah-tengah ruang tamu yang menyala. Ada satu tikar kecil yang digelar di belakang lilin. Ada satu soso
“Hai Joni temanku welcome selamat datang di Istanaku yang bisa dibilang ini hasil warisan Ayahku. Kau tahulah teman bahkan kau adalah salah satu teliksandi atau kaki tangan Ayahku dulu yang tak terlihat. Maaf aku tak bisa datang saat kematian Nenek Lembayung. Saya ikut mengucapkan bela sungkawa,” ucap Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni di taman sisi depan halaman rumahnya.Ternyata Joni selama ini merahasiakan hal sebesar ini dari Raja. Bahkan Raja tak mengetahui bila saudara sesusunnya Joni dari desa Lembayung yang kapan hari ia kunjungi. Ternyata ada hubungan erat dengan Nyonya Lintang. Bahkan Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni bagai kawan lama. Raja juga tidak mengetahui jikalau yang membunuh Nenek Lembayung bukan para dukun desa. Tetapi Joni dan istrinya sendiri agar seluruh aset rumah, sawah dan pekarangan Nenek Lembayung yang lebarnya hampir mencakup setengah desa menjadi milik Joni sendiri. Tanpa harus dibagi pada Raja yang hanya anak sesusuan saja. “Nona Lintang
Pagi itu Raja menemukan dua kantong belanjaan yang berserakan di depan pagar rumah terbengkalai samping pos satpam. Raja juga menemukan sobekan daster dua lengan dengan Rendra bunga-bunga. Dia tahu benar kalau itu adalah sobekan dari dua lengan daster Rindu. Sebab ia yang membelikan daster yang kini dikenakan Rindu. Tanpa pikir panjang Raja langsung melompati pagar depan rumah kosong. Pos hansip atau pos satpam di sampingnya juga belum jua ada penjaganya. Padahal hari sudah melewati pukul setengah enam lebih lima menit. Raja terus masuk ke area halaman rumah kosong yang kebetulan. Halamannya hanya sedikit selebar satu setengah meter. Kali ini Raja menemukan sandal jepit milik Rindu yang tersangkut di pot bunga dan yang satunya terlempar di sebelah kiri rumah kosong. Akhirnya Raja menemukan daster utuh milik Rindu. Tergeletak di lantai ubin warna merah di teras rumah kosong tersebut. Wajah Raja semakin memerah marah bercampur geram. “Kalau seperti ini kejadiannya dan ini sudah tida
“Nak pulanglah sekarang Bapak ini sudah lama mengenal tabiat anak itu. Nyonya Lintang itu tentu tak akan tinggal diam dengan apa yang kamu lakukan dua hari ini. Anggrek Hitam berbeda sistemnya dengan mafia orang tuanya dahulu. Bila orang tuanya dahulu lebih senang mengumpulkan satu titik kekuatannya. Pada satu tempat saja tak menyebarkannya di beberapa titik atau mereka sebut pos bagian. Sekarang mereka tersebar di seluruh kota. Termasuk di pos hansip tempat Pak RT yang kamu ajak kemarin. Belakang pos hansip itu ada rumah kosong di sana mereka juga ada,” tutur Pak Bandot mengingatkan Raja. “Yah saya sudah menduganya akan hal itu Pak Bandot. Baiklah saya pamit pulang terlebih dahulu. Semoga Bapak tetap sehat selalu dan lain kali kita dapat berjumpa lagi, Asallamualaikum,” ucap Raja mengucapkan salam lalu beranjak pergi dari Warkop Pak Bandot. Sementara itu di tempat yang dikatakan Pak Bandot. Belakang pos hansip tak jauh dari rumah Pak RT. Ternyata adalah sebuah rumah terbengkalai da
Pagi berikutnya, Brak, dar, pyar, Tiga algojo penunggu teras rumah mewah Nyonya Lintang terlempar ke arah jendela kaca pas di samping pintu masuk rumah. Bahkan tiga algojo yang dahulu menyeret-nyeret Rajo lalu membunuhnya. Tak mampu mengalahkan Raja yang hanya menggunakan tangan kosong. Raja sempat duduk di kursi ukir klasik khas orang kaya yang berada di sisi kiri teras. Sedangkan tiga algojo sudah tidak bergerak dengan kaca berserakan di sekitar mereka. Raja masih bergaya bak tamu yang datang berkunjung. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asap ke udara dari bibirnya. “Lumayan juga dua hari saat pagi seperti ini berolah raga. Sudah lama otot-ototku kaku tak bergerak. Dua hari ini cukup membuat keringat. Hitung-hitung biar badan segar-bugar dan sehat kembali,” ucap Raja memandang ke arah taman. “Woi kalian berlima apa tidak ingin sedikit membuat keringat. Kemarilah kita berolah raga sejenak diam-diam saja. Buatkan aku kopi mendingan tamu ini,” teriak Raja memanggil lima aj
Raja berjalan pelan dan tetap santai menuju gerbang besar warna merah dua sisi. Masih ada ukiran mawar hitam di setiap sisinya persis seperti setahun yang lalu. Ada juga ukiran naga dan tengkorak sebagai ornamen tambahan. Raja sempat menyulut sebatang rokok dari saku kemeja yang ia pakai dan kemeja itu milik Rajo. Persis seperti yang digunakan Rajo setahun yang lalu. Sebelum akhirnya langkah Raja dihentikan oleh beberapa penjaga di gerbang merah. “Woi mau ke mana kau anak muda. Apa kau tidak salah jalan menuju ke mari?” ucap salah satu penjaga gerbang merah. “Maaf Pak saya mau tanya, apakah benar ini kediaman Nyonya Lintang. Saya hendak menemuinya dan hendak menyampaikan sesuatu kepadanya?” jawab Raja masih bersopan-santun dan berlemah-lembut dalam tutur katanya. Namun penjaga gerbang merah di depannya menatap Raja agak mencincingkan mata. Seakan ia pernah melihat Raja sebelumnya. Bahkan mereka agak berbisik-bisik satu sama lain. “Bukankah dia yang datang ke mari setahun yang lal
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar