“Mas Raja ini ke mana ya dari tadi menelepon atau cat whatsup begitu. Enggak ada kabar sama sekali loh sampean ini Mas. Memangnya semalam kalian ke mana sih Mas Agung?” Rindu tampak kesal dan uring-uringan. Tanpa menyadari jikalau Agung sudah pergi dari sisinya beberapa menit yang lalu. Bahkan sekarang di sampingnya sudah berganti yang duduk. Rindu tak menyadari kalau Dokter Agus sudah duduk di sampingnya. Rindu hanya fokus pada ponsel miliknya. Mencoba membuka layarnya kembali dan lagi. Berharap ada pesan singkat atau telepon dari Raja. Sedangkan Dokter Agus terus memperhatikannya dengan penuh kekaguman. Tanpa berkedip terus memandangi paras ayu Rindu yang kini telah dibalut hijab. “Sekarang kamu lebih baik lagi ya Rindu. Lebih Muslimah berhijab dan terlihat lebih ayu. Beruntung sekali Raja itu mendapatkan cintamu. Kamu sekarang sungguh sangat berbeda dari waktu dulu. Saat hari-harimu masih bersamaku dan tanpa hijab,” celetuk Dokter Bagus membuat Rindu sempat terperanjat kaget.
“Apa yang telah kamu lakukan kepadaku Mas Agus. Kenapa kamu begitu jahat kepadaku, apa salahku padamu. Bukankah aku sudah menjadi suami orang lain dan sudah aku katakan padamu. Kenapa kamu melakukannya? Aku tak menyangka kamu sebejat ini,” ucap Rindu menangis di pojok tempat tidur pasien. Sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut putih bergaris hitam. Rindu tengah bersendiku menempel dinding terus meneteskan air mata. Tidak mengira hari ini akan terjadi menimpanya. Bahkan kali ini tidak ada yang menolongnya sama sekali. Rindu menatap Agus dengan mata marah dan kecewa. Tetapi Agus terlihat santai duduk di balik meja kerjanya. Sambil menyeruput segelas kopi hitam dan menghisap sebatang rokok di bibirnya. Agus tampak terlihat begitu puas di wajahnya yang semringah. Puas akan kesampaiannya terlaksananya keinginan terbesar dalam hidupnya yang selama ini belum terwujud. Hari ini telah terwujud dan Agus sangat menikmati. Saat-saat ia terus menjelajahi tubuh Rindu jengkal demi jengka
“Maaf Ndok Rindu, Bapak terlambat untuk menyelamatkanmu. Sehingga kau mengalami nasib seperti ini. Bapak sebenarnya sudah menangkap gelagat tidak baik dari Dokter Agus padamu. Saat pertama kita bertemu dengannya. Matanya seakan melihatmu dari atas sampai bawah,” ucap Pak Khotim duduk di samping Rindu yang terbaring. “Loh Ayah mertua, aku ada dimanah. Kenapa bisa ada Ayah Mertua, bukankah aku sedang berada di dalam kamar mandi rumah sakit?” Rindu terbangun kaget. Rindu terbangun dan sudah ada Pak Khotim yang duduk di samping ranjang ia terbaring. Bahkan di kening Rindu sudah ada kain basah untuk mengompres. Rindu juga tak mengenali ia sedang berada dimanah kini. Tapi Ayah mertuanya tampak tersenyum pada Rindu. Seakan ia ingin mengisyaratkan jikalau Rindu aman bersamanya. Ayah Mertuanya telah membawanya kembali pulang ke rumah. Namun Rindu di bawa pulang ke rumah lama yang ada di depan rumah mewah keluarga Khotim. Rindu diistirahatkan di kamar utama milik Pak Khotim dan Ibu Juariah.
Prak, prok, buk, “Aduh, Argtz, kurang ajar ahli juga Pak Tua ini!” teriak salah satu preman yang menjaga depan rumah Nona Ana. Berteriak kesakitan saat terkena pukulan dari Pak Khotim. “Usiaku memang sudah tua Nak. Tapi energiku dan semangatku menolak untuk tua. Ayo kita lakukan sekali lagi dan anggap saja kita sedang berolah raga,” ucap Pak Khotim terus menyerang lima belas orang yang menghadangnya untuk menemui Nona Ana. Pak Khotim memang sudah berusia kepala lima. Tetapi dialah orang dibalik kesuksesan pasangan emas Raja dan Agung. Dalam menjuarai kejuaraan MMA di kota Bangzo. Sampai tiga kali berturut-turut bahkan hingga level nasional. Walau lima belas orang yang menghadangnya bertubuh lebih besar darinya. Bahkan sepuluh dari lima belas orang tersebut adalah bule. Mereka nyatanya tak mampu menandingi keahlian Pak Khotim dalam bertarung. Sehingga mereka terkapar semua berserakan di halaman rumah yang disewa Nona Ana. Tak mau dianggap remeh oleh orang Indonesia. Apalagi yang m
“Apa ini, ada apa ini? Rasanya aku mendapatkan rasa yang sama. Seperti dahulu saat Mas Danang hendak pergi meninggalkan kami untuk selamanya,” Raja berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit. Riuh dan ramai para suster dan beberapa keluarga pasien. Tak bisa mengusik keheningan di mata dan hati Raja. Dia seakan mengulangi rasa ketika Danang hendak pergi untuk selamanya. Kakinya memang tetap melangkah menuju ruang rawat inap pasien dimanah Santi dirawat. Tapi hatinya seakan hilang arah bagai jatuh copot dari wadahnya. Matanya agak berair menangis tanpa tahu apa yang harus ditangisi. Sampai pada depan pintu ruang rawat inap dimanah Santi dirawat. Agung menyambutnya langsung dengan memeluknya. Menenangkan Raja agar tetap sabar menghadapi semua masalah dihidup ini. “Ada apa Bro, kenapa dengan Santi?” ucap Raja mencoba bertanya pada Agung. “Santi tidak apa-apa Bro dan kata pihak rumah sakit tadi pagi. Mereka meminta maaf atas kekeliruan diagnosa dan tak tahu kalau ada Dokter Agus seor
Angin berembus perlahan melalui jendela kayu sederhana. Mengibarkan kelambu putih dengan Rendra bunga-bunga warna ungu. Pagi setengah siang sudah mulai panas. Terik matahari menerobos lurus melalui ventilasi rumah sederhana milik keluarga Mr. Khotim. Rumah awal dari sebuah perjalanan keluarga Pak Khotim sebelum memiliki rumah megah nan mewah di depannya. Pintu masih tertutup rapat sebab pesan dari Pak Khotim jangan sampai membuka pintu sebelum dia datang. Rindu dan Bu Juariah tentu sangat mematuhinya. “Ibu kenapa perasaanku menjadi sangat tidak enak ya. Ada apakah ini Ibu? Aku seperti mengenal perasaan ini. Pernah rasa ini timbul sebelum kepergian Mas Danang dahulu,” Rindu memegang gelas berisi susu hangat di tangannya. Berjalan dengan tongkat jalan. Kali ini Rindu sudah berani berjalan dengan sebuah congkok alat bantu jalan. Perlahan Rindu berjalan penuh kehati-hatian menuju ruang tamu. Rindu begitu gusar tak tahu ada apa dan tetap merasakan ketidakpastian pada rasa hatinya. “En
Tap, tap, Langkah kaki Raja seakan berbicara pada tanah yang diinjak oleh sepatunya. Sampai angin juga ikut berdesis membisikkan derap kaki per jengkal yang dibuatnya. “Aku datang kawan bersiaplah!” bisik Raja pada seluruh alam yang menyertainya saat berjalan. Ketika Raja datang menginjakkan kaki di pelataran halaman rumah kecil yang disewa oleh Nona Ana. Matanya bagai elang lapar siap menukik mangsanya di lautan luas. Tegap kakinya menjejak tanah halaman rumah sewa Nona Ana. Begitu kukuh bagai langkah singa mengintai mangsa. Ayunan lengannya tampak kokoh bagai lengan cita tengah memburu mangsanya. “Woi dia sudah datang lihat teman-teman tokoh utama kita. Raja Si Raja MMA kota Bangzo telah tiba. Mari-mari Raja kita bermain permainan ring seperti dahulu. Saat kita masih bersua tanding dalam satu ring. Mari kita lihat apa kau sekuat dahulu,” ucap salah satu petarung dati sekian banyak petarung yang berkerumun di teras. Satu petarung itu bercanda ria sambil berjalan santai ke arah
Prak, “Sedang apa kau penyandang jabatan Dokter gadungan. Sedang apa kau Agus pemuda mantan kekasih Istriku saat SMA. Sedang apa kau lelaki bejat yang menodai istri orang!” teriak Raja langsung berdiri. Ketika Agus melayangkan tongkat bisbol ke arah kepala Raja. Memang tongkat bisbol tersebut mengenai kepala Raja. Tapi ada dua tangan Raja yang sigap menangkap arah ayunan tongkat bisbol. Bahkan tongkat bisbol sampai patah menjadi beberapa bagian. Raja teramat murka kali ini pada Agus. Bahkan Raja menatap Agus penuh dengan rasa kebencian teramat dalam. Sekarang tubuh Agus terangkat oleh Raja dengan satu tangannya yang telah mencengkeram kerah baju Agus. Ada rasa kengerian dari raut wajah Agus yang sedang berusaha melepaskan genggaman tangan Raja. Tetapi sia-sia saja Raja lekas melemparnya ke arah halaman. “Kau memang Raja dari Rajanya petarung kota Bangzo wahai Raja. Tetapi apakah seorang manusia bisa menghindari kecepatan peluru yang terlontar dari moncong pistol ini. Bahkan cita