Dalam sekejap, tawa itu meledak. Mike sangat sepeser pun kebalikan dari putranya. Para lansia menikmati keharmonisan berkat kelahiran cucu pertama mereka sebelum menuju ke rumah Deva. Sesampainya di sana kini kedua orang tua itu langsung masuk ke dalam. Tak sabar istri Mike pun lupa bahwa suaminya masih tertinggal. “Nasib kalah cucu. Saya yakin nanti akan ada sharing group. Bisa jadi ayah baru juga dicuekin sama ibu-bayi baru," kata Mike sambil cekikikan. Aneh kelakuan kakek satu cucu ini. "Bela sayang! Kamu dimana?" Suara ibu sekarang nyaring. Bela dan Deva kini memperhatikan Luna yang masih berusaha belajar menyusu sambil menoleh serempak. "Ibu telah datang. Kamu akan bertemu dengannya!" Deva mengangguk. Dia membelai surai Bela dengan lembut. Dan juga tidak lupa mencium Luna. "Ayah pergi dulu ya, mau ajak nenek ke sini? Nanti Luna ketemu Oma sama Opa..." Senyum Bela dan Deva melebar. Selalu menyenangkan berbicara dengan anak-anak mereka meskipun Luna belum bi
Satu minggu telah berlalu, membuat Bela dan Luna kini bisa beradaptasi dengan baik dengan status barunya. Bela yang berstatus ibu baru terkadang tidak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Semuanya tampak ambigu baginya. Namun, itu juga merupakan pengalaman yang sangat kompleks baginya. Terkadang ibu baru juga sedih dan bahagia. Ia merasa masih belum bisa membuat Luna nyaman dan memberikan yang terbaik untuk putrinya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan melahirkanmu. Aku masih bermimpi, My Luna. Maaf jika aku membuat banyak kesalahan nanti. Aku masih terlalu dini untuk merawatmu." Bela kini sedikit terisak dan juga berusaha membuat putrinya bercerita tentang dirinya yang masih tidak percaya dengan semua yang terjadi sekarang. Sejujurnya, wanita yang tergolong masih muda ini, memang merasa belum bisa melakukan yang terbaik untuk segala hal yang berhubungan dengan Luna. Hal ini membuat Bela banyak menangis karena hal-hal sepele. Misalnya saat pertama kali sa
Bela sedikit tidak nyaman dengan Deva dan juga takut suaminya akan memprotes lamarannya. tapi untungnya Deva menuruti keinginan dan dukungan penuh Bela. Bela senang dengan fakta itu. "Kamu gak mau jalan-jalan, Bela? Kita bisa ke tempat wisata terdekat aja kalau kamu belum bisa keluar dari Luna. Aku menawari ini karena mungkin kalau kamu suka itu efek bosan? Kita bisa juga menggunakan cara penyembuhan dulu, bisa ke pantai terdekat atau supermarket kalau mau yang ada di ibu kota seperti ini.” Bela menatap Deva yang menjelaskan sambil tersenyum tanpa luntur. Pria itu mengerti keinginan Bela. Namun untuk saat ini, akan jauh lebih baik jika Anda memastikan sepenuhnya bagaimana perkembangan Luna. “Aku akan menyetujui proposalmu ketika saatnya tiba! Menurutku Luna tidak bisa ditinggal sendirian dan hanya ditinggal bersama Ibu. Ibu juga akan bosan, Deva. Kasihan ibumu." Deva mengangguk. "Aku ikut saja. Kamu mau, aku baik-baik saja. Kamu juga tidak menginginkannya. Tapi berja
SabarBela baru tahu tentang ini. Meskipun mitos sangat akurat. Saya tidak tahu apakah ini kesalahan, atau apakah itu dapat menunjukkan sesuatu. Yang jelas Bela tersenyum lebar. Dia merasa telah menemukan kesenangan dan pengetahuan baru. "Betul! Kalian berdua benar! Namanya Luna guys. Deva dan saya mengambil nama itu dari gabungan nama kami. Deva dan Bela. Ayo. Kami bertemu anak saya yang cantik. keponakanmu yang cantik!" Gelak tawa kembali menguat. Sungguh hubungan yang sangat indah untuk dilepaskan atau bahkan hanya menjadi sebuah ikatan. Mereka bisa tertawa bersama dan juga saling menyemangati. Itulah arti sebenarnya dari persahabatan sejati. Mereka telah melakukan semuanya dengan baik. Sesampainya di kamar Bela di lantai satu, Nita dan May langsung melihat Luna dan langsung melupakannya. "Sudah ada keponakan, sekarang teman sendiri sudah dilupakan!" Gumam Bela kesal sambil tersenyum lebar. Dia tidak kesal tapi juga sangat senang. Itu membuatnya bahagia dan
Inspeksi Keesokan harinya sekarang May langsung pergi ke dokter bersama Alvin. Dia ingin mewujudkan mimpinya secepat mungkin. "Kau yakin tidak akan terlalu cepat, May?" tanya Alvin dengan wajah sedikit panik. Dia agak ragu dan yang paling penting adalah dia takut nanti fakta yang diberikan dokter akan membuat istrinya lebih tertekan dari sebelumnya. Dia belum siap dan tidak akan siap untuk itu. May seharusnya tidak sedih tentang apa pun. Dia tidak tahan melihat May. "Itu sebabnya kami pergi ke dokter dulu untuk memeriksa bekas operasi tumor saya. Apakah Anda mau? Kami harus tahu sebelum kami dapat mengambil tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya." Perkataan May membuat Alvin terdiam. Istrinya terlihat sangat bersemangat. Tidak tahan baginya untuk memotong semangat itu. Alvin menarik napas dalam-dalam. Dia mencoba menghadapi May. Netra-nya kini terjalin dengan istrinya. Alvin pun membingkai wajah May dengan lembut. “May, aku tidak pernah memaksamu untuk mem
“Karena sel tumornya tidak ada di rahim Bu May, jadi saya rasa tidak akan berdampak apa-apa. Anda bisa menjalankan program hamil. Tapi... Tentu atas saran dan pengawasan dokter kandungan. Anda bisa lihat dokter yang bersangkutan terlebih dahulu dan konsultasikan. Jangan lupa jelaskan apakah Ibu May pernah terkena tumor! Nanti dokter akan menyarankan hal yang terbaik jika bermasalah. Jika tidak, maka sekali lagi saya ucapkan selamat." Alvin menarik napas dalam-dalam. Ia melirik May yang kini menatapnya dengan senyum lebar. "Baik dok. Terima kasih atas jawaban dokter. Kami berpamitan dengan dokter. Selamat siang." Kelegaan dan senyuman kini menghiasi sepasang manusia yang sedang dilanda kabar gembira. Mereka tentu senang bukan main. Ada sesuatu yang menjadi kenyataan dalam semua yang mereka impikan selama ini. "Aku tidak menyangka dan sangat senang Alvin," kata May yang kini hampir menangis lagi. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini. Dulu, dia bahkan berpikir bahwa hidupn
"Bagaimana dengan rahim saya, dokter?" tanya May dengan susah payah. Dia berusaha untuk tidak menangis sekarang. Saat ini dia merasa sangat rendah. Banyak pertanyaan besar muncul dalam dirinya. Mengapa tubuhnya harus menerima semua ini? Kenapa harus dia? Mengapa Rena tidak, dan harus sendiri? Padahal dia juga ingin punya anak, kenapa harus susah sekali punya anak? Alvin yang mengetahuinya kini memeluk May. Dia tahu bahwa istrinya pasti sangat terpukul dengan apa yang dikatakan dokter. Tapi itu kenyataan. Namun, mereka tak bisa memungkiri bahwa memang ada masalah pada kandungan May. “Dinding rahim Bu May tidak seperti pada umumnya. Sedikit lebih tipis dan itu membuat resiko keguguran semakin tinggi. Kalau sulit atau tidak hamil juga tidak masalah, hanya saja saat bayi sudah tumbuh, itu sedikit lebih diperhatikan. Sepertinya kalau akan melakukan program hamil harus hati-hati, karena resiko keguguran.” Setelah kata-kata panjang dokter, May menangis di pelukan Alvin. D
Mei mengangguk. Sekali lagi dia memeluk suaminya dengan erat. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Alvin tidak menjadi suaminya saat ini. "Maaf." Alwin mengangguk. Baginya, perasaan May adalah bawaan sebagai perempuan. Sangat sensitif dan juga sangat mudah mengukur diri dengan pencapaian orang lain. Tapi mereka tidak bisa mengambil risiko itu. Akhirnya, itu akan menyerang perasaan mereka juga. “Sekarang May harus percaya pada usaha. Kita yang berusaha dengan baik dan terus menerus maka Tuhan akan memberikan hasil yang baik. Jangan berpikir buruk tentang Tuhan, karena cerminan dari hasil adalah prasangka kita terhadap Tuhan. Ini yang bisa saya katakan dari kamu, May. Tapi sekarang kamu sedih, jadi aku mengatakan ini sekarang. Jadi, kamu harus ingat itu, oke? Jangan lupa lagi!" Kata Alvin sambil membelai rambut May dengan lembut. May yang mendengarnya langsung merasa ditertawakan. Ya, dia mengatakannya tapi dia lupa. Mungkin menjadi malu pada Tuhan. Dia mencob
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara