Sup ikan"Sayang sekali. Kalau ada, aku ingin laki-laki seperti suamimu," kata Nita. "Tidak perlu banyak berfantasi! Ketika tiba waktunya jodohmu datang, tentu kamu juga akan menikah," jawab May. "Berapa umurmu, Bela?" "Masih 1 bulan. Ayo makan ini dulu!" kata Bela. Satu jam kemudian May dan Nita berpamitan. Karena aku merasa tidak enak jika bermain terlalu lama saat suami Bela ada di rumah. Bela menghampiri Deva yang berada di ruang tamu. "Temanmu ada di rumah?" tanya Deva. "Sudah. Mereka bilang kamu ganteng. Sampai mereka bilang kalau ada lagi yang dia mau," kata Bela. "Lalu bagaimana kabarmu?" "Maksud Anda?" Bela bingung. "Maksudku, jika ada orang sepertiku lagi, bagaimana denganmu?" "Sudahlah, biarkan saja. Yang penting kamu milikku," kata Bela. "Apakah kamu bersedia membiarkan aku dimiliki oleh orang lain?" "Wah nggak boleh. Jangan sampai kamu disentuh wanita lain padahal itu temanku," kata Bela. "Bisa dibilang begitu. Menurutmu bagaimana perasaanku saat bersa
Bela merasa disambut di pesta itu. "Kamu bohong, kan? Bukan pihak pegawaimu. Tapi anak direkturmu." Deva menggelengkan kepalanya. "Tidak. Putranya juga bekerja di kantor. Dan kebetulan dia adalah putra direktur kepresidenan. Saya tidak ingin berbohong kepada Anda. Saya mengatakan yang sebenarnya." "Tapi tadi kamu bilang kamu karyawan. Bukan anak direktur utama," kata Bela kesal. "Baiklah, jangan terlalu berisik! Makan saja apa yang kamu punya! Jangan malu-malu!" kata Deva. Bela senang makan di pesta itu. Dia juga menikmati beberapa hidangan yang sudah tersedia. Deva pun ikut menemani Bela. “Pak Deva, saya sangat senang Bapak mau datang ke acara saya,” kata Dirut. Bela bertanya-tanya mengapa sutradara sepertinya mengikuti mereka. "Bagaimana mungkin saya tidak datang pada acara penting pemilik perusahaan, Pak? Saya akan usahakan bisa datang," kata Deva. "Terima kasih banyak, Pak Deva. Anda memang yang terbaik. Ngomong-ngomong, kapan Anda akan menggunakan hadiah saya?" tan
Tiga bulan telah berlalu, dan kandungan Bela sudah memasuki usia 4 bulan. Sesuai janji Lukman, dia akan membawa baby moon ke Inggris. Bela sudah menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa. Termasuk surat izin dokter yang menyatakan kehamilan Bela sehat untuk dibawa ke luar negeri. Bela sangat bersemangat karena untuk pertama kalinya dia aman menikmati negeri yang diimpikannya selama ini. Menurut Lukman, mereka akan menggunakan pesawat pribadi. Jadi hanya akan ada dua penumpang dan sisanya awak pesawat. Bela tidak menyangka ia juga akan mendapatkan fasilitas yang begitu fantastis. Saat Bela dan Lukman tiba di bandara, Lukman meminta izin untuk bertemu dengan Dirut. Pasalnya, perjalanan itu merupakan kado pernikahan bagi Lukman dan istrinya. Saat di bandara, Lukman diminta langsung menuju landasan pacu. Bela dan Lukman berjalan kesana dan melihat beberapa pesawat yang ada disana. Lukman mencari pesawat yang diberitahukan oleh direktur utama. Sesampainya di depan pesawat, mereka
Di malam hari mereka menuju ke London Eye. Ada yang berdecak kagum karena keindahan malam itu sangat spektakuler. "Sayang, di sini enak," kata Bela. "Ya bagus. Lebih bagus dari gambarnya," kata Lukman. "Saya ingin naik bianglala," kata Bela sambil menunjuk bianglala terbaik di Eropa. "Oke, setelah ini kita naik. Kamu takut ketinggian?" tanya Lukman. "Nggak apa-apa! Jangan banyak tanya! Aku mau naik," paksa Bela sambil menarik tangan Lukman. Setelah membeli tiket bianglala, Bela menunggu giliran naik. Dan segera mereka membuatnya. "Saya sangat senang," kata Bela. “Ya, aku senang kamu menyukainya. Maka London Eye yang tingginya 135 meter itu kini menyandang gelar bianglala terbesar di Eropa. 32 kapsul bisa memuat 800 orang dalam sekali putaran. Artinya, sama dengan mengangkut 11 penumpang dengan bus tingkat yang menjadi ikon di London. Tak heran jika London Eye menjadi salah satu objek wisata paling menarik bagi wisatawan di ibu kota Inggris tersebut. Nantinya kita bisa mel
Di sana Bela menghabiskan waktu bersama Lukman. Di hari ketiga di Tanah Air, Lukman mengajak Bela mengunjungi beberapa tempat wisata. Dan hari keempat dimana mereka harus kembali ke negara asalnya dengan mengendarai pesawat pribadi. Bela membeli cukup banyak hadiah untuk dirinya sendiri, untuk ayahnya, dan juga untuk May dan Nita. Bela tidak percaya dia bisa pergi ke negara itu. Ternyata menikah bukanlah halangan untuk menjelajah jalanan. Apalagi Lukman memberikan fasilitas terbaik. Meski perjalanan mereka disponsori oleh direktur utama di perusahaan tersebut, Lukman tetap bekerja. Lukman bekerja dengan sangat baik sehingga direktur kepresidenannya memberinya hadiah pernikahan berupa perjalanan ke luar negeri. Lukman pun tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk perjalanan mereka. Sesampainya di negara asalnya, Bela merasa sangat lelah sehingga Lukman memanggil dokter untuk memastikan kondisi istrinya. Dan menurut dokter, kondisi Bela serta janin di dalam perutnya baik-baik
Bela merasa tubuhnya sangat lemah dan nyaris tak berdaya. Tulang terasa seperti terlepas dari seluruh tubuh. “Lalu apa yang harus kami lakukan, Dok?” tanya Deva. "Solusi yang terbaik adalah Bu Bela harus disembuhkan. Karena untuk menyelamatkan ibu. Karena anak anda tidak berkembang," jawab dokter. Bela merasa sangat sedih. Karena baru saja membawa janin dalam perutnya jalan-jalan ke luar negeri tapi setelah mereka pulang dari sana dinyatakan tidak berkembang. Bela tidak bisa berhenti menangis. Deva mendekati Bela dan memeluknya. "Saya tidak mau kuretase. Saya mau anak kita," kata Bela lirih. "Ya, aku mengerti. Tapi keadaan tidak seperti yang kita bayangkan. Ini sudah takdir. Kamu harus terima," kata Deva lalu mengelus rambut Bela dan mengecup kening Bela. "Saya tidak rela dipisahkan dari anak saya. Saya tidak ingin disembuhkan," Bela menolak dan kemudian berontak. Dokter langsung memanggil petugas security melalui tombol yang ada di kamarnya namun Deva memeluk Bela dan dok
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Deva menjawab pertanyaan Bela. "William. Kuharap kamu bisa menerima keadaan ini! Jangan bersedih dan menyalahkan dirimu sendiri!" kata Deva. "Aku sedang berusaha melakukan itu. Jadi kamu sudah tahu penyakit yang aku derita?" tanya Bela. "Yah, aku sudah tahu dan tidak akan meninggalkanmu. Yang jelas aku akan terus bersamamu. Senang, sedih, kita akan terus bersama. Kamu harus semangat hidup!" jawab Deva. Bela menelan ludahnya. Dia berpikir jika Deva mengetahui apa yang dia alami, dia akan meninggalkannya. Deva memang pria yang baik untuknya. Setelah tiga hari di rumah sakit, Bela akhirnya pulang. Selama di rumah sakit, Bela didampingi Deva dan bergantian dengan teman-temannya, yakni Nita dan May. Nita dan May juga merasa kasihan pada Bela yang sangat berduka atas kehilangan calon buah hati Bela. Tapi itu semua takdir. Tidak ada yang bisa mengubah semua itu kecuali Tuhan. Kondisi Bela berangsur pulih. Dia bisa berjalan dan menikmat
"Entahlah, tiba-tiba aku pusing," keluh Bela. Nita lalu membawa Bela ke klinik kantor untuk berobat. Di sana Bela diperiksa oleh dokter. Mulai dari tekanan darah dan beberapa hal lainnya. Menurut dokter, semuanya normal. Mungkin dia hanya lelah dan butuh istirahat sejenak di klinik kantor.Sementara itu, Deva yang mendengar istrinya ada di klinik kantor langsung menghampiri Bela. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva cemas. Baru satu minggu dua minggu, yang seharusnya belajar di kantor Deva, sudah pusing. "Tiba-tiba pusing. Aku baik-baik saja. Kamu kembali saja ke kamarmu!" kata Bela. "Apakah kamu yakin? Apakah kita perlu pergi ke rumah sakit?" tanya Deva. "Tidak perlu! Dokter juga bilang aku baik-baik saja, aku hanya lelah," jawab Bela. "Kamu sudah makan?" tanya Deva. "Belum, ini belum jam makan siang," jawab Bela. “Baiklah, aku akan membelikan makanan untukmu” kata Deva lalu memesan makanan untuk dibawa ke klinik rumah sakit. Melihat Deva yang begitu perhatian