Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Deva menjawab pertanyaan Bela. "William. Kuharap kamu bisa menerima keadaan ini! Jangan bersedih dan menyalahkan dirimu sendiri!" kata Deva. "Aku sedang berusaha melakukan itu. Jadi kamu sudah tahu penyakit yang aku derita?" tanya Bela. "Yah, aku sudah tahu dan tidak akan meninggalkanmu. Yang jelas aku akan terus bersamamu. Senang, sedih, kita akan terus bersama. Kamu harus semangat hidup!" jawab Deva. Bela menelan ludahnya. Dia berpikir jika Deva mengetahui apa yang dia alami, dia akan meninggalkannya. Deva memang pria yang baik untuknya. Setelah tiga hari di rumah sakit, Bela akhirnya pulang. Selama di rumah sakit, Bela didampingi Deva dan bergantian dengan teman-temannya, yakni Nita dan May. Nita dan May juga merasa kasihan pada Bela yang sangat berduka atas kehilangan calon buah hati Bela. Tapi itu semua takdir. Tidak ada yang bisa mengubah semua itu kecuali Tuhan. Kondisi Bela berangsur pulih. Dia bisa berjalan dan menikmat
"Entahlah, tiba-tiba aku pusing," keluh Bela. Nita lalu membawa Bela ke klinik kantor untuk berobat. Di sana Bela diperiksa oleh dokter. Mulai dari tekanan darah dan beberapa hal lainnya. Menurut dokter, semuanya normal. Mungkin dia hanya lelah dan butuh istirahat sejenak di klinik kantor.Sementara itu, Deva yang mendengar istrinya ada di klinik kantor langsung menghampiri Bela. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva cemas. Baru satu minggu dua minggu, yang seharusnya belajar di kantor Deva, sudah pusing. "Tiba-tiba pusing. Aku baik-baik saja. Kamu kembali saja ke kamarmu!" kata Bela. "Apakah kamu yakin? Apakah kita perlu pergi ke rumah sakit?" tanya Deva. "Tidak perlu! Dokter juga bilang aku baik-baik saja, aku hanya lelah," jawab Bela. "Kamu sudah makan?" tanya Deva. "Belum, ini belum jam makan siang," jawab Bela. “Baiklah, aku akan membelikan makanan untukmu” kata Deva lalu memesan makanan untuk dibawa ke klinik rumah sakit. Melihat Deva yang begitu perhatian
Letta tidak tahu apakah Bela ternyata hamil. Dia takut Deva akan memecatnya. “Maafkan saya, Pak! Aku tidak tahu," Letta memohon. "Aku suka Bela walaupun dia masih kecil tapi tidak pernah merepotkan orang lain seperti kamu Mbak Letta. Dia juga lebih dewasa dari kamu," bentak Deva. Bela tersanjung saat Deva membela diri di depan anak buah Deva. Bahkan sikap Deva terhadap Bela ditunjukkan dengan mendukung Bela. "Maaf, Pak. Saya tidak akan melakukannya lagi. Tolong jangan memecat saya!" tolong Letta. "Kenapa kamu yang mengontrol aku? Apa kamu tidak tahu bahwa Bela adalah istriku? Tentu pilihanku adalah yang terbaik," kata Deva. "Saya minta maaf sekali lagi. Bu Bela, saya mohon tolong Maafkan saya dan minta Pak Deva untuk tidak memecat saya!" Letta kemudian memohon di kaki Bela. "Pecat saja karyawan seperti ini! Toh masih banyak orang yang butuh pekerjaan dengan hati yang mulia," kata Nita. Bela menghela napas. Dia tahu dia bisa meminta Deva memecat Letta. "Maafkan saja dia!
Dokter menyatakan kondisi korban bernama Mike sudah stabil. Meski masih perlu mendapatkan perawatan lebih lanjut. Deva yang menunggu di sana diperbolehkan pulang. Saat Deva tiba di rumahnya, suasana di depan rumahnya masih cukup ramai. Dan untungnya listrik menyala. Bela yang belum bisa tidur karena menunggu kedatangan Deva duduk di ruang tamu. "Kenapa kamu belum tidur?" tanya Deva saat memasuki rumah. "Bagaimana aku bisa tidur? Depan rumah ramai sekali dan kamu belum pulang," kata Bela. "Oh, kamu tidak bisa tidur tanpa aku di sisimu, kan?" goda Deva. "Kamu, ya. Bagaimana kondisi korban?" tanya Bela. "Alhamdulillah stabil. Dan saya bisa meninggalkannya. Ayo, kita ke kamar! Saya mau mandi, lalu tidur," kata Deva. Keesokan harinya saat Deva sedang bekerja dan Bela kebetulan sedang tidak ada jadwal kuliah. Deva diminta ke rumah sakit karena korban ingin bertemu dengannya. Deva pun langsung dilarikan ke rumah sakit. Sudah ada polisi yang berjaga. Deva diminta masuk ke d
Keesokan harinya, Mike dan istrinya, Deva, serta Bela tiba di rumah sakit. Mereka tidak sabar menunggu hasilnya segera keluar. Setelah dokter menghampiri mereka, mereka duduk menunggu hasil. Tentu saja, mereka bisa membacanya sendiri. Namun karena keluarga Mike terlalu istimewa, hasil tes DNA dipandu oleh dokter. "Jadi bagaimana hasil tesnya, Dok?" tanya Mike. "Baik saya beritahukan hasil tes ini. Jadi Deva dan Pak Mike ada kecocokan DNA, artinya Deva memang anak kandung Pak Mike. Ditambah dengan kecocokan dengan istri Mike, artinya Deva adalah anak kandung kalian berdua," jelas dokter. Semua orang terkejut, bahkan Mike terdiam saat mengetahui bahwa Deva adalah anak kandungnya yang hilang. Selama 35 tahun ternyata mereka bisa bertemu. Deva bahkan tidak menyangka akhirnya bisa menemukan orang tuanya. "Jadi kamu anakku?" tanya istri Mike. Deva ragu tapi hasilnya memang menyatakan demikian. “Ya, memang Deva itu anak Bapak,” kata dokter. Deva pun berlutut di depan kedua or
Sepanjang perjalanan pulang, Bela masih terkejut karena Deva telah bertemu dengan orang tuanya. "Mengapa diam saja?" tanya Deva. "Tidak. Aku masih tidak percaya kamu akhirnya bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana perasaanmu?" balas Bela. "Wah, senang sekali. Saya juga lebih senang bertemu dengan mereka karena sudah punya istri," jawab Deva. Bela terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Deva merasa sangat senang dengan kehadirannya. "Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Deva. "Tidak apa-apa. Aku hanya kagum pada suamiku," jawab Bela. "Kenapa? Karena aku tampan, ya?" "Oh. Seberapa percaya diri kamu? Aku heran pria dewasa sepertimu bisa memiliki istri mungil yang cantik sepertiku," jawab Bela. “Ya, karena itu memang anugerah. Kamu seperti emas yang saya temukan di antara pasir di pantai,” kata Deva. "Kamu sangat pandai berima," kata Bela. “Aku bisa melakukan apa saja untukmu, sayangku,” kata Deva. Yang membuat Bela merasa melayang. Deva sangat senang bertemu
Bela melirik Mei. Tentu saja, jika ibu mertuanya mengetahui hal ini, itu akan membuatnya marah. "Waktu itu aku dan Bela berpacaran dengan teman sekelas kita, Bu. Tapi tidak mungkin karena Bela menikah dengan kakakku. Dan teman sekelas kita sudah mengenal Bela karena mereka teman SMA," jelas May . Berharap ibunya bisa menerima alasan itu. "Oh, saya pikir Bela benar-benar ada hubungan dengan teman sekelasmu ketika Bela dan Deva menikah," kata Bu Mike. Bela terdiam. Karena dia menyadari apa yang dikatakan ibu mertuanya itu benar tetapi dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Setelah melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah toko yang cukup besar dimana tersedia banyak perlengkapan bayi dan ibu. "Bela, kamu bisa memilih apapun yang kamu mau!" kata Bu Mike. "Ya, Bu," kata Bela. Bela meraih tangan May . "Kamu seharusnya tidak mengatakan apa yang buruk dariku di masa lalu! Aku malu. Aku sudah berubah." "Ya, saya mengerti dan saya tidak bermaksud demi
"Boleh, tidak baik bicara seperti itu! Alvin kesini mengajakmu berbuat baik. Ayah setuju kamu menikah di usia muda. Tidak melihat Bela, tapi Ayah akan mendukungmu jika itu baik untukmu. Ayah akan menjamin hidupmu. Alvin juga sudah berjanji akan membuatmu bahagia, May," kata Mike. "Ayah, tapi aku merasa tidak adil. Aku seperti dipaksa menikah. Aku tetap tidak mau menikah. Tapi kenapa semua orang di sini tidak mendukung keputusanku?" May kesal dengan keadaan itu. Dia ingin keluar rumah saja. Dia merasa tidak ada yang menghormati keputusannya untuk tidak menikah di usia muda. Bela bangkit dan memeluk May. "May, ayo bicara di dalam, ayo pergi!" undang dia. Dia kemudian membawa May ke dalam agar May merasa lebih tenang. Dia tahu dia berada di posisi itu karena dia pernah merasakannya. Namun untuk menjelaskan kepada May mungkin akan sedikit sulit karena dia baru menyadari indahnya pernikahan setelah beberapa bulan menikah. "Bela, apakah kamu mau mendukung mereka untuk aku me
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara