Jevano mengedarkan pandangannya, "ya gak baik aja buat reputasi saya kalau semua orang tau kamu adalah istri saya dan dekat-dekat dengan laki-laki lain."
"Tapi kan nyatanya gak ada yang tau kalau Aku istri kamu. Lagipula bukannya aku cuman istri di atas kertas? Kenapa harus kayak gini kalau pernikahan kita aja gak pernah kita inginkan?" tanya Anna, "kamu tenang aja. Aku gak akan pernah membiarkan media tau tentang pernikahan ini." Anna kembali keluar dari mobil Jevano. Laki-laki itu mengepalkan tangannya dengan wajah kesal. "Kamu harus buat dia bekerja di Perusahaan saya. Jangan pernah ada Perusahaan yang bisa menerima selain Perusahaan saya," pinta Jevano pada sekretaris sekaligus supirnya itu. Laki-laki itu hanya mengangguk mengiyakan. Setibanya di Perusahaan, Jevano langsung masuk ke ruangan kerjanya. Laki-laki itu menatap sinis wanita seksi yang kini duduk di sofa. "Ngapain kamu di ruangan saya?" tanyanya. Wanita itu berdiri di hadapan Jevano, sembari memainkan trik menyentuh dada bidang Jevano yang kini menunduk menatapnya. Jevano menggenggam erat tangan wanita itu, "saya emang menyukai kamu, tapi bukan berarti kamu bebas masuk ke ruangan saya gitu aja." "Mas kenapa sih? Biasanya lembut sama Aku, tadi juga malah ninggalin Aku di rumah sakit gitu aja," rajuk Elin, wanita seksi yang menjadi model 4 tahun lamanya di Perusahaan Jevano dan mulai memiliki kedekatan bahkan hubungan spesial dengan atasannya sendiri 1 tahun lalu. "Saya cuman gak suka kamu masuk gitu aja tanpa izin ke ruangan ini. Lebih baik kamu pulang kalau sudah tidak kerjaan, Saya lagi sibuk," ucap Jevano lalu meminta wanita itu untuk keluar dari ruangannya. Wanita seksi itu mengepalkan tangannya, "awas aja ya Mas!" ungkapnya dalam hati lalu pergi begitu saja. Sekretaris Jevano yang baru saja duduk di meja kerjanya itu bergidik ngeri melihatnya, "kok bisa Pak Jevano suka sama wanita begitu." Malamnya, Jevano baru saja pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya yang begitu banyak sekaligus pikirannya harus terbagi dengan kelakuan Anna yang tiba-tiba berubah menjadi acuh padanya. Padahal waktu pertama kali dirinya dibawa ke rumah Jevano, wanita itu nampak seperti wanita lemah yang bisa ditindas oleh Jevano kapan saja. Bi Ani menyapanya dengan bungkukan. "Anna kemana Bi?" tanya Jevano. "Mbak Anna daritadi belum pulang, Tuan," jawabnya membuat Jevano semakin kesal apalagi setelah mengingat sikap Anna tadi padanya. "Ya sudah Bi, saya mau naik dulu!" Bi Ani mengangguk mengiyakan. "Heran banget sama Tuan Jevano, kayanya gak peduli terus pernikahannya juga di atas kertas. Tapi kalau gak ada nanyain terus," ucapnya dalam hati lalu masuk ke kamar. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Anna baru saja kembali setelah menemui Ibunya di pemakaman yang cukup jauh dan dia tidak punya uang sama sekali untuk naik kendaraan umum hingga harus berjalan untuk sampai ke rumah Jevano. Jevano menatapnya sinis di ruang tengah, "abis darimana kamu?" tanyanya. "Peduli apa kamu Mas?" tanya Anna berdiri dengan kakinya yang sudah pucat karena kedinginan. Jevano beranjak, "saya peduli karena saya-" "Suami kamu, Anna." "Itu kan yang mau kamu bilang? Suami? Kamu bilang suami Mas?" cecar Anna dengan emosinya. "Mas sendiri yang bilang kalau kita hidup masing-masing aja. Walaupun serumah, pernikahan kita juga hanya di atas kertas bukan di dalam hati, Mas. Jadi gak usah dan gak perlu pedulikan Aku," sambung Anna lalu berlalu akan masuk ke kamarnya. Tangan Jevano dengan cepat menarik Anna masuk ke dalam kamarnya itu. Sontak Anna membuka matanya sempurna, ketika Jevano kini merungkuhnya di atas tempat tidur. "Mas kamu ini apa-apaan sih?" tanya Anna. "Kamu mau jadi istri saya seutuhnya?" tanya Jevano membuat Anna menautkan alisnya kebingungan. "HAH? Maksudnya?" tanya Anna. Jevano mendengus, "gak usah so polos Anna. Saya tau kamu mau jadi istri saya yang diakui semua orang bukan?" tanyanya. Anna mendorong tubuh kekar suaminya, "gila kamu Mas. Sejak kapan Aku berpikir kayak gitu? Gak sudi aku," ucapnya lalu beranjak dari tempat tidur dan pergi ke ruang tengah. Wanita itu mengatur napasnya, sedangkan Jevano hanya terkekeh pelan melihat wajah istrinya yang merona. "Kamu mulai menarik perhatian saya Anna," ungkap Jevano lalu keluar dari kamarnya. Anna mendelik melihat laki-laki itu keluar dari kamarnya lalu masuk ke kamar Jevano sendiri. "laki-laki sialan!" kutuk Anna sembari masuk ke kamarnya kembali. Anna melihat wajahnya yang masih merona pada cermin lemarinya. Hatinya tidak karuan dengan perlakuan Jevano tadi. Keduanya bahkan tidak bisa tidur malam ini. Jevano berguling kesana-kemari, masih terpikirkan wajah Anna yang begitu cantik bisa ia lihat dari dekat. "Udah gila gw, ini kenapa sih jadi mikirin dia? Mending gw tidur sekarang," gerutu Jevano lalu mulai memejamkan matanya. "Mas," panggil Anna dengan lembut sembari menangkup pipi Jevano. "Sayangku ayo bangun!" panggil Anna lagi. Jevano membuka matanya perlahan, ia tatap sang istri yang kini berbaring di sampingnya. "Kamu lagi ngapain di sini?" tanya Jevano dengan wajah terkejutnya. "Loh kok Mas malah tanya sih, kan Aku istri kamu Mas," jawab Anna. Anna membuka selimut yang menutupi tubuhnya itu. Jevano terdiam melihat tubuh seksi Anna yang terpampang nyata dengan lingerie yang pakainya. "Anna kamu-" "Mas, Anna ingin jadi istri Mas seutuhnya," ucap Anna. Jevano mendekatkan wajahnya pada Anna. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar hingga Jevamo terbangun dari mimpinya tadi. Jantungnya tidak karuan mengingat mimpi yang baru saja dialaminya. Laki-laki itu melirik jam dinding di kamarnya. "Tuan sudah bangun?" tanya Bi Ani. "Sudah Bi," jawab Jevano dengan napasnya yang terengah-engah. "Kenapa gw mimpiin dia? Kenapa cantik banget," gumam Jevano sembari menaruh tangannya pada dada yang berdegup kencang itu. Setelahnya dibanding mengurusi mimpi itu, Jevano memilih bersiap untuk pergi bekerja. Laki-laki itu turun setelah memakai setelan kemejanya. Terlihat Anna sudah menyiapkan sarapan untuknya dan Jevano di meja makan. Wanita itu memakai dress motif bunga dengan rambut yang ia gelung hingga terlihat semakin cantik. "Kamu mau kemana hari ini?" tanya Jevano sembari duduk pada kursi meja makannya. Anna menoleh pada Jevano. "Kalau saya gak boleh tau gak apa-apa," sambung Jevano. "Gak kemana-mana. Cuman mau jalan-jalan aja sekitar rumah ini sama Bi Ani," jawab Anna. "Sama saya aja, Yuk!" ajaknya membuat Anna mengangkat alisnya bingung. "Gak usah geer, Saya cuman mau kenal sama tetangga sekitar," sambung Jevano. "Katanya gak mau ketauan media. Bisa repot kalau ketauan udah punya istri kan? Kenapa sekarang mau nemenin jalan-jalan?" tanya Anna. Baru saja Jevano membuka mulutnya akan menjawab. "Mending gak usah deh! Aku gak mau repot ngurusinnya, belum lagi hujatannya, udah lah males," ucapku menolaknya."Yuk Bi!" ajak Anna menggandeng tangan Bi Ani keluar dari rumah. Jevano menghela napasnya sembari menikmati makanan yang disajikan sang istri. Pikirannya terus terbayang Anna saat di mimpinya tadi. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, lalu meraih jas abu-abu tua di kursi dengan tas kerjanya. Setelahnya, ia pergi mengendarai mobilnya. Seharian ini, Anna memilih untuk tidak bepergian kemana-mana, apalagi uangnya saja sudah tidak tersisa. "Mbak kemarin malam kemana?" tanya Bi Ani, "tuan sampe nungguin Mbak loh di ruang tengah." "Dia nungguin saya karena emang mau marahin saya, Bi. Saya kemarin dari makam Ibu saya, udah lama saya gak ke sana," jawab Anna diangguki paham oleh Bi Ani. Siangnya, Jevano kembali ke rumah. Dengan langkah gagahnya ia masuk ke rumah, celingukan mencari seseorang. Langkahnya berhenti di ruang tengah dimana Anna berada. Anna mendelik pada laki-la
"Kamu masih aja curiga sama Saya. Maunya kamu, saya gimana?" tanya Jevano sembari menikmati makan malamnya. "Mau Aku, kamu baik Mas," timpal Anna namun dalam hatinya. "Terserah maunya gimana," jawab Anna. Jevano hanya manggut-manggut sembari menikmati makan malamnya. Setelahnya meminta Anna untuk menyiapkan kopi tanpa gula dan diantarnya ke ruangan kerja. Sementara dirinya akan berganti pakaian lebih dulu di kamar. Anna dengan santainya masuk ke ruangan kerja. Ia taruh kopinya di atas meja kerja sang suami lalu menoleh pada majalah yang ada di meja kerja suaminya. "ini kan cewek yang Mas Jevano gandeng kemarin di rumah sakit," gumam Anna. Dengan rasa penasarannya, ia mulai membuka majalah pakaian itu. "Astaghfirullah!! Pacar Mas Jevano model kayak beginian? Kok bisa?" Anna masih sibuk dengan obrolannya di dalan hati. Wanita itu hanya tidak menyangka pada wanita yang kini dir
Anna menoleh lalu menjawab, "baik kok Mas. Keterima kerja juga, jadi besok udah bisa mulai kerja." "Wah selamat ya!" ungkapnya dengan senyuman. "Makasih Mas!" ungkap Anna membuat Arkan mengangguk lalu memintanya untuk menikmati kopi yang ia pesan. Cukup lama Anna mengobrol dengan Arkan ini, apalagi memang Arkan sedang ada waktu sebelum jadwal kerjanya dimulai. Siangnya, Anna mendapat pesan dari sang suami. Laki-laki itu meminta Anna untuk segera pulang dan menyerahkan berkas yang tertinggal di ruangan kerjanya pada Gio yang akan ke rumah. Anna bergegas pulang setelah berpamitan pada Arkan. Sekalipun wanita itu sebenarnya malas untuk segera pulang, tapi hatinya tetap saja tidak bisa menolak jika itu Jevano. Setibanya di rumah, Anna naik ke ruangan kerja suaminya. Ia cari berkas yang dikatakan sang suami itu. Beberapa waktu setelah mencarinya, Anna menemukan berkas dengan map biru yang berad
"Kamu pura-pura gak ngerti kan Mas?" tanya Anna. Jevano menghela napasnya, "anna, saya sama sekali gak mengerti tentang surat jaminan dan hal yang kamu sebutkan. Kamu tau sendiri kalau kita berdua hanya dijadikan korban atas orang tua kita, kenapa malah jadi nyalahin saya?" tukasnya. Anna mengangguk lalu keluar dari kamarnya. Ia pergi ke ruangan kerja sang suami, mengambil berkas yang ia baca kemarin lalu melemparkannya pada wajah sang suami. "Mas baca sendiri! Kalau kamu gak tau hal ini, kenapa berkasnya ada di ruangan kamu, Mas," pungkas Anna. Dengan wajah mengantuknya, Jevano membuka berkasnya itu. Ia baca setiap kalimat yang tertera sampai tandatangan sang ayah dan mertua yang sekaligus adalah orang bersangkutan dengan hutang dan jaminan yang disiapkan. "Anna, saya bener-bener gak tau tentang hal ini. Bahkan berkas ini juga saya gak tau ada di ruangan saya. Sepertinya ini terbawa dari rumah Ayah w
Gio menggaruk lehernya yang tidak gatal lalu menoleh pada beberapa rekan kerjanya. "lebih baik kita sudahi dulu meeting nya sampai di sini ya!" ucapnya diangguki oleh rekan-rekannya itu. Berikut Jevano yang memilih untuk masuk ke ruangannya, disusul Gio yang kini membawa banyak berkas untuk ditandatangani oleh atasannya. Jevano terperanjat, "apa-apaan ini? Kamu kenapa bawa banyak berkas seperti ini?" tanyanya. "Ya itu kan salah Bapak tadi gak dengerin meeting nya, jadi berkasnya Bapak baca sendiri aja nanti tinggal bicarain sama yang lain," ucap Gio langsung memilih pergi setelahnya dibanding harus kena marah Jevano yang sudah mengeluarkan tanduknya itu. Jevano menghela napasnya, namun ia sedikit lega juga karena Anna akan pulang malam hari ini. Di tengah-tengah pekerjaannya itu, Jevano mendapatkan sebuah pesan dari seseorang. Namun nampaknya itu bukan dari seseorang yang ia nantikan,
"Saya mau nonton bola dulu," ucap Jevano sembari melengos pergi ke ruang tengah. Anna menggerutu kesal sembari membersihkan udang yang baru saja dikeluarkan kulkas. Wanita itu mulai memasak nasi gorengnya hingga jarinya terkena wajan yang cukup panas. Ringisannya bahkan terdengar oleh Jevano hingga laki-laki itu berlari ke dapur menghampiri Anna. "Kamu bisa gak sih hati-hati!" omelnya sembari meniup tangan Anna yang mulai memerah. "Ya kan gak sengaja namanya juga Mas," timpal Anna. "Ya udah sini Mas obatin dulu! matiin dulu kompornya," ucap Jevano mematikan kompornya lalu membawa Anna untuk duduk pada kursi meja makan. Jevano membawa kotak p3k-nya, lalu duduk di kursi meja makan tepat di samping sang istri. Ia olesi salep sembari meniupnya perlahan agar Anna tidak terlalu meringis saat diobati. "Mas pelan-pelan ih perih!" protes An
"Katanya barusan gak mau balik lagi kan?" tanya Jevano diangguki oleh istrinya, "jadi gak usah kemana-mana kalau kamu gak mau balik. Di sini aja sama saya." "Jadi budak Mas?" tanya Anna. Jevano mendongakkan wajah ramping istrinya, "saya tanya sama kamu, emangnya selama 2 minggu ini kamu tinggal sama saya, saya jadikan kamu budak?" tanyanya. Anna menggelengkan kepalanya. "Jadi tidak usah pergi kemana-mana dan juga kamu tenang saja, selama kamu di pihak saya. Saya gak akan menyakiti kamu ataupun rela kamu disakiti," ucap Jevano lalu meraih jas abunya dan keluar dari kamarnya. Sedangkan Anna masih mencerna omongan suaminya. Pikiran dan hatinya benar-benar berpacu aneh pada sang suami. Apalagi ketika Jevano berucap menjamin keselamatan dirinya. Anna mengulas senyumannya lalu menyusul Jevano turun untuk sarapan bersama suaminya. "Kamu kerja bagian shift apa sekarang?" tanya Jevano. "Bagian pagi
Jevano menoleh pada istrinya, "saya mau putusin hubungan sama Elin." "Kenapa?" tanya Anna membuat Jevano menoleh padanya, "udah cinta sama saya? Sebulan juga belum loh Mas!" ledek Anna. "Anna lama-lama kamu kurang ajar ya! Harus saya berikan hukuman," ucap Jevano dengan tatapan lekatnya. Anna langsung melipat kedua tangannya di dada, "mas jangan kurang ajar ya!" Jevano terkekeh melihat wajah merah istrinya sekarang. Anna langsung masuk ke kamarnya karena gugup melihat tatapan suaminya. "Jevano udah gila." "Tapi dia beneran suka sama gw?" "Masa cuman 2 minggu udah bisa bikin luluh hatinya?" "Atau dia sengaja bikin gw baper biar bisa dimanfaatin?" "Iya pasti kayak gitu." Anna memilih untuk mengganti pakaiannya lalu beralih ke dapur untuk memasak sembari menunggu adzan Maghrib berkumandang. Tidak butuh waktu lama, masakannya sud
Guru itu memberikan bukti rekaman cctv hingga sang ibu terdiam, begitupun dengan Anna yang melihatnya. "Saya meminta ibu dan anak ibu untuk meminta maaf ada Rezkiano dan ibunya hanya untuk sekedar menyadari kesalahan bukan untuk menurunkan harga diri," ucap Gurunya. Ibu itu berdiri, "saya tidak sudi meminta maaf sama wanita miskin ini." "Tapi Bu-" "Saya tau Anna itu istrinya Jevano, tapi ibu guru tau tidak? kalau ayah wanita ini adalah pemabuk berat, bahkan sampai masuk penjara karena membunuh besannya sendiri," gelagar Ibu itu lalu pergi begitu saja dengan anaknya. Anna mengepalkan tangannya, menahan emosi. Sedangkan gurunya itu hanya terdiam menatap Anna yang sudah kesal dengan ibu dari teman anaknya itu. "Bu anna tidak apa-apa?" tanya gurunya. Alih-alih menjawabnya, Anna malah meringis sembari memegangi perutnya yang buncit. Sontak Rezkiano mulai menangis melihatnya. Guru itu langsung memanggil ambula
Keesokan paginya, ketukan cukup keras pada pintu kamar Jevano membuat keduanya terbangun. Jevano membuka pintunya setelah memakai kaosnya kembali, "kenapa sih Rezki?" Sang anak dengan tangisannya itu langsung memeluk kaki ayahnya, "ayah, Rezki takut!" "Takut kenapa?" tanya Jevano sembari berjongkok menghadap anaknya, "kamu pasti mimpi buruk ya?" Rezki mengangguk, ia menjelaskan bahwa ia bermimpi jika ayah dan ibunya pergi meninggalkannya seorang diri. Ia hidup dalam rumah megah itu tanpa sosok siapapun yang menemaninya hingga ada seseorang yang mencarinya, mengejarnya untuk membunuhnya seperti laki-laki itu membunuh ayah dan ibunya. Jevano membawanya pada pelukan, ia elus punggung sang anak agar tenang, "udah ya! itu kan cuman mimpi. Jadi gak ada hubungannya sama dunia nyata, ibu sama ayah juga gak bakal kemana-mana. Rezki tenang aja ya!" Dengan sesenggukan, anak itu mengangguk mengiyakan. Hari sudah mulai siang, Rezkiano j
Jevano membantu istrinya untuk berdiri lalu menggandeng nya untuk masuk ke rumah. Rezkiano yang melihatnya itu menangis lalu menyusul kedua orang tuanya masuk dengan buku gambar dan alat gambar lainnya. Laki-laki itu berbisik pada istrinya, "tuh kan apa yang Mas bilang. Dia bakal ikut masuk kalau kamu masuk," ucapnya. Anna hanya mengangguk sembari mengangkat ibu jarinya pada sang suami. "Ibu....." rengek Rezkiano sembari menangis menghampiri ibunya yang baru saja duduk pada sofa ruang tengah. Sedangkan Jevano pergi masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Anna mengusak rambut anaknya, tidak lupa mengusap sisa air mata anaknya itu, "kan tadi kata Ibu apa. Rezki gak nurut sih." "Maaf Ibu!" ungkapnya lalu memeluk Anna dengan eratnya. Anna mengulas senyuman, "udah.... Sekarang mending kamu mandi, nanti Ibu siapin baju tidurnya terus kita makan malam sama ayah." Rezkiano menggelengkan kepalanya, "Rezki gak mau makan sama ayah. Nan
Gio mengangguk, "ini hasilnya, Pak. Bisa bapak lihat," jawabnya sembari menunjukkan data pada tab-nya. Jevano mengerutkan keningnya fokus, ia melihat beberapa kejanggalan pada laporannya. "Ini kenapa bisa begini?" tanya Jevano menoleh kembali pada sekretarisnya, "waktu saya kemarin gak ke perusahaan ada yang terjadi atau ada yang mencurigakan gak? Kok kamu baru bilang sekarang?" Gio begitu gugup mendengarnya, apalagi sang atasan sudah nampak kesal dengan wajah kesalnya. "Sudah selidiki siapa yang buat data jadi berantakan kayak begini?" tanya Jevano. "Saya belum tau, Pak. Saya baru aja dapat laporan ini dari butik kemarin karena saya minta, terus laporan data dari pihak pemasaran juga baru 2 hari lalu," jawab Gio. Jevano mengangguk sembari memahami datanya, berhubung memang masih merasa janggal, laki-laki itu meminta sekretarisnya untuk mengadakan rapat dengan beberapa karyawannya. Hari sudah mulai siang, Jevano m
"Mau main apa emangnya?" tanya Jevano sembari turun dari tangganya. Anak laki-laki itu tersenyum pada ayahnya lalu menghampirinya sembari membawa bola untuk mengajak sang ayah bermain bola di halaman depan. "Masih panas Sayang. Masa mau main bola," ucap Anna menahan anaknya. Rezkiano menekuk wajahnya, memasang wajah memelas pada sang ayah. Jevano tersenyum lalu menoleh pada sang istri, "udahlah gak apa-apa, Sayang. Biarin aja, mumpung Mas juga ada di rumah, kan biasanya gak bisa main sama sekali sama dia." Jevano mengusak rambut anaknya, memintanya untuk membawa topi miliknya agar tidak terlalu kepanasan. Sehabis itu, keduanya pergi ke depan disusul oleh Anna yang membawa cemilan manis yang dibelikan suaminya beberapa hari lalu. Tidak lupa meminta Bi Ani untuk membawakan minum juga untuk suami dan anaknya nanti. Rezkiano terlihat begitu senang, memang Jevano jarang bermain dengan anaknya karena pekerjaan yang cukup padat ap
Kali ini, Jevano yang melahap bubur buatannya. Tapi ekspresinya berubah setelah menelannya, "kok rasanya beda ya? Apa yang kurang?" tanyanya beruntun, "rasanya beda sama buatan kamu." Anna mengulas senyumannya, "mas ini enak kok. Kenapa beda karena beda tangan pasti beda rasa walaupun resepnya sama." "Emang kayak gitu ngaruh ya Sayang?" tanya Jevano. Anna mengangguk, "awalnya Anna juga gak percaya, tapi kata Ibu, mau bagaimanapun nikmatnya masakan di luar tidak akan sama dengan masakan yang kamu suka dari orang yang kamu suka juga. Terus masakan itu akan beda rasanya ketika dimasak oleh orang lain," jelasnya membuat Anna mengangguk. Wanita itu menghadap pada suaminya, "mas tau gak? Satu hal yang buat Anna selalu inget sama kata-kata ibu dan bertekad buat jadi istri yang selalu memasak untuk suami dan anaknya." "Apa kata Ibu kamu?" tanyanya. "Kata Ibu, mau makan di restoran mahal pun masakan istri akan selalu membuat rindu s
Jevano mengulas senyumnya pada sang istri yang menghampiri. Tangannya sibuk mencari bahan masakan yang sudah berserakan di dekat kompor. Anna berdiri di samping laki-laki gagahnya itu, ia tatap wajah suaminya dengan senyuman. Jevano terlihat begitu sangat tampan ketika fokus, apalagi saat masak, bahunya terlihat lebih tampan dibanding wajahnya. Anna beralih memeluk suaminya dari belakang, sontak Jevano terkekeh pelan ketika tangan mungil istrinya melingkar begitu saja. "Sayang, nanti kecipratan air panasnya loh!" tegur Jevano. Anna sedikit melirik suaminya, "abisnya Mas ditanya gak jawab." Jevano terkekeh, "mas cuman lagi fokus aja takut ada yang kelewat." "Emang Mas lagi bikin apa sih?" tanya Anna lagi, "sampe dapur jadi berantakan begini." Jevano terkekeh, ia lepaskan tangan mungil sang istri lalu memintanya untuk berdiri di samping. Matanya menunjuk buku catatan dengan sebuah resep bubur yang sangat ia sukai.
Anna terkekeh mendengarnya, "ah gak ada yang spesial Bu. Cuman rasa sayang aja." "Ah bisa aja. Tapi kalian emang serasi sih, keliatan banget saling sayangnya," ucap ibunya lagi membuat Anna tersenyum lalu mengangguk dengan rasa syukurnya. Rezkiano masuk ke kelasnya, sedangkan Anna bergabung dengan Ibu-ibu yang lainnya. "Bu Anna ini lagi hamil lagi ya?" tanya salah satu ibunya. Anna mengangguk, "iya Bu." Anna mengobrol cukup lama dengan ibu-ibu yang lainnya, tentang kehamilan dan pertumbuhan anak. Apalagi Anna disini terhitung paling muda karena baru memiliki Rezkiano sebagai anak terbesarnya. Sedangkan Ibu yang lain sudah memiliki anak yang lebih besar dibanding sebaya Rezkiano. Begitupun dengan Ibu yang duduk di samping Anna sekarang. Wanita itu sudah termasuk paru baya bahkan hampir sebaya dengan ibu anna. Setelah mengobrol cukup lama, Rezkiano keluar dengan wajah kesalnya, membuat Anna yang melihatnya itu heran
Jevano mengangguk, tapi ekspresi anaknya itu terlihat kebingungan. "Terus mayatnya diapain nanti Ayah?" tanya Rezkiano lagi. "Ditanya sama Malaikat," jawab Jevano membuat Anna terkekeh.Jevano menoleh pada istrinya, "kenapa?" "Ya kamu jawabnya langsung ditanya sama Malaikat, dia mana ngerti. Maksudnya Rezki itu kalau abis dibakar nanti mayatnya digimanain," jelas Anna. Jevano mengangguk paham sembari cengengesan, "nanti abunya ada yang disimpan, ada juga yang ditabur ke laut." Rezkiano memang anak yang cukup pintar, sekalipun dirinya masih ingin bertanya-tanya tentang hal itu. Namun Jevano sudah tidak ingin menjelaskannya lagi pada sang anak, hingga laki-laki itu memilih untuk mengajak anaknya memasak makan siang bersama. Jujur saja mungkin ini memang kematian mertuanya, harusnya ia berkabung dengan istrinya yang kini beristirahat di kamar. Tapi rasanya ia sudah tidak ingin sedih lagi, sudah cukup ia kehilangan aya