"Kamu nggak suka sama Dylan, kan? Terus, kenapa kamu mau menikah dengannya? Kalau hanya ingin Dylan bertanggung jawab... kalian tidak perlu sampai menikah." Pertanyaan Tante Mala membuatku terkejut. Nada suaranya terdengar keras, menunjukkan keraguannya pada hubungan kami.
Lho, kok Tante Mala bicara begitu? Apa ini berarti dia tidak merestui kami? Rasa sedih seketika memenuhi hatiku, membuat dadaku sesak. "Kok diam? Apa susah, ya, buat jawab? Atau kamu sedang mencari ide?" Tante Mala bertanya lagi, suaranya terdengar sedikit sinis. Aku memberanikan diri untuk menatap matanya sebentar, tatapannya penuh curiga. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba sikapnya menjadi aneh? "Tante... Pak Dylan itu pria yang sempurna. Tidak ada perempuan yang tidak menyukainya, begitu pun denganku." Aku mencoba menjawab, mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Jujur saja, aku bahkan menyukai Pak Dylan sejak pandangan pertama. Tapi aku sendiri yanAku terperanjat. Apa maksudnya ini? Setelah semua perselingkuhannya, semua janji-janjinya yang diingkari, semua rasa sakit yang telah dia berikan... Dia, dengan seenaknya, berani mengatakan tidak ingin bercerai? Benarkah dia masih waras? Atau ini hanya akal bulus lainnya?"Bre*ngsek! Berani-beraninya kau memeluk calon istriku!" Suara bariton Pak Dylan menggelegar, menghantam gendang telingaku. Bayangan tubuh besarnya memenuhi pintu yang baru saja terbuka. Wajahnya merah padam, tatapan matanya penuh amarah yang membara. Tanpa ampun, dia menyergap Mas Agus, menariknya paksa dari pelukanku, lalu melayangkan tinju yang tepat mengenai rahangnya.Bugh!Suara keras itu menggema di ruangan, disusul teriakan terkejut dari beberapa orang yang hadir."Astaghfirullah! Apa yang Bapak lakukan?" Pengacara Mas Agus segera berdiri, menghalangi Pak Dylan yang tampak siap menghajar Mas Agus lagi. Sementara Mas Agus, dia hanya diam tak bergeming.
(POV Agus) Aku menepikan mobil di teras rumah Mama. Langkahku berat, gontai, saat turun dari mobil. Mama sudah menunggu di teras, wajahnya penuh harap dan cemas. Aku bisa merasakannya. "Bagaimana, Gus? Kamu sudah membujuk Laura, kan?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku segera duduk di kursi plastik, menyeka keringat yang membasahi dahi. Kecewa dan lelah terasa sekali. "Sudah, Ma. Tapi Laura tidak mau." Kalimat itu terasa pahit di lidahku. "Jadi tadi saat mediasi... Laura tetap ingin bercerai?" Mama bertanya lagi, suaranya terdengar lebih pelan, seakan takut jawabannya akan menghancurkan harapannya. "Iya." Aku mengangguk lesu, rasa kecewa memenuhi hatiku. Aku sangat kecewa pada Laura karena menolak tawaranku, dan yang lebih membuatku jengkel adalah kehadiran Dylan di sana. Bayangan wajah Dylan terus menghantuiku. Di mana ada Laura, di situ pasti ada dia. Pria itu seperti pen
Aku terkejut mendengar usulan dari Mama. Tak pernah menyangka dia akan mengusulkan hal yang sama seperti yang pernah dia katakan dulu tentang Qiara.Ingatan tentang hari itu kembali menyeruak—Mama yang tanpa ampun menyarankan untuk membuang Qiara ke panti asuhan karena penyakit jantungnya. Tapi Laura, dengan segala kebodohannya menolak. Dia merawat Qiara, meskipun aku, dalam hatiku yang terdalam, menganggap Qiara sebagai aib, beban yang merusak citra kesempurnaan hidupku.Sekarang Rifky, anak laki-lakiku lahir dengan kekurangan. Dia terlahir tanpa satu tangan di sebelah kiri, cacat lahir.Seolah Tuhan sedang memainkan lelucon yang buruk padaku. Kemiripan nasib Qiara dan Rifky sungguh menyakitkan. Keduanya, sejak lahir, sudah membawa beban.Padahal, sebelum kelahiran mereka, baik Laura maupun Melisa, keduanya rutin melakukan pemeriksaan kehamilan dan USG yang menunjukkan hasil sempurna. Tapi mengapa setelah lahir, ini yang terjadi? Apa yang salah? Mengapa semua tes menyatakan mer
"Sebetulnya... Pak Dylan nggak wajib bertanggung jawab sih, Ra. Tapi karena memang dasarnya dia sudah suka sama kamu... jadi dia mau bertanggung jawab."Kata-kata Kimmy menggantung di udara, menusuk telingaku seperti jarum. Dahiku berkerut heran.Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Aku hamil anak Pak Dylan, bukan anak orang lain. Bukankah itu sudah menjadi kewajibannya secara moral, bahkan hukum? Logika sederhana itu seakan hilang ditelan pernyataan Kimmy yang begitu mengejutkan."Jadi maksudmu, kalau Pak Dylan tidak suka padaku... dia nggak akan bertanggung jawab, gitu?" tanyaku masih bingung."Iyalah, Ra." Kimmy mengangguk cepat, gerakannya tanpa ragu. "Meskipun memang itu anaknya... tapi dia tetap nggak ada kewajiban bertanggung jawab. Karena hubunganmu dan dia hanya sekedar jual beli saja. Itulah sebabnya aku mengingatkan pentingnya memakai pengaman, ya supaya nggak kebobolan seperti ini." "Pak Dylan pakai pengaman kok, Kim, seti
"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal
"Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les
Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln
"Sebetulnya... Pak Dylan nggak wajib bertanggung jawab sih, Ra. Tapi karena memang dasarnya dia sudah suka sama kamu... jadi dia mau bertanggung jawab."Kata-kata Kimmy menggantung di udara, menusuk telingaku seperti jarum. Dahiku berkerut heran.Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Aku hamil anak Pak Dylan, bukan anak orang lain. Bukankah itu sudah menjadi kewajibannya secara moral, bahkan hukum? Logika sederhana itu seakan hilang ditelan pernyataan Kimmy yang begitu mengejutkan."Jadi maksudmu, kalau Pak Dylan tidak suka padaku... dia nggak akan bertanggung jawab, gitu?" tanyaku masih bingung."Iyalah, Ra." Kimmy mengangguk cepat, gerakannya tanpa ragu. "Meskipun memang itu anaknya... tapi dia tetap nggak ada kewajiban bertanggung jawab. Karena hubunganmu dan dia hanya sekedar jual beli saja. Itulah sebabnya aku mengingatkan pentingnya memakai pengaman, ya supaya nggak kebobolan seperti ini." "Pak Dylan pakai pengaman kok, Kim, seti
Aku terkejut mendengar usulan dari Mama. Tak pernah menyangka dia akan mengusulkan hal yang sama seperti yang pernah dia katakan dulu tentang Qiara.Ingatan tentang hari itu kembali menyeruak—Mama yang tanpa ampun menyarankan untuk membuang Qiara ke panti asuhan karena penyakit jantungnya. Tapi Laura, dengan segala kebodohannya menolak. Dia merawat Qiara, meskipun aku, dalam hatiku yang terdalam, menganggap Qiara sebagai aib, beban yang merusak citra kesempurnaan hidupku.Sekarang Rifky, anak laki-lakiku lahir dengan kekurangan. Dia terlahir tanpa satu tangan di sebelah kiri, cacat lahir.Seolah Tuhan sedang memainkan lelucon yang buruk padaku. Kemiripan nasib Qiara dan Rifky sungguh menyakitkan. Keduanya, sejak lahir, sudah membawa beban.Padahal, sebelum kelahiran mereka, baik Laura maupun Melisa, keduanya rutin melakukan pemeriksaan kehamilan dan USG yang menunjukkan hasil sempurna. Tapi mengapa setelah lahir, ini yang terjadi? Apa yang salah? Mengapa semua tes menyatakan mer
(POV Agus) Aku menepikan mobil di teras rumah Mama. Langkahku berat, gontai, saat turun dari mobil. Mama sudah menunggu di teras, wajahnya penuh harap dan cemas. Aku bisa merasakannya. "Bagaimana, Gus? Kamu sudah membujuk Laura, kan?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku segera duduk di kursi plastik, menyeka keringat yang membasahi dahi. Kecewa dan lelah terasa sekali. "Sudah, Ma. Tapi Laura tidak mau." Kalimat itu terasa pahit di lidahku. "Jadi tadi saat mediasi... Laura tetap ingin bercerai?" Mama bertanya lagi, suaranya terdengar lebih pelan, seakan takut jawabannya akan menghancurkan harapannya. "Iya." Aku mengangguk lesu, rasa kecewa memenuhi hatiku. Aku sangat kecewa pada Laura karena menolak tawaranku, dan yang lebih membuatku jengkel adalah kehadiran Dylan di sana. Bayangan wajah Dylan terus menghantuiku. Di mana ada Laura, di situ pasti ada dia. Pria itu seperti pen
Aku terperanjat. Apa maksudnya ini? Setelah semua perselingkuhannya, semua janji-janjinya yang diingkari, semua rasa sakit yang telah dia berikan... Dia, dengan seenaknya, berani mengatakan tidak ingin bercerai? Benarkah dia masih waras? Atau ini hanya akal bulus lainnya?"Bre*ngsek! Berani-beraninya kau memeluk calon istriku!" Suara bariton Pak Dylan menggelegar, menghantam gendang telingaku. Bayangan tubuh besarnya memenuhi pintu yang baru saja terbuka. Wajahnya merah padam, tatapan matanya penuh amarah yang membara. Tanpa ampun, dia menyergap Mas Agus, menariknya paksa dari pelukanku, lalu melayangkan tinju yang tepat mengenai rahangnya.Bugh!Suara keras itu menggema di ruangan, disusul teriakan terkejut dari beberapa orang yang hadir."Astaghfirullah! Apa yang Bapak lakukan?" Pengacara Mas Agus segera berdiri, menghalangi Pak Dylan yang tampak siap menghajar Mas Agus lagi. Sementara Mas Agus, dia hanya diam tak bergeming.
"Kamu nggak suka sama Dylan, kan? Terus, kenapa kamu mau menikah dengannya? Kalau hanya ingin Dylan bertanggung jawab... kalian tidak perlu sampai menikah." Pertanyaan Tante Mala membuatku terkejut. Nada suaranya terdengar keras, menunjukkan keraguannya pada hubungan kami. Lho, kok Tante Mala bicara begitu? Apa ini berarti dia tidak merestui kami? Rasa sedih seketika memenuhi hatiku, membuat dadaku sesak. "Kok diam? Apa susah, ya, buat jawab? Atau kamu sedang mencari ide?" Tante Mala bertanya lagi, suaranya terdengar sedikit sinis. Aku memberanikan diri untuk menatap matanya sebentar, tatapannya penuh curiga. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba sikapnya menjadi aneh? "Tante... Pak Dylan itu pria yang sempurna. Tidak ada perempuan yang tidak menyukainya, begitu pun denganku." Aku mencoba menjawab, mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Jujur saja, aku bahkan menyukai Pak Dylan sejak pandangan pertama. Tapi aku sendiri yan
"Baiklah. Mommy akan merestui kalian berdua, tapi ada syaratnya," kataku akhirnya, suara sedikit bergetar menahan emosi yang bercampur aduk di dada. Dylan mengerutkan dahi, tampak bingung."Kok pakai syarat segala, Mom? Apa syaratnya?" Suara Dylan terdengar sedikit tinggi, menunjukkan rasa frustrasinya."Mommy akan merestui kalian asalkan bayi yang dikandung Laura terbukti darah dagingmu." Aku menatapnya lekat-lekat, ingin memastikan dia mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku."Terbukti?? Apa ini berarti Mommy ingin aku melakukan tes DNA?" Matanya melebar, seolah tak percaya."Benar." Aku mengangguk perlahan."Memangnya bisa, masih di dalam perut melakukan tes DNA?" Dia tampak berpikir keras, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengar."Bisa, tapi itu cukup beresiko. Ada kemungkinan membahayakan Laura dan bayinya. Lebih baik kita lakukan tes DNA-nya nanti saja setelah dia lahir ke dunia." Aku menjelaskan denga
"Sebentar... aku akan minta Bibi buatkan Mommy teh hijau tanpa gula dulu, biar kita enak mengobrolnya." Dylan bergegas melangkah menjauh menuju dapur. Sikapnya yang tiba-tiba begitu manis membuatku curiga. Ada sesuatu yang disembunyikannya, aku yakin itu. Teh hijau itu tersaji di meja, hangat dan harum. Namun, aroma teh itu tak mampu menenangkan kegelisahanku. "Jadi, ada apa, Lan?" tanyaku, suaraku berusaha terdengar tenang, padahal rasa penasaranku sudah membuncah. "Pasti ada sesuatu, kan?" "Aku ke sini mau meminta restu, Mom," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. "Restu? Restu apa?" Dahiku berkerut. Aku benar-benar tak mengerti maksudnya. "Aku mau menikahi Laura, Mom." Kalimat itu seperti pukulan telak di dadaku. Menikah? Lho ... kenapa dengan Laura? Bukan dengan Inez? "Apa?! Menikah dengan Laura?!" suaraku meninggi, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dylan mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri, namun di matanya, aku melihat ada kecemasan. "Setelah Lau
"Bapak nggak perlu ikut campur! Aku ingin bicara serius dengan Laura!" bentak Mas Agus, mencoba mendekat, ingin meraih tanganku. Pak Dylan sigap menghalanginya. "Tidak akan kubiarkan kau bicara dengannya!" tegas Pak Dylan, suaranya bergetar menahan amarah, posesif dan melindungi. Ada aura kepemilikan yang kuat terpancar darinya. "Tolonglah, Pak… jangan cari ribut. Aku baru saja mengalami kecelakaan, aku malas berdebat. Biarkan aku bicara dengan Laura. Ini sangat penting," Mas Agus memohon, nada suaranya terdengar lebih rendah, egonya seolah sirna. Ini Mas Agus yang berbeda, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Namun, sorot matanya… ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan memohonnya. Ada kecemasan yang tersirat. "Aku tidak peduli! Mau kau habis kecelakaan… atau mati sekalipun!" Pak Dylan membentak, suaranya menggelegar, menunjukkan kemarahan yang tak terbendung. Dengan gerakan cepat dan pasti, dia menarikku masuk ke dalam mobil, mendudukkan Qiara di pan
"Kamu ingat itu 'kan, Ra?" Pak Dylan memastikan, tatapannya penuh pertanyaan. "Aku ingat, Pak. Tapi terakhir kali berhubungan badan... aku hanya sama Bapak, kemarin-kemarin juga, kan? Kalau bukan Bapak, siapa lagi? Nggak mungkin jin. Masa iya aku hamil anak jin?" "Enggak, Ra. Itu nggak mungkin!" Pak Dylan tegas, wajahnya terlihat ketakutan, tatapannya penuh kekhawatiran. "Kamu nggak mungkin hamil anak jin, anakmu manusia dan akan sesempurna seperti Qiara." "Terus?" Aku jadi ikut bingung. "Kita nggak perlu permasalahkan soal itu, yang terpenting... aku di sini yang akan bertanggung jawab." "Bertanggung jawab gimana, Pak?" Dahiku berkerut, bingung. Apa maksudnya? Apa dia mau menikahiku? Ah, jangan mimpi. Pak Dylan ragu akan anak ini, tidak mungkin dia mau menikah denganku. "Tentu saja untuk menikahimu." "E-ehhh... serius, Pak?" Mataku membulat tak percaya. Benarkah? Ini... mimpi? A