"Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan.
"Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng lesu. "Aku nggak punya, Kim. Sebenarnya ... aku sudah urus dari awal Qiara didiagnosa, tapi sampai sekarang belum ada kabar. Sementara Qiara harus segera dioperasi." "Agak sulit juga, ya? Apalagi biayanya gede ...." Kimmy terdiam sejenak, tampak sedang memikirkan sesuatu. "Aku mohon, Kim. Tolong pinjami aku uang. Sebagai gantinya, aku mau jadi pembantu di rumahmu tanpa dibayar. Aku bisa mencuci, menyetrika, masak, apa saja." Aku memohon dengan suara bergetar, air mataku tak terasa mengalir membasahi pipi. "Aku lagi nggak butuh pembantu, Ra. Tapi kalau kamu mau... kamu bisa bekerja denganku," kata Kimmy, suaranya terdengar agak ragu. "Kerja denganmu?" Dahiku berkerut, kebingungan. Apakah ini maksudnya mengajakku menjadi LC? "Kamu mau mengajakku jadi LC, gitu? Tapi aku nggak bisa nyanyi, badanku juga nggak bagus," jawabku, merasa tidak percaya diri. Lagipula, aku sama sekali tidak tertarik menjadi LC. "Bukan jadi LC, Ra. Aku juga sekarang udah berhenti kerja itu. Ini lebih menjanjikan, duitnya jauh lebih banyak," Kimmy menjelaskan dengan nada penuh keyakinan. "Terus, kerja apa?" tanyaku penasaran, tetapi juga sedikit was-was. Kimmy mendekat, berbisik di telingaku, "Ngelo*nte." Mataku membulat sempurna. "Ngelo*nte??" Mulutku menganga tak percaya. "Maksudmu... aku jual diri?" "Iya," Kimmy mengangguk mantap, tanpa sedikitpun keraguan. "Kebetulan aku punya rumah bordir, dan aku lah Maminya." "Mami?" Bibirku bergetar. Jangan bilang... Kimmy adalah ger*mo? Ger*mo dari pekerja s*eks komersial? Bulu kudukku langsung berdiri, aku merinding ketakutan. Tapi, bukankah Kimmy ini seumuran denganku? Aku baru menginjak 26 tahun. Rasanya terlalu muda, untuk menjadi germo diumur segitu yang rata-rata wanita setengah baya. "Iya. Kebetulan aku masih butuh banyak anak didik. Dan sepertinya... kamu cocok, jadi anak didikku," kata Kimmy, tatapannya intens, memeriksa tubuhku dari ujung kaki hingga kepala. Tatapan itu membuatku bergidik. "Kamu gila, ya, Kim? Itu 'kan pekerjaan haram. Aku nggak mau!" Aku menggeleng keras, menolak mentah-mentah tawarannya. Suaraku bergetar, menunjukkan betapa takutnya aku. "Kalau kamu menolak, ya sudah. Berarti aku nggak bisa menolongmu," sahut Kimmy. Suaranya tiba-tiba berubah menjadi dingin, begitu pun dengan raut wajahnya. Dia kembali menatap ke depan, fokus menyetir. Tatapannya datar, menunjukkan betapa tegasnya pendiriannya. "Apa nggak ada tawaran lain, selain... jual diri?" tanyaku lirih. Aku bingung, sedih, dan putus asa. Kalau Kimmy menolak, lalu kepada siapa lagi aku bisa meminta bantuan? "Bagaimana kalau aku jadi asistenmu saja, Kim? Aku yang mendandanimu, menyiapkan semua keperluanmu. Aku bisa kok," aku menawarkan alternatif lain, meski dalam hati aku ragu. Aku sama sekali tidak pandai berdandan. Kimmy menggeleng pelan, suaranya lembut namun tetap tegas. "Maaf, Ra, aku nggak bisa. Aku tau kamu lagi kesulitan, butuh uang. Tapi kamu juga harus sadar... mencari uang di zaman sekarang itu susah, apalagi dengan jumlah nominal yang banyak." Kimmy benar. Tapi, apakah aku harus sampai menjual diri? Demi biaya pengobatan anakku? * * "Karena Ibu sudah membayar semua biaya administrasi, operasi Qiara bisa dimulai sekarang," kata Dokter. Kalimat itu, bagai embun di padang pasir yang gersang, menyejukkan hatiku yang kering kerontang karena cemas. Setelah bergulat dengan pikiran dan hati yang beradu, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Kimmy. Aku tahu, jalan ini berliku dan penuh duri. Tapi, tak ada pilihan lain. Waktu terus berlalu, dan aku tak punya waktu untuk ragu lagi. "Lakukan yang terbaik, Dok. Aku mohon ... sembuhkan Qiara," ucapku, suaraku bergetar menahan tangis. Harapanku, seutuhnya kuserahkan pada Dokter itu. Pria berkacamata itu mengangguk, sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya di balik masker. "Saya akan melakukan yang terbaik, Bu. Doa Ibu adalah kekuatan terbesar bagi Qiara. Kalau begitu, saya permisi." Salah seorang perawat membukakan pintu untuk Dokter. Langkahnya terasa begitu berat bagiku. "Sus ... setelah operasinya selesai, tolong hubungi aku, ya? Aku mau pergi dulu soalnya. Ada urusan penting." Aku dan Kimmy sudah sepakat, jika dia telah memberikanku uang untuk melunasi biaya operasi, aku harus mau bertemu dengannya di hotel. Dia mengatakan aku langsung menjual diri dihari ini juga. Tubuhku rasanya sudah bergetar semua, saat membayangkannya. Perutku pun menjadi terasa mulas, ingin buang hajat. "Baik, Bu." Suster itu mengangguk, lalu masuk ke dalam ruang operasi. Sebelum meninggalkan rumah sakit, aku berniat pergi ke toilet dulu, untuk menghilangkan rasa tidak enak di perutku. Namun, langkah kakiku seketika terhenti. Tepat di depan toilet pria, bersebelahan dengan toilet wanita, aku melihat seorang pria berjas biru navy duduk di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Isak tangisnya terdengar samar, memecah kesunyian lorong rumah sakit. Jarang sekali aku melihat seorang pria dewasa menangis seperti ini. Pasti ada sesuatu yang sangat berat tengah dialaminya. "Aku gagal! Aku benar-benar gagal!!" Teriaknya tiba-tiba, suaranya pecah, membuatku tersentak kaget. Dengan ragu, aku mengulurkan tangan, menawarkan sapu tangan yang kuambil dari dalam tas. Sebenarnya, itu sapu tangan bekas ku pakai mengelap ingus pagi tadi, tapi sepertinya sudah kering. Mungkin tidak apa-apa, aku berpikir. Aku tidak tega melihatnya terus menangis seperti itu. Aku pernah merasakan keputusasaan yang sama, meskipun aku tidak tahu apa yang sedang dia alami. "Pak, ambil ini... dan cobalah untuk kuat," kataku lirih, suaraku gemetar. Aku berusaha menenangkannya, meski jantungku sendiri berdebar kencang.Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln
Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep
"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem
"Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m
"Bunda angkat telepon dulu sebentar ya, Sayang. Nanti kita sarapan bareng," ucapku. Kudengar Qiara menyahut, tapi suaranya samar jadi aku tidak jelas mendengarnya."Hallo, Kim.""Ada di mana kamu?""Rumah sakit.""Nanti sore datang ke salon, ya. Kita ketemuan di sana.""Salon? Mau ngapain, Kim?" Aku bertanya bingung."Semalam kamu 'kan udah libur, jadi malam ini kamu harus kerja. Sudah ada pria yang udah booking kamu malam ini.""Kerja? Tapi Qiara baru aja siuman, Kim." Mana mungkin aku meninggalkan Qiara seorang diri di rumah sakit, sementara aku bersenang-senang dengan seorang pria. Aku juga khawatir Qiara akan menangis mencariku."Baguslah kalau sudah siuman. Tandanya operasinya lancar.""Operasinya memang lancar, tapi Qiara masih butuh perawatan. Dan tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri, aku tidak tega. Takut Qiara nangis juga.""Titipkan pada saudaramu saja, Ra. Pasti mereka datang me
"Dia kecelakaan. Sekarang di rumah sakit." Aku terkejut. "Innalillahi ...." "Dia belum meninggal, Ra. Hanya kecelakaan, tabrakan mobil." "Innalillahi bukan hanya untuk orang meninggal, Kim. Aku hanya kaget." "Oh, gitu. Ya sudah, pulang saja sekarang, Ra. Bookingan Pak Jordi diundur sampai dia sembuh. Kita tunggu kabar darinya.""Iya. Ya sudah, aku pulang sekarang. Kamu tunggu aku dulu, ya, jangan tinggalkan Qiara." Qiara... anakku.Sebelum berangkat, aku ingat dia sudah tertidur. Tapi dia sering terbangun minta minum. Aku khawatir kalau dia sendirian dan dia kesulitan untuk mengambil air minum. "Iya, tenang saja. Aku pulang kalau kamu sudah sampai. Naik ojek saja, biar cepat.""Oke." Aku menutup panggilan, membayar tagihan, lalu melangkah keluar restoran. Aplikasi ojek online kubuka, mencari driver yang tersedia. "Nona, kamu mau ke mana?" Suara seseorang yang b
Mentari pagi menyelinap masuk dicelah jendela hotel, menyingkapkan hari baru. Perutku terasa berat, dan saat kulihat, ternyata ada lengan Pak Dylan yang melingkari pinggangku. Dia masih tertidur pulas, suara dengkurannya terdengar samar ditelinga.Senyumku mengembang. Semalam... kenangannya masih terasa begitu nyata. Berbeda dengan awal pertama kita melakukan, karena kali ini dia lah yang memimpin permainan dan sama sekali tak meminta untuk aku di atas. Tiga kali kami merasakan kenikmatan itu. Namun, tubuhku tetap remuk, lemas tak berdaya. "Kamu sudah bangun?" Suara serak dan sedikit parau Pak Dylan membuyarkan lamunanku. "Iya, Pak. Selamat pagi. Bapak tidur nyenyak sekali." "Kamu juga." Sentuhan lembutnya di tanganku, menggenggam erat. "Laura, boleh aku tanya sesuatu?""Katakan saja, Pak.""Seandainya kamu memiliki pasangan... Tapi pasanganmu berselingkuh, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaannya membuatku mengernyit
"Mommy serius tau, Lan!" suara Mommy meninggi, nada kesalnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, jari-jari tangannya mengepal. "Mommy 'kan pernah jadi ibu, jadi Mommy tau persis ciri-ciri orang yang sedang hamil. Percaya deh sama Mommy, Lan." "Tapi, Mom... Laura 'kan sudah pisah sama suaminya. Lagi proses bercerai, Mom. Dia nggak mungkin hamil. Gimana bisa?" Aku berusaha menahan kebingungan dan sedikit rasa takut yang mulai menggerogotiku. Aku yakin, Laura tak mungkin kembali bertemu Agus, apalagi sampai berhubungan badan. Itu mustahil. Sekalipun tanpa sepengetahuanku, aku tak bisa membayangkannya. "Meskipun sudah pisah, masih ada kemungkinan mereka pernah berhubungan sebelumnya, Lan. Mungkin saja, kan? Nanti malam deh... Mommy akan bicara langsung dengan Laura. Kita cari tau kebenarannya." Mommy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekarang saja, Mom. Langsung tanyakan apa yang Mommy curigai." Aku tak sabar men
Aku memutuskan untuk membawa Laura meninggalkan dapur, karena dapur bukanlah tempat yang tepat. Apalagi kalau Qiara melihat. Setelah menggendong Laura ke dalam kamarku dan mengunci pintu, tanpa basa-basi lagi, aku melepaskan pakaian kami. Dalam kehangatan dan keintiman, kami berdua melebur menjadi satu.***Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan itu membentakku dari tidur yang nyaris tak kuingat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena panik yang tiba-tiba menyergap."Om Dylaaaan!!" Suara teriakan itu seperti milik Qiara. Terdengar khawatir dari balik pintu."Om ... Bunda nggak ada di kamal, Om. Nggak tau ke mana.""Eh, itu suara Qiara 'kan, Pak?" Suara Laura, gemetar, membuatku tersadar sepenuhnya. Kami masih berpelukan di bawah selimut, tanpa busana.Rasa malu serta panik bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit, mengambil pakaian Laura yang tergeletak di lantai, lalu menggendongnya menuju kamar mandi."Kamu bersih-bersih dulu di sini dan pa
Aku merasa tak habis pikir dengan sikap posesif Pak Dylan di pesta tadi.Dilarang melirik laki-laki lain? Bahkan Sakti, yang hanya ingin bergabung, ditolak mentah-mentah. Tapi, aku sedikit maklum. Mungkin itu semua bagian dari sandiwara untuk meyakinkan orang lain."Terima kasih untuk hari ini. Aku bahagia sekali bisa membawamu ke pesta menjadi pacarku," katanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. Qiara sudah tertidur pulas di sepanjang perjalanan pulang. Sulit untukku bergegas turun."Sama-sama, Pak. Eh, biar aku saja, Pak," kataku, ingin mengambil Qiara dari pangkuan. Tapi Pak Dylan sudah lebih dulu mengambil Qiara, lalu melangkah menuju pintu rumah. Aku buru-buru menyusul dan membukakan pintu untuknya dan kami melangkah bersama."Nggak apa-apa kok," balas Pak Dylan, senyumnya hangat. "Qiara sudah lebih berat sekarang, ya? Pipinya juga sudah agak berisi."Dengan lembut, dia membaringkan Qiara di kasur dan menyelimuti tubu
Tok! Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk, segera aku membukanya. Ternyata Pak Dylan, berdiri di ambang pintu bersama Qiara yang digandengnya. Namun, mata bocah lucu itu terlihat sembab dan merah. Seperti habis nangis."Kamu—" Ucapanku terhenti."Kamu kok ganti baju sih?" Pak Dylan mendahului pertanyaanku, tatapannya bingung. "Kita 'kan mau pergi sekarang, masa kamu pakai baju tidur?""Bukannya Bapak perginya sama Mbak Inez, ya?" tanyaku, lalu mencoba meraih tubuh Qiara, namun bocah itu menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Pak Dylan. Tangannya masih berpegang erat seolah tak ingin lepas dengannya."Kata siapa aku pergi sama Inez? Aku perginya sama kamu. Udah ayok pakai gaun yang tadi, aku tunggu.""Tapi—""Nggak usah pakai tapi-tapi!" Pak Dylan memotongku, nada suaranya tegas, lalu menutup pintu.Meskipun bingung, tapi aku tetap menurutinya. Aku kembali mengenakan gaun dari Pak Dylan lalu turun bersamanya.
Benar! Dia menciumku. Tapi kenapa? Apa alasannya? Apakah karena dia senang aku menerima tawaran darinya?Tuk! Tuk! Tuk!Mataku seketika membulat, saat melihat sosok pria berseragam polisi mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil. Padahal baru saja aku ingin membalas ciuman dari Pak Dylan, tapi akhirnya tidak jadi karena dia sudah buru-buru melepaskannya."Selamat siang, kenapa dengan mobilnya, Pak? Kok berhenti di jalan?" tanya Pak Polisi setelah Pak Dylan menurunkan kaca mobilnya. Aku langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tahu. Meski aslinya aku sedang menahan malu.Aku bisa memastikan jika wajahku kini sudah memerah."Oh, kami hanya beristirahat saja, Pak. Karena lelah di perjalanan."Pintar sekali Pak Dylan memberikan alasan."Boleh tunjukkan KTP dan SIM Anda?""Boleh.""Baiklah ... kalian bisa meneruskan perjalanan. Hati-hati dijalan ya, Pak ... Bu."Mendengar aku seperti dipanggil,
"Aku baik-baik saja. Cu-cuma kepengen kencing," jawabnya gugup, lalu menyodorkan popcorn kepadaku. "Pegang dulu, ya, Laura. Aku hanya sebentar saja!" "Iya, Pak." Aku mengangguk cepat. Pak Dylan berdiri dan bergegas pergi, langkahnya terburu-buru hingga nyaris tersandung. Aku khawatir melihatnya, takut dia sampai terjatuh. Sepertinya dia sudah sangat ingin ke toilet. Aku melirik Qiara. Bocah itu begitu fokus menonton, matanya tak berkedip. Beberapa menit berlalu, setengah jam kemudian, Pak Dylan belum juga kembali. Kekhawatiranku semakin menjadi. Aku ingin menyusulnya, takut terjadi sesuatu pada dia. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Qiara sendirian. Aku menahan rasa cemas itu hingga film berakhir. Dan akhirnya, Pak Dylan kembali. Aku menghela napas lega, tersenyum lega padanya. Wajahnya tampak basah, mungkin baru saja mencuci muka. "Yah…
Seolah tak mendengar permintaan Pak Dylan, aku tetap mengangkat panggilan kedua yang Mas Agus lakukan. Rasa penasaran menggigitku, aku ingin tahu alasan dia mencariku. Apa mungkin karena dia telah sudah lebih dulu mengajukan perceraian kami? "Laura, kamu ada di mana?" Kalimat itu yang pertama dia lontarkan padaku, tanpa memberikan salam lebih dulu. "Kenapa memangnya?" Aku berbalik tanya dengan nada yang terdengar ketus. "Apa kamu bisa ke rumah Mama? Dia sakit." Apa maksudnya? Apakah dia ingin memintaku menjenguk Mama Kokom? Tapi untuk apa? Setelah semua yang terjadi, aku tidak sudi bertemu lagi dengannya. Urusanku dengan Mama Kokom sudah selesai. "Laura, apa kamu mendengarku?" "Aku dengar. Tapi untuk apa aku ke rumah Mama, Mas? Aku sudah bukan menantunya lagi, bukankah dia akan memiliki menantu baru?" "Itu nggak ada h
"Iya, kita masih berteman." Pak Dylan menyambut tanganku. Hatiku lega mendengarnya. "Sekarang istirahatlah. Ini sudah malam." "Baik, Pak. Selamat malam." Aku membungkuk sopan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarnya. *** Keesokan harinya. Di depan ruang makan, aku baru saja selesai menyajikan sarapan. Aku memasak nasi goreng teri yang menjadi salah satu masakan favorit Pak Dylan. Bumbu-bumbunya sama persis dengan resep dari Bi Wiwin. Semoga Pak Dylan menyukainya. Semalam saja dia tidak bilang apa-apa mengenai masakanku, berarti tidak ada yang salah. "Bunda ... Qiala mau salapan." Qiara memanggil, membuatku menoleh. Bocah kecilku itu sudah berdiri di belakangku. Tampak segar dan wangi seperti habis mandi. Namun, wajahnya terlihat tegang dan gugup.
Aku memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal. Akhirnya, dengan berat hati kuucapkan, "Aku kebetulan dulunya pernah bekerja sebagai buruh cuci gosok, Tan. Dan Pak Dylan pernah memintaku untuk mencuci dan menyetrika bajunya," Tante Mala mengerutkan kening, bingung. "Lho, kan di sini Bibi juga sering mencuci dan menggosok pakaiannya, kenapa justru dia memintamu melakukannya?" "Aku... aku tidak tahu, Tan," jawabku, menggeleng pelan. Berpura-pura tidak tahu, sesuatu yang terasa pahit di lidah. Maafkan aku, Tante Mala. Aku terpaksa berbohong padamu. Semoga Tante dapat memaafkanku. Tante Mala menatapku penuh arti, seolah membaca isi hatiku. "Begitu, ya?" Ia menarik napas panjang. "Emmmm... kalau boleh Tante tahu, apa kamu memiliki perasaan kepada Dylan?" Pertanyaan itu membuatku terkejut. Bagaimana bisa, Tante Mala bertanya seperti itu? Dan kenapa? "Perasaan?!" suaraku tercekat. "Iya," Tante Mala melanjutkan, "Jadi kamu punya perasaan nggak sama Dylan? Ya Tante tau... kalian hany