"Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan.
"Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng lesu. "Aku nggak punya, Kim. Sebenarnya ... aku sudah urus dari awal Qiara didiagnosa, tapi sampai sekarang belum ada kabar. Sementara Qiara harus segera dioperasi." "Agak sulit juga, ya? Apalagi biayanya gede ...." Kimmy terdiam sejenak, tampak sedang memikirkan sesuatu. "Aku mohon, Kim. Tolong pinjami aku uang. Sebagai gantinya, aku mau jadi pembantu di rumahmu tanpa dibayar. Aku bisa mencuci, menyetrika, masak, apa saja." Aku memohon dengan suara bergetar, air mataku tak terasa mengalir membasahi pipi. "Aku lagi nggak butuh pembantu, Ra. Tapi kalau kamu mau... kamu bisa bekerja denganku," kata Kimmy, suaranya terdengar agak ragu. "Kerja denganmu?" Dahiku berkerut, kebingungan. Apakah ini maksudnya mengajakku menjadi LC? "Kamu mau mengajakku jadi LC, gitu? Tapi aku nggak bisa nyanyi, badanku juga nggak bagus," jawabku, merasa tidak percaya diri. Lagipula, aku sama sekali tidak tertarik menjadi LC. "Bukan jadi LC, Ra. Aku juga sekarang udah berhenti kerja itu. Ini lebih menjanjikan, duitnya jauh lebih banyak," Kimmy menjelaskan dengan nada penuh keyakinan. "Terus, kerja apa?" tanyaku penasaran, tetapi juga sedikit was-was. Kimmy mendekat, berbisik di telingaku, "Ngelo*nte." Mataku membulat sempurna. "Ngelo*nte??" Mulutku menganga tak percaya. "Maksudmu... aku jual diri?" "Iya," Kimmy mengangguk mantap, tanpa sedikitpun keraguan. "Kebetulan aku punya rumah bordir, dan aku lah Maminya." "Mami?" Bibirku bergetar. Jangan bilang... Kimmy adalah ger*mo? Ger*mo dari pekerja s*eks komersial? Bulu kudukku langsung berdiri, aku merinding ketakutan. Tapi, bukankah Kimmy ini seumuran denganku? Aku baru menginjak 26 tahun. Rasanya terlalu muda, untuk menjadi germo diumur segitu yang rata-rata wanita setengah baya. "Iya. Kebetulan aku masih butuh banyak anak didik. Dan sepertinya... kamu cocok, jadi anak didikku," kata Kimmy, tatapannya intens, memeriksa tubuhku dari ujung kaki hingga kepala. Tatapan itu membuatku bergidik. "Kamu gila, ya, Kim? Itu 'kan pekerjaan haram. Aku nggak mau!" Aku menggeleng keras, menolak mentah-mentah tawarannya. Suaraku bergetar, menunjukkan betapa takutnya aku. "Kalau kamu menolak, ya sudah. Berarti aku nggak bisa menolongmu," sahut Kimmy. Suaranya tiba-tiba berubah menjadi dingin, begitu pun dengan raut wajahnya. Dia kembali menatap ke depan, fokus menyetir. Tatapannya datar, menunjukkan betapa tegasnya pendiriannya. "Apa nggak ada tawaran lain, selain... jual diri?" tanyaku lirih. Aku bingung, sedih, dan putus asa. Kalau Kimmy menolak, lalu kepada siapa lagi aku bisa meminta bantuan? "Bagaimana kalau aku jadi asistenmu saja, Kim? Aku yang mendandanimu, menyiapkan semua keperluanmu. Aku bisa kok," aku menawarkan alternatif lain, meski dalam hati aku ragu. Aku sama sekali tidak pandai berdandan. Kimmy menggeleng pelan, suaranya lembut namun tetap tegas. "Maaf, Ra, aku nggak bisa. Aku tau kamu lagi kesulitan, butuh uang. Tapi kamu juga harus sadar... mencari uang di zaman sekarang itu susah, apalagi dengan jumlah nominal yang banyak." Kimmy benar. Tapi, apakah aku harus sampai menjual diri? Demi biaya pengobatan anakku? * * "Karena Ibu sudah membayar semua biaya administrasi, operasi Qiara bisa dimulai sekarang," kata Dokter. Kalimat itu, bagai embun di padang pasir yang gersang, menyejukkan hatiku yang kering kerontang karena cemas. Setelah bergulat dengan pikiran dan hati yang beradu, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Kimmy. Aku tahu, jalan ini berliku dan penuh duri. Tapi, tak ada pilihan lain. Waktu terus berlalu, dan aku tak punya waktu untuk ragu lagi. "Lakukan yang terbaik, Dok. Aku mohon ... sembuhkan Qiara," ucapku, suaraku bergetar menahan tangis. Harapanku, seutuhnya kuserahkan pada Dokter itu. Pria berkacamata itu mengangguk, sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya di balik masker. "Saya akan melakukan yang terbaik, Bu. Doa Ibu adalah kekuatan terbesar bagi Qiara. Kalau begitu, saya permisi." Salah seorang perawat membukakan pintu untuk Dokter. Langkahnya terasa begitu berat bagiku. "Sus ... setelah operasinya selesai, tolong hubungi aku, ya? Aku mau pergi dulu soalnya. Ada urusan penting." Aku dan Kimmy sudah sepakat, jika dia telah memberikanku uang untuk melunasi biaya operasi, aku harus mau bertemu dengannya di hotel. Dia mengatakan aku langsung menjual diri dihari ini juga. Tubuhku rasanya sudah bergetar semua, saat membayangkannya. Perutku pun menjadi terasa mulas, ingin buang hajat. "Baik, Bu." Suster itu mengangguk, lalu masuk ke dalam ruang operasi. Sebelum meninggalkan rumah sakit, aku berniat pergi ke toilet dulu, untuk menghilangkan rasa tidak enak di perutku. Namun, langkah kakiku seketika terhenti. Tepat di depan toilet pria, bersebelahan dengan toilet wanita, aku melihat seorang pria berjas biru navy duduk di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Isak tangisnya terdengar samar, memecah kesunyian lorong rumah sakit. Jarang sekali aku melihat seorang pria dewasa menangis seperti ini. Pasti ada sesuatu yang sangat berat tengah dialaminya. "Aku gagal! Aku benar-benar gagal!!" Teriaknya tiba-tiba, suaranya pecah, membuatku tersentak kaget. Dengan ragu, aku mengulurkan tangan, menawarkan sapu tangan yang kuambil dari dalam tas. Sebenarnya, itu sapu tangan bekas ku pakai mengelap ingus pagi tadi, tapi sepertinya sudah kering. Mungkin tidak apa-apa, aku berpikir. Aku tidak tega melihatnya terus menangis seperti itu. Aku pernah merasakan keputusasaan yang sama, meskipun aku tidak tahu apa yang sedang dia alami. "Pak, ambil ini... dan cobalah untuk kuat," kataku lirih, suaraku gemetar. Aku berusaha menenangkannya, meski jantungku sendiri berdebar kencang.Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln
Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep
"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem
"Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m
"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal
"Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m
"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem
Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep
"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln
Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
"Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les
"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal