Home / Romansa / Terpaksa Jual Diri / 6. Tidak pandai bersyukur

Share

6. Tidak pandai bersyukur

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-02-11 12:06:51

"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul.

"Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."

Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku.

"Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter.

"Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.

Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan syukur yang begitu dalam.

"Syukurlah, Dok .…" Aku menghela napas panjang, mengusap air mata yang masih mengalir di pipi. "Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, tapi tolong jangan bangunkan Qiara dulu, ya, Bu. Tunggu dia bangun sendiri, karena itu efek dari obat pasca operasi."

"Baik, Dok." Aku mengangguk paham, masih terhanyut dalam rasa syukur.

"Selama proses pemulihan, Qiara dirawat di rumah sakit dulu ya, Bu. Nanti saya akan memberikan Ibu catatan, apa saja yang tidak boleh dimakan oleh Qiara. Hal itu bertujuan supaya tidak menghambat proses pemulihan."

"Baik, Dok," jawabku, kembali mengangguk. Aku memperhatikan setiap kata dokter, berusaha mengingat semua petunjuknya.

Dokter itu lantas pamit pergi, membiarkanku berdua dengan Qiara.

Aku mendekat, hatiku berdebar-debar. Aku mencium lembut keningnya yang terasa hangat dan halus. Aroma bayi yang lembut masih tercium samar dari rambutnya yang halus dan lembut. Aku mengelus puncak rambutnya dengan lembut, merasakan setiap helainya.

Rasanya rindu sekali aku padanya, padahal hanya semalam kami tak bertemu. Namun, semalam terasa seperti berabad-abad lamanya.

"Terima kasih, Sayang, kamu sudah kuat melewati proses operasi," bisikku lirih, air mata kembali mengalir. "Tapi Bunda minta maaf, karena telah membiayai operasimu dengan uang haram."

Tangis sesenggukan pecah, air mata membanjiri pipiku. Rasa sesal dan penyesalan begitu menyesakkan dada kala mengingat bahwa apa yang kulakukan semalam adalah perbuatan dosa besar.

Aku merasa begitu hina dan tidak layak menjadi seorang ibu. Aku telah melanggar prinsipku sendiri, melakukan hal yang bertentangan dengan keyakinan agamaku. Tapi, aku bisa apa sekarang?

Allah mungkin sudah membenciku, bahkan mengutukku. Tapi tidak apa, asal jangan benci dan mengutuk Qiara, karena aku akan merasa hancur.

Setelah Mas Agus berkhianat, dan meninggalkan aku dan Qiara tanpa biaya hidup, aku merasa di dunia ini yang kumiliki hanya Qiara seorang. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hidup. Aku akan melakukan apapun untuknya, meskipun itu berarti harus melanggar keyakinanku.

*

*

Perutku keroncongan, lapar sekali. Rasa lapar menusuk-nusuk, seakan ada yang menggerogoti dari dalam.

Beberapa hari ini, sejak Qiara kritis, aku sampai lupa makan. Tubuhku lemas, kepala terasa pusing. Meskipun biasanya aku hanya makan sekali sehari, tapi kalau sehari saja tak makan nasi, aku merasa tak bertenaga. Aku butuh energi untuk merawat Qiara.

"Bunda pergi sebentar, ya, Nak. Mau beli makan." Aku berbisik, pamit kepada Qiara meskipun dia masih terpejam. Aku mencium lembut keningnya, merasakan hangatnya kulitnya yang halus. Aku berbisik lagi, "Bunda sayang kamu, Nak. Nggak akan lama kok, hanya sepuluh menit." Aku berharap dia bisa merasakan cintaku.

Setelah membeli sebungkus nasi hangat di warung sederhana depan rumah sakit, aku kembali.

Namun, langkahku terhenti. Tepat di depan meja resepsionis, aku melihat Mama Kokom, ibu dari Mas Agus, berdiri dengan wajah memerah menahan amarah.

Tatapannya tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, tubuhnya menegang. Aura negatif begitu kuat terpancar darinya.

"Akhirnya ketemu juga kamu, menantu sialan! Ke mana saja kau selama ini, hah?!" Bentakannya menggema, menusuk telingaku seperti ribuan jarum. Kata-katanya kasar, penuh kebencian.

Aku terkesiap. Aneh, dia bertanya aku ke mana, sementara dia sendiri melihatku berada di rumah sakit ini. Dan "sialan"? Seolah-olah akulah penyebab semua masalah. Padahal, anaknya lah yang pergi tanpa kabar dan tahu-tahu berselingkuh.

Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Aku tak ingin menanggapi bentakannya yang tak berdasar. Aku ingin segera kembali ke sisi Qiara.

Namun, saat aku hendak berlalu, Mama Kokom mencekal lenganku dengan kuat. Cengkeramannya seperti besi, kuku-kukunya yang panjang dan tajam menancap di kulit lenganku.

"Mau ke mana lagi, kau? Aku sudah jauh-jauh datang, tapi kau ingin pergi begitu saja?"

"Mama ini apa-apaan sih?" Suaraku bergetar, menahan amarah yang mulai membuncah. Segera kulepas tangannya dengan kasar. "Aku tidak pergi ke mana-mana! Aku berada di rumah sakit karena mengobati Qiara!" Aku menekankan kata "Qiara," berharap dia sedikit tersentuh.

Namun, tak ada belas kasihan di wajahnya. Dengan kasar, tangannya menarik lenganku, menyeretku keluar dari rumah sakit.

"Sudah aku katakan berulang kali, buang anakmu yang penyakitan itu ke panti asuhan! Mengobatinya pun percuma. Dia akan terus sakit-sakitan dan hanya akan menyusahkan kita!" Kata-katanya seperti sebilah pisau yang menancap di jantungku.

"Kita?? Apakah aku tidak salah dengar? Aku sama sekali tak menanggap Qiara menyusahkan. Dia anakku, Ma. Anugerah Allah yang diberikan padaku!" Aku menepuk dada dengan kasar. Rasanya sesak sekali. Sakit hati aku mendengar dia menyakiti anakku.

Bagaimana mungkin dia tega mengatakan hal seperti itu tentang cucunya sendiri? Air mata menggenang di pelupuk mataku, mengancam untuk tumpah.

"Qiara adalah cucu Mama satu-satunya!" Aku berteriak, suaraku bergetar karena emosi yang meluap. "Bagaimana Mama bisa tega mengatakan hal seperti itu?"

Ibu sama anak, memang sama-sama berhati iblis. Suatu hari nanti, kalian akan mendapatkan hukum karma karena terus menghina Qiara. Aku yakin itu.

"Aku tidak peduli. Qiara bukan cucu yang aku harapkan!" serunya acuh tak acuh.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Jika terus ditanggapi, itu akan membuang-buang energi. Aku harus mengakhirinya sekarang.

"Sekarang, katakan apa tujuan Mama menemuiku?" Suaraku terdengar datar, berusaha terdengar tenang meskipun dadaku masih bergemuruh.

"Aku tadi pagi ketemu dengan Agus, dan Agus bilang ingin menceraikanmu." Mama Kokom berkata dengan nada puas.

Aku tersenyum kecut. "Terus?" tanyaku singkat, tak peduli.

Bagiku, perpisahan dengan Mas Agus adalah hal yang terbaik. Dia memang pria yang tak berguna, pelit, tukang selingkuh, dan kasar. Tak ada yang perlu kupertahankan.

Aneh, kenapa juga dulu aku sampai tergila-gila padanya. Padahal tampangnya pas-pasan, sangat jauh berbeda dengan Pak Dylan yang nyaris sempurna.

Ah, kenapa juga aku membandingkannya? Jelas mereka tak sama.

"Agus meminta kamu menyerahkan sertifikat rumahnya. Dan segera berkemas, tinggalkan rumah anakku!!" Permintaannya terdengar seperti perintah, penuh arogansi.

"Oohh ... jadi sekarang Mas Agus berniat untuk mengusirku dari rumah? Tapi kenapa nggak Mas Agusnya saja yang ngomong langsung, kenapa harus melalui Mama?"

"Kan kamu tau sendiri, Agus orang sibuk."

"Sibuk berselingkuh, ya, Ma?" Aku melontarkan pertanyaan itu dengan nada penuh sindiran.

"Tidak perlu mengatainya begitu. Harusnya kamu introspeksi diri!" Mama balik menyalahkanku. Aku menahan diri untuk tidak membentaknya. "Kenapa suamimu bisa berselingkuh, ya karena—"

"Suaminya tidak pandai bersyukur," kataku, dengan nada penuh kebencian.

"Enak saja! Kau berani menghina anakku? Jelas kamulah yang menjadi istri tidak pandai merias diri, itulah sebabnya Agus berselingkuh."

Seperti biasa, mau seburuk apapun Mas Agus, tetap saja Mama Kokom akan membelanya. Karena dia merupakan anak semata wayang yang dia sayangi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terpaksa Jual Diri   7. Seperti orang asing

    "Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m

    Last Updated : 2025-03-17
  • Terpaksa Jual Diri   8. Asalkan dia bersamaku malam ini

    "Bunda angkat telepon dulu sebentar ya, Sayang. Nanti kita sarapan bareng," ucapku. Kudengar Qiara menyahut, tapi suaranya samar jadi aku tidak jelas mendengarnya."Hallo, Kim.""Ada di mana kamu?""Rumah sakit.""Nanti sore datang ke salon, ya. Kita ketemuan di sana.""Salon? Mau ngapain, Kim?" Aku bertanya bingung."Semalam kamu 'kan udah libur, jadi malam ini kamu harus kerja. Sudah ada pria yang udah booking kamu malam ini.""Kerja? Tapi Qiara baru aja siuman, Kim." Mana mungkin aku meninggalkan Qiara seorang diri di rumah sakit, sementara aku bersenang-senang dengan seorang pria. Aku juga khawatir Qiara akan menangis mencariku."Baguslah kalau sudah siuman. Tandanya operasinya lancar.""Operasinya memang lancar, tapi Qiara masih butuh perawatan. Dan tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri, aku tidak tega. Takut Qiara nangis juga.""Titipkan pada saudaramu saja, Ra. Pasti mereka datang me

    Last Updated : 2025-03-18
  • Terpaksa Jual Diri   9. Idamannya kaum hawa

    "Dia kecelakaan. Sekarang di rumah sakit." Aku terkejut. "Innalillahi ...." "Dia belum meninggal, Ra. Hanya kecelakaan, tabrakan mobil." "Innalillahi bukan hanya untuk orang meninggal, Kim. Aku hanya kaget." "Oh, gitu. Ya sudah, pulang saja sekarang, Ra. Bookingan Pak Jordi diundur sampai dia sembuh. Kita tunggu kabar darinya.""Iya. Ya sudah, aku pulang sekarang. Kamu tunggu aku dulu, ya, jangan tinggalkan Qiara." Qiara... anakku.Sebelum berangkat, aku ingat dia sudah tertidur. Tapi dia sering terbangun minta minum. Aku khawatir kalau dia sendirian dan dia kesulitan untuk mengambil air minum. "Iya, tenang saja. Aku pulang kalau kamu sudah sampai. Naik ojek saja, biar cepat.""Oke." Aku menutup panggilan, membayar tagihan, lalu melangkah keluar restoran. Aplikasi ojek online kubuka, mencari driver yang tersedia. "Nona, kamu mau ke mana?" Suara seseorang yang b

    Last Updated : 2025-03-19
  • Terpaksa Jual Diri   10. Divonis mandul

    Mentari pagi menyelinap masuk dicelah jendela hotel, menyingkapkan hari baru. Perutku terasa berat, dan saat kulihat, ternyata ada lengan Pak Dylan yang melingkari pinggangku. Dia masih tertidur pulas, suara dengkurannya terdengar samar ditelinga.Senyumku mengembang. Semalam... kenangannya masih terasa begitu nyata. Berbeda dengan awal pertama kita melakukan, karena kali ini dia lah yang memimpin permainan dan sama sekali tak meminta untuk aku di atas. Tiga kali kami merasakan kenikmatan itu. Namun, tubuhku tetap remuk, lemas tak berdaya. "Kamu sudah bangun?" Suara serak dan sedikit parau Pak Dylan membuyarkan lamunanku. "Iya, Pak. Selamat pagi. Bapak tidur nyenyak sekali." "Kamu juga." Sentuhan lembutnya di tanganku, menggenggam erat. "Laura, boleh aku tanya sesuatu?""Katakan saja, Pak.""Seandainya kamu memiliki pasangan... Tapi pasanganmu berselingkuh, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaannya membuatku mengernyit

    Last Updated : 2025-03-20
  • Terpaksa Jual Diri   11. Untuk apa memiliki burung yang besar

    Keesokan harinya, aku mengajak Melisa ke rumah sakit. Namun, aku belum memberitahunya tujuan sebenarnya."Mas ... kenapa kita ke rumah sakit? Kenapa ke dokter kandungan?" tanyanya bingung, menatapku yang tengah sibuk mengisi formulir pendaftaran. Matanya berbinar, penuh tanda tanya.Aku tersenyum. "Nanti kamu tau kok, Sayang." Rasa gugup dan haru bercampur aduk dalam dada. Aku tak sabar untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Apa kita akan memeriksa kesehatanmu, Mas? Memangnya sudah ada kemajuan, ya?" Melisa bertanya dengan ragu, tatapannya masih dipenuhi tanda tanya."Kita buktikan saja," jawabku, mengangguk mantap, berusaha menyembunyikan kegugupanku. Tekadku bulat untuk menghadapi apapun hasilnya.Beberapa menit kemudian, nama Melisa dipanggil. Kami masuk ke ruang pemeriksaan. Aku langsung meminta dokter melakukan USG. Pemeriksaan itu, seakan berlangsung sangat lama. Detak jantungku berpacu kencang. Apakah benar ada janin di dalam rahim istriku? Apakah aku akan segera

    Last Updated : 2025-03-21
  • Terpaksa Jual Diri   12. Aku jadi penasaran

    Dari semua kata-kata yang dilontarkannya, kalimat itu yang paling menusuk. Kalimat itu yang menghancurkanku, yang membuatku terpuruk hingga hampir mengakhiri hidupku sendiri.Aku pernah meminum obat tidur dalam jumlah banyak. Aku berpikir itu akan membuatku overdosis lalu mati. Namun nyatanya, itu tidak berefek padaku. Dan setelah aku mencari tau, rupanya obat itu sudah kadaluwarsa. Mungkin itu penyebabnya.Aku juga pernah coba bunuh diri menggunakan tali, tapi tali itu selalu putus oleh sendirinya saat kukalungkan pada leher. Padahal sebelumnya, aku sudah mengecek bahwa tali tambang itu benar-benar kuat dan bisa dipakai.Tahap selanjutnya, aku pernah terjun bebas dari atas jembatan. Tapi kembali aku dihadapkan kegagalan karena celanaku tersangkut dan alhasil itu robek, membuatku malu saat beberapa orang datang menolong.Dan yang terakhir, aku pernah mencoba memotong pergelangan tanganku. Denyut nadi berada di sana, dan kalau sudah putus, otomati

    Last Updated : 2025-03-23
  • Terpaksa Jual Diri   13. Om Akan melindungimu

    "Kamu boleh memikirkannya nanti. Tapi untuk sekarang ... fokus saja bekerja denganku. Tenang, jika hutangmu lunas... aku akan memberitahunya." Laura mengangguk cepat, lalu menggenggam tangan Mami Nona. "Terima kasih, Kim. Maaf, kalau aku cerewet." "Tidak apa-apa. Aku pulang dulu, ya? Salam untuk Qiara." "Iya. Hati-hati di jalan, Kim." Aku bergeser, bersembunyi di balik tembok. Setelah memastikan Mami Nona pergi, aku menuju kamar Qiara. Laura sudah masuk ke dalam. Tok... tok... "Permisi..." Ketukanku pelan, khawatir membangunkan Qiara. Pasti dia sedang beristirahat. "Iya ...." Pintu terbuka. Laura muncul dari balik sana. "Eh, Pak Dylan? Bapak di sini?" Wajahnya terkejut, tapi pipinya merona. "Aku mau menjenguk Qiara. Boleh, kan?" Aku melirik ranjang. Qiara duduk selonjoran, mengunyah potongan pepaya. "Boleh, Pak. Silakan masuk!" Laura mempersilakan, melebarkan pintu untukku.

    Last Updated : 2025-03-24
  • Terpaksa Jual Diri   14. Terlalu berlebihan

    (POV Laura)Aku kembali ke kamar Qiara setelah membeli kopi. Selain kopi, aku juga membawa beberapa roti dan biskuit untuk menemani Pak Dylan menikmati kopi. “Assalamualaikum,” bisikku lembut, sembari membuka pintu. “Waalaikumsalam.” Jawab Pak Dylan, menoleh ke arahku. Tubuhku membeku seketika. Jantungku berdebar kencang melihat Qiara tertidur pulas dalam dekapan Pak Dylan. Air mata mengalir tanpa permisi, membasahi kedua pipiku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan pria sebaik Pak Dylan. Dia… sungguh berhati malaikat. Dia bahkan baru dua kali bertemu Qiara, namun begitu lembut dan penuh kasih sayang padanya. Sementara Mas Agus, ayah Qiara… Jangankan memeluk Qiara, menatap matanya saja dia enggan. Sejak lahir hingga sekarang, aku hanya ingat sekali dia menggendong Qiara. Itu pun sebelum Qiara didiagnosis menderita penyakit jantung. “Kenapa kamu menangis?” Aku tersentak. Sebuah tangan lembut menyent

    Last Updated : 2025-03-25

Latest chapter

  • Terpaksa Jual Diri   35. Semoga saja

    "Mommy serius tau, Lan!" suara Mommy meninggi, nada kesalnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, jari-jari tangannya mengepal. "Mommy 'kan pernah jadi ibu, jadi Mommy tau persis ciri-ciri orang yang sedang hamil. Percaya deh sama Mommy, Lan." "Tapi, Mom... Laura 'kan sudah pisah sama suaminya. Lagi proses bercerai, Mom. Dia nggak mungkin hamil. Gimana bisa?" Aku berusaha menahan kebingungan dan sedikit rasa takut yang mulai menggerogotiku. Aku yakin, Laura tak mungkin kembali bertemu Agus, apalagi sampai berhubungan badan. Itu mustahil. Sekalipun tanpa sepengetahuanku, aku tak bisa membayangkannya. "Meskipun sudah pisah, masih ada kemungkinan mereka pernah berhubungan sebelumnya, Lan. Mungkin saja, kan? Nanti malam deh... Mommy akan bicara langsung dengan Laura. Kita cari tau kebenarannya." Mommy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekarang saja, Mom. Langsung tanyakan apa yang Mommy curigai." Aku tak sabar men

  • Terpaksa Jual Diri   34. Hamil muda

    Aku memutuskan untuk membawa Laura meninggalkan dapur, karena dapur bukanlah tempat yang tepat. Apalagi kalau Qiara melihat. Setelah menggendong Laura ke dalam kamarku dan mengunci pintu, tanpa basa-basi lagi, aku melepaskan pakaian kami. Dalam kehangatan dan keintiman, kami berdua melebur menjadi satu.***Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan itu membentakku dari tidur yang nyaris tak kuingat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena panik yang tiba-tiba menyergap."Om Dylaaaan!!" Suara teriakan itu seperti milik Qiara. Terdengar khawatir dari balik pintu."Om ... Bunda nggak ada di kamal, Om. Nggak tau ke mana.""Eh, itu suara Qiara 'kan, Pak?" Suara Laura, gemetar, membuatku tersadar sepenuhnya. Kami masih berpelukan di bawah selimut, tanpa busana.Rasa malu serta panik bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit, mengambil pakaian Laura yang tergeletak di lantai, lalu menggendongnya menuju kamar mandi."Kamu bersih-bersih dulu di sini dan pa

  • Terpaksa Jual Diri   33. Tak kuat menahan diri

    Aku merasa tak habis pikir dengan sikap posesif Pak Dylan di pesta tadi.Dilarang melirik laki-laki lain? Bahkan Sakti, yang hanya ingin bergabung, ditolak mentah-mentah. Tapi, aku sedikit maklum. Mungkin itu semua bagian dari sandiwara untuk meyakinkan orang lain."Terima kasih untuk hari ini. Aku bahagia sekali bisa membawamu ke pesta menjadi pacarku," katanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. Qiara sudah tertidur pulas di sepanjang perjalanan pulang. Sulit untukku bergegas turun."Sama-sama, Pak. Eh, biar aku saja, Pak," kataku, ingin mengambil Qiara dari pangkuan. Tapi Pak Dylan sudah lebih dulu mengambil Qiara, lalu melangkah menuju pintu rumah. Aku buru-buru menyusul dan membukakan pintu untuknya dan kami melangkah bersama."Nggak apa-apa kok," balas Pak Dylan, senyumnya hangat. "Qiara sudah lebih berat sekarang, ya? Pipinya juga sudah agak berisi."Dengan lembut, dia membaringkan Qiara di kasur dan menyelimuti tubu

  • Terpaksa Jual Diri   32. Cium aku dulu

    Tok! Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk, segera aku membukanya. Ternyata Pak Dylan, berdiri di ambang pintu bersama Qiara yang digandengnya. Namun, mata bocah lucu itu terlihat sembab dan merah. Seperti habis nangis."Kamu—" Ucapanku terhenti."Kamu kok ganti baju sih?" Pak Dylan mendahului pertanyaanku, tatapannya bingung. "Kita 'kan mau pergi sekarang, masa kamu pakai baju tidur?""Bukannya Bapak perginya sama Mbak Inez, ya?" tanyaku, lalu mencoba meraih tubuh Qiara, namun bocah itu menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Pak Dylan. Tangannya masih berpegang erat seolah tak ingin lepas dengannya."Kata siapa aku pergi sama Inez? Aku perginya sama kamu. Udah ayok pakai gaun yang tadi, aku tunggu.""Tapi—""Nggak usah pakai tapi-tapi!" Pak Dylan memotongku, nada suaranya tegas, lalu menutup pintu.Meskipun bingung, tapi aku tetap menurutinya. Aku kembali mengenakan gaun dari Pak Dylan lalu turun bersamanya.

  • Terpaksa Jual Diri   31. Malu-maluin

    Benar! Dia menciumku. Tapi kenapa? Apa alasannya? Apakah karena dia senang aku menerima tawaran darinya?Tuk! Tuk! Tuk!Mataku seketika membulat, saat melihat sosok pria berseragam polisi mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil. Padahal baru saja aku ingin membalas ciuman dari Pak Dylan, tapi akhirnya tidak jadi karena dia sudah buru-buru melepaskannya."Selamat siang, kenapa dengan mobilnya, Pak? Kok berhenti di jalan?" tanya Pak Polisi setelah Pak Dylan menurunkan kaca mobilnya. Aku langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tahu. Meski aslinya aku sedang menahan malu.Aku bisa memastikan jika wajahku kini sudah memerah."Oh, kami hanya beristirahat saja, Pak. Karena lelah di perjalanan."Pintar sekali Pak Dylan memberikan alasan."Boleh tunjukkan KTP dan SIM Anda?""Boleh.""Baiklah ... kalian bisa meneruskan perjalanan. Hati-hati dijalan ya, Pak ... Bu."Mendengar aku seperti dipanggil,

  • Terpaksa Jual Diri   30. Terima kasih

    "Aku baik-baik saja. Cu-cuma kepengen kencing," jawabnya gugup, lalu menyodorkan popcorn kepadaku. "Pegang dulu, ya, Laura. Aku hanya sebentar saja!" "Iya, Pak." Aku mengangguk cepat. Pak Dylan berdiri dan bergegas pergi, langkahnya terburu-buru hingga nyaris tersandung. Aku khawatir melihatnya, takut dia sampai terjatuh. Sepertinya dia sudah sangat ingin ke toilet. Aku melirik Qiara. Bocah itu begitu fokus menonton, matanya tak berkedip. Beberapa menit berlalu, setengah jam kemudian, Pak Dylan belum juga kembali. Kekhawatiranku semakin menjadi. Aku ingin menyusulnya, takut terjadi sesuatu pada dia. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Qiara sendirian. Aku menahan rasa cemas itu hingga film berakhir. Dan akhirnya, Pak Dylan kembali. Aku menghela napas lega, tersenyum lega padanya. Wajahnya tampak basah, mungkin baru saja mencuci muka. "Yah…

  • Terpaksa Jual Diri   29. Sangat mujarab

    Seolah tak mendengar permintaan Pak Dylan, aku tetap mengangkat panggilan kedua yang Mas Agus lakukan. Rasa penasaran menggigitku, aku ingin tahu alasan dia mencariku. Apa mungkin karena dia telah sudah lebih dulu mengajukan perceraian kami? "Laura, kamu ada di mana?" Kalimat itu yang pertama dia lontarkan padaku, tanpa memberikan salam lebih dulu. "Kenapa memangnya?" Aku berbalik tanya dengan nada yang terdengar ketus. "Apa kamu bisa ke rumah Mama? Dia sakit." Apa maksudnya? Apakah dia ingin memintaku menjenguk Mama Kokom? Tapi untuk apa? Setelah semua yang terjadi, aku tidak sudi bertemu lagi dengannya. Urusanku dengan Mama Kokom sudah selesai. "Laura, apa kamu mendengarku?" "Aku dengar. Tapi untuk apa aku ke rumah Mama, Mas? Aku sudah bukan menantunya lagi, bukankah dia akan memiliki menantu baru?" "Itu nggak ada h

  • Terpaksa Jual Diri   28. Supaya statusmu jelas

    "Iya, kita masih berteman." Pak Dylan menyambut tanganku. Hatiku lega mendengarnya. "Sekarang istirahatlah. Ini sudah malam." "Baik, Pak. Selamat malam." Aku membungkuk sopan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarnya. *** Keesokan harinya. Di depan ruang makan, aku baru saja selesai menyajikan sarapan. Aku memasak nasi goreng teri yang menjadi salah satu masakan favorit Pak Dylan. Bumbu-bumbunya sama persis dengan resep dari Bi Wiwin. Semoga Pak Dylan menyukainya. Semalam saja dia tidak bilang apa-apa mengenai masakanku, berarti tidak ada yang salah. "Bunda ... Qiala mau salapan." Qiara memanggil, membuatku menoleh. Bocah kecilku itu sudah berdiri di belakangku. Tampak segar dan wangi seperti habis mandi. Namun, wajahnya terlihat tegang dan gugup.

  • Terpaksa Jual Diri   27. Aku minta maaf

    Aku memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal. Akhirnya, dengan berat hati kuucapkan, "Aku kebetulan dulunya pernah bekerja sebagai buruh cuci gosok, Tan. Dan Pak Dylan pernah memintaku untuk mencuci dan menyetrika bajunya," Tante Mala mengerutkan kening, bingung. "Lho, kan di sini Bibi juga sering mencuci dan menggosok pakaiannya, kenapa justru dia memintamu melakukannya?" "Aku... aku tidak tahu, Tan," jawabku, menggeleng pelan. Berpura-pura tidak tahu, sesuatu yang terasa pahit di lidah. Maafkan aku, Tante Mala. Aku terpaksa berbohong padamu. Semoga Tante dapat memaafkanku. Tante Mala menatapku penuh arti, seolah membaca isi hatiku. "Begitu, ya?" Ia menarik napas panjang. "Emmmm... kalau boleh Tante tahu, apa kamu memiliki perasaan kepada Dylan?" Pertanyaan itu membuatku terkejut. Bagaimana bisa, Tante Mala bertanya seperti itu? Dan kenapa? "Perasaan?!" suaraku tercekat. "Iya," Tante Mala melanjutkan, "Jadi kamu punya perasaan nggak sama Dylan? Ya Tante tau... kalian hany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status