แชร์

6. Tidak pandai bersyukur

ผู้เขียน: Rossy Dildara
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-11 12:06:51

"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul.

"Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."

Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku.

"Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter.

"Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.

Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan syukur yang begitu dalam.

"Syukurlah, Dok .…" Aku menghela napas panjang, mengusap air mata yang masih mengalir di pipi. "Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, tapi tolong jangan bangunkan Qiara dulu, ya, Bu. Tunggu dia bangun sendiri, karena itu efek dari obat pasca operasi."

"Baik, Dok." Aku mengangguk paham, masih terhanyut dalam rasa syukur.

"Selama proses pemulihan, Qiara dirawat di rumah sakit dulu ya, Bu. Nanti saya akan memberikan Ibu catatan, apa saja yang tidak boleh dimakan oleh Qiara. Hal itu bertujuan supaya tidak menghambat proses pemulihan."

"Baik, Dok," jawabku, kembali mengangguk. Aku memperhatikan setiap kata dokter, berusaha mengingat semua petunjuknya.

Dokter itu lantas pamit pergi, membiarkanku berdua dengan Qiara.

Aku mendekat, hatiku berdebar-debar. Aku mencium lembut keningnya yang terasa hangat dan halus. Aroma bayi yang lembut masih tercium samar dari rambutnya yang halus dan lembut. Aku mengelus puncak rambutnya dengan lembut, merasakan setiap helainya.

Rasanya rindu sekali aku padanya, padahal hanya semalam kami tak bertemu. Namun, semalam terasa seperti berabad-abad lamanya.

"Terima kasih, Sayang, kamu sudah kuat melewati proses operasi," bisikku lirih, air mata kembali mengalir. "Tapi Bunda minta maaf, karena telah membiayai operasimu dengan uang haram."

Tangis sesenggukan pecah, air mata membanjiri pipiku. Rasa sesal dan penyesalan begitu menyesakkan dada kala mengingat bahwa apa yang kulakukan semalam adalah perbuatan dosa besar.

Aku merasa begitu hina dan tidak layak menjadi seorang ibu. Aku telah melanggar prinsipku sendiri, melakukan hal yang bertentangan dengan keyakinan agamaku. Tapi, aku bisa apa sekarang?

Allah mungkin sudah membenciku, bahkan mengutukku. Tapi tidak apa, asal jangan benci dan mengutuk Qiara, karena aku akan merasa hancur.

Setelah Mas Agus berkhianat, dan meninggalkan aku dan Qiara tanpa biaya hidup, aku merasa di dunia ini yang kumiliki hanya Qiara seorang. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hidup. Aku akan melakukan apapun untuknya, meskipun itu berarti harus melanggar keyakinanku.

*

*

Perutku keroncongan, lapar sekali. Rasa lapar menusuk-nusuk, seakan ada yang menggerogoti dari dalam.

Beberapa hari ini, sejak Qiara kritis, aku sampai lupa makan. Tubuhku lemas, kepala terasa pusing. Meskipun biasanya aku hanya makan sekali sehari, tapi kalau sehari saja tak makan nasi, aku merasa tak bertenaga. Aku butuh energi untuk merawat Qiara.

"Bunda pergi sebentar, ya, Nak. Mau beli makan." Aku berbisik, pamit kepada Qiara meskipun dia masih terpejam. Aku mencium lembut keningnya, merasakan hangatnya kulitnya yang halus. Aku berbisik lagi, "Bunda sayang kamu, Nak. Nggak akan lama kok, hanya sepuluh menit." Aku berharap dia bisa merasakan cintaku.

Setelah membeli sebungkus nasi hangat di warung sederhana depan rumah sakit, aku kembali.

Namun, langkahku terhenti. Tepat di depan meja resepsionis, aku melihat Mama Kokom, ibu dari Mas Agus, berdiri dengan wajah memerah menahan amarah.

Tatapannya tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, tubuhnya menegang. Aura negatif begitu kuat terpancar darinya.

"Akhirnya ketemu juga kamu, menantu sialan! Ke mana saja kau selama ini, hah?!" Bentakannya menggema, menusuk telingaku seperti ribuan jarum. Kata-katanya kasar, penuh kebencian.

Aku terkesiap. Aneh, dia bertanya aku ke mana, sementara dia sendiri melihatku berada di rumah sakit ini. Dan "sialan"? Seolah-olah akulah penyebab semua masalah. Padahal, anaknya lah yang pergi tanpa kabar dan tahu-tahu berselingkuh.

Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Aku tak ingin menanggapi bentakannya yang tak berdasar. Aku ingin segera kembali ke sisi Qiara.

Namun, saat aku hendak berlalu, Mama Kokom mencekal lenganku dengan kuat. Cengkeramannya seperti besi, kuku-kukunya yang panjang dan tajam menancap di kulit lenganku.

"Mau ke mana lagi, kau? Aku sudah jauh-jauh datang, tapi kau ingin pergi begitu saja?"

"Mama ini apa-apaan sih?" Suaraku bergetar, menahan amarah yang mulai membuncah. Segera kulepas tangannya dengan kasar. "Aku tidak pergi ke mana-mana! Aku berada di rumah sakit karena mengobati Qiara!" Aku menekankan kata "Qiara," berharap dia sedikit tersentuh.

Namun, tak ada belas kasihan di wajahnya. Dengan kasar, tangannya menarik lenganku, menyeretku keluar dari rumah sakit.

"Sudah aku katakan berulang kali, buang anakmu yang penyakitan itu ke panti asuhan! Mengobatinya pun percuma. Dia akan terus sakit-sakitan dan hanya akan menyusahkan kita!" Kata-katanya seperti sebilah pisau yang menancap di jantungku.

"Kita?? Apakah aku tidak salah dengar? Aku sama sekali tak menanggap Qiara menyusahkan. Dia anakku, Ma. Anugerah Allah yang diberikan padaku!" Aku menepuk dada dengan kasar. Rasanya sesak sekali. Sakit hati aku mendengar dia menyakiti anakku.

Bagaimana mungkin dia tega mengatakan hal seperti itu tentang cucunya sendiri? Air mata menggenang di pelupuk mataku, mengancam untuk tumpah.

"Qiara adalah cucu Mama satu-satunya!" Aku berteriak, suaraku bergetar karena emosi yang meluap. "Bagaimana Mama bisa tega mengatakan hal seperti itu?"

Ibu sama anak, memang sama-sama berhati iblis. Suatu hari nanti, kalian akan mendapatkan hukum karma karena terus menghina Qiara. Aku yakin itu.

"Aku tidak peduli. Qiara bukan cucu yang aku harapkan!" serunya acuh tak acuh.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Jika terus ditanggapi, itu akan membuang-buang energi. Aku harus mengakhirinya sekarang.

"Sekarang, katakan apa tujuan Mama menemuiku?" Suaraku terdengar datar, berusaha terdengar tenang meskipun dadaku masih bergemuruh.

"Aku tadi pagi ketemu dengan Agus, dan Agus bilang ingin menceraikanmu." Mama Kokom berkata dengan nada puas.

Aku tersenyum kecut. "Terus?" tanyaku singkat, tak peduli.

Bagiku, perpisahan dengan Mas Agus adalah hal yang terbaik. Dia memang pria yang tak berguna, pelit, tukang selingkuh, dan kasar. Tak ada yang perlu kupertahankan.

Aneh, kenapa juga dulu aku sampai tergila-gila padanya. Padahal tampangnya pas-pasan, sangat jauh berbeda dengan Pak Dylan yang nyaris sempurna.

Ah, kenapa juga aku membandingkannya? Jelas mereka tak sama.

"Agus meminta kamu menyerahkan sertifikat rumahnya. Dan segera berkemas, tinggalkan rumah anakku!!" Permintaannya terdengar seperti perintah, penuh arogansi.

"Oohh ... jadi sekarang Mas Agus berniat untuk mengusirku dari rumah? Tapi kenapa nggak Mas Agusnya saja yang ngomong langsung, kenapa harus melalui Mama?"

"Kan kamu tau sendiri, Agus orang sibuk."

"Sibuk berselingkuh, ya, Ma?" Aku melontarkan pertanyaan itu dengan nada penuh sindiran.

"Tidak perlu mengatainya begitu. Harusnya kamu introspeksi diri!" Mama balik menyalahkanku. Aku menahan diri untuk tidak membentaknya. "Kenapa suamimu bisa berselingkuh, ya karena—"

"Suaminya tidak pandai bersyukur," kataku, dengan nada penuh kebencian.

"Enak saja! Kau berani menghina anakku? Jelas kamulah yang menjadi istri tidak pandai merias diri, itulah sebabnya Agus berselingkuh."

Seperti biasa, mau seburuk apapun Mas Agus, tetap saja Mama Kokom akan membelanya. Karena dia merupakan anak semata wayang yang dia sayangi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Terpaksa Jual Diri   7. Seperti orang asing

    "Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
  • Terpaksa Jual Diri   1. Goyangkan pinggulmu

    "Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   2. Jual diri

    "Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   3. Pelanggan pertama

    Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   4. Buka pakaianmu!

    "Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   5. Dia terlalu besar

    Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11

บทล่าสุด

  • Terpaksa Jual Diri   7. Seperti orang asing

    "Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m

  • Terpaksa Jual Diri   6. Tidak pandai bersyukur

    "Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem

  • Terpaksa Jual Diri   5. Dia terlalu besar

    Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep

  • Terpaksa Jual Diri   4. Buka pakaianmu!

    "Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln

  • Terpaksa Jual Diri   3. Pelanggan pertama

    Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju

  • Terpaksa Jual Diri   2. Jual diri

    "Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les

  • Terpaksa Jual Diri   1. Goyangkan pinggulmu

    "Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status