Dari semua kata-kata yang dilontarkannya, kalimat itu yang paling menusuk. Kalimat itu yang menghancurkanku, yang membuatku terpuruk hingga hampir mengakhiri hidupku sendiri.Aku pernah meminum obat tidur dalam jumlah banyak. Aku berpikir itu akan membuatku overdosis lalu mati. Namun nyatanya, itu tidak berefek padaku. Dan setelah aku mencari tau, rupanya obat itu sudah kadaluwarsa. Mungkin itu penyebabnya.Aku juga pernah coba bunuh diri menggunakan tali, tapi tali itu selalu putus oleh sendirinya saat kukalungkan pada leher. Padahal sebelumnya, aku sudah mengecek bahwa tali tambang itu benar-benar kuat dan bisa dipakai.Tahap selanjutnya, aku pernah terjun bebas dari atas jembatan. Tapi kembali aku dihadapkan kegagalan karena celanaku tersangkut dan alhasil itu robek, membuatku malu saat beberapa orang datang menolong.Dan yang terakhir, aku pernah mencoba memotong pergelangan tanganku. Denyut nadi berada di sana, dan kalau sudah putus, otomati
"Kamu boleh memikirkannya nanti. Tapi untuk sekarang ... fokus saja bekerja denganku. Tenang, jika hutangmu lunas... aku akan memberitahunya." Laura mengangguk cepat, lalu menggenggam tangan Mami Nona. "Terima kasih, Kim. Maaf, kalau aku cerewet." "Tidak apa-apa. Aku pulang dulu, ya? Salam untuk Qiara." "Iya. Hati-hati di jalan, Kim." Aku bergeser, bersembunyi di balik tembok. Setelah memastikan Mami Nona pergi, aku menuju kamar Qiara. Laura sudah masuk ke dalam. Tok... tok... "Permisi..." Ketukanku pelan, khawatir membangunkan Qiara. Pasti dia sedang beristirahat. "Iya ...." Pintu terbuka. Laura muncul dari balik sana. "Eh, Pak Dylan? Bapak di sini?" Wajahnya terkejut, tapi pipinya merona. "Aku mau menjenguk Qiara. Boleh, kan?" Aku melirik ranjang. Qiara duduk selonjoran, mengunyah potongan pepaya. "Boleh, Pak. Silakan masuk!" Laura mempersilakan, melebarkan pintu untukku.
(POV Laura)Aku kembali ke kamar Qiara setelah membeli kopi. Selain kopi, aku juga membawa beberapa roti dan biskuit untuk menemani Pak Dylan menikmati kopi. “Assalamualaikum,” bisikku lembut, sembari membuka pintu. “Waalaikumsalam.” Jawab Pak Dylan, menoleh ke arahku. Tubuhku membeku seketika. Jantungku berdebar kencang melihat Qiara tertidur pulas dalam dekapan Pak Dylan. Air mata mengalir tanpa permisi, membasahi kedua pipiku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan pria sebaik Pak Dylan. Dia… sungguh berhati malaikat. Dia bahkan baru dua kali bertemu Qiara, namun begitu lembut dan penuh kasih sayang padanya. Sementara Mas Agus, ayah Qiara… Jangankan memeluk Qiara, menatap matanya saja dia enggan. Sejak lahir hingga sekarang, aku hanya ingat sekali dia menggendong Qiara. Itu pun sebelum Qiara didiagnosis menderita penyakit jantung. “Kenapa kamu menangis?” Aku tersentak. Sebuah tangan lembut menyent
Hari berganti."Halo… iya, Mbak?” Aku menjawab panggilan telepon dari Mbak Ikah, salah satu pelanggan yang sering menggunakan jasaku untuk mencuci dan menyetrika pakaiannya. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat, mengharap kabar baik.“Kamu ‘kan kemarin-kemarin nanya info rumah kontrakan, ya? Terus sekarang udah ketemu apa belum?”Benar, beberapa hari ini aku memang menanyakan padanya. Mbak Ikah sering keluar rumah karena pekerjaannya, jadi dia pasti punya banyak informasi.“Belum, Mbak. Memangnya Mbak sendiri sudah dapat?”“Kebetulan ada nih yang satu juta sebulan. Tapi ukurannya nggak sebesar rumah. Cuma dua petak doang. Satu ruang untuk tempat tidur dan satunya untuk dapur, kamar mandi ada di dekat dapur, Ra.”“Tempatnya sempit nggak, Mbak? Terus bersih nggak?”Satu juta sebulan… itu terbilang murah daripada rumah lain yang pernah aku kunjungi. Tapi semoga tempatnya layak.“Lumayan, Ra. Tempatnya juga bersih
"Apa-apaan kau? Kenapa tiba-tiba—"Mas Agus tergagap, wajahnya memerah menahan amarah dan rasa sakit. Namun, sebelum protesnya sempurna, pukulan Pak Dylan kembali mendarat. Kali ini lebih brutal, lebih keras. Hingga Mas Agus terkapar, babak belur."Hentikan! Ya Tuhan... Tolong! Tolong!!" Mama Kokom menjerit panik, tubuhnya gemetar. Upayanya menghentikan Pak Dylan sia-sia. Tangisnya pecah, suaranya tertelan oleh amukan Pak Dylan yang tak terkendali.Dia hanya bisa berteriak meminta pertolongan warga sekitar, suaranya terputus-putus oleh isak tangis.Beberapa saat kemudian, beberapa warga berdatangan, termasuk Ketua RT, dengan sigap memisahkan Pak Dylan dari Mas Agus yang tergeletak tak berdaya.Wajah Mas Agus lebam, bibirnya robek dan mengeluarkan darah segar. Penampakannya mengenaskan.Melihatnya seperti itu, sebuah perasaan aneh menjalariku. Bukan sekadar puas, tapi lebih dari itu. Sebuah rasa lega yang tak terkira.Dul
Ya, aku memang kemarin-kemarin pernah berharap dia lagi yang menjadi pelangganku. Tapi karena terlalu sering, aku jadi merasa aneh sendiri.Apakah itu berarti Pak Dylan benar-benar puas dengan pelayanan yang aku berikan, sehingga dia ingin terus membeli jasaku? Atau...Ah, tidak-tidak. Aku tidak boleh berpikir negatif."Laura, kamu dengar aku, kan?" Suara Kimmy masih terdengar dari seberang."Iya, aku dengar. Tapi belum lama aku bertemu dengan Pak Dylan, Kim. Dan dia juga sekarang ada di rumah sakit. Nemenin Qiara.""Ternyata kamu dan Pak Dylan sudah sangat dekat ya, Ra. Sampai-sampai dia juga dekat dengan anakmu.""Nggak juga sih, Kim. Itu karena kami tidak sengaja bertemu saja.""Sepertinya Pak Dylan suka sama kamu deh, Ra.""Suka sama aku?!" Mataku membola, kedua pipi ini langsung merah merona. "Jangan bercanda kamu, Kim. Itu nggak mungkin.""Bener. Kan udah jelas dia jadi langgananmu.""Ya
"Aku hanya ingin kamu menemaniku tanpa meninggalkan Qiara."Hanya itu?Jawabannya cukup simpel, tapi tetap saja aku merasa itu aneh."Ya sudah, aku pulang sekarang. Titip salamku nanti buat Qiara, kalau dia sudah bangun. Assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati dijalan, Pak.""Iya." Pak Dylan mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan kamar.Setelah kepergiannya, aku langsung mengkonfirmasi kepada Kimmy, tentang apa saja yang dia katakan barusan.***Jam tujuh malam tepat, aku berdiri di depan cermin dengan jantung berdebar. Dress pemberian Kimmy, dikirim melalui ojek online, terlihat anggun namun tetap sopan; warna pink kalemnya terasa pas untuk suasana rumah sakit. Aku tak ingin penampilan mencolokku mengusik ketenangan dokter dan suster yang bertugas. Ini kali pertama aku mempersiapkan diri sendiri untuk bertemu seorang pelanggan. Sentuhan make upku mungkin tak secanggih tangan-tangan terampi
Aku membuka mata perlahan, masih sangat mengantuk. Tubuhku terasa sesak dan gerah. Pandanganku perlahan menyesuaikan dengan cahaya redup. Aku berada dalam pelukan Pak Dylan, di atas kasur lantai yang hanya beralaskan selembar selimut tipis. Pak Dylan tertidur pulas. Aku memeriksa tubuhku, kemudian tubuhnya. Sebuah pertanyaan menggantung di udara. Apakah kami berdua semalam sudah berhubungan badan? Aku terdiam dan mulai berpikir. Sama sekali aku tak ingat. Apa jangan-jangan aku malah ketiduran, ya, karena menunggu Pak Dylan dan Qiara asyik bermain? Ah, tapi sepertinya Pak Dylan sendiri tidak membangunkanku ataupun melakukan apa-apa padaku selama aku tidur. Karena jika itu terjadi, pasti akan terasa. Aku jelas ingat bagaimana besarnya bu*rung Pak Dylan. "Kamu sudah bangun?" Suara serak Pak Dylan membuyarkan lamunanku. Suaranya, meskipun serak, terdengar lembut dan menenangkan. Perlahan, dia melepaskan pelukanny
"Sebentar... aku akan minta Bibi buatkan Mommy teh hijau tanpa gula dulu, biar kita enak mengobrolnya." Dylan bergegas melangkah menjauh menuju dapur. Sikapnya yang tiba-tiba begitu manis membuatku curiga. Ada sesuatu yang disembunyikannya, aku yakin itu. Teh hijau itu tersaji di meja, hangat dan harum. Namun, aroma teh itu tak mampu menenangkan kegelisahanku. "Jadi, ada apa, Lan?" tanyaku, suaraku berusaha terdengar tenang, padahal rasa penasaranku sudah membuncah. "Pasti ada sesuatu, kan?" "Aku ke sini mau meminta restu, Mom," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. "Restu? Restu apa?" Dahiku berkerut. Aku benar-benar tak mengerti maksudnya. "Aku mau menikahi Laura, Mom." Kalimat itu seperti pukulan telak di dadaku. Menikah? Lho ... kenapa dengan Laura? Bukan dengan Inez? "Apa?! Menikah dengan Laura?!" suaraku meninggi, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
"Bapak nggak perlu ikut campur! Aku ingin bicara serius dengan Laura!" bentak Mas Agus, mencoba mendekat, ingin meraih tanganku. Pak Dylan sigap menghalanginya. "Tidak akan kubiarkan kau bicara dengannya!" tegas Pak Dylan, suaranya bergetar menahan amarah, posesif dan melindungi. Ada aura kepemilikan yang kuat terpancar darinya. "Tolonglah, Pak… jangan cari ribut. Aku baru saja mengalami kecelakaan, aku malas berdebat. Biarkan aku bicara dengan Laura. Ini sangat penting," Mas Agus memohon, nada suaranya terdengar lebih rendah, egonya seolah sirna. Ini Mas Agus yang berbeda, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Namun, sorot matanya… ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan memohonnya. Ada kecemasan yang tersirat. "Aku tidak peduli! Mau kau habis kecelakaan… atau mati sekalipun!" Pak Dylan membentak, suaranya menggelegar, menunjukkan kemarahan yang tak terbendung. Dengan gerakan cepat dan pasti, dia menarikku masuk ke dalam mobil, mendudukkan Qiara di pan
"Kamu ingat itu 'kan, Ra?" Pak Dylan memastikan, tatapannya penuh pertanyaan. "Aku ingat, Pak. Tapi terakhir kali berhubungan badan... aku hanya sama Bapak, kemarin-kemarin juga, kan? Kalau bukan Bapak, siapa lagi? Nggak mungkin jin. Masa iya aku hamil anak jin?" "Enggak, Ra. Itu nggak mungkin!" Pak Dylan tegas, wajahnya terlihat ketakutan, tatapannya penuh kekhawatiran. "Kamu nggak mungkin hamil anak jin, anakmu manusia dan akan sesempurna seperti Qiara." "Terus?" Aku jadi ikut bingung. "Kita nggak perlu permasalahkan soal itu, yang terpenting... aku di sini yang akan bertanggung jawab." "Bertanggung jawab gimana, Pak?" Dahiku berkerut, bingung. Apa maksudnya? Apa dia mau menikahiku? Ah, jangan mimpi. Pak Dylan ragu akan anak ini, tidak mungkin dia mau menikah denganku. "Tentu saja untuk menikahimu." "E-ehhh... serius, Pak?" Mataku membulat tak percaya. Benarkah? Ini... mimpi? A
Degup jantungku berpacu kencang. "Bukannya aku tidak senang, Dokter, tapi Laura menggunakan KB. Tidak mungkin dia hamil," ujarku, suara gemetar tak terkendali. Bayangan jawaban Laura tadi malam masih menghantui, meyakinkanku bahwa ada kesalahan dalam pemeriksaan Dokter. "KB apa, jika boleh saya tahu, Pak?" "Suntik, Dok." "Apakah Nona Laura melakukannya secara rutin?" "Itu... Aku tidak tau." "Bagaimana bisa Bapak, sebagai suami, tidak tau?" Dokter itu menatapku heran. "Ah, itu... karena aku sibuk bekerja, jadi kurang memperhatikannya." Dokter sudah menganggapku sebagai suaminya Laura, jadi aku membiarkannya. Biarlah dia berpikir seperti itu. Aku tak punya cukup tenaga untuk menjelaskan semuanya. "Seharusnya Bapak lebih memperhatikannya. Meskipun seorang wanita menggunakan KB, baik pil, suntik, maupun IUD... tetap ada kemungkinan hamil, Pak, jika memang sudah Allah yang berkehendak." Jika sudah membawa-bawa nama Allah, aku tidak bisa apa-apa. "Tapi jika Bapak masih r
"Cek kesehatan itu nggak perlu kita sakit, Ra. Udah nurut aja, ini semua demi kebaikan kita bersama." Mommy mencoba membujuk Laura, nada suaranya sedikit lebih tegas."Ya udah, tapi nanti aku izin ke Pak Dylan dulu ya, Tan." Laura akhirnya setuju, namun tetap ingin memberitahuku terlebih dahulu."Tenang saja, nanti biar Tante yang ngomong ke Dylan." Mommy menawarkan diri, menunjukkan niatnya yang kuat untuk mengajak Laura ke rumah sakit.***"Dylan, Mommy harus pulang sekarang, ada urusan penting masalah kerjaan."Mommy pamit sepagi ini, saat aku baru saja keluar kamar sehabis sholat subuh. Penampilannya begitu rapi dan siap berangkat. Dia terlihat buru-buru. Tapi, bukankah dia berniat mengajak Laura ke rumah sakit? Apakah ini artinya rencana itu dibatalkan?"Nanti kamu saja yang ajak Laura ke rumah sakit. Mommy sudah ngomong kok sama dia. Tapi kamu bilang saja mau cek kesehatan, ya? Nanti bilang saja sama dokternya,
"Mommy serius tau, Lan!" suara Mommy meninggi, nada kesalnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, jari-jari tangannya mengepal. "Mommy 'kan pernah jadi ibu, jadi Mommy tau persis ciri-ciri orang yang sedang hamil. Percaya deh sama Mommy, Lan." "Tapi, Mom... Laura 'kan sudah pisah sama suaminya. Lagi proses bercerai, Mom. Dia nggak mungkin hamil. Gimana bisa?" Aku berusaha menahan kebingungan dan sedikit rasa takut yang mulai menggerogotiku. Aku yakin, Laura tak mungkin kembali bertemu Agus, apalagi sampai berhubungan badan. Itu mustahil. Sekalipun tanpa sepengetahuanku, aku tak bisa membayangkannya. "Meskipun sudah pisah, masih ada kemungkinan mereka pernah berhubungan sebelumnya, Lan. Mungkin saja, kan? Nanti malam deh... Mommy akan bicara langsung dengan Laura. Kita cari tau kebenarannya." Mommy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekarang saja, Mom. Langsung tanyakan apa yang Mommy curigai." Aku tak sabar men
Aku memutuskan untuk membawa Laura meninggalkan dapur, karena dapur bukanlah tempat yang tepat. Apalagi kalau Qiara melihat. Setelah menggendong Laura ke dalam kamarku dan mengunci pintu, tanpa basa-basi lagi, aku melepaskan pakaian kami. Dalam kehangatan dan keintiman, kami berdua melebur menjadi satu.***Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan itu membentakku dari tidur yang nyaris tak kuingat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena panik yang tiba-tiba menyergap."Om Dylaaaan!!" Suara teriakan itu seperti milik Qiara. Terdengar khawatir dari balik pintu."Om ... Bunda nggak ada di kamal, Om. Nggak tau ke mana.""Eh, itu suara Qiara 'kan, Pak?" Suara Laura, gemetar, membuatku tersadar sepenuhnya. Kami masih berpelukan di bawah selimut, tanpa busana.Rasa malu serta panik bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit, mengambil pakaian Laura yang tergeletak di lantai, lalu menggendongnya menuju kamar mandi."Kamu bersih-bersih dulu di sini dan pa
Aku merasa tak habis pikir dengan sikap posesif Pak Dylan di pesta tadi.Dilarang melirik laki-laki lain? Bahkan Sakti, yang hanya ingin bergabung, ditolak mentah-mentah. Tapi, aku sedikit maklum. Mungkin itu semua bagian dari sandiwara untuk meyakinkan orang lain."Terima kasih untuk hari ini. Aku bahagia sekali bisa membawamu ke pesta menjadi pacarku," katanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. Qiara sudah tertidur pulas di sepanjang perjalanan pulang. Sulit untukku bergegas turun."Sama-sama, Pak. Eh, biar aku saja, Pak," kataku, ingin mengambil Qiara dari pangkuan. Tapi Pak Dylan sudah lebih dulu mengambil Qiara, lalu melangkah menuju pintu rumah. Aku buru-buru menyusul dan membukakan pintu untuknya dan kami melangkah bersama."Nggak apa-apa kok," balas Pak Dylan, senyumnya hangat. "Qiara sudah lebih berat sekarang, ya? Pipinya juga sudah agak berisi."Dengan lembut, dia membaringkan Qiara di kasur dan menyelimuti tubu
Tok! Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk, segera aku membukanya. Ternyata Pak Dylan, berdiri di ambang pintu bersama Qiara yang digandengnya. Namun, mata bocah lucu itu terlihat sembab dan merah. Seperti habis nangis."Kamu—" Ucapanku terhenti."Kamu kok ganti baju sih?" Pak Dylan mendahului pertanyaanku, tatapannya bingung. "Kita 'kan mau pergi sekarang, masa kamu pakai baju tidur?""Bukannya Bapak perginya sama Mbak Inez, ya?" tanyaku, lalu mencoba meraih tubuh Qiara, namun bocah itu menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Pak Dylan. Tangannya masih berpegang erat seolah tak ingin lepas dengannya."Kata siapa aku pergi sama Inez? Aku perginya sama kamu. Udah ayok pakai gaun yang tadi, aku tunggu.""Tapi—""Nggak usah pakai tapi-tapi!" Pak Dylan memotongku, nada suaranya tegas, lalu menutup pintu.Meskipun bingung, tapi aku tetap menurutinya. Aku kembali mengenakan gaun dari Pak Dylan lalu turun bersamanya.