"Aku hanya ingin kamu menemaniku tanpa meninggalkan Qiara."
Hanya itu?Jawabannya cukup simpel, tapi tetap saja aku merasa itu aneh."Ya sudah, aku pulang sekarang. Titip salamku nanti buat Qiara, kalau dia sudah bangun. Assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati dijalan, Pak.""Iya." Pak Dylan mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan kamar.Setelah kepergiannya, aku langsung mengkonfirmasi kepada Kimmy, tentang apa saja yang dia katakan barusan.***Jam tujuh malam tepat, aku berdiri di depan cermin dengan jantung berdebar. Dress pemberian Kimmy, dikirim melalui ojek online, terlihat anggun namun tetap sopan; warna pink kalemnya terasa pas untuk suasana rumah sakit. Aku tak ingin penampilan mencolokku mengusik ketenangan dokter dan suster yang bertugas.Ini kali pertama aku mempersiapkan diri sendiri untuk bertemu seorang pelanggan. Sentuhan make upku mungkin tak secanggih tangan-tangan terampiAku membuka mata perlahan, masih sangat mengantuk. Tubuhku terasa sesak dan gerah. Pandanganku perlahan menyesuaikan dengan cahaya redup. Aku berada dalam pelukan Pak Dylan, di atas kasur lantai yang hanya beralaskan selembar selimut tipis. Pak Dylan tertidur pulas. Aku memeriksa tubuhku, kemudian tubuhnya. Sebuah pertanyaan menggantung di udara. Apakah kami berdua semalam sudah berhubungan badan? Aku terdiam dan mulai berpikir. Sama sekali aku tak ingat. Apa jangan-jangan aku malah ketiduran, ya, karena menunggu Pak Dylan dan Qiara asyik bermain? Ah, tapi sepertinya Pak Dylan sendiri tidak membangunkanku ataupun melakukan apa-apa padaku selama aku tidur. Karena jika itu terjadi, pasti akan terasa. Aku jelas ingat bagaimana besarnya bu*rung Pak Dylan. "Kamu sudah bangun?" Suara serak Pak Dylan membuyarkan lamunanku. Suaranya, meskipun serak, terdengar lembut dan menenangkan. Perlahan, dia melepaskan pelukanny
"Kenapa kalian berbuat onar di rumah sakit? Mau jadi jagoan, hah?" Bentakan itu menusuk telingaku. Dua petugas keamanan rumah sakit langsung mencengkram kedua lenganku dengan kasar. Salah seorang dari mereka menatapku tajam, matanya penuh amarah. "Aneh memang zaman sekarang. Sama-sama perempuan, bahkan pernah merasakan hamil, tapi tega menyakiti ibu hamil lain," timpal petugas yang satunya, suaranya terdengar penuh ketidakpercayaan. "Bawa mereka dan tahan dulu, Pak!" perintah Mas Agus, suaranya tegas dan penuh amarah. Dia buru-buru menggendong Melisa membawanya menuju ruang IGD. "Ayok ikut!"Aku dan Kimmy diseret paksa keluar dari rumah sakit, perlakuan kasar mereka membuatku merasa tertekan dan terancam. Kami dimasukkan ke dalam pos satpam, suasana mencekam menyelimuti ruangan kecil itu. Rasanya seperti hendak diinterogasi. "Kami tidak menyakitinya, Pak. Justru dialah yang duluan menyakiti temanku!" Kimmy membela diri, suaran
Mendengar tuduhan itu, jantungku berdebar kencang. Tatapan Pak Dylan yang semula ramah kini berubah tajam, menusukku bagai sebilah pisau. "Memangnya apa yang kamu lakukan kepada Melisa? Apa kamu mendorongnya?" suaranya berat, penuh tekanan. Aku menggeleng cepat, kepala terasa berputar. "Tidak, Pak. Aku—" Belum sempat aku menyelesaikan pembelaan, Mas Agus sudah menyambar. "Jelas kamu mendorongnya!" Suaranya meninggi, penuh amarah. Dia menatapku dengan kebencian yang teramat jelas, membela selingkuhannya tanpa ragu. "Kamu pikir Melisa jatuh sendiri? Jangan konyol! Ayo bawa mereka, Pak!" perintahnya pada petugas rumah sakit, suaranya lantang dan penuh otoritas. Salah satu petugas kembali meraih lenganku, namun Pak Dylan dengan kasar menepis tangannya. "Ayo, sama aku saja." Ajakannya membuatku semakin bingung. Apakah dia juga percaya pada kata-kata Mas Agus? Apakah dia memihak padanya? Pikiran itu menusukku seperti jarum. Rasa sedih da
"Bener 'kan apa kataku? Pak Dylan memang suka sama kamu, Ra." "Ish, kamu ini mulai lagi, Kim." Kami berdua duduk di teras kontrakan, menikmati es teh manis. Angin sore berhembus lembut. Qiara dan Pak Dylan ada di dalam, pintu sengaja kubuka sedikit agar aku bisa melihat mereka berdua asyik bermain boneka Barbie. Senyum tipis terukir di bibirku. "Itu buktinya, Pak Dylan juga dekat banget sama Qiara. Sampai-sampai dia mau mengajaknya bermain." Aku menghela napas, sedikit bingung harus menanggapi bagaimana. Aku ingat pernah bercerita pada Kimmy tentang pertemuan-pertemuan tak terduga dengan Pak Dylan. Seharusnya dia mengerti, dan tidak perlu berpikir macam-macam. Atau mungkin, Kimmy memang senang menggodaku? Tapi lama-lama, godaannya mulai membuatku risih. Perasaanku jadi ikut campur aduk. "Jangan-jangan kalian ini memang sudah ada hubungan?" Kimmy menyipitkan mata, menatapku penuh curiga. "Ya Allah,
"Kenapa Bapak memintaku untuk menolak? Bapak sendiri belum menyatakan—" Pak Dylan tiba-tiba memotong, "Bukannya kamu sendiri yang bilang ingin kembali jadi buruh cuci?" Tunggu... apa yang sedang dibicarakannya? Buruh cuci?Benarkah? Pikiran ini melayang tak tentu arah. Aku sepertinya salah paham. Kupikir dia mendengar pembasahan Kimmy yang sedang menggodaku, tapi ternyata ini soal pekerjaan. Berarti yang dia dengar hanya pembahasan tentang Pak Jordi.Semua gara-gara Kimmy! Pikiran liar ini hampir tak terkendali. Untung ucapanku terpotong Pak Dylan. Andai tidak, betapa malunya aku! Laura, berpikirlah jernih! Lupakan ucapan Kimmy! Pak Dylan menatapku simpatik, suaranya lembut, "Laura, kalau kamu butuh uang, aku bisa bantu. Kamu tak perlu lagi menjual diri, apalagi kepada orang lain." Membantu lagi? Sudah berapa kali? Rasanya tak terhitung. Aku tak ingin terus berhutang budi padanya. Dia meny
Hari berganti."Ini uangnya, Mbak," kata Ibu pemilik kontrakan, menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan dengan senyum ramah. Matahari baru saja mengintip dari balik ufuk, menyinari pagi yang terasa begitu haru.Aku pamit pagi-pagi sekali. Mengatakan bahwa ingin pergi dari kontrakannya dikarenakan telah mendapatkan pekerjaan baru dan diharuskan tinggal di sana.Tak mungkin aku meninggalkan barang-barangku begitu saja. Dengan hati berdebar, aku menawarkannya pada Ibu kontrakan. Syukurlah, beliau baik hati. Beliau bersedia membelinya meskipun dengan harga setengahnya. Lebih dari itu, beliau bahkan memberiku uang setengah dari sewa kontrakan—sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan. Satu juta rupiah aku dapat darinya. Lumayan untuk pegangan. "Terima kasih ya, Bu. Sekarang aku hanya menunggu jemputan saja," ucapku. "Iya, Mbak. Hati-hati di jalan, ya," jawab beliau, suaranya hangat dan penuh perhatian. Aku menganggu
"Mommy ngomong apa sih?? Laura bukan pacarku, Mom," ujar Pak Dylan, menggeleng cepat. Dia terlihat malu, rona merah merekah di pipinya. Jadi, wanita elegan ini Mommy-nya? Wanita yang pernah diceritakannya, memiliki apartemen. "Jangan mengelak, Dylan. Mana mungkin hanya teman, tapi kamu sampai menyimpan fotonya di dompet?" Nada Mommy-nya terdengar tegas, namun tak sampai menyakitkan. Fotoku? Pak Dylan menyimpan fotoku di dompetnya? Sejak kapan? Dan untuk apa? "Ya, memangnya salah ... seorang teman menyimpan fotonya? Kan enggak, Mom," jawab Pak Dylan, menggaruk rambutnya dengan gugup. Dia menatapku, senyumnya canggung namun manis. "Oh iya, Laura. Kenalkan... ini Mommyku." Tatapannya beralih pada wanita itu. "Salam kenal, Bu," sapaku, mengulurkan tangan dengan senyum termanis. "Namaku Laura." "Panggil Tante saja, Laura." Mommy Pak Dylan membalas jabatanku dengan hangat. Senyumnya ra
"Bukan begitu, Pak. Maksudku—" Pak Dylan memotong ucapanku, suaranya dingin menusuk, "Sudah, tidak perlu diteruskan." Qiara diturunkannya dari gendongan. Seketika, jantungku berdebar. Apakah dia marah? "Bereskan barang-barangmu, masukkan ke lemari. Nanti aku minta Bibi datang untuk mengajarimu bekerja di sini," perintahnya tanpa menatapku. "Baik, Pak," jawabku lirih, mengangguk cepat. Dia pun langsung melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu.Aku menghela napas panjang, berat. Melihat Qiara asyik bermain, aku mencoba menenangkan diri. Kulihat lemari di sudut ruangan. Kubuka perlahan, dan betapa terkejutnya aku. Lemari itu penuh dengan pakaian perempuan, tertata rapi. Pakaian dewasa dan anak-anak. "Milik siapa ini?" bisikku, rasa heran bercampur bingung. Apakah ada orang lain yang pernah tinggal di sini? Atau... Jangan-jangan pakaian ini untukku dan Qiara? Yang sengaja dibeli oleh Pak Dylan?
"Cek kesehatan itu nggak perlu kita sakit, Ra. Udah nurut aja, ini semua demi kebaikan kita bersama." Mommy mencoba membujuk Laura, nada suaranya sedikit lebih tegas."Ya udah, tapi nanti aku izin ke Pak Dylan dulu ya, Tan." Laura akhirnya setuju, namun tetap ingin memberitahuku terlebih dahulu."Tenang saja, nanti biar Tante yang ngomong ke Dylan." Mommy menawarkan diri, menunjukkan niatnya yang kuat untuk mengajak Laura ke rumah sakit.***"Dylan, Mommy harus pulang sekarang, ada urusan penting masalah kerjaan."Mommy pamit sepagi ini, saat aku baru saja keluar kamar sehabis sholat subuh. Penampilannya begitu rapi dan siap berangkat. Dia terlihat buru-buru. Tapi, bukankah dia berniat mengajak Laura ke rumah sakit? Apakah ini artinya rencana itu dibatalkan?"Nanti kamu saja yang ajak Laura ke rumah sakit. Mommy sudah ngomong kok sama dia. Tapi kamu bilang saja mau cek kesehatan, ya? Nanti bilang saja sama dokternya,
"Mommy serius tau, Lan!" suara Mommy meninggi, nada kesalnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, jari-jari tangannya mengepal. "Mommy 'kan pernah jadi ibu, jadi Mommy tau persis ciri-ciri orang yang sedang hamil. Percaya deh sama Mommy, Lan." "Tapi, Mom... Laura 'kan sudah pisah sama suaminya. Lagi proses bercerai, Mom. Dia nggak mungkin hamil. Gimana bisa?" Aku berusaha menahan kebingungan dan sedikit rasa takut yang mulai menggerogotiku. Aku yakin, Laura tak mungkin kembali bertemu Agus, apalagi sampai berhubungan badan. Itu mustahil. Sekalipun tanpa sepengetahuanku, aku tak bisa membayangkannya. "Meskipun sudah pisah, masih ada kemungkinan mereka pernah berhubungan sebelumnya, Lan. Mungkin saja, kan? Nanti malam deh... Mommy akan bicara langsung dengan Laura. Kita cari tau kebenarannya." Mommy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekarang saja, Mom. Langsung tanyakan apa yang Mommy curigai." Aku tak sabar men
Aku memutuskan untuk membawa Laura meninggalkan dapur, karena dapur bukanlah tempat yang tepat. Apalagi kalau Qiara melihat. Setelah menggendong Laura ke dalam kamarku dan mengunci pintu, tanpa basa-basi lagi, aku melepaskan pakaian kami. Dalam kehangatan dan keintiman, kami berdua melebur menjadi satu.***Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan itu membentakku dari tidur yang nyaris tak kuingat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena panik yang tiba-tiba menyergap."Om Dylaaaan!!" Suara teriakan itu seperti milik Qiara. Terdengar khawatir dari balik pintu."Om ... Bunda nggak ada di kamal, Om. Nggak tau ke mana.""Eh, itu suara Qiara 'kan, Pak?" Suara Laura, gemetar, membuatku tersadar sepenuhnya. Kami masih berpelukan di bawah selimut, tanpa busana.Rasa malu serta panik bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit, mengambil pakaian Laura yang tergeletak di lantai, lalu menggendongnya menuju kamar mandi."Kamu bersih-bersih dulu di sini dan pa
Aku merasa tak habis pikir dengan sikap posesif Pak Dylan di pesta tadi.Dilarang melirik laki-laki lain? Bahkan Sakti, yang hanya ingin bergabung, ditolak mentah-mentah. Tapi, aku sedikit maklum. Mungkin itu semua bagian dari sandiwara untuk meyakinkan orang lain."Terima kasih untuk hari ini. Aku bahagia sekali bisa membawamu ke pesta menjadi pacarku," katanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. Qiara sudah tertidur pulas di sepanjang perjalanan pulang. Sulit untukku bergegas turun."Sama-sama, Pak. Eh, biar aku saja, Pak," kataku, ingin mengambil Qiara dari pangkuan. Tapi Pak Dylan sudah lebih dulu mengambil Qiara, lalu melangkah menuju pintu rumah. Aku buru-buru menyusul dan membukakan pintu untuknya dan kami melangkah bersama."Nggak apa-apa kok," balas Pak Dylan, senyumnya hangat. "Qiara sudah lebih berat sekarang, ya? Pipinya juga sudah agak berisi."Dengan lembut, dia membaringkan Qiara di kasur dan menyelimuti tubu
Tok! Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk, segera aku membukanya. Ternyata Pak Dylan, berdiri di ambang pintu bersama Qiara yang digandengnya. Namun, mata bocah lucu itu terlihat sembab dan merah. Seperti habis nangis."Kamu—" Ucapanku terhenti."Kamu kok ganti baju sih?" Pak Dylan mendahului pertanyaanku, tatapannya bingung. "Kita 'kan mau pergi sekarang, masa kamu pakai baju tidur?""Bukannya Bapak perginya sama Mbak Inez, ya?" tanyaku, lalu mencoba meraih tubuh Qiara, namun bocah itu menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Pak Dylan. Tangannya masih berpegang erat seolah tak ingin lepas dengannya."Kata siapa aku pergi sama Inez? Aku perginya sama kamu. Udah ayok pakai gaun yang tadi, aku tunggu.""Tapi—""Nggak usah pakai tapi-tapi!" Pak Dylan memotongku, nada suaranya tegas, lalu menutup pintu.Meskipun bingung, tapi aku tetap menurutinya. Aku kembali mengenakan gaun dari Pak Dylan lalu turun bersamanya.
Benar! Dia menciumku. Tapi kenapa? Apa alasannya? Apakah karena dia senang aku menerima tawaran darinya?Tuk! Tuk! Tuk!Mataku seketika membulat, saat melihat sosok pria berseragam polisi mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil. Padahal baru saja aku ingin membalas ciuman dari Pak Dylan, tapi akhirnya tidak jadi karena dia sudah buru-buru melepaskannya."Selamat siang, kenapa dengan mobilnya, Pak? Kok berhenti di jalan?" tanya Pak Polisi setelah Pak Dylan menurunkan kaca mobilnya. Aku langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tahu. Meski aslinya aku sedang menahan malu.Aku bisa memastikan jika wajahku kini sudah memerah."Oh, kami hanya beristirahat saja, Pak. Karena lelah di perjalanan."Pintar sekali Pak Dylan memberikan alasan."Boleh tunjukkan KTP dan SIM Anda?""Boleh.""Baiklah ... kalian bisa meneruskan perjalanan. Hati-hati dijalan ya, Pak ... Bu."Mendengar aku seperti dipanggil,
"Aku baik-baik saja. Cu-cuma kepengen kencing," jawabnya gugup, lalu menyodorkan popcorn kepadaku. "Pegang dulu, ya, Laura. Aku hanya sebentar saja!" "Iya, Pak." Aku mengangguk cepat. Pak Dylan berdiri dan bergegas pergi, langkahnya terburu-buru hingga nyaris tersandung. Aku khawatir melihatnya, takut dia sampai terjatuh. Sepertinya dia sudah sangat ingin ke toilet. Aku melirik Qiara. Bocah itu begitu fokus menonton, matanya tak berkedip. Beberapa menit berlalu, setengah jam kemudian, Pak Dylan belum juga kembali. Kekhawatiranku semakin menjadi. Aku ingin menyusulnya, takut terjadi sesuatu pada dia. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Qiara sendirian. Aku menahan rasa cemas itu hingga film berakhir. Dan akhirnya, Pak Dylan kembali. Aku menghela napas lega, tersenyum lega padanya. Wajahnya tampak basah, mungkin baru saja mencuci muka. "Yah…
Seolah tak mendengar permintaan Pak Dylan, aku tetap mengangkat panggilan kedua yang Mas Agus lakukan. Rasa penasaran menggigitku, aku ingin tahu alasan dia mencariku. Apa mungkin karena dia telah sudah lebih dulu mengajukan perceraian kami? "Laura, kamu ada di mana?" Kalimat itu yang pertama dia lontarkan padaku, tanpa memberikan salam lebih dulu. "Kenapa memangnya?" Aku berbalik tanya dengan nada yang terdengar ketus. "Apa kamu bisa ke rumah Mama? Dia sakit." Apa maksudnya? Apakah dia ingin memintaku menjenguk Mama Kokom? Tapi untuk apa? Setelah semua yang terjadi, aku tidak sudi bertemu lagi dengannya. Urusanku dengan Mama Kokom sudah selesai. "Laura, apa kamu mendengarku?" "Aku dengar. Tapi untuk apa aku ke rumah Mama, Mas? Aku sudah bukan menantunya lagi, bukankah dia akan memiliki menantu baru?" "Itu nggak ada h
"Iya, kita masih berteman." Pak Dylan menyambut tanganku. Hatiku lega mendengarnya. "Sekarang istirahatlah. Ini sudah malam." "Baik, Pak. Selamat malam." Aku membungkuk sopan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarnya. *** Keesokan harinya. Di depan ruang makan, aku baru saja selesai menyajikan sarapan. Aku memasak nasi goreng teri yang menjadi salah satu masakan favorit Pak Dylan. Bumbu-bumbunya sama persis dengan resep dari Bi Wiwin. Semoga Pak Dylan menyukainya. Semalam saja dia tidak bilang apa-apa mengenai masakanku, berarti tidak ada yang salah. "Bunda ... Qiala mau salapan." Qiara memanggil, membuatku menoleh. Bocah kecilku itu sudah berdiri di belakangku. Tampak segar dan wangi seperti habis mandi. Namun, wajahnya terlihat tegang dan gugup.