Home / Romansa / Terpaksa Jual Diri / 20. Memenjarakan mereka

Share

20. Memenjarakan mereka

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-03-31 13:00:29

"Kenapa kalian berbuat onar di rumah sakit? Mau jadi jagoan, hah?" Bentakan itu menusuk telingaku. Dua petugas keamanan rumah sakit langsung mencengkram kedua lenganku dengan kasar. Salah seorang dari mereka menatapku tajam, matanya penuh amarah.

"Aneh memang zaman sekarang. Sama-sama perempuan, bahkan pernah merasakan hamil, tapi tega menyakiti ibu hamil lain," timpal petugas yang satunya, suaranya terdengar penuh ketidakpercayaan.

"Bawa mereka dan tahan dulu, Pak!" perintah Mas Agus, suaranya tegas dan penuh amarah. Dia buru-buru menggendong Melisa membawanya menuju ruang IGD.

"Ayok ikut!"

Aku dan Kimmy diseret paksa keluar dari rumah sakit, perlakuan kasar mereka membuatku merasa tertekan dan terancam. Kami dimasukkan ke dalam pos satpam, suasana mencekam menyelimuti ruangan kecil itu. Rasanya seperti hendak diinterogasi.

"Kami tidak menyakitinya, Pak. Justru dialah yang duluan menyakiti temanku!" Kimmy membela diri, suaran
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jual Diri   21. Pria yang baik

    Mendengar tuduhan itu, jantungku berdebar kencang. Tatapan Pak Dylan yang semula ramah kini berubah tajam, menusukku bagai sebilah pisau. "Memangnya apa yang kamu lakukan kepada Melisa? Apa kamu mendorongnya?" suaranya berat, penuh tekanan. Aku menggeleng cepat, kepala terasa berputar. "Tidak, Pak. Aku—" Belum sempat aku menyelesaikan pembelaan, Mas Agus sudah menyambar. "Jelas kamu mendorongnya!" Suaranya meninggi, penuh amarah. Dia menatapku dengan kebencian yang teramat jelas, membela selingkuhannya tanpa ragu. "Kamu pikir Melisa jatuh sendiri? Jangan konyol! Ayo bawa mereka, Pak!" perintahnya pada petugas rumah sakit, suaranya lantang dan penuh otoritas. Salah satu petugas kembali meraih lenganku, namun Pak Dylan dengan kasar menepis tangannya. "Ayo, sama aku saja." Ajakannya membuatku semakin bingung. Apakah dia juga percaya pada kata-kata Mas Agus? Apakah dia memihak padanya? Pikiran itu menusukku seperti jarum. Rasa sedih da

    Last Updated : 2025-04-02
  • Terpaksa Jual Diri   22. Aku harap kamu menolak

    "Bener 'kan apa kataku? Pak Dylan memang suka sama kamu, Ra." "Ish, kamu ini mulai lagi, Kim." Kami berdua duduk di teras kontrakan, menikmati es teh manis. Angin sore berhembus lembut. Qiara dan Pak Dylan ada di dalam, pintu sengaja kubuka sedikit agar aku bisa melihat mereka berdua asyik bermain boneka Barbie. Senyum tipis terukir di bibirku. "Itu buktinya, Pak Dylan juga dekat banget sama Qiara. Sampai-sampai dia mau mengajaknya bermain." Aku menghela napas, sedikit bingung harus menanggapi bagaimana. Aku ingat pernah bercerita pada Kimmy tentang pertemuan-pertemuan tak terduga dengan Pak Dylan. Seharusnya dia mengerti, dan tidak perlu berpikir macam-macam. Atau mungkin, Kimmy memang senang menggodaku? Tapi lama-lama, godaannya mulai membuatku risih. Perasaanku jadi ikut campur aduk. "Jangan-jangan kalian ini memang sudah ada hubungan?" Kimmy menyipitkan mata, menatapku penuh curiga. "Ya Allah,

    Last Updated : 2025-04-03
  • Terpaksa Jual Diri   23. Tinggal bersamaku

    "Kenapa Bapak memintaku untuk menolak? Bapak sendiri belum menyatakan—" Pak Dylan tiba-tiba memotong, "Bukannya kamu sendiri yang bilang ingin kembali jadi buruh cuci?" Tunggu... apa yang sedang dibicarakannya? Buruh cuci?Benarkah? Pikiran ini melayang tak tentu arah. Aku sepertinya salah paham. Kupikir dia mendengar pembasahan Kimmy yang sedang menggodaku, tapi ternyata ini soal pekerjaan. Berarti yang dia dengar hanya pembahasan tentang Pak Jordi.Semua gara-gara Kimmy! Pikiran liar ini hampir tak terkendali. Untung ucapanku terpotong Pak Dylan. Andai tidak, betapa malunya aku! Laura, berpikirlah jernih! Lupakan ucapan Kimmy! Pak Dylan menatapku simpatik, suaranya lembut, "Laura, kalau kamu butuh uang, aku bisa bantu. Kamu tak perlu lagi menjual diri, apalagi kepada orang lain." Membantu lagi? Sudah berapa kali? Rasanya tak terhitung. Aku tak ingin terus berhutang budi padanya. Dia meny

    Last Updated : 2025-04-04
  • Terpaksa Jual Diri   24. Pacar baru

    Hari berganti."Ini uangnya, Mbak," kata Ibu pemilik kontrakan, menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan dengan senyum ramah. Matahari baru saja mengintip dari balik ufuk, menyinari pagi yang terasa begitu haru.Aku pamit pagi-pagi sekali. Mengatakan bahwa ingin pergi dari kontrakannya dikarenakan telah mendapatkan pekerjaan baru dan diharuskan tinggal di sana.Tak mungkin aku meninggalkan barang-barangku begitu saja. Dengan hati berdebar, aku menawarkannya pada Ibu kontrakan. Syukurlah, beliau baik hati. Beliau bersedia membelinya meskipun dengan harga setengahnya. Lebih dari itu, beliau bahkan memberiku uang setengah dari sewa kontrakan—sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan. Satu juta rupiah aku dapat darinya. Lumayan untuk pegangan. "Terima kasih ya, Bu. Sekarang aku hanya menunggu jemputan saja," ucapku. "Iya, Mbak. Hati-hati di jalan, ya," jawab beliau, suaranya hangat dan penuh perhatian. Aku menganggu

    Last Updated : 2025-04-05
  • Terpaksa Jual Diri   25. Salah bicara

    "Mommy ngomong apa sih?? Laura bukan pacarku, Mom," ujar Pak Dylan, menggeleng cepat. Dia terlihat malu, rona merah merekah di pipinya. Jadi, wanita elegan ini Mommy-nya? Wanita yang pernah diceritakannya, memiliki apartemen. "Jangan mengelak, Dylan. Mana mungkin hanya teman, tapi kamu sampai menyimpan fotonya di dompet?" Nada Mommy-nya terdengar tegas, namun tak sampai menyakitkan. Fotoku? Pak Dylan menyimpan fotoku di dompetnya? Sejak kapan? Dan untuk apa? "Ya, memangnya salah ... seorang teman menyimpan fotonya? Kan enggak, Mom," jawab Pak Dylan, menggaruk rambutnya dengan gugup. Dia menatapku, senyumnya canggung namun manis. "Oh iya, Laura. Kenalkan... ini Mommyku." Tatapannya beralih pada wanita itu. "Salam kenal, Bu," sapaku, mengulurkan tangan dengan senyum termanis. "Namaku Laura." "Panggil Tante saja, Laura." Mommy Pak Dylan membalas jabatanku dengan hangat. Senyumnya ra

    Last Updated : 2025-04-06
  • Terpaksa Jual Diri   26. Ini memalukan

    "Bukan begitu, Pak. Maksudku—" Pak Dylan memotong ucapanku, suaranya dingin menusuk, "Sudah, tidak perlu diteruskan." Qiara diturunkannya dari gendongan. Seketika, jantungku berdebar. Apakah dia marah? "Bereskan barang-barangmu, masukkan ke lemari. Nanti aku minta Bibi datang untuk mengajarimu bekerja di sini," perintahnya tanpa menatapku. "Baik, Pak," jawabku lirih, mengangguk cepat. Dia pun langsung melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu.Aku menghela napas panjang, berat. Melihat Qiara asyik bermain, aku mencoba menenangkan diri. Kulihat lemari di sudut ruangan. Kubuka perlahan, dan betapa terkejutnya aku. Lemari itu penuh dengan pakaian perempuan, tertata rapi. Pakaian dewasa dan anak-anak. "Milik siapa ini?" bisikku, rasa heran bercampur bingung. Apakah ada orang lain yang pernah tinggal di sini? Atau... Jangan-jangan pakaian ini untukku dan Qiara? Yang sengaja dibeli oleh Pak Dylan?

    Last Updated : 2025-04-07
  • Terpaksa Jual Diri   27. Aku minta maaf

    Aku memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal. Akhirnya, dengan berat hati kuucapkan, "Aku kebetulan dulunya pernah bekerja sebagai buruh cuci gosok, Tan. Dan Pak Dylan pernah memintaku untuk mencuci dan menyetrika bajunya," Tante Mala mengerutkan kening, bingung. "Lho, kan di sini Bibi juga sering mencuci dan menggosok pakaiannya, kenapa justru dia memintamu melakukannya?" "Aku... aku tidak tahu, Tan," jawabku, menggeleng pelan. Berpura-pura tidak tahu, sesuatu yang terasa pahit di lidah. Maafkan aku, Tante Mala. Aku terpaksa berbohong padamu. Semoga Tante dapat memaafkanku. Tante Mala menatapku penuh arti, seolah membaca isi hatiku. "Begitu, ya?" Ia menarik napas panjang. "Emmmm... kalau boleh Tante tahu, apa kamu memiliki perasaan kepada Dylan?" Pertanyaan itu membuatku terkejut. Bagaimana bisa, Tante Mala bertanya seperti itu? Dan kenapa? "Perasaan?!" suaraku tercekat. "Iya," Tante Mala melanjutkan, "Jadi kamu punya perasaan nggak sama Dylan? Ya Tante tau... kalian hany

    Last Updated : 2025-04-08
  • Terpaksa Jual Diri   28. Supaya statusmu jelas

    "Iya, kita masih berteman." Pak Dylan menyambut tanganku. Hatiku lega mendengarnya. "Sekarang istirahatlah. Ini sudah malam." "Baik, Pak. Selamat malam." Aku membungkuk sopan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarnya. *** Keesokan harinya. Di depan ruang makan, aku baru saja selesai menyajikan sarapan. Aku memasak nasi goreng teri yang menjadi salah satu masakan favorit Pak Dylan. Bumbu-bumbunya sama persis dengan resep dari Bi Wiwin. Semoga Pak Dylan menyukainya. Semalam saja dia tidak bilang apa-apa mengenai masakanku, berarti tidak ada yang salah. "Bunda ... Qiala mau salapan." Qiara memanggil, membuatku menoleh. Bocah kecilku itu sudah berdiri di belakangku. Tampak segar dan wangi seperti habis mandi. Namun, wajahnya terlihat tegang dan gugup.

    Last Updated : 2025-04-08

Latest chapter

  • Terpaksa Jual Diri   40. Meminta restu

    "Sebentar... aku akan minta Bibi buatkan Mommy teh hijau tanpa gula dulu, biar kita enak mengobrolnya." Dylan bergegas melangkah menjauh menuju dapur. Sikapnya yang tiba-tiba begitu manis membuatku curiga. Ada sesuatu yang disembunyikannya, aku yakin itu. Teh hijau itu tersaji di meja, hangat dan harum. Namun, aroma teh itu tak mampu menenangkan kegelisahanku. "Jadi, ada apa, Lan?" tanyaku, suaraku berusaha terdengar tenang, padahal rasa penasaranku sudah membuncah. "Pasti ada sesuatu, kan?" "Aku ke sini mau meminta restu, Mom," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. "Restu? Restu apa?" Dahiku berkerut. Aku benar-benar tak mengerti maksudnya. "Aku mau menikahi Laura, Mom." Kalimat itu seperti pukulan telak di dadaku. Menikah? Lho ... kenapa dengan Laura? Bukan dengan Inez? "Apa?! Menikah dengan Laura?!" suaraku meninggi, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

  • Terpaksa Jual Diri   39. Akta cerai

    "Bapak nggak perlu ikut campur! Aku ingin bicara serius dengan Laura!" bentak Mas Agus, mencoba mendekat, ingin meraih tanganku. Pak Dylan sigap menghalanginya. "Tidak akan kubiarkan kau bicara dengannya!" tegas Pak Dylan, suaranya bergetar menahan amarah, posesif dan melindungi. Ada aura kepemilikan yang kuat terpancar darinya. "Tolonglah, Pak… jangan cari ribut. Aku baru saja mengalami kecelakaan, aku malas berdebat. Biarkan aku bicara dengan Laura. Ini sangat penting," Mas Agus memohon, nada suaranya terdengar lebih rendah, egonya seolah sirna. Ini Mas Agus yang berbeda, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Namun, sorot matanya… ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan memohonnya. Ada kecemasan yang tersirat. "Aku tidak peduli! Mau kau habis kecelakaan… atau mati sekalipun!" Pak Dylan membentak, suaranya menggelegar, menunjukkan kemarahan yang tak terbendung. Dengan gerakan cepat dan pasti, dia menarikku masuk ke dalam mobil, mendudukkan Qiara di pan

  • Terpaksa Jual Diri   38. Keluarga baru

    "Kamu ingat itu 'kan, Ra?" Pak Dylan memastikan, tatapannya penuh pertanyaan. "Aku ingat, Pak. Tapi terakhir kali berhubungan badan... aku hanya sama Bapak, kemarin-kemarin juga, kan? Kalau bukan Bapak, siapa lagi? Nggak mungkin jin. Masa iya aku hamil anak jin?" "Enggak, Ra. Itu nggak mungkin!" Pak Dylan tegas, wajahnya terlihat ketakutan, tatapannya penuh kekhawatiran. "Kamu nggak mungkin hamil anak jin, anakmu manusia dan akan sesempurna seperti Qiara." "Terus?" Aku jadi ikut bingung. "Kita nggak perlu permasalahkan soal itu, yang terpenting... aku di sini yang akan bertanggung jawab." "Bertanggung jawab gimana, Pak?" Dahiku berkerut, bingung. Apa maksudnya? Apa dia mau menikahiku? Ah, jangan mimpi. Pak Dylan ragu akan anak ini, tidak mungkin dia mau menikah denganku. "Tentu saja untuk menikahimu." "E-ehhh... serius, Pak?" Mataku membulat tak percaya. Benarkah? Ini... mimpi? A

  • Terpaksa Jual Diri   37. Siapa Ayahnya?

    Degup jantungku berpacu kencang. "Bukannya aku tidak senang, Dokter, tapi Laura menggunakan KB. Tidak mungkin dia hamil," ujarku, suara gemetar tak terkendali. Bayangan jawaban Laura tadi malam masih menghantui, meyakinkanku bahwa ada kesalahan dalam pemeriksaan Dokter. "KB apa, jika boleh saya tahu, Pak?" "Suntik, Dok." "Apakah Nona Laura melakukannya secara rutin?" "Itu... Aku tidak tau." "Bagaimana bisa Bapak, sebagai suami, tidak tau?" Dokter itu menatapku heran. "Ah, itu... karena aku sibuk bekerja, jadi kurang memperhatikannya." Dokter sudah menganggapku sebagai suaminya Laura, jadi aku membiarkannya. Biarlah dia berpikir seperti itu. Aku tak punya cukup tenaga untuk menjelaskan semuanya. "Seharusnya Bapak lebih memperhatikannya. Meskipun seorang wanita menggunakan KB, baik pil, suntik, maupun IUD... tetap ada kemungkinan hamil, Pak, jika memang sudah Allah yang berkehendak." Jika sudah membawa-bawa nama Allah, aku tidak bisa apa-apa. "Tapi jika Bapak masih r

  • Terpaksa Jual Diri   36. 3 Minggu

    "Cek kesehatan itu nggak perlu kita sakit, Ra. Udah nurut aja, ini semua demi kebaikan kita bersama." Mommy mencoba membujuk Laura, nada suaranya sedikit lebih tegas."Ya udah, tapi nanti aku izin ke Pak Dylan dulu ya, Tan." Laura akhirnya setuju, namun tetap ingin memberitahuku terlebih dahulu."Tenang saja, nanti biar Tante yang ngomong ke Dylan." Mommy menawarkan diri, menunjukkan niatnya yang kuat untuk mengajak Laura ke rumah sakit.***"Dylan, Mommy harus pulang sekarang, ada urusan penting masalah kerjaan."Mommy pamit sepagi ini, saat aku baru saja keluar kamar sehabis sholat subuh. Penampilannya begitu rapi dan siap berangkat. Dia terlihat buru-buru. Tapi, bukankah dia berniat mengajak Laura ke rumah sakit? Apakah ini artinya rencana itu dibatalkan?"Nanti kamu saja yang ajak Laura ke rumah sakit. Mommy sudah ngomong kok sama dia. Tapi kamu bilang saja mau cek kesehatan, ya? Nanti bilang saja sama dokternya,

  • Terpaksa Jual Diri   35. Semoga saja

    "Mommy serius tau, Lan!" suara Mommy meninggi, nada kesalnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, jari-jari tangannya mengepal. "Mommy 'kan pernah jadi ibu, jadi Mommy tau persis ciri-ciri orang yang sedang hamil. Percaya deh sama Mommy, Lan." "Tapi, Mom... Laura 'kan sudah pisah sama suaminya. Lagi proses bercerai, Mom. Dia nggak mungkin hamil. Gimana bisa?" Aku berusaha menahan kebingungan dan sedikit rasa takut yang mulai menggerogotiku. Aku yakin, Laura tak mungkin kembali bertemu Agus, apalagi sampai berhubungan badan. Itu mustahil. Sekalipun tanpa sepengetahuanku, aku tak bisa membayangkannya. "Meskipun sudah pisah, masih ada kemungkinan mereka pernah berhubungan sebelumnya, Lan. Mungkin saja, kan? Nanti malam deh... Mommy akan bicara langsung dengan Laura. Kita cari tau kebenarannya." Mommy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekarang saja, Mom. Langsung tanyakan apa yang Mommy curigai." Aku tak sabar men

  • Terpaksa Jual Diri   34. Hamil muda

    Aku memutuskan untuk membawa Laura meninggalkan dapur, karena dapur bukanlah tempat yang tepat. Apalagi kalau Qiara melihat. Setelah menggendong Laura ke dalam kamarku dan mengunci pintu, tanpa basa-basi lagi, aku melepaskan pakaian kami. Dalam kehangatan dan keintiman, kami berdua melebur menjadi satu.***Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan itu membentakku dari tidur yang nyaris tak kuingat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena panik yang tiba-tiba menyergap."Om Dylaaaan!!" Suara teriakan itu seperti milik Qiara. Terdengar khawatir dari balik pintu."Om ... Bunda nggak ada di kamal, Om. Nggak tau ke mana.""Eh, itu suara Qiara 'kan, Pak?" Suara Laura, gemetar, membuatku tersadar sepenuhnya. Kami masih berpelukan di bawah selimut, tanpa busana.Rasa malu serta panik bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit, mengambil pakaian Laura yang tergeletak di lantai, lalu menggendongnya menuju kamar mandi."Kamu bersih-bersih dulu di sini dan pa

  • Terpaksa Jual Diri   33. Tak kuat menahan diri

    Aku merasa tak habis pikir dengan sikap posesif Pak Dylan di pesta tadi.Dilarang melirik laki-laki lain? Bahkan Sakti, yang hanya ingin bergabung, ditolak mentah-mentah. Tapi, aku sedikit maklum. Mungkin itu semua bagian dari sandiwara untuk meyakinkan orang lain."Terima kasih untuk hari ini. Aku bahagia sekali bisa membawamu ke pesta menjadi pacarku," katanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. Qiara sudah tertidur pulas di sepanjang perjalanan pulang. Sulit untukku bergegas turun."Sama-sama, Pak. Eh, biar aku saja, Pak," kataku, ingin mengambil Qiara dari pangkuan. Tapi Pak Dylan sudah lebih dulu mengambil Qiara, lalu melangkah menuju pintu rumah. Aku buru-buru menyusul dan membukakan pintu untuknya dan kami melangkah bersama."Nggak apa-apa kok," balas Pak Dylan, senyumnya hangat. "Qiara sudah lebih berat sekarang, ya? Pipinya juga sudah agak berisi."Dengan lembut, dia membaringkan Qiara di kasur dan menyelimuti tubu

  • Terpaksa Jual Diri   32. Cium aku dulu

    Tok! Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk, segera aku membukanya. Ternyata Pak Dylan, berdiri di ambang pintu bersama Qiara yang digandengnya. Namun, mata bocah lucu itu terlihat sembab dan merah. Seperti habis nangis."Kamu—" Ucapanku terhenti."Kamu kok ganti baju sih?" Pak Dylan mendahului pertanyaanku, tatapannya bingung. "Kita 'kan mau pergi sekarang, masa kamu pakai baju tidur?""Bukannya Bapak perginya sama Mbak Inez, ya?" tanyaku, lalu mencoba meraih tubuh Qiara, namun bocah itu menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Pak Dylan. Tangannya masih berpegang erat seolah tak ingin lepas dengannya."Kata siapa aku pergi sama Inez? Aku perginya sama kamu. Udah ayok pakai gaun yang tadi, aku tunggu.""Tapi—""Nggak usah pakai tapi-tapi!" Pak Dylan memotongku, nada suaranya tegas, lalu menutup pintu.Meskipun bingung, tapi aku tetap menurutinya. Aku kembali mengenakan gaun dari Pak Dylan lalu turun bersamanya.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status