Home / Romansa / Terpaksa Jual Diri / 3. Pelanggan pertama

Share

3. Pelanggan pertama

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-02-11 12:05:08

Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku.

Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona.

Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali.

"Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona."

Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja.

"Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi.

***

Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takjub sekaligus asing. Aku... benar-benar cantik.

Dress mini yang ketat membalut tubuhku, make up tebal menonjolkan fitur wajahku. Seksi dan mempesona, itu kata yang tepat. Tapi dibalik penampilan sempurna ini, aku merasa tidak nyaman. Ini bukan aku. Aku tidak terbiasa berdandan dan berpakaian seperti ini.

Satu jam telah berlalu, kulihat Kimmy berjalan mondar-mandir, dengan gelisah. Wajahnya pucat, khawatir. Kami berdua menunggu orang yang kata Kimmy membeliku, tapi sampai sekarang tak kunjung datang.

"Bagaimana, Kim? Orangnya sudah sampai mana?"

Anehnya, sebagian diriku berharap dia tak jadi datang. Agar aku tak perlu menjual diri hari ini, di kamar mewah ini. Aku belum siap, sungguh. Meskipun sudah terlanjur setuju.

"Nggak tahu, Ra. Janjiannya udah setengah jam yang lalu. Tapi nomornya nggak aktif," jawab Kimmy, matanya tak lepas dari ponsel di tangannya. Kecemasan terpancar jelas. Kemewahan kamar ini tak mampu mengurangi kekhawatirannya.

"Siapa namanya, Kim? Gimana orangnya? Usia berapa kira-kira?"

Penasaran menggerogotiku. Siapakah pelanggan pertamaku ini? Bayangan-bayangan buruk memenuhi kepalaku.

Seorang pria tua, mungkin. Kulit gelap, penampilan kurang menarik, botak, perut buncit… dan yang paling membuatku takut, dia pasti seorang pria hidung belang.

Hanya membayangkannya saja, bulu kudukku sudah merinding. Mual dan jijik. Aku bahkan ragu bisa memuaskannya.

Ya Allah… apa yang harus kulakukan?

"Dylan Matthew namanya, Ra."

Dylan Matthew?

Nama yang terdengar cukup keren, berbeda jauh dari bayangan pria tua dan menjijikkan yang ada di kepalaku.

"Eh, dia udah naik lift, Ra! Ayo, siap-siap!" Kimmy heboh, berlari membuka pintu.

"Siap-siap? Aku sudah siap dari tadi, kok!" Aku bingung dengan instruksinya. Tapi aku berdiri tegak, mencoba menenangkan diri.

"Maksudku, sambut dia dengan senyum terbaikmu. Tunjukkan yang termanis, dan ingat kata-kataku… kepuasan pelanggan adalah prioritas utama!"

"Oke!" Aku mengangguk cepat. Detak jantungku makin tak karuan. Segera, terdengar suara langkah kaki mendekat.

"Selamat malam .…"

Suara berat itu… familiar. Aku mendongak. Tubuhnya tinggi dan gagah, hidungnya mancung.

Dia… dia seperti pria yang ada di depan toilet! Pria yang menangis dan kuberikan sapu tangan bekas ingusku!

Benar, dialah orangnya. Jadi… dia pelanggan pertamaku?

"Selamat malam, Pak Dylan. Perkenalkan ... ini Laura, anak baru di rumah bordirku."

Kimmy memperkenalkan aku, merangkul bahuku.

Aku masih terpaku, mencoba memaksakan senyum terbaik. Semoga dia menyukaiku, meskipun mungkin dia masih ingat betapa kusut dan ‘gembel’ penampilanku saat bertemu pertama kali di toilet.

"Salam kenal, Nona Laura. Namaku Dylan." Pria tampan itu mengulurkan tangan. Tanganku gemetar hebat, terasa berat sekali saat menyambut uluran tangannya.

"Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dylan."

Pak Dylan tersenyum tipis, lalu melepaskan jabat tangan kami. Senyumnya… semakin membuat wajahnya mempesona. Dia juga memiliki aura yang begitu kuat untuk memikat.

"Ya sudah, kalau begitu aku permisi ya, Pak. Selamat malam, dan semoga Bapak puas. Jangan sungkan untuk menghubungiku, jika Anda membutuhkan sesuatu."

"Iya." Jawabannya singkat, namun terdengar ramah.

"Ingat kata-kataku ya, Ra," bisik Kimmy, suaranya menekankan setiap kata, sebelum akhirnya pergi, meninggalkanku berdua dengan Pak Dylan.

Keheningan tiba-tiba melanda, tenggorokanku kering kerontang. Jantungku berdebar tak beraturan, bahkan sejak perjalanan tadi.

Aku mulai berpikir, langkah apa yang harus kulakukan. Mulai dari mana? Langsung membantunya membuka baju? Atau… menciumnya dulu, sebagai pembuka? Pikiran macam apa ini?

"Apa kamu haus, Laura?" Pertanyaan Pak Dylan memecah keheningan. Suaranya berat, namun lembut. Ada kehangatan yang tak terduga.

"Sedikit, Pak. Bapak sendiri bagaimana? Mau aku pesankan minuman, atau bagaimana?" Aku mencoba basa-basi, meskipun sebenarnya tak tahu caranya memesan minuman di hotel mewah ini. Aku berusaha bersikap ramah, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Biar aku saja yang pesankan minuman untuk kita." Pak Dylan mendekat, duduk di tepi kasur, lalu mengambil ponselnya di dalam kantong celana. "Mau minum apa kamu?"

"Jus mangga saja, Pak."

"Baiklah." Dia mengetik pesanan, lalu menatapku. "Apa kamu lapar juga?"

"Enggak," jawabku cepat, menggeleng. Tapi… perutku berbunyi, nyaring.

Ah, menyebalkan! Ini memalukan sekali.

"Kenapa bilang enggak, padahal lapar?" Dia terkekeh pelan. Senyumnya… menyenangkan. Wajahnya terlihat semakin manis.

"Maaf," kataku, menunduk, pipiku memerah karena malu.

Beberapa menit kemudian, pesanan kami datang. Tak hanya minuman, Pak Dylan juga memesan makanan. Mungkin dia juga belum makan malam.

Kami makan malam di sofa di sudut ruangan. Keheningan canggung kembali menyelimuti kami, sampai akhirnya makan malam selesai.

Aku kenyang sekali. Ini pertama kalinya aku makan steak! Baru kusadari, aku belum makan apa pun sejak pagi tadi.

"Aku permisi ke toilet dulu ya, Pak, mau gosok gigi." Aku berdiri, sedikit ragu. Aku tak yakin ada pasta gigi di kamar mandi. Tapi setidaknya aku bisa berkumur. Aku khawatir mulutku bau setelah makan steak tadi.

"Tidak perlu gosok gigi. Kita langsung mulai saja sekarang." Pak Dylan berdiri, lalu kembali duduk di kasur, kedua pahanya sedikit terbuka.

"Langsung… mulai?" Aku mengulang kalimat itu dengan harap-harap cemas.

"Iya, mulai." Pak Dylan mengangguk, matanya menatapku.

Apa yang harus kulakukan?

Tubuhku langsung gemetar hebat. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menenangkan diri? Jantungku masih berdebar tak karuan.

Aku bingung. Bagaimana cara memuaskan pelanggan? Ini pelanggan pertamaku. Aku tak mau salah langkah, takutnya berakibat fatal.

Apakah aku harus langsung menciumnya? Atau… meminta izin dulu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terpaksa Jual Diri   4. Buka pakaianmu!

    "Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln

    Last Updated : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   5. Dia terlalu besar

    Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep

    Last Updated : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   6. Tidak pandai bersyukur

    "Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem

    Last Updated : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   7. Seperti orang asing

    "Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m

    Last Updated : 2025-03-17
  • Terpaksa Jual Diri   8. Asalkan dia bersamaku malam ini

    "Bunda angkat telepon dulu sebentar ya, Sayang. Nanti kita sarapan bareng," ucapku. Kudengar Qiara menyahut, tapi suaranya samar jadi aku tidak jelas mendengarnya."Hallo, Kim.""Ada di mana kamu?""Rumah sakit.""Nanti sore datang ke salon, ya. Kita ketemuan di sana.""Salon? Mau ngapain, Kim?" Aku bertanya bingung."Semalam kamu 'kan udah libur, jadi malam ini kamu harus kerja. Sudah ada pria yang udah booking kamu malam ini.""Kerja? Tapi Qiara baru aja siuman, Kim." Mana mungkin aku meninggalkan Qiara seorang diri di rumah sakit, sementara aku bersenang-senang dengan seorang pria. Aku juga khawatir Qiara akan menangis mencariku."Baguslah kalau sudah siuman. Tandanya operasinya lancar.""Operasinya memang lancar, tapi Qiara masih butuh perawatan. Dan tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri, aku tidak tega. Takut Qiara nangis juga.""Titipkan pada saudaramu saja, Ra. Pasti mereka datang me

    Last Updated : 2025-03-18
  • Terpaksa Jual Diri   9. Idamannya kaum hawa

    "Dia kecelakaan. Sekarang di rumah sakit." Aku terkejut. "Innalillahi ...." "Dia belum meninggal, Ra. Hanya kecelakaan, tabrakan mobil." "Innalillahi bukan hanya untuk orang meninggal, Kim. Aku hanya kaget." "Oh, gitu. Ya sudah, pulang saja sekarang, Ra. Bookingan Pak Jordi diundur sampai dia sembuh. Kita tunggu kabar darinya.""Iya. Ya sudah, aku pulang sekarang. Kamu tunggu aku dulu, ya, jangan tinggalkan Qiara." Qiara... anakku.Sebelum berangkat, aku ingat dia sudah tertidur. Tapi dia sering terbangun minta minum. Aku khawatir kalau dia sendirian dan dia kesulitan untuk mengambil air minum. "Iya, tenang saja. Aku pulang kalau kamu sudah sampai. Naik ojek saja, biar cepat.""Oke." Aku menutup panggilan, membayar tagihan, lalu melangkah keluar restoran. Aplikasi ojek online kubuka, mencari driver yang tersedia. "Nona, kamu mau ke mana?" Suara seseorang yang b

    Last Updated : 2025-03-19
  • Terpaksa Jual Diri   10. Divonis mandul

    Mentari pagi menyelinap masuk dicelah jendela hotel, menyingkapkan hari baru. Perutku terasa berat, dan saat kulihat, ternyata ada lengan Pak Dylan yang melingkari pinggangku. Dia masih tertidur pulas, suara dengkurannya terdengar samar ditelinga.Senyumku mengembang. Semalam... kenangannya masih terasa begitu nyata. Berbeda dengan awal pertama kita melakukan, karena kali ini dia lah yang memimpin permainan dan sama sekali tak meminta untuk aku di atas. Tiga kali kami merasakan kenikmatan itu. Namun, tubuhku tetap remuk, lemas tak berdaya. "Kamu sudah bangun?" Suara serak dan sedikit parau Pak Dylan membuyarkan lamunanku. "Iya, Pak. Selamat pagi. Bapak tidur nyenyak sekali." "Kamu juga." Sentuhan lembutnya di tanganku, menggenggam erat. "Laura, boleh aku tanya sesuatu?""Katakan saja, Pak.""Seandainya kamu memiliki pasangan... Tapi pasanganmu berselingkuh, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaannya membuatku mengernyit

    Last Updated : 2025-03-20
  • Terpaksa Jual Diri   11. Untuk apa memiliki burung yang besar

    Keesokan harinya, aku mengajak Melisa ke rumah sakit. Namun, aku belum memberitahunya tujuan sebenarnya."Mas ... kenapa kita ke rumah sakit? Kenapa ke dokter kandungan?" tanyanya bingung, menatapku yang tengah sibuk mengisi formulir pendaftaran. Matanya berbinar, penuh tanda tanya.Aku tersenyum. "Nanti kamu tau kok, Sayang." Rasa gugup dan haru bercampur aduk dalam dada. Aku tak sabar untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Apa kita akan memeriksa kesehatanmu, Mas? Memangnya sudah ada kemajuan, ya?" Melisa bertanya dengan ragu, tatapannya masih dipenuhi tanda tanya."Kita buktikan saja," jawabku, mengangguk mantap, berusaha menyembunyikan kegugupanku. Tekadku bulat untuk menghadapi apapun hasilnya.Beberapa menit kemudian, nama Melisa dipanggil. Kami masuk ke ruang pemeriksaan. Aku langsung meminta dokter melakukan USG. Pemeriksaan itu, seakan berlangsung sangat lama. Detak jantungku berpacu kencang. Apakah benar ada janin di dalam rahim istriku? Apakah aku akan segera

    Last Updated : 2025-03-21

Latest chapter

  • Terpaksa Jual Diri   35. Semoga saja

    "Mommy serius tau, Lan!" suara Mommy meninggi, nada kesalnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, jari-jari tangannya mengepal. "Mommy 'kan pernah jadi ibu, jadi Mommy tau persis ciri-ciri orang yang sedang hamil. Percaya deh sama Mommy, Lan." "Tapi, Mom... Laura 'kan sudah pisah sama suaminya. Lagi proses bercerai, Mom. Dia nggak mungkin hamil. Gimana bisa?" Aku berusaha menahan kebingungan dan sedikit rasa takut yang mulai menggerogotiku. Aku yakin, Laura tak mungkin kembali bertemu Agus, apalagi sampai berhubungan badan. Itu mustahil. Sekalipun tanpa sepengetahuanku, aku tak bisa membayangkannya. "Meskipun sudah pisah, masih ada kemungkinan mereka pernah berhubungan sebelumnya, Lan. Mungkin saja, kan? Nanti malam deh... Mommy akan bicara langsung dengan Laura. Kita cari tau kebenarannya." Mommy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekarang saja, Mom. Langsung tanyakan apa yang Mommy curigai." Aku tak sabar men

  • Terpaksa Jual Diri   34. Hamil muda

    Aku memutuskan untuk membawa Laura meninggalkan dapur, karena dapur bukanlah tempat yang tepat. Apalagi kalau Qiara melihat. Setelah menggendong Laura ke dalam kamarku dan mengunci pintu, tanpa basa-basi lagi, aku melepaskan pakaian kami. Dalam kehangatan dan keintiman, kami berdua melebur menjadi satu.***Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan itu membentakku dari tidur yang nyaris tak kuingat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena panik yang tiba-tiba menyergap."Om Dylaaaan!!" Suara teriakan itu seperti milik Qiara. Terdengar khawatir dari balik pintu."Om ... Bunda nggak ada di kamal, Om. Nggak tau ke mana.""Eh, itu suara Qiara 'kan, Pak?" Suara Laura, gemetar, membuatku tersadar sepenuhnya. Kami masih berpelukan di bawah selimut, tanpa busana.Rasa malu serta panik bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang, aku bangkit, mengambil pakaian Laura yang tergeletak di lantai, lalu menggendongnya menuju kamar mandi."Kamu bersih-bersih dulu di sini dan pa

  • Terpaksa Jual Diri   33. Tak kuat menahan diri

    Aku merasa tak habis pikir dengan sikap posesif Pak Dylan di pesta tadi.Dilarang melirik laki-laki lain? Bahkan Sakti, yang hanya ingin bergabung, ditolak mentah-mentah. Tapi, aku sedikit maklum. Mungkin itu semua bagian dari sandiwara untuk meyakinkan orang lain."Terima kasih untuk hari ini. Aku bahagia sekali bisa membawamu ke pesta menjadi pacarku," katanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. Qiara sudah tertidur pulas di sepanjang perjalanan pulang. Sulit untukku bergegas turun."Sama-sama, Pak. Eh, biar aku saja, Pak," kataku, ingin mengambil Qiara dari pangkuan. Tapi Pak Dylan sudah lebih dulu mengambil Qiara, lalu melangkah menuju pintu rumah. Aku buru-buru menyusul dan membukakan pintu untuknya dan kami melangkah bersama."Nggak apa-apa kok," balas Pak Dylan, senyumnya hangat. "Qiara sudah lebih berat sekarang, ya? Pipinya juga sudah agak berisi."Dengan lembut, dia membaringkan Qiara di kasur dan menyelimuti tubu

  • Terpaksa Jual Diri   32. Cium aku dulu

    Tok! Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk, segera aku membukanya. Ternyata Pak Dylan, berdiri di ambang pintu bersama Qiara yang digandengnya. Namun, mata bocah lucu itu terlihat sembab dan merah. Seperti habis nangis."Kamu—" Ucapanku terhenti."Kamu kok ganti baju sih?" Pak Dylan mendahului pertanyaanku, tatapannya bingung. "Kita 'kan mau pergi sekarang, masa kamu pakai baju tidur?""Bukannya Bapak perginya sama Mbak Inez, ya?" tanyaku, lalu mencoba meraih tubuh Qiara, namun bocah itu menggelengkan kepalanya dan memeluk tubuh Pak Dylan. Tangannya masih berpegang erat seolah tak ingin lepas dengannya."Kata siapa aku pergi sama Inez? Aku perginya sama kamu. Udah ayok pakai gaun yang tadi, aku tunggu.""Tapi—""Nggak usah pakai tapi-tapi!" Pak Dylan memotongku, nada suaranya tegas, lalu menutup pintu.Meskipun bingung, tapi aku tetap menurutinya. Aku kembali mengenakan gaun dari Pak Dylan lalu turun bersamanya.

  • Terpaksa Jual Diri   31. Malu-maluin

    Benar! Dia menciumku. Tapi kenapa? Apa alasannya? Apakah karena dia senang aku menerima tawaran darinya?Tuk! Tuk! Tuk!Mataku seketika membulat, saat melihat sosok pria berseragam polisi mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil. Padahal baru saja aku ingin membalas ciuman dari Pak Dylan, tapi akhirnya tidak jadi karena dia sudah buru-buru melepaskannya."Selamat siang, kenapa dengan mobilnya, Pak? Kok berhenti di jalan?" tanya Pak Polisi setelah Pak Dylan menurunkan kaca mobilnya. Aku langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tahu. Meski aslinya aku sedang menahan malu.Aku bisa memastikan jika wajahku kini sudah memerah."Oh, kami hanya beristirahat saja, Pak. Karena lelah di perjalanan."Pintar sekali Pak Dylan memberikan alasan."Boleh tunjukkan KTP dan SIM Anda?""Boleh.""Baiklah ... kalian bisa meneruskan perjalanan. Hati-hati dijalan ya, Pak ... Bu."Mendengar aku seperti dipanggil,

  • Terpaksa Jual Diri   30. Terima kasih

    "Aku baik-baik saja. Cu-cuma kepengen kencing," jawabnya gugup, lalu menyodorkan popcorn kepadaku. "Pegang dulu, ya, Laura. Aku hanya sebentar saja!" "Iya, Pak." Aku mengangguk cepat. Pak Dylan berdiri dan bergegas pergi, langkahnya terburu-buru hingga nyaris tersandung. Aku khawatir melihatnya, takut dia sampai terjatuh. Sepertinya dia sudah sangat ingin ke toilet. Aku melirik Qiara. Bocah itu begitu fokus menonton, matanya tak berkedip. Beberapa menit berlalu, setengah jam kemudian, Pak Dylan belum juga kembali. Kekhawatiranku semakin menjadi. Aku ingin menyusulnya, takut terjadi sesuatu pada dia. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Qiara sendirian. Aku menahan rasa cemas itu hingga film berakhir. Dan akhirnya, Pak Dylan kembali. Aku menghela napas lega, tersenyum lega padanya. Wajahnya tampak basah, mungkin baru saja mencuci muka. "Yah…

  • Terpaksa Jual Diri   29. Sangat mujarab

    Seolah tak mendengar permintaan Pak Dylan, aku tetap mengangkat panggilan kedua yang Mas Agus lakukan. Rasa penasaran menggigitku, aku ingin tahu alasan dia mencariku. Apa mungkin karena dia telah sudah lebih dulu mengajukan perceraian kami? "Laura, kamu ada di mana?" Kalimat itu yang pertama dia lontarkan padaku, tanpa memberikan salam lebih dulu. "Kenapa memangnya?" Aku berbalik tanya dengan nada yang terdengar ketus. "Apa kamu bisa ke rumah Mama? Dia sakit." Apa maksudnya? Apakah dia ingin memintaku menjenguk Mama Kokom? Tapi untuk apa? Setelah semua yang terjadi, aku tidak sudi bertemu lagi dengannya. Urusanku dengan Mama Kokom sudah selesai. "Laura, apa kamu mendengarku?" "Aku dengar. Tapi untuk apa aku ke rumah Mama, Mas? Aku sudah bukan menantunya lagi, bukankah dia akan memiliki menantu baru?" "Itu nggak ada h

  • Terpaksa Jual Diri   28. Supaya statusmu jelas

    "Iya, kita masih berteman." Pak Dylan menyambut tanganku. Hatiku lega mendengarnya. "Sekarang istirahatlah. Ini sudah malam." "Baik, Pak. Selamat malam." Aku membungkuk sopan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarnya. *** Keesokan harinya. Di depan ruang makan, aku baru saja selesai menyajikan sarapan. Aku memasak nasi goreng teri yang menjadi salah satu masakan favorit Pak Dylan. Bumbu-bumbunya sama persis dengan resep dari Bi Wiwin. Semoga Pak Dylan menyukainya. Semalam saja dia tidak bilang apa-apa mengenai masakanku, berarti tidak ada yang salah. "Bunda ... Qiala mau salapan." Qiara memanggil, membuatku menoleh. Bocah kecilku itu sudah berdiri di belakangku. Tampak segar dan wangi seperti habis mandi. Namun, wajahnya terlihat tegang dan gugup.

  • Terpaksa Jual Diri   27. Aku minta maaf

    Aku memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal. Akhirnya, dengan berat hati kuucapkan, "Aku kebetulan dulunya pernah bekerja sebagai buruh cuci gosok, Tan. Dan Pak Dylan pernah memintaku untuk mencuci dan menyetrika bajunya," Tante Mala mengerutkan kening, bingung. "Lho, kan di sini Bibi juga sering mencuci dan menggosok pakaiannya, kenapa justru dia memintamu melakukannya?" "Aku... aku tidak tahu, Tan," jawabku, menggeleng pelan. Berpura-pura tidak tahu, sesuatu yang terasa pahit di lidah. Maafkan aku, Tante Mala. Aku terpaksa berbohong padamu. Semoga Tante dapat memaafkanku. Tante Mala menatapku penuh arti, seolah membaca isi hatiku. "Begitu, ya?" Ia menarik napas panjang. "Emmmm... kalau boleh Tante tahu, apa kamu memiliki perasaan kepada Dylan?" Pertanyaan itu membuatku terkejut. Bagaimana bisa, Tante Mala bertanya seperti itu? Dan kenapa? "Perasaan?!" suaraku tercekat. "Iya," Tante Mala melanjutkan, "Jadi kamu punya perasaan nggak sama Dylan? Ya Tante tau... kalian hany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status