Beranda / Romansa / Terpaksa Jual Diri / 3. Pelanggan pertama

Share

3. Pelanggan pertama

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 12:05:08

Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku.

Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona.

Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali.

"Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona."

Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja.

"Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi.

***

Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takjub sekaligus asing. Aku... benar-benar cantik.

Dress mini yang ketat membalut tubuhku, make up tebal menonjolkan fitur wajahku. Seksi dan mempesona, itu kata yang tepat. Tapi dibalik penampilan sempurna ini, aku merasa tidak nyaman. Ini bukan aku. Aku tidak terbiasa berdandan dan berpakaian seperti ini.

Satu jam telah berlalu, kulihat Kimmy berjalan mondar-mandir, dengan gelisah. Wajahnya pucat, khawatir. Kami berdua menunggu orang yang kata Kimmy membeliku, tapi sampai sekarang tak kunjung datang.

"Bagaimana, Kim? Orangnya sudah sampai mana?"

Anehnya, sebagian diriku berharap dia tak jadi datang. Agar aku tak perlu menjual diri hari ini, di kamar mewah ini. Aku belum siap, sungguh. Meskipun sudah terlanjur setuju.

"Nggak tahu, Ra. Janjiannya udah setengah jam yang lalu. Tapi nomornya nggak aktif," jawab Kimmy, matanya tak lepas dari ponsel di tangannya. Kecemasan terpancar jelas. Kemewahan kamar ini tak mampu mengurangi kekhawatirannya.

"Siapa namanya, Kim? Gimana orangnya? Usia berapa kira-kira?"

Penasaran menggerogotiku. Siapakah pelanggan pertamaku ini? Bayangan-bayangan buruk memenuhi kepalaku.

Seorang pria tua, mungkin. Kulit gelap, penampilan kurang menarik, botak, perut buncit… dan yang paling membuatku takut, dia pasti seorang pria hidung belang.

Hanya membayangkannya saja, bulu kudukku sudah merinding. Mual dan jijik. Aku bahkan ragu bisa memuaskannya.

Ya Allah… apa yang harus kulakukan?

"Dylan Matthew namanya, Ra."

Dylan Matthew?

Nama yang terdengar cukup keren, berbeda jauh dari bayangan pria tua dan menjijikkan yang ada di kepalaku.

"Eh, dia udah naik lift, Ra! Ayo, siap-siap!" Kimmy heboh, berlari membuka pintu.

"Siap-siap? Aku sudah siap dari tadi, kok!" Aku bingung dengan instruksinya. Tapi aku berdiri tegak, mencoba menenangkan diri.

"Maksudku, sambut dia dengan senyum terbaikmu. Tunjukkan yang termanis, dan ingat kata-kataku… kepuasan pelanggan adalah prioritas utama!"

"Oke!" Aku mengangguk cepat. Detak jantungku makin tak karuan. Segera, terdengar suara langkah kaki mendekat.

"Selamat malam .…"

Suara berat itu… familiar. Aku mendongak. Tubuhnya tinggi dan gagah, hidungnya mancung.

Dia… dia seperti pria yang ada di depan toilet! Pria yang menangis dan kuberikan sapu tangan bekas ingusku!

Benar, dialah orangnya. Jadi… dia pelanggan pertamaku?

"Selamat malam, Pak Dylan. Perkenalkan ... ini Laura, anak baru di rumah bordirku."

Kimmy memperkenalkan aku, merangkul bahuku.

Aku masih terpaku, mencoba memaksakan senyum terbaik. Semoga dia menyukaiku, meskipun mungkin dia masih ingat betapa kusut dan ‘gembel’ penampilanku saat bertemu pertama kali di toilet.

"Salam kenal, Nona Laura. Namaku Dylan." Pria tampan itu mengulurkan tangan. Tanganku gemetar hebat, terasa berat sekali saat menyambut uluran tangannya.

"Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dylan."

Pak Dylan tersenyum tipis, lalu melepaskan jabat tangan kami. Senyumnya… semakin membuat wajahnya mempesona. Dia juga memiliki aura yang begitu kuat untuk memikat.

"Ya sudah, kalau begitu aku permisi ya, Pak. Selamat malam, dan semoga Bapak puas. Jangan sungkan untuk menghubungiku, jika Anda membutuhkan sesuatu."

"Iya." Jawabannya singkat, namun terdengar ramah.

"Ingat kata-kataku ya, Ra," bisik Kimmy, suaranya menekankan setiap kata, sebelum akhirnya pergi, meninggalkanku berdua dengan Pak Dylan.

Keheningan tiba-tiba melanda, tenggorokanku kering kerontang. Jantungku berdebar tak beraturan, bahkan sejak perjalanan tadi.

Aku mulai berpikir, langkah apa yang harus kulakukan. Mulai dari mana? Langsung membantunya membuka baju? Atau… menciumnya dulu, sebagai pembuka? Pikiran macam apa ini?

"Apa kamu haus, Laura?" Pertanyaan Pak Dylan memecah keheningan. Suaranya berat, namun lembut. Ada kehangatan yang tak terduga.

"Sedikit, Pak. Bapak sendiri bagaimana? Mau aku pesankan minuman, atau bagaimana?" Aku mencoba basa-basi, meskipun sebenarnya tak tahu caranya memesan minuman di hotel mewah ini. Aku berusaha bersikap ramah, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Biar aku saja yang pesankan minuman untuk kita." Pak Dylan mendekat, duduk di tepi kasur, lalu mengambil ponselnya di dalam kantong celana. "Mau minum apa kamu?"

"Jus mangga saja, Pak."

"Baiklah." Dia mengetik pesanan, lalu menatapku. "Apa kamu lapar juga?"

"Enggak," jawabku cepat, menggeleng. Tapi… perutku berbunyi, nyaring.

Ah, menyebalkan! Ini memalukan sekali.

"Kenapa bilang enggak, padahal lapar?" Dia terkekeh pelan. Senyumnya… menyenangkan. Wajahnya terlihat semakin manis.

"Maaf," kataku, menunduk, pipiku memerah karena malu.

Beberapa menit kemudian, pesanan kami datang. Tak hanya minuman, Pak Dylan juga memesan makanan. Mungkin dia juga belum makan malam.

Kami makan malam di sofa di sudut ruangan. Keheningan canggung kembali menyelimuti kami, sampai akhirnya makan malam selesai.

Aku kenyang sekali. Ini pertama kalinya aku makan steak! Baru kusadari, aku belum makan apa pun sejak pagi tadi.

"Aku permisi ke toilet dulu ya, Pak, mau gosok gigi." Aku berdiri, sedikit ragu. Aku tak yakin ada pasta gigi di kamar mandi. Tapi setidaknya aku bisa berkumur. Aku khawatir mulutku bau setelah makan steak tadi.

"Tidak perlu gosok gigi. Kita langsung mulai saja sekarang." Pak Dylan berdiri, lalu kembali duduk di kasur, kedua pahanya sedikit terbuka.

"Langsung… mulai?" Aku mengulang kalimat itu dengan harap-harap cemas.

"Iya, mulai." Pak Dylan mengangguk, matanya menatapku.

Apa yang harus kulakukan?

Tubuhku langsung gemetar hebat. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menenangkan diri? Jantungku masih berdebar tak karuan.

Aku bingung. Bagaimana cara memuaskan pelanggan? Ini pelanggan pertamaku. Aku tak mau salah langkah, takutnya berakibat fatal.

Apakah aku harus langsung menciumnya? Atau… meminta izin dulu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Terpaksa Jual Diri   4. Buka pakaianmu!

    "Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   5. Dia terlalu besar

    Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   6. Tidak pandai bersyukur

    "Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   7. Seperti orang asing

    "Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-17
  • Terpaksa Jual Diri   1. Goyangkan pinggulmu

    "Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Terpaksa Jual Diri   2. Jual diri

    "Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11

Bab terbaru

  • Terpaksa Jual Diri   7. Seperti orang asing

    "Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m

  • Terpaksa Jual Diri   6. Tidak pandai bersyukur

    "Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem

  • Terpaksa Jual Diri   5. Dia terlalu besar

    Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep

  • Terpaksa Jual Diri   4. Buka pakaianmu!

    "Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln

  • Terpaksa Jual Diri   3. Pelanggan pertama

    Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju

  • Terpaksa Jual Diri   2. Jual diri

    "Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les

  • Terpaksa Jual Diri   1. Goyangkan pinggulmu

    "Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status