"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"
Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas. Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain? Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran! Braak!! Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat. "Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal, tubuhku gemetar menahan amarah. Plaaakkk!! Namun, sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi kananku. Mas Agus, dia yang menamparku. Aku tercengang. Harusnya aku yang menamparnya! Kenapa dia yang melakukannya? "Dasar perempuan tidak berguna!" teriaknya suaranya penuh kebencian. Dia merangkul wanita itu, yang kini menangis tersedu-sedu. "Pergi kau! Jangan ganggu hidupku lagi!" Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada tamparan itu. "Kenapa… kenapa Mas melakukan ini padaku?" suaraku bergetar, menahan isak. Bola mataku berkaca-kaca, air mata yang kurasakan kali ini berbeda, lebih pedih, lebih menyayat. "Apa salahku? Sampai Mas tega menduakan aku dan pergi meninggalkanku tanpa kabar?" "Karena aku sudah bosan. Kamu tidak menarik lagi." Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk-nusuk jantungku. Dingin dan tajam. "Tidak menarik?" Aku tak percaya. Dulu, saat pacaran, dia selalu mengatakan aku adalah wanita tercantik di dunia. Apakah itu semua bohong? Atau… apakah aku memang sudah tidak menarik lagi? Apakah aku sudah berubah? "Tapi, kalau aku tidak menarik… itu semua karena kamu, Mas!" Aku berteriak, rasa sakit hati dan amarah membuncah. "Karena aku?" Satu alisnya terangkat, dia tertawa sinis. "Jangan bercanda, Ra. Memangnya kamu bisa mengurus diri sendiri?" Ejekannya terasa seperti tamparan yang jauh lebih menyakitkan daripada tamparan fisik. "Aku bisa mengurus diri sendiri kalau uang nafkah darimu cukup, Mas!" Aku membentak. Aku bahkan masih ingat jelas, dia hanya memberikanku uang nafkah dua juta perbulan, dan itupun tidak setiap bulan. Karena dia selalu beralasan membaginya kepada Mamanya yang janda. Plaaakkk!! Kedua kalinya tamparan mendarat di pipiku. Rasanya bukan hanya pipiku yang terasa panas, tapi seluruh tubuhku. Aku ingin membalas, ingin mencekik lehernya. "Kurang ajar kamu, Mas! Berani-beraninya .…" Aku mencoba meraih lehernya, tetapi dia lebih tinggi dan lebih kuat. Dan dia lah yang akhirnya berbalik mencekikku sekarang. "Kamu perempuan yang tidak tau diri! Aku menyesal menikahimu! Apalagi mendapatkan anak yang penyakitan darimu!" Suaranya menggelegar, penuh kebencian. "Mulai sekarang… aku talak kamu, Laura!!" Kata-kata itu jatuh seperti batu nisan di atas hatiku, menandai akhir dari segalanya. "Dan aku tidak akan memberikan nafkah lagi untukmu atau anak kita. Cukup untuk ibuku yang janda!" tambahnya dengan nada sinis, seolah mengukir luka yang lebih dalam. Kepedihan dan keputusasaan menggelombang dalam diriku. Semua pengorbananku, semua perjuanganku, hancur dalam sekejap mata. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sepertinya, niatan untuk meminta tolong padanya membayar biaya operasi Qiara telah pupus. Aku pun tak sudi. Andai hanya aku yang dihina, mungkin aku masih akan merendahkan diri untuk memohon uang. Namun, penghinaan terhadap Qiara... itu tak bisa kuterima. Qiara memang memiliki penyakit jantung bawaan. Dan karena penyakit itulah, semenjak dia lahir, Mas Agus dan keluarganya tidak menyukainya. Tapi itu 'kan bukan salah Qiara, dan sebagai seorang ayah, tidak seharusnya dia seperti itu. Dasar pria br*ngsek! Cukup. Semua telah berakhir. Aku tak perlu lagi bergantung padanya, apalagi menangisinya. Toh, sebulan ini, aku dan Qiara hidup berdua, dan aku yakin bisa melewatinya, meskipun jalan di depan masih terasa gelap. Aku akan kuat. Aku pasti bisa. Dan suatu hari nanti, aku akan membalas semua perbuatanmu. * * Hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnya, memburamkan pandanganku dan memberatkan langkah. Tubuhku menggigil kedinginan, namun aku mengabaikannya, menerjang hujan demi segera mendapatkan angkutan umum. Bahkan memesan ojek online pun terasa sulit, banyak yang menolak order. Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna merah menyala berhenti di depanku, membuatku terpaku. Keningku berkerut. Perlahan, jendela mobil itu turun, memperlihatkan seorang perempuan cantik berpakaian modis di balik kemudi. "Kamu Laura, kan?" tanyanya, melepas kacamata hitamnya. Awalnya, kupikir dia orang asing. Namun, sesuatu dalam dirinya terasa familiar. "Kimmy?" tanyaku ragu, suaraku hampir tak terdengar di tengah derasnya hujan. Wajahnya, meskipun beberapa tahun tak kulihat, tetap kukenal. Kimmy, sahabatku semasa SMA. "Iya, ini aku. Mau ke mana? Cepat masuk, biar kuantar," ajaknya, suaranya penuh perhatian. Tanpa ragu, aku buru-buru masuk ke dalam mobilnya yang hangat. Sebuah handuk lembut segera disodorkan kepadaku. "Keringkan rambutmu. Nanti kamu masuk angin," kata Kimmy, suaranya lembut. "Iya. Terima kasih ya, Kim," jawabku, masih sedikit gemetar karena kedinginan. "Sama-sama. Kamu kalau mau ganti baju, aku ambilkan, ya? Aku punya baju ganti di kursi belakang," tawar Kimmy sambil memutar badan, lengannya terulur. Namun, aku langsung mencegahnya. "Nggak usah, Kim. Terima kasih. Aku ganti pas pulang saja." "Memangnya kamu tinggal di mana?" tanyanya. "Di Jalan Cempaka Putih, Kim. Kamu tahu, kan?" "Tahu kok," Kimmy mengangguk, lalu menyalakan mesin mobilnya. "Aku antar pulang, ya?" "Iya," jawabku singkat. Mobil mewah itu pun melaju melewati derasnya hujan. Tapi, apa gunanya pulang? Niatku kan mencari uang untuk biaya operasi Qiara. Tunggu! Pandanganku tertuju pada Kimmy. Sebuah ide tiba-tiba muncul. Dari media sosial, aku tahu Kimmy bekerja sebagai Lady Companion atau biasa di singkat LC, di sebuah klub malam di Jakarta. Gajinya lumayan besar, apalagi katanya ada tambahan 'tip' dari pelanggan. Bagaimana kalau aku meminta bantuan padanya? Apakah dia mau membantuku? Resiko penolakan memang ada, tapi... aku harus mencoba. "Kamu habis dari mana sih, Ra? Kok hujan-hujanan?" tanya Kimmy, suaranya membuatku tersentak dari lamunan. "Aku habis menyusul suamiku, Kim. Dia nggak pulang-pulang sudah sebulan." "Pergi ke mana memangnya? Kok bisa, nggak pulang-pulang?" Kimmy mengerutkan kening, menunjukkan rasa khawatirnya. "Awalnya aku nggak tau alasannya, tapi sekarang aku sudah tau... dia pergi karena sudah bosan sama aku. Dia juga sudah selingkuh." "Selingkuh?!" Mata Kimmy membulat sempurna, kejutan tergambar jelas di wajahnya. Aku mengangguk, air mata hampir jatuh. "Kurang ajar banget! Harusnya kamu siram dia pakai air keras, Ra! Pas mukanya! Biar mukanya hancur dan matanya buta!" Kimmy tampak benar-benar marah. "Enggak," jawabku lirih. "Aku nggak kepikiran ke arah situ, Kim. Tapi... sebenarnya ada sesuatu yang lebih penting daripada suamiku selingkuh." "Sesuatu apa?" Kimmy menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku... aku ...." Lidahku terasa kelu. Rasa malu menggelegak. Bertemu Kimmy setelah sekian lama, lalu langsung meminjam uang? Rasanya memalukan. Aku takut dia kapok berteman denganku. Tapi... Kimmy adalah satu-satunya harapanku."Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les
Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln
Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep
"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem
"Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m
"Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak. Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya. Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m
"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul."Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter.""Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku."Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter."Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku mem
Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap. Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom. Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali. Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat. Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah. Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan. "Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tep
"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah. Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran.Ya ampun, tolong maafkan aku!Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak.Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya."Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam."Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini."Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?""Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak.""Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenaln
Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
"Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les
"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal