KENZO
Sudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik. Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku. Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal. Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku. Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada para korban. Keuntungan proyek yang aku dapatkan, habis hanya untuk membayar biaya kesehatan, ganti rugi dan uang tutup mulut agar insiden yang melibatkan keluarga kami, tidak tersiar ke mana-mana. Meskipun tidak sampai jatuh miskin apalagi sampai kelaparan, aku tetap merasa sedih. Kerja kerasku tidak bisa kunikmati lagi. Pesta sesaat sebelum kecelakaan terjadi, hanya tinggal kenangan. Selain ikut membayar semua kerugian yang ditimbulkan olehku, orang tuaku juga memberi hukuman tambahan: membekukan bisnisku. Aku disuruh bekerja sebagai asisten ketiga Papi di sela-sela waktu kuliahku. Gajiku digunakan untuk membayar uang yang dikeluarkan oleh orang tuaku untuk mengatasi dampak dari kecelakaan yang aku timbulkan. Aku pun tidak bisa kabur karena Mami tahu betul jadwal kuliahku. Papi juga memperlakukan aku dengan sama kerasnya. Menyuruhku melakukan pekerjaan remeh tapi melelahkan seperti membeli kopi di kafe yang terletak di lantai bawah gedung dua hingga tiga kali dalam sehari dan mengangkat tas dan berbagai barang keperluan Papi ke mana-mana. Tidak ada lagi predikat ‘pengusaha belia’. Yang ada hanya Kenzo, pekerja kelas rendah di PT. Trisula Rama Perkasa. Siang ini, aku ditugaskan menjemput Papi dan Mami di bandara. M*rced*s S-Cl*ss S 450 Luxury yang kukendarai melaju mulus di jalanan. Kulirik Papi yang duduk di sampingku. Beliau memejamkan mata. Tampak lelah usai melakukan perjalanan jauh yang tidak hanya menguras tenaga dan waktu, tetapi juga pikirannya sebagai seorang pengusaha kelas kakap. Mami yang duduk di belakang tampak sibuk dengan ponselnya. Tumben beliau tidak marah-marah padaku. “Besok Ken jemput Husna dan Asma, ya,” kata Mami sekonyong-konyong, tanpa paragraf pembuka sama sekali. Husna? Asma? Siapa itu? “Itu loh, anak yang menolong Papi waktu kamu menabrak Papi tiga bulan lalu,” sahut Papi yang ternyata sudah membuka matanya. “Besok Papi dan Mami mengundang dia dan adiknya untuk menginap di rumah kita.” Aku tersentak. Oh iya, gadis yang bernama Husna itu. Setelah menolong Papi dan anak buahnya, dia juga yang membawa mereka ke rumah sakit dan menunggu di sana hingga Mami datang. Aku dan Cindy sendiri harus ditolong oleh petugas pemadam kebakaran karena tubuh kami terjepit, sehingga kami baru bisa dibawa ke rumah sakit satu jam kemudian. Mami sangat berterima kasih pada gadis yang konon juga adalah penjual kue itu. Papi pun demikian. Kudengar Mami menawarkan beasiswa bagi dia dan adiknya, tapi ditolak. Tidak kehabisan akal, Mami bertindak menjadi ‘pembeli bayangan’ bagi brownies buatan Husna. Melalui orang lain, Mami memesan brownies setiap hari dalam jumlah yang cukup banyak sehingga Husna kewalahan. Dalam tiga bulan, usaha kecil-kecilan Husna berkembang. Saat mengetahui bahwa Husna mencari rumah kontrakan karena kos-kosan tempatnya sudah tak mampu menampung peralatan dan bahan-bahan yang Husna perlukan, Mami langsung bergerak cepat dengan mengirim iklan khusus ke akun sosial media gadis itu. Menawarkan sebuah rumah kontrakan dengan sewa yang sangat murah namun letaknya strategis. Dengan begitu, Husna bisa membuka toko kecil di sana untuk semakin mengembangkan usahanya. Menurutku, apa yang Mami lakukan untuk Husna, sudah lebih dari cukup. Balas budi Mami pada pengorbanan gadis itu, sudah sepadan dengan apa yang dia lakukan untuk menyelamatkan Papi dan para anak buahnya. Aku pikir, sudah sepatutnya Mami, juga Papi, berhenti sampai di sini. Namun, ternyata aku keliru. Mami, juga Papi, ternyata masih merasa berutang budi pada Husna. Untuk menuntaskan balas budi mereka, Mami dan Papi pada akhirnya mengorbankan aku, biang kerok kemalangan yang menimpa Papi. Aku tidak pernah mengira, gadis yang asing bagiku itu akan membuat hidupku kelak jungkir balik. Bukan karena dia menggangguku, melainkan karena justru akulah yang mencoba menghindarinya.HUSNAAsma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas.Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami.“Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu.“Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya.“Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Ka
KENZOHusna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali
KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZOSetelah aku menabrak mobil Papi tiga bulan yang lalu, fasilitas yang kunikmati selama ini, dikurangi dengan drastis. Termasuk urusan kendaraan. Jika sebelumnya, ke mana-mana aku mengendarai mobil sport—yang kini telah hancur, maka kini aku hanya menggunakan sedan dengan spesifikasi jauh di bawah mobilku terdahulu.Namun, ternyata itu sudah lebih dari cukup bagi Vita. Ia tersenyum senang saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang menggunakan H*nda Civ*c T*rbo yang selama ini hanya terparkir di kediaman keluargaku.Tengah malam itu, dalam perjalanan pulang, kami terlibat pembicaraan yang cukup lama dan intens. Gadis bergaun biru itu mengaku sebagai mahasiswi di sebuah universitas yang namanya belum pernah kudengar sebelumnya. Entahlah. Mungkin aku yang kurang pengetahuan.“Kamu kuliah atau kerja?” tanyanya dengan suara agak mendesah.“Dua-duanya,
HUSNA“Tante, saya tidak punya uang untuk dipinjamkan,” tolakku.“Masa’ sih? Tante lihat kamu bisa punya toko kue dengan peralatan yang bagus begini. Masa’ iya, tidak punya uang?” sergah Tante Fitri. Dia mendekati rak tempatku memajang aneka kue kering.“Ini? Ini semua harganya berapa?” tanyanya sambil menunjuk rak tersebut. “Kamu bohong kalau bilang nggak ada duit.”Gini deh. Dia yang mau meminjam, tapi malah dia pula yang memaksa. Sudah ditolak, malah tetap memaksa.“Saya memang punya uang, tapi untuk kehidupan saya dan Asma sehari-hari. Jadi tidak bisa saya pinjamkan,” jawabku.“Berapa sih, kebutuhan kalian berdua? Sebulan palingan dua juta, ‘kan? Tidak sampai lima juta, ‘kan? Makanya Tante mau pinjam. Tiga juta saja!”Ini orang maksa, ya. S
HUSNASetelah Kenzo meninggalkan tokoku, tubuhku luruh, bersembunyi di balik meja kasir. Kedua tangan menutup wajahku yang terasa panas. Ya ampun, pagi-pagi begini, sudah dibuat baper hanya karena Kenzo membeli produk jualanku.Tapi, aku mengakui, kemunculan Kenzo di tokoku yang tiba-tiba, ibarat hujan pengusir panas yang ditimbulkan oleh Tante Fitri. Sudah mengusir aku dan adikku, tiba-tiba muncul hanya untuk meminjam uang. Mending beli browniesku beberapa, ini malah hanya memaki setelah aku menolak keinginannya.Aku menatap dua lembar uang berwarna merah yang diberikan oleh Kenzo barusan. Pembuka hari yang baik. Ditambah dengan pembelian brownies dari pelangganku, pagi ini aku sudah membukukan penjualan senilai tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah.Aku bersyukur atas apa yang kudapatkan. Mudah-mudahan bisa bertambah jauh lebih banyak pada penghujung hari, agar aku kelak bisa mewujudkan impianku un
KENZOUniversitas tempat Vita kuliah ternyata terletak di daerah suburban. Tidak begitu luas, namun tertata rapi. Berdasarkan keterangan dari Bang Rano yang aku mintai tolong untuk mencari informasi—jadi anak bos memang menguntungkan karena bisa meminta tolong pada atasan untuk hal-hal yang berhubungan dengan ‘pekerjaan’, aku jadi tahu siapa yang berada di balik yayasan yang mengelola universitas tersebut.“Terima kasih ya, sudah mau nganterin. Oh iya, kamu kuliah di mana?” tanya Vita sebelum turun dari mobil. Astaga, padahal semalam sepertinya aku sudah mengatakannya. Entahlah. Barangkali aku yang lupa.Kusebut nama perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu dan ia terdiam. Aku pikir ia mungkin minder, jadi aku segera mengalihkan perhatian.“Mau kujemput lagi? Kabarin aja.”Ia tersenyum dan mengangguk. “Nanti aku kabari.”
HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga
KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat
HUSNAPagi menjelang siang itu, aku menyempatkan diri keluar sebentar untuk membeli nasi padang untuk kami bertiga, termasuk untuk Asma yang belum pulang sekolah. Lauknya rendang ditambah perkedel kesukaan Asma.Kami berdua makan duluan tanpa menunggu Asma. Himawari pun makan dengan lahap. Rupanya dia tidak hanya kehausan, tetapi juga kelaparan.Aku sempat khawatir bahwa Himawari akan muntah lagi mengingat nasi padang mengandung santan dan berbumbu kuat yang bisa memicu masalah pada lambungnya lagi. Namun, tampaknya kekhawatiran itu berlebihan. Himawari kembali berseri setelah perutnya diisi dengan makanan yang enak.Aku sebenarnya ingin bertanya pada Himawari, setelah badannya sehat, apakah dia sudah mau pulang? Apa perlu kuhubungi adiknya, atau Kenzo sekalian?Tapi, aku tidak mungkin mengusir pahlawanku seperti itu. Bagaimanapun, Himawari pernah menolongku saat dilabrak keluarga sendiri.Tapi, dia sudah terlalu lama di rumahku …. Lagipula, dia sainganku dalam ….Aku tercekat, menutu
HUSNANovi masih meneleponku hingga tiga kali, tapi semua panggilannya kuabaikan. Aku tidak mau mendengarkan lagi ucapannya yang memicu air mataku untuk keluar.Sesaat kemudian, Novi mengirimkan pesan yang hanya aku baca. Ia memberitahukan keberadaan Kenzo dan Novi saat ini.Di kampus, ya? Tempat pendidikan tinggi yang hanya menjadi impian untukku. Apa Novi menyuruhku ke sana dan melabrak mereka?Aku mengucapkan istigfar saat pemikiran untuk memergoki Kenzo dan Putri itu tercetus di benakku. Apa hakku melakukan itu? Lagipula, baik Putri mau pun Kenzo adalah orang-orang yang baik padaku. Tidak mungkin aku menyerang mereka seperti itu.Dadaku kembali terasa panas. Perih. Darahku seperti mengalir lebih cepat saat aku membantah pikiran burukku sendiri. Aku memang tidak boleh menyakiti hati Kenzo dan Putri. Tapi, bagaimana caranya agar hatiku sendiri bisa menjadi tenang?“Husna … ada air minum, nggak? Aku haus ….”Aku tersentak dan menoleh. Melihat Himawari sudah berdiri tak jauh dariku. A
HUSNA“Nov, kalau kamu nggak punya kerjaan lain selain ngemis-ngemis apa yang nggak aku miliki, mendingan kamu ngapain. Kalau memang mau sama Ken, bilang aja ke dia langsung, jangan ke aku,” semburku.Bahkan jika Putri atau Himawari memang punya hubungan khusus dengan Kenzo, aku bisa apa? Mau melarang? Baik aku dan Kenzo sama-sama belum mengatakan apa-apa tentang perjodohan yang diinginkan oleh Bu Krisye dan Pak Kenta itu. Jadi terserah masing-masing dalam menyikapinya.“Tapi cewek seperti kita nggak akan punya kesempatan kalau saingannya cewek tajir seperti Putri, teman sekolahmu dulu.”Sesuai dugaanku, ternyata gadis yang Novi maksud adalah Putri.Justru karena itu, Novi! Aku sudah punya kesempatan untuk menjadi pasangan Kenzo, tapi belum aku ambil karena … aku menyadari diriku. Siapa sih, aku ini? Apa aku memang pantas menjadi calon pasangan Kenzo?Aku ikhlas menolong Pak Kenta, tak mengharapkan imbalan sekalipun imbalan itu adalah Kenzo. Jadi, kesempatan itu masih aku diamkan hing
HUSNA“Assalamu ‘alaikum,” sapaku ogah-ogahan. Bagaimana pun, aku masih enggan menerima orang yang sudah mengusikku tempo hari.Agak lama tak terdengar jawaban. Aku hanya mendengar tangisan lirih. Eh, Novi menangis?Jujur, aku masih menyimpan dendam pada keluarga yang sudah mengusir aku dan Asma. Novi adalah bagian dari keluarga itu. Mau terlibat langsung dalam pengusiran mau pun hanya menyaksikan tanpa mencegah, bagiku sama saja. Sama jahatnya.Akan tetapi, saat mendengar tangisan lirih Novi di seberang sana, hatiku seperti digores. Novi yang aku tahu adalah anak yang pandai bergaul, ekspresif dan blak-blakan. Kenapa ia justru terdengar rapuh seperti ini?“Una …. Kalau aku minta Ken, maksudku Kenzo, dari kamu. Nggak apa-apa, ‘kan?”Sekonyong-konyong, Novi berbicara. Tapi kata-katanya membuat hatiku tergores. Ah, bukan hanya itu. Aku merasakan sesuatu yang panas di dadaku. Perasaan yang tidak asing. Singkat saja. Aku geram mendengarnya.Kenapa sepertinya semua orang menyukai dan mengi
HUSNAAku membiarkan Himawari minum, menghabiskan isi botol yang tersisa. Kondisinya cukup mengkhawatirkan. Walaupun dia adalah sainganku, aku tidak akan tega membiarkannya menderita seperti ini.Hah? Saingan? Astaga Husna, sadarlah! Jangan terbawa mimpi lagi. Jika Kenzo menolakmu, maka itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika Kenzo menolak gadis seperti Himawari atau Putri.Putri. Entah kenapa, bayangan teman sekolahku itu melintas di benakku. Teringat pada hadiah dari Kenzo untuknya pada saat makan malam bersama. Kenzo pasti sangat dekat dengannya sampai bersedia memberikan gelang secantik itu. Atau, sejak awal, Kenzo memang menginginkan Putri?“Hoek!”Himawari kembali muntah, membuat pikiranku yang sedang ke mana-mana, kembali ke toko ini. Air minum yang sudah melewati tenggorokannya, kini ditumpahkan lagi.Aku juga pernah mengalami apa yang dia
KENZO“Apa? Kamu suka aku?” sergah Putri. Ia tampak terkejut. Tidak mengira bahwa aku menyukainya.Aku pun terkejut. Benar-benar terkejut. Terkejut bukan karena melihat reaksi Putri. Melainkan karena aku tidak menyangka, aku mampu mengatakannya.Aku mengira bahwa aku hanya membisikkan kata-kata itu dalam benakku saja. Tapi ternyata tidak. Aku mengucapkannya, tanpa basa-basi!Apa aku terlalu gugup, hingga tak sengaja meluncurkan kalimat itu dari mulutku? Apa ini? Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri hingga berbicara di luar kendaliku?Cokelat praline dalam genggaman Putri nyaris terlepas, sebagai bagian dari reaksi keterkejutan dirinya atas kata-kata yang aku lontarkan. Putri segera menyelamatkan pemberianku itu, lalu buru-buru meletakkan kaleng tersebut di sisinya.“Beneran, Ken? Kamu nggak lagi ngelindur, ‘kan? Nggak main-main, ‘kan?” tanya Putri sambil menatap mataku. Ia seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka.Aku gelagapan. Bingung mau bicara apa setelah
HUSNA“Kalian saling sayang ya, karena sejak kecil sudah saling kenal?” tanyaku hati-hati.Saatnya menggali informasi. Aku ingin tahu, seperti apa sebenarnya hubungan di antara dua orang keluarga jauh ini.Sayangnya, Himawari terlalu ‘mabuk’ untuk menjawab. Gadis itu malah menangis sesenggukan lagi.“Dia jahat! Aku nggak terima, pokoknya!” seru Himawari. Kemudian menghabiskan potongan brownies yang terakhir.Uh. Aku harus bersabar. Orang patah hati memang sulit diajak bicara.Eh? Patah hati? Apa memang benar, di antara Himawari dan Kenzo, memang ada hubungan yang sangat kuat?Sepertinya iya. Kalau tidak, kenapa Himawari tampak frustrasi seperti ini? Kalau mereka hanya berteman, tidak mungkin Himawari akan sekalut ini.Aku memilin ujung jilbabku, menahan diri agar tidak larut dalam p