KENZO
Malam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku. Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala. Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya. Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak. “Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.” Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak bermasalah. Jadi, aku tidak akan salah paham dengan maksud Papi. “Ca-calon istri?” sentakku, tergagap. “Iya. Husna adalah gadis yang cocok. Dia baik hati, suka menolong dan pekerja keras. Cantik, pula. Calon istri idaman yang bisa mendampingimu. Dia pasti bisa ikut membantumu saat Papi dan Mami menyerahkan kendali usaha keluarga kita pada kamu setelah kamu lulus kuliah nanti,” sahut Papi terus nyerocos tak memberiku kesempatan bicara. Aku menggeleng kuat-kuat. Tapi lagi-lagi, Papi tidak membiarkan aku berargumen. “Husna itu perempuan yang cocok untuk mendampingimu. Meskipun bisnisnya masih skala mikro, tetap saja dia sudah memahami bisnis. Anaknya juga baik, ikhlas menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Saat kamu mengambil alih kendali usaha keluarga ini, Husna akan menjadi penanggung jawab program CSR kita.” Ya ampun, kini Papi menyinggung soal corporate social responsibility (CSR) segala. Konsep di mana perusahaan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan bisnisnya seperti masalah polusi, limbah, sampai masalah keamanan.*) Dasar pebisnis. Papi selalu bisa memberikan visi yang jelas dan gamblang mengenai apa yang akan beliau sampaikan. Setelah tiga bulan mengenal Husna, Papi kelihatannya yakin sekali bahwa Husna bisa menangani program CSR kami seperti yang Mami lakukan selama ini. Konsep suami mengejar profit dan istri mengelola badan amal sepertinya sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam keluarga kami. Aku belum tahu pandangan Mami soal Husna, tapi aku yakin Papi dan Mami sudah sepakat untuk menjodohkan kami hingga tak segan membahas soal pernikahan seperti ini. Yang jelas, di mata Papi, Husna tak hanya memiliki value sebagai wanita yang akan mendampingiku dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga dalam bisnis. “Sebentar, Pi. Papi bercanda, ‘kan? Ken belum kenal Husna, tapi Papi sudah mau menjodohkan kami. Ken belum kepikiran soal pernikahan, Pi. Lulus kuliah saja belum,” sergahku. Aku tidak bisa menerima ini. Bukan hanya masalah perjodohannya. Aku sendiri juga belum ingin terikat. Lagipula, apa gadis sederhana seperti Husna mampu mendampingiku, memenuhi harapan Papi? Tapi Papi bukan sosok yang suka bercanda, sekalipun beliau adalah pribadi yang ramah. Raut wajahnya tidak berubah mendengar penolakanku. Papi pasti sudah menduga, aku akan menolak mentah-mentah. Masalahnya, Papi adalah sosok yang punya berbagai cara untuk mendapatkan apa yang beliau inginkan. Papi pasti sudah memperhitungkan, senjata apa yang akan beliau gunakan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. “Tenang, Nak. Makanya, Papi tidak menyuruhmu menikah sekarang. Papi dan Mami kasih waktu dua tahun untuk kalian agar saling mengenal. Istilahnya, tunangan dulu, gitu,” kata Papi memulai aksinya menekan aku. “Tetap saja, Pi. Ken tidak setuju. Ken punya kriteria sendiri tentang cewek yang ingin Ken jadikan istri. Dan kriteria itu jelas tidak ada pada diri Husna,” sanggahku. “Memangnya, apa yang kurang dari Husna? Dia terlihat sempurna di mata Papi dan Mami.” “Dia cewek kamp— maksud Ken, dia pasti tidak akan bisa beradaptasi dengan kehidupan Ken. Dia itu….” “Kehidupan yang mana?” potong Papi tajam. “Berpesta di club sampai pagi? Mabuk tapi nekad menyetir sampai nyaris merenggut nyawa Papi dan dua orang bawahan Papi?” Aku terhenyak. Kehabisan kata-kata. “Nak, kamu sudah dua puluh tahun. Sudah waktunya mengarahkan hidupmu menjadi lebih positif, lebih baik. Papi dan Mami tidak bisa memercayaimu untuk mengambil alih kendali usaha keluarga kita, jika hidupmu masih mengutamakan kesenangan semu seperti itu.” Kali ini aku terkejut. Meskipun aku tahu bahwa Papi akan menekan aku, aku tidak menyangka bahwa beliau akan melancarkan ancaman seperti itu. “Papi tidak kekurangan orang-orang hebat untuk meneruskan usaha keluarga kita. Bahkan, kalau Papi ingin pensiun saat ini, Papi bisa saja menunjuk salah seorang anak didik Papi untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan kita. Tapi, lebih dari itu, Papi ingin agar kamu yang menjadi ahli warisnya, Nak. Masalahnya sekarang, apakah kamu mampu dan mau memperbaiki diri untuk menjadi ahli waris yang Papi harapkan.” Papi diam sejenak sambil menatapku. Aku juga membisu. Menunggu kelanjutan kata-kata Papi. “Di mata Papi dan Mami, bersama Husna, kalian bisa menjadi tim yang hebat, baik dalam kehidupan rumah tangga mau pun pekerjaan. Percayalah, Papi dan Mami tidak mengambil keputusan dengan tiba-tiba. Kami sudah memikirkannya masak-masak sebelum memilih Husna sebagai calon istrimu.” Tepat setelah Papi menyelesaikan uraiannya, Mami mendekati kolam renang. Di sebelahnya, Husna mengikuti dengan pandangan agak menunduk. Canggung sekali. “Jangan kelamaan berenangnya, Ken. Makan malam sudah hampir siap, tuh,” kata Mami. “Iya, Mi. Ken sudah selesai, kok. Nggak perlu disamperin ke sini.” “Bagus. Kasihan ‘kan Husna dan adiknya, jangan-jangan sudah lapar.” Husna mengangkat kepala saat mendengar kata-kata Mami. “Maaf, saya belum….” Kalimat Husna terpotong saat pandangannya mengarah padaku. Ia tampak terkejut, lalu berbalik dan segera menjauh dari kolam renang. “Sa-saya ke kamar dulu,” pamitnya tergesa. Aku dan Papi saling menatap. Kebingungan melihat tingkah gadis berjilbab itu. Tapi, Mami rupanya tahu, apa yang membuat Husna kabur begitu saja. “Coba itu ditutup dulu kalau ada perempuan di dekatmu,” kata Mami sambil menunjuk apa yang aku kenakan di bawah pinggangku. Secara bersamaan, aku dan Papi menengok ke tempat yang ditunjuk oleh Mami. Aku langsung menyadari bahwa aku masih mengenakan celana renang pendek yang memperlihatkan pangkal pahaku dan menonjolkan bagian yang ‘itu’. Panik, buru-buru aku menutupinya dengan jubah dan mengikatnya. “Telat. Sudah telanjur dilihat Husna,” seloroh Papi sambil terkekeh. Mami juga tergelak melihat reaksiku yang memang terlambat. Tega orang tuaku ini. Menertawakan anak mereka sendiri yang kini merasa malu. Sebentar. Malu? Aku merasa malu pada seorang gadis, setelah apa yang pernah aku lakukan dengan gadis-gadis sebelumnya yang kubawa ke hotel untuk ‘bersenang-senang’? Tidak! Aku menggeleng kuat-kuat. Mengapa aku harus malu pada Husna?! *) dikutip dari https://bakrie.ac.idKENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
KENZOSudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik.Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku.Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal.Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku.Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada pa
HUSNAAsma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas.Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami.“Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu.“Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya.“Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Ka
KENZOHusna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZOHusna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali
HUSNAAsma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas.Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami.“Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu.“Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya.“Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Ka
KENZOSudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik.Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku.Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal.Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku.Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada pa
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt