KENZO
Malam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku. Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala. Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya. Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak. “Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.” Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak bermasalah. Jadi, aku tidak akan salah paham dengan maksud Papi. “Ca-calon istri?” sentakku, tergagap. “Iya. Husna adalah gadis yang cocok. Dia baik hati, suka menolong dan pekerja keras. Cantik, pula. Calon istri idaman yang bisa mendampingimu. Dia pasti bisa ikut membantumu saat Papi dan Mami menyerahkan kendali usaha keluarga kita pada kamu setelah kamu lulus kuliah nanti,” sahut Papi terus nyerocos tak memberiku kesempatan bicara. Aku menggeleng kuat-kuat. Tapi lagi-lagi, Papi tidak membiarkan aku berargumen. “Husna itu perempuan yang cocok untuk mendampingimu. Meskipun bisnisnya masih skala mikro, tetap saja dia sudah memahami bisnis. Anaknya juga baik, ikhlas menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Saat kamu mengambil alih kendali usaha keluarga ini, Husna akan menjadi penanggung jawab program CSR kita.” Ya ampun, kini Papi menyinggung soal corporate social responsibility (CSR) segala. Konsep di mana perusahaan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan bisnisnya seperti masalah polusi, limbah, sampai masalah keamanan.*) Dasar pebisnis. Papi selalu bisa memberikan visi yang jelas dan gamblang mengenai apa yang akan beliau sampaikan. Setelah tiga bulan mengenal Husna, Papi kelihatannya yakin sekali bahwa Husna bisa menangani program CSR kami seperti yang Mami lakukan selama ini. Konsep suami mengejar profit dan istri mengelola badan amal sepertinya sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam keluarga kami. Aku belum tahu pandangan Mami soal Husna, tapi aku yakin Papi dan Mami sudah sepakat untuk menjodohkan kami hingga tak segan membahas soal pernikahan seperti ini. Yang jelas, di mata Papi, Husna tak hanya memiliki value sebagai wanita yang akan mendampingiku dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga dalam bisnis. “Sebentar, Pi. Papi bercanda, ‘kan? Ken belum kenal Husna, tapi Papi sudah mau menjodohkan kami. Ken belum kepikiran soal pernikahan, Pi. Lulus kuliah saja belum,” sergahku. Aku tidak bisa menerima ini. Bukan hanya masalah perjodohannya. Aku sendiri juga belum ingin terikat. Lagipula, apa gadis sederhana seperti Husna mampu mendampingiku, memenuhi harapan Papi? Tapi Papi bukan sosok yang suka bercanda, sekalipun beliau adalah pribadi yang ramah. Raut wajahnya tidak berubah mendengar penolakanku. Papi pasti sudah menduga, aku akan menolak mentah-mentah. Masalahnya, Papi adalah sosok yang punya berbagai cara untuk mendapatkan apa yang beliau inginkan. Papi pasti sudah memperhitungkan, senjata apa yang akan beliau gunakan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. “Tenang, Nak. Makanya, Papi tidak menyuruhmu menikah sekarang. Papi dan Mami kasih waktu dua tahun untuk kalian agar saling mengenal. Istilahnya, tunangan dulu, gitu,” kata Papi memulai aksinya menekan aku. “Tetap saja, Pi. Ken tidak setuju. Ken punya kriteria sendiri tentang cewek yang ingin Ken jadikan istri. Dan kriteria itu jelas tidak ada pada diri Husna,” sanggahku. “Memangnya, apa yang kurang dari Husna? Dia terlihat sempurna di mata Papi dan Mami.” “Dia cewek kamp— maksud Ken, dia pasti tidak akan bisa beradaptasi dengan kehidupan Ken. Dia itu….” “Kehidupan yang mana?” potong Papi tajam. “Berpesta di club sampai pagi? Mabuk tapi nekad menyetir sampai nyaris merenggut nyawa Papi dan dua orang bawahan Papi?” Aku terhenyak. Kehabisan kata-kata. “Nak, kamu sudah dua puluh tahun. Sudah waktunya mengarahkan hidupmu menjadi lebih positif, lebih baik. Papi dan Mami tidak bisa memercayaimu untuk mengambil alih kendali usaha keluarga kita, jika hidupmu masih mengutamakan kesenangan semu seperti itu.” Kali ini aku terkejut. Meskipun aku tahu bahwa Papi akan menekan aku, aku tidak menyangka bahwa beliau akan melancarkan ancaman seperti itu. “Papi tidak kekurangan orang-orang hebat untuk meneruskan usaha keluarga kita. Bahkan, kalau Papi ingin pensiun saat ini, Papi bisa saja menunjuk salah seorang anak didik Papi untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan kita. Tapi, lebih dari itu, Papi ingin agar kamu yang menjadi ahli warisnya, Nak. Masalahnya sekarang, apakah kamu mampu dan mau memperbaiki diri untuk menjadi ahli waris yang Papi harapkan.” Papi diam sejenak sambil menatapku. Aku juga membisu. Menunggu kelanjutan kata-kata Papi. “Di mata Papi dan Mami, bersama Husna, kalian bisa menjadi tim yang hebat, baik dalam kehidupan rumah tangga mau pun pekerjaan. Percayalah, Papi dan Mami tidak mengambil keputusan dengan tiba-tiba. Kami sudah memikirkannya masak-masak sebelum memilih Husna sebagai calon istrimu.” Tepat setelah Papi menyelesaikan uraiannya, Mami mendekati kolam renang. Di sebelahnya, Husna mengikuti dengan pandangan agak menunduk. Canggung sekali. “Jangan kelamaan berenangnya, Ken. Makan malam sudah hampir siap, tuh,” kata Mami. “Iya, Mi. Ken sudah selesai, kok. Nggak perlu disamperin ke sini.” “Bagus. Kasihan ‘kan Husna dan adiknya, jangan-jangan sudah lapar.” Husna mengangkat kepala saat mendengar kata-kata Mami. “Maaf, saya belum….” Kalimat Husna terpotong saat pandangannya mengarah padaku. Ia tampak terkejut, lalu berbalik dan segera menjauh dari kolam renang. “Sa-saya ke kamar dulu,” pamitnya tergesa. Aku dan Papi saling menatap. Kebingungan melihat tingkah gadis berjilbab itu. Tapi, Mami rupanya tahu, apa yang membuat Husna kabur begitu saja. “Coba itu ditutup dulu kalau ada perempuan di dekatmu,” kata Mami sambil menunjuk apa yang aku kenakan di bawah pinggangku. Secara bersamaan, aku dan Papi menengok ke tempat yang ditunjuk oleh Mami. Aku langsung menyadari bahwa aku masih mengenakan celana renang pendek yang memperlihatkan pangkal pahaku dan menonjolkan bagian yang ‘itu’. Panik, buru-buru aku menutupinya dengan jubah dan mengikatnya. “Telat. Sudah telanjur dilihat Husna,” seloroh Papi sambil terkekeh. Mami juga tergelak melihat reaksiku yang memang terlambat. Tega orang tuaku ini. Menertawakan anak mereka sendiri yang kini merasa malu. Sebentar. Malu? Aku merasa malu pada seorang gadis, setelah apa yang pernah aku lakukan dengan gadis-gadis sebelumnya yang kubawa ke hotel untuk ‘bersenang-senang’? Tidak! Aku menggeleng kuat-kuat. Mengapa aku harus malu pada Husna?! *) dikutip dari https://bakrie.ac.idKENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZOSetelah aku menabrak mobil Papi tiga bulan yang lalu, fasilitas yang kunikmati selama ini, dikurangi dengan drastis. Termasuk urusan kendaraan. Jika sebelumnya, ke mana-mana aku mengendarai mobil sport—yang kini telah hancur, maka kini aku hanya menggunakan sedan dengan spesifikasi jauh di bawah mobilku terdahulu.Namun, ternyata itu sudah lebih dari cukup bagi Vita. Ia tersenyum senang saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang menggunakan H*nda Civ*c T*rbo yang selama ini hanya terparkir di kediaman keluargaku.Tengah malam itu, dalam perjalanan pulang, kami terlibat pembicaraan yang cukup lama dan intens. Gadis bergaun biru itu mengaku sebagai mahasiswi di sebuah universitas yang namanya belum pernah kudengar sebelumnya. Entahlah. Mungkin aku yang kurang pengetahuan.“Kamu kuliah atau kerja?” tanyanya dengan suara agak mendesah.“Dua-duanya,
HUSNA“Tante, saya tidak punya uang untuk dipinjamkan,” tolakku.“Masa’ sih? Tante lihat kamu bisa punya toko kue dengan peralatan yang bagus begini. Masa’ iya, tidak punya uang?” sergah Tante Fitri. Dia mendekati rak tempatku memajang aneka kue kering.“Ini? Ini semua harganya berapa?” tanyanya sambil menunjuk rak tersebut. “Kamu bohong kalau bilang nggak ada duit.”Gini deh. Dia yang mau meminjam, tapi malah dia pula yang memaksa. Sudah ditolak, malah tetap memaksa.“Saya memang punya uang, tapi untuk kehidupan saya dan Asma sehari-hari. Jadi tidak bisa saya pinjamkan,” jawabku.“Berapa sih, kebutuhan kalian berdua? Sebulan palingan dua juta, ‘kan? Tidak sampai lima juta, ‘kan? Makanya Tante mau pinjam. Tiga juta saja!”Ini orang maksa, ya. S
HUSNASetelah Kenzo meninggalkan tokoku, tubuhku luruh, bersembunyi di balik meja kasir. Kedua tangan menutup wajahku yang terasa panas. Ya ampun, pagi-pagi begini, sudah dibuat baper hanya karena Kenzo membeli produk jualanku.Tapi, aku mengakui, kemunculan Kenzo di tokoku yang tiba-tiba, ibarat hujan pengusir panas yang ditimbulkan oleh Tante Fitri. Sudah mengusir aku dan adikku, tiba-tiba muncul hanya untuk meminjam uang. Mending beli browniesku beberapa, ini malah hanya memaki setelah aku menolak keinginannya.Aku menatap dua lembar uang berwarna merah yang diberikan oleh Kenzo barusan. Pembuka hari yang baik. Ditambah dengan pembelian brownies dari pelangganku, pagi ini aku sudah membukukan penjualan senilai tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah.Aku bersyukur atas apa yang kudapatkan. Mudah-mudahan bisa bertambah jauh lebih banyak pada penghujung hari, agar aku kelak bisa mewujudkan impianku un
KENZOUniversitas tempat Vita kuliah ternyata terletak di daerah suburban. Tidak begitu luas, namun tertata rapi. Berdasarkan keterangan dari Bang Rano yang aku mintai tolong untuk mencari informasi—jadi anak bos memang menguntungkan karena bisa meminta tolong pada atasan untuk hal-hal yang berhubungan dengan ‘pekerjaan’, aku jadi tahu siapa yang berada di balik yayasan yang mengelola universitas tersebut.“Terima kasih ya, sudah mau nganterin. Oh iya, kamu kuliah di mana?” tanya Vita sebelum turun dari mobil. Astaga, padahal semalam sepertinya aku sudah mengatakannya. Entahlah. Barangkali aku yang lupa.Kusebut nama perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu dan ia terdiam. Aku pikir ia mungkin minder, jadi aku segera mengalihkan perhatian.“Mau kujemput lagi? Kabarin aja.”Ia tersenyum dan mengangguk. “Nanti aku kabari.”
KENZOSetelah menutup telepon, aku kembali melangkah. Tak lama kemudian, aku mendapatkan pemberitahuan bahwa rekening yang aku maksud sudah dapat aku kugunakan lagi sesukanya. Termasuk untuk membayarkan uang kuliah Vita sebagai langkah awal untuk menjadikannya calon pengganti Husna.***HUSNAHari ini hari yang penuh drama. Mungkin aku berlebihan. Tapi setelah kunjungan Tante Fitri, aku mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka: pembeli baru bernama Kenzo. Dia juga ternyata cukup baik hingga memberikan tip untuk adikku. Orang kaya mah bebas, ya. Hehehe.Meskipun aku masih bingung, bagaimana bisa Kenzo mengenal Bang Farid yang menjadi perantara bagi pelangganku, aku akhirnya memilih untuk tidak memikirkan alasannya. Malah, aku berharap kelak Kenzo akan membeli kue lagi dariku sehingga ia menjadi pelanggan toko kecilku.Saat sedang berharap agar pela
HUSNA“K-Kue spesial seperti apa, Bu Krisye?” tanyaku tergagap sambil buru-buru memberikan kursi untuk diduduki pengunjung istimewaku itu.“Apa yang terbaik yang dapat kamu buat, Nak,” jawab wanita yang menyebutku sebagai calon menantunya itu. Meskipun sebenarnya aku sendiri masih mempertimbangkannya.“Saya membuat brownies dan beberapa jenis kue tradisional yang pernah diajarkan oleh almarhumah ibu saya.”“Kalau begitu, pembicaraan selesai,” sela Bu Krisye sambil bertepuk tangan lembut. “Tolong kamu buatkan kami kue perayaan pernikahan dari brownies. Untuk sajian kudapannya, tolong buatkan kue-kue tradisional dengan kemampuan terbaikmu. Kami hanya akan mengadakan perayaan sederhana dengan jumlah tamu terbatas. Jadi jumlah yang hadir hanya tiga puluh orang.”Aku melongo. Bu Krisye bahkan tidak ingin melihat gambar atau c
KENZO“Iya, membantunya. Mengantarnya berbelanja bahan, misalnya. Pastikan sebagian bahan yang Husna butuhkan dibeli di Trixmart, ya. Hahaha.”Sempat-sempatnya Papi bercanda pada saat aku sedang terkejut seperti ini.“Tapi, Pi. Kenapa Ken harus membantu Husna? Ken harus memusatkan perhatian untuk mencari jodoh sendiri. Masa’ Ken harus membagi waktu dengan Husna juga? Itu bisa merusak rencana Ken,” protesku.“Papi pikir ini pertukaran yang cukup adil. Papi dan Mami sudah memfasilitasi pencarian jodoh ini dengan membuka blokiran rekeningmu. Dengan begitu, kamu memiliki sumber daya nyaris tanpa batas untuk melakukan rencanamu. Nah, sebagai ganti kelonggaran itu, Papi setuju bahwa kamu diberi kewajiban untuk melakukan apa yang Mami inginkan, yaitu membantu Husna. Bagaimana pun, bagi Papi dan Mami, Husna adalah pilihan kami.”
HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga
KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat
HUSNAPagi menjelang siang itu, aku menyempatkan diri keluar sebentar untuk membeli nasi padang untuk kami bertiga, termasuk untuk Asma yang belum pulang sekolah. Lauknya rendang ditambah perkedel kesukaan Asma.Kami berdua makan duluan tanpa menunggu Asma. Himawari pun makan dengan lahap. Rupanya dia tidak hanya kehausan, tetapi juga kelaparan.Aku sempat khawatir bahwa Himawari akan muntah lagi mengingat nasi padang mengandung santan dan berbumbu kuat yang bisa memicu masalah pada lambungnya lagi. Namun, tampaknya kekhawatiran itu berlebihan. Himawari kembali berseri setelah perutnya diisi dengan makanan yang enak.Aku sebenarnya ingin bertanya pada Himawari, setelah badannya sehat, apakah dia sudah mau pulang? Apa perlu kuhubungi adiknya, atau Kenzo sekalian?Tapi, aku tidak mungkin mengusir pahlawanku seperti itu. Bagaimanapun, Himawari pernah menolongku saat dilabrak keluarga sendiri.Tapi, dia sudah terlalu lama di rumahku …. Lagipula, dia sainganku dalam ….Aku tercekat, menutu
HUSNANovi masih meneleponku hingga tiga kali, tapi semua panggilannya kuabaikan. Aku tidak mau mendengarkan lagi ucapannya yang memicu air mataku untuk keluar.Sesaat kemudian, Novi mengirimkan pesan yang hanya aku baca. Ia memberitahukan keberadaan Kenzo dan Novi saat ini.Di kampus, ya? Tempat pendidikan tinggi yang hanya menjadi impian untukku. Apa Novi menyuruhku ke sana dan melabrak mereka?Aku mengucapkan istigfar saat pemikiran untuk memergoki Kenzo dan Putri itu tercetus di benakku. Apa hakku melakukan itu? Lagipula, baik Putri mau pun Kenzo adalah orang-orang yang baik padaku. Tidak mungkin aku menyerang mereka seperti itu.Dadaku kembali terasa panas. Perih. Darahku seperti mengalir lebih cepat saat aku membantah pikiran burukku sendiri. Aku memang tidak boleh menyakiti hati Kenzo dan Putri. Tapi, bagaimana caranya agar hatiku sendiri bisa menjadi tenang?“Husna … ada air minum, nggak? Aku haus ….”Aku tersentak dan menoleh. Melihat Himawari sudah berdiri tak jauh dariku. A
HUSNA“Nov, kalau kamu nggak punya kerjaan lain selain ngemis-ngemis apa yang nggak aku miliki, mendingan kamu ngapain. Kalau memang mau sama Ken, bilang aja ke dia langsung, jangan ke aku,” semburku.Bahkan jika Putri atau Himawari memang punya hubungan khusus dengan Kenzo, aku bisa apa? Mau melarang? Baik aku dan Kenzo sama-sama belum mengatakan apa-apa tentang perjodohan yang diinginkan oleh Bu Krisye dan Pak Kenta itu. Jadi terserah masing-masing dalam menyikapinya.“Tapi cewek seperti kita nggak akan punya kesempatan kalau saingannya cewek tajir seperti Putri, teman sekolahmu dulu.”Sesuai dugaanku, ternyata gadis yang Novi maksud adalah Putri.Justru karena itu, Novi! Aku sudah punya kesempatan untuk menjadi pasangan Kenzo, tapi belum aku ambil karena … aku menyadari diriku. Siapa sih, aku ini? Apa aku memang pantas menjadi calon pasangan Kenzo?Aku ikhlas menolong Pak Kenta, tak mengharapkan imbalan sekalipun imbalan itu adalah Kenzo. Jadi, kesempatan itu masih aku diamkan hing
HUSNA“Assalamu ‘alaikum,” sapaku ogah-ogahan. Bagaimana pun, aku masih enggan menerima orang yang sudah mengusikku tempo hari.Agak lama tak terdengar jawaban. Aku hanya mendengar tangisan lirih. Eh, Novi menangis?Jujur, aku masih menyimpan dendam pada keluarga yang sudah mengusir aku dan Asma. Novi adalah bagian dari keluarga itu. Mau terlibat langsung dalam pengusiran mau pun hanya menyaksikan tanpa mencegah, bagiku sama saja. Sama jahatnya.Akan tetapi, saat mendengar tangisan lirih Novi di seberang sana, hatiku seperti digores. Novi yang aku tahu adalah anak yang pandai bergaul, ekspresif dan blak-blakan. Kenapa ia justru terdengar rapuh seperti ini?“Una …. Kalau aku minta Ken, maksudku Kenzo, dari kamu. Nggak apa-apa, ‘kan?”Sekonyong-konyong, Novi berbicara. Tapi kata-katanya membuat hatiku tergores. Ah, bukan hanya itu. Aku merasakan sesuatu yang panas di dadaku. Perasaan yang tidak asing. Singkat saja. Aku geram mendengarnya.Kenapa sepertinya semua orang menyukai dan mengi
HUSNAAku membiarkan Himawari minum, menghabiskan isi botol yang tersisa. Kondisinya cukup mengkhawatirkan. Walaupun dia adalah sainganku, aku tidak akan tega membiarkannya menderita seperti ini.Hah? Saingan? Astaga Husna, sadarlah! Jangan terbawa mimpi lagi. Jika Kenzo menolakmu, maka itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika Kenzo menolak gadis seperti Himawari atau Putri.Putri. Entah kenapa, bayangan teman sekolahku itu melintas di benakku. Teringat pada hadiah dari Kenzo untuknya pada saat makan malam bersama. Kenzo pasti sangat dekat dengannya sampai bersedia memberikan gelang secantik itu. Atau, sejak awal, Kenzo memang menginginkan Putri?“Hoek!”Himawari kembali muntah, membuat pikiranku yang sedang ke mana-mana, kembali ke toko ini. Air minum yang sudah melewati tenggorokannya, kini ditumpahkan lagi.Aku juga pernah mengalami apa yang dia
KENZO“Apa? Kamu suka aku?” sergah Putri. Ia tampak terkejut. Tidak mengira bahwa aku menyukainya.Aku pun terkejut. Benar-benar terkejut. Terkejut bukan karena melihat reaksi Putri. Melainkan karena aku tidak menyangka, aku mampu mengatakannya.Aku mengira bahwa aku hanya membisikkan kata-kata itu dalam benakku saja. Tapi ternyata tidak. Aku mengucapkannya, tanpa basa-basi!Apa aku terlalu gugup, hingga tak sengaja meluncurkan kalimat itu dari mulutku? Apa ini? Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri hingga berbicara di luar kendaliku?Cokelat praline dalam genggaman Putri nyaris terlepas, sebagai bagian dari reaksi keterkejutan dirinya atas kata-kata yang aku lontarkan. Putri segera menyelamatkan pemberianku itu, lalu buru-buru meletakkan kaleng tersebut di sisinya.“Beneran, Ken? Kamu nggak lagi ngelindur, ‘kan? Nggak main-main, ‘kan?” tanya Putri sambil menatap mataku. Ia seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka.Aku gelagapan. Bingung mau bicara apa setelah
HUSNA“Kalian saling sayang ya, karena sejak kecil sudah saling kenal?” tanyaku hati-hati.Saatnya menggali informasi. Aku ingin tahu, seperti apa sebenarnya hubungan di antara dua orang keluarga jauh ini.Sayangnya, Himawari terlalu ‘mabuk’ untuk menjawab. Gadis itu malah menangis sesenggukan lagi.“Dia jahat! Aku nggak terima, pokoknya!” seru Himawari. Kemudian menghabiskan potongan brownies yang terakhir.Uh. Aku harus bersabar. Orang patah hati memang sulit diajak bicara.Eh? Patah hati? Apa memang benar, di antara Himawari dan Kenzo, memang ada hubungan yang sangat kuat?Sepertinya iya. Kalau tidak, kenapa Himawari tampak frustrasi seperti ini? Kalau mereka hanya berteman, tidak mungkin Himawari akan sekalut ini.Aku memilin ujung jilbabku, menahan diri agar tidak larut dalam p