KENZO
Husna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini. Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota. Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya. Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini? Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali bertanya padaku, tapi biasanya langsung ditegur oleh kakaknya. Aku sendiri hanya tersenyum canggung menanggapi pertanyaan-pertanyaan Asma. Bagaimana mau menjawab, kakaknya saja tidak mengizinkan adiknya bertanya. Atau, haruskah aku menjawab saja agar suasana lebih cair? Kulirik Husna sekali lagi. Dialah gadis cantik yang kulihat saat kecelakaan di pagi buta itu. Gadis pahlawan yang sudah menyelamatkan nyawa Papi. Aku mulai menyesal karena berpikir bahwa apa yang selama ini Mami lakukan untuk Husna sudah lebih dari cukup. Padahal, utang nyawa seperti ini, bagaimana membalasnya? Aku tidak tahu. Apakah selamanya kami sekeluarga harus merasa berutang pada gadis sederhana ini? Husna memang dibantu oleh pihak lain untuk menolong Papi. Tapi, tetap saja, dia adalah orang pertama yang tiba di lokasi. Papi yang terlempar ke samping mobil, ia bawa dengan susah payah untuk ditempatkan di tempat yang lebih nyaman. Sementara aku, anak Papi sendiri, hanya bisa menyaksikan tanpa daya, bagaimana orang asing menyelamatkan keluargaku. Malah, akulah yang menjadi penyebab kecelakaan yang menimpa Papi. Jadi, kelihatannya, seumur hidup, kami—terutama aku, tidak akan bisa membalas kebaikan Husna. Sebelum tiba di kediaman keluargaku, mobil yang aku kendarai melewati sebuah portal yang hanya bisa dibuka oleh orang-orang yang tinggal dan bekerja di kediaman kami. Setelah itu, mobil pun menyusuri sebuah jalan pribadi yang di kedua sisinya terdapat pepohonan yang rindang. Asma menengok kiri kanan, takjub melihat apa yang terbentang sepanjang perjalanan menuju ke kediaman kami. Kulihat pula Husna melirik ke tempat yang sama. Barangkali mulai menduga-duga, sehebat apa kediaman yang hendak ia kunjungi. Jalan menuju tempat itu saja sebagus ini, apa lagi kediaman keluarga kami. Aku terkekeh pelan. Mungkin aku norak, tapi aku ingin sekali berkata, tunggu sampai kalian melihat tempat kami tinggal selama tiga generasi. Setelah berjalan selama sepuluh menit, kami akhirnya tiba di kediaman keluargaku yang berdiri di atas lahan seluas lebih dari sebelas ribu meter persegi. Seperti dugaanku, Asma memekik melihat kediaman kami yang bak istana dan memiliki empat lantai. Ia membelalak, lalu kegirangan karena akhirnya bisa menginap di tempat seluas dan semewah ini. Aku kembali menengok pada Husna. Gadis itu tampak terkesiap. Meski lebih tenang daripada adiknya, aku tahu, dia juga sama tersentaknya melihat kediaman keluargaku. “Kak, ini betul rumah Kak Kenzo?!” pekik Asma. Dia benar-benar tak percaya, rupanya. “Iya. Kamar kalian berdua sudah disiapkan,” jawabku kalem. Asma memekik lagi. Girang sekali. Tapi, kali ini, kakaknya tak menegur sama sekali. *** HUSNA Aku menyaksikan Asma bergembira gembira di kamar kami. Adikku itu sangat bersuka cita karena bisa menginap di rumah—ehm, mungkin lebih tepat jika disebut istana—ini. Aku duduk di tepi ranjang besar yang empuknya terasa menenggelamkan, memandang adikku yang masih sibuk memeriksa seisi kamar yang luas itu. Setelah melihat-lihat isi kamar, Asma lalu masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar pekikannya. Tak lama kemudian, ia sudah berlari padaku. Melaporkan apa yang ia lihat. “Kak, Kak! Kamar mandinya besaaar! Lebih luas daripada kos-kosan kita dulu!” Aku hanya tersenyum lalu menyuruhnya mandi. Bu Krisye dan Pak Kenta akan pulang tak lama lagi. Jadi, kupikir ada baiknya jika kami sudah rapi saat menyambutnya. Jika biasanya adikku paling malas disuruh mandi, kini tanpa perlu disuruh dua kali, ia sudah berlari ke kamar mandi. Sejenak aku merasa khawatir bahwa dia akan kesulitan menggunakan kamar mandi yang pasti mewah dan dilengkapi dengan peralatan yang ‘canggih’ itu. Tapi ternyata tidak ada panggilan minta tolong dari adik semata wayangku itu. Kelihatannya dia sudah mempelajari cara menggunakan kamar mandi yang isinya lebih dari sekadar ember dan gayung. Boleh juga. Adikku mungkin punya bakat jadi orang kaya. Sambil menunggu adikku selesai mandi—aku yakin dia pasti akan berlama-lama di kamar mandi itu, aku membongkar isi tasku untuk mengeluarkan pakaian ganti. Namun bunyi ketukan pintu membuatku harus menghentikan sejenak kegiatanku. Ternyata Bu Krisye. Beliau sudah pulang rupanya. Barangkali karena aku hanya mematung di ambang pintu, wanita paruh baya itu akhirnya mengisyaratkan agar aku menyilakan beliau masuk. Aku terkesiap. Merasa malu dan telah lancang. Meskipun ini rumahnya, Bu Krisye ternyata sangat menghargai tamu dan privasinya. “Senang di rumah ini?” tanya Bu Krisye sambil duduk di sebuah kursi meja tulis di kamar yang aku dan Asma tempati. “Alhamdulillah, Bu. Kami sangat senang dengan undangan menginap di sini.” “Kalau begitu, menginap saja di sini lebih lama.” Aku tentu saja tidak bisa menerima tawaran itu. Aku punya toko kue yang harus dibuka sebagai mata pencaharian. Menutupnya lebih lama berarti menghilangkan kesempatan mendapatkan penghasilan. Tapi kelihatannya Bu Krisye tidak tertarik dengan jawabanku. Tanpa menunggu tanggapanku, dia mengajukan satu pertanyaan lagi. “Sudah ketemu anak saya, ‘kan? Menurut kamu, Kenzo itu pemuda yang seperti apa?” Deg! Kenapa tiba-tiba pertanyaannya mengarah ke situ, sih? Kami baru pertama kali saling berbincang. ‘Pertemuan’ pertama malah terjadi pada saat kecelakaan yang melibatkan Kenzo tiga bulan lalu. “Saya… saya pikir Kak Kenzo cowok eh, pemuda yang baik,” jawabku agak gelagapan. Sejujurnya, aku tidak tahu harus mengatakan apa-apa selain mengatakan hal yang jamak dijadikan jawaban seperti itu. Mau bilang dia keren, kok kesannya aku ini kegatelan, ya? “Kalau menurut kamu baik, itu artinya dia bisa jadi calon suami yang baik, ya?” tanya Bu Krisye lagi. Eh? Ini kenapa ya, kok bicara tentang calon suami? Memangnya Kenzo akan menikah dan Bu Krisye meminta pendapatku? “Maaf sebelumnya tidak memberi tahu tentang keinginan saya dan Papi-nya Kenzo. Kami pikir, Husna adalah gadis yang cocok untuk menjadi calon istri Kenzo. Makanya, kami mengundang kamu untuk membicarakan keinginan kami ini.” Eh? Gimana, gimana? Aku yakin, aku pasti sedang ternganga di hadapan wanita paling berkelas yang pernah aku lihat itu.KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZOSetelah aku menabrak mobil Papi tiga bulan yang lalu, fasilitas yang kunikmati selama ini, dikurangi dengan drastis. Termasuk urusan kendaraan. Jika sebelumnya, ke mana-mana aku mengendarai mobil sport—yang kini telah hancur, maka kini aku hanya menggunakan sedan dengan spesifikasi jauh di bawah mobilku terdahulu.Namun, ternyata itu sudah lebih dari cukup bagi Vita. Ia tersenyum senang saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang menggunakan H*nda Civ*c T*rbo yang selama ini hanya terparkir di kediaman keluargaku.Tengah malam itu, dalam perjalanan pulang, kami terlibat pembicaraan yang cukup lama dan intens. Gadis bergaun biru itu mengaku sebagai mahasiswi di sebuah universitas yang namanya belum pernah kudengar sebelumnya. Entahlah. Mungkin aku yang kurang pengetahuan.“Kamu kuliah atau kerja?” tanyanya dengan suara agak mendesah.“Dua-duanya,
HUSNA“Tante, saya tidak punya uang untuk dipinjamkan,” tolakku.“Masa’ sih? Tante lihat kamu bisa punya toko kue dengan peralatan yang bagus begini. Masa’ iya, tidak punya uang?” sergah Tante Fitri. Dia mendekati rak tempatku memajang aneka kue kering.“Ini? Ini semua harganya berapa?” tanyanya sambil menunjuk rak tersebut. “Kamu bohong kalau bilang nggak ada duit.”Gini deh. Dia yang mau meminjam, tapi malah dia pula yang memaksa. Sudah ditolak, malah tetap memaksa.“Saya memang punya uang, tapi untuk kehidupan saya dan Asma sehari-hari. Jadi tidak bisa saya pinjamkan,” jawabku.“Berapa sih, kebutuhan kalian berdua? Sebulan palingan dua juta, ‘kan? Tidak sampai lima juta, ‘kan? Makanya Tante mau pinjam. Tiga juta saja!”Ini orang maksa, ya. S
HUSNASetelah Kenzo meninggalkan tokoku, tubuhku luruh, bersembunyi di balik meja kasir. Kedua tangan menutup wajahku yang terasa panas. Ya ampun, pagi-pagi begini, sudah dibuat baper hanya karena Kenzo membeli produk jualanku.Tapi, aku mengakui, kemunculan Kenzo di tokoku yang tiba-tiba, ibarat hujan pengusir panas yang ditimbulkan oleh Tante Fitri. Sudah mengusir aku dan adikku, tiba-tiba muncul hanya untuk meminjam uang. Mending beli browniesku beberapa, ini malah hanya memaki setelah aku menolak keinginannya.Aku menatap dua lembar uang berwarna merah yang diberikan oleh Kenzo barusan. Pembuka hari yang baik. Ditambah dengan pembelian brownies dari pelangganku, pagi ini aku sudah membukukan penjualan senilai tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah.Aku bersyukur atas apa yang kudapatkan. Mudah-mudahan bisa bertambah jauh lebih banyak pada penghujung hari, agar aku kelak bisa mewujudkan impianku un
KENZOUniversitas tempat Vita kuliah ternyata terletak di daerah suburban. Tidak begitu luas, namun tertata rapi. Berdasarkan keterangan dari Bang Rano yang aku mintai tolong untuk mencari informasi—jadi anak bos memang menguntungkan karena bisa meminta tolong pada atasan untuk hal-hal yang berhubungan dengan ‘pekerjaan’, aku jadi tahu siapa yang berada di balik yayasan yang mengelola universitas tersebut.“Terima kasih ya, sudah mau nganterin. Oh iya, kamu kuliah di mana?” tanya Vita sebelum turun dari mobil. Astaga, padahal semalam sepertinya aku sudah mengatakannya. Entahlah. Barangkali aku yang lupa.Kusebut nama perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu dan ia terdiam. Aku pikir ia mungkin minder, jadi aku segera mengalihkan perhatian.“Mau kujemput lagi? Kabarin aja.”Ia tersenyum dan mengangguk. “Nanti aku kabari.”
KENZOSetelah menutup telepon, aku kembali melangkah. Tak lama kemudian, aku mendapatkan pemberitahuan bahwa rekening yang aku maksud sudah dapat aku kugunakan lagi sesukanya. Termasuk untuk membayarkan uang kuliah Vita sebagai langkah awal untuk menjadikannya calon pengganti Husna.***HUSNAHari ini hari yang penuh drama. Mungkin aku berlebihan. Tapi setelah kunjungan Tante Fitri, aku mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka: pembeli baru bernama Kenzo. Dia juga ternyata cukup baik hingga memberikan tip untuk adikku. Orang kaya mah bebas, ya. Hehehe.Meskipun aku masih bingung, bagaimana bisa Kenzo mengenal Bang Farid yang menjadi perantara bagi pelangganku, aku akhirnya memilih untuk tidak memikirkan alasannya. Malah, aku berharap kelak Kenzo akan membeli kue lagi dariku sehingga ia menjadi pelanggan toko kecilku.Saat sedang berharap agar pela
HUSNA“K-Kue spesial seperti apa, Bu Krisye?” tanyaku tergagap sambil buru-buru memberikan kursi untuk diduduki pengunjung istimewaku itu.“Apa yang terbaik yang dapat kamu buat, Nak,” jawab wanita yang menyebutku sebagai calon menantunya itu. Meskipun sebenarnya aku sendiri masih mempertimbangkannya.“Saya membuat brownies dan beberapa jenis kue tradisional yang pernah diajarkan oleh almarhumah ibu saya.”“Kalau begitu, pembicaraan selesai,” sela Bu Krisye sambil bertepuk tangan lembut. “Tolong kamu buatkan kami kue perayaan pernikahan dari brownies. Untuk sajian kudapannya, tolong buatkan kue-kue tradisional dengan kemampuan terbaikmu. Kami hanya akan mengadakan perayaan sederhana dengan jumlah tamu terbatas. Jadi jumlah yang hadir hanya tiga puluh orang.”Aku melongo. Bu Krisye bahkan tidak ingin melihat gambar atau c
KENZOAku merasa malu. Sangat malu pada Husna karena tingkah laku Hima yang telah merepotkannya.Maka, aku segera bertolak ke toko sekaligus rumah Husna untuk menemui Hima. Sekaligus meminta maaf pada Husna yang sudah direpotkan oleh sepupu jauhku itu.Saat aku hendak memasuki mobil, aku melihat Vita tengah berada di antara dua orang gadis lain yang tampaknya adalah sesama mahasiswi. Mereka tengah menghibur Vita yang tampak sedang menangis.Aku tertegun sebelum menyalakan mobil. Merasa bersalah telah mengatakan bahwa kami hanya teman. Setelah apa yang telah aku lakukan untuknya, membantunya agar tetap dapat kuliah, memberinya harapan, lantas mengatakan bahwa bahwa kami tidak ada hubungan apa-apa.Padahal, aku sendiri yang ‘memilih’ Vita sebagai calon pertama untuk menggantikan Husna. Sekarang, aku mengelak saat Vita menyatakan perasaannya yang jujur saja, membuatku terkejut.Pengecut. Kurang ajar. Entah kata-kata kasar apa lagi yang dapat disematkan padaku.Apa aku menemui Vita dulu y
HUSNA“Teman … dia curhat sudah diputusin pacarnya,” jawabku sekenanya. Kemudian buru-buru memutuskan panggilan secara sepihak, sebelum Novi membicarakan hal yang memusingkan aku lagi. Maaf, Novi.Aku pikir, untuk apa pula menjelaskan pada Himawari dengan detil tentang Novi. Himawari mungkin tidak mengingat Novi sama sekali. Kalaupun ia ingat tentang sepupuku itu, aku yakin, dia tidak akan tertarik.Himawari mengangguk-ngangguk. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku segera mengajaknya masuk ke dalam.“Tadi ke sini dengan siapa?” tanyaku sambil menghidangkan minuman dingin.“Diantar supir. Tapi sudah kusuruh pulang,” jawab Himawari cuek.“Loh, nanti pulangnya bagaimana?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa heranku.“Aku panggil lagi supirnya ke sini.”Astaga
KENZOPada akhirnya, secara diam-diam, aku memang menitikkan air mata. Bukan hanya karena tergugah oleh rentetan kata-kata Putri padaku, melainkan juga perbuatan gadis yang baru saja menolakku itu.Aku tidak memperhatikan lagi apa yang Putri katakan padaku karena mendadak tubuhku limbung. Kepalaku terasa ringan hingga pandanganku seperti berputar-putar.Astaga! Seperti inikah rasanya ditolak? Atau, aku yang terlalu berlebihan menanggapinya? Seorang ‘playboy’ yang biasa menjadi rebutan kaum hawa, kini harus terpuruk karena bukan menjadi pilihan seorang gadis berkelas seperti Putri. Hah.Aku yakin, aku tidak terkena vertigo. Tekanan darahku pun mungkin tetap normal. Aku hanya … terhenyak melihat apa yang terjadi setelah Putri mengatakan rangkaian kalimatnya yang membuatku seperti ditampar berulang-ulang dengan sangat keras. Putri mengucapkan terima kasih untuk hadiah cokelat
HUSNAPagi menjelang siang itu, aku menyempatkan diri keluar sebentar untuk membeli nasi padang untuk kami bertiga, termasuk untuk Asma yang belum pulang sekolah. Lauknya rendang ditambah perkedel kesukaan Asma.Kami berdua makan duluan tanpa menunggu Asma. Himawari pun makan dengan lahap. Rupanya dia tidak hanya kehausan, tetapi juga kelaparan.Aku sempat khawatir bahwa Himawari akan muntah lagi mengingat nasi padang mengandung santan dan berbumbu kuat yang bisa memicu masalah pada lambungnya lagi. Namun, tampaknya kekhawatiran itu berlebihan. Himawari kembali berseri setelah perutnya diisi dengan makanan yang enak.Aku sebenarnya ingin bertanya pada Himawari, setelah badannya sehat, apakah dia sudah mau pulang? Apa perlu kuhubungi adiknya, atau Kenzo sekalian?Tapi, aku tidak mungkin mengusir pahlawanku seperti itu. Bagaimanapun, Himawari pernah menolongku saat dilabrak keluarga sendiri.Tapi, dia sudah terlalu lama di rumahku …. Lagipula, dia sainganku dalam ….Aku tercekat, menutu
HUSNANovi masih meneleponku hingga tiga kali, tapi semua panggilannya kuabaikan. Aku tidak mau mendengarkan lagi ucapannya yang memicu air mataku untuk keluar.Sesaat kemudian, Novi mengirimkan pesan yang hanya aku baca. Ia memberitahukan keberadaan Kenzo dan Novi saat ini.Di kampus, ya? Tempat pendidikan tinggi yang hanya menjadi impian untukku. Apa Novi menyuruhku ke sana dan melabrak mereka?Aku mengucapkan istigfar saat pemikiran untuk memergoki Kenzo dan Putri itu tercetus di benakku. Apa hakku melakukan itu? Lagipula, baik Putri mau pun Kenzo adalah orang-orang yang baik padaku. Tidak mungkin aku menyerang mereka seperti itu.Dadaku kembali terasa panas. Perih. Darahku seperti mengalir lebih cepat saat aku membantah pikiran burukku sendiri. Aku memang tidak boleh menyakiti hati Kenzo dan Putri. Tapi, bagaimana caranya agar hatiku sendiri bisa menjadi tenang?“Husna … ada air minum, nggak? Aku haus ….”Aku tersentak dan menoleh. Melihat Himawari sudah berdiri tak jauh dariku. A
HUSNA“Nov, kalau kamu nggak punya kerjaan lain selain ngemis-ngemis apa yang nggak aku miliki, mendingan kamu ngapain. Kalau memang mau sama Ken, bilang aja ke dia langsung, jangan ke aku,” semburku.Bahkan jika Putri atau Himawari memang punya hubungan khusus dengan Kenzo, aku bisa apa? Mau melarang? Baik aku dan Kenzo sama-sama belum mengatakan apa-apa tentang perjodohan yang diinginkan oleh Bu Krisye dan Pak Kenta itu. Jadi terserah masing-masing dalam menyikapinya.“Tapi cewek seperti kita nggak akan punya kesempatan kalau saingannya cewek tajir seperti Putri, teman sekolahmu dulu.”Sesuai dugaanku, ternyata gadis yang Novi maksud adalah Putri.Justru karena itu, Novi! Aku sudah punya kesempatan untuk menjadi pasangan Kenzo, tapi belum aku ambil karena … aku menyadari diriku. Siapa sih, aku ini? Apa aku memang pantas menjadi calon pasangan Kenzo?Aku ikhlas menolong Pak Kenta, tak mengharapkan imbalan sekalipun imbalan itu adalah Kenzo. Jadi, kesempatan itu masih aku diamkan hing
HUSNA“Assalamu ‘alaikum,” sapaku ogah-ogahan. Bagaimana pun, aku masih enggan menerima orang yang sudah mengusikku tempo hari.Agak lama tak terdengar jawaban. Aku hanya mendengar tangisan lirih. Eh, Novi menangis?Jujur, aku masih menyimpan dendam pada keluarga yang sudah mengusir aku dan Asma. Novi adalah bagian dari keluarga itu. Mau terlibat langsung dalam pengusiran mau pun hanya menyaksikan tanpa mencegah, bagiku sama saja. Sama jahatnya.Akan tetapi, saat mendengar tangisan lirih Novi di seberang sana, hatiku seperti digores. Novi yang aku tahu adalah anak yang pandai bergaul, ekspresif dan blak-blakan. Kenapa ia justru terdengar rapuh seperti ini?“Una …. Kalau aku minta Ken, maksudku Kenzo, dari kamu. Nggak apa-apa, ‘kan?”Sekonyong-konyong, Novi berbicara. Tapi kata-katanya membuat hatiku tergores. Ah, bukan hanya itu. Aku merasakan sesuatu yang panas di dadaku. Perasaan yang tidak asing. Singkat saja. Aku geram mendengarnya.Kenapa sepertinya semua orang menyukai dan mengi
HUSNAAku membiarkan Himawari minum, menghabiskan isi botol yang tersisa. Kondisinya cukup mengkhawatirkan. Walaupun dia adalah sainganku, aku tidak akan tega membiarkannya menderita seperti ini.Hah? Saingan? Astaga Husna, sadarlah! Jangan terbawa mimpi lagi. Jika Kenzo menolakmu, maka itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika Kenzo menolak gadis seperti Himawari atau Putri.Putri. Entah kenapa, bayangan teman sekolahku itu melintas di benakku. Teringat pada hadiah dari Kenzo untuknya pada saat makan malam bersama. Kenzo pasti sangat dekat dengannya sampai bersedia memberikan gelang secantik itu. Atau, sejak awal, Kenzo memang menginginkan Putri?“Hoek!”Himawari kembali muntah, membuat pikiranku yang sedang ke mana-mana, kembali ke toko ini. Air minum yang sudah melewati tenggorokannya, kini ditumpahkan lagi.Aku juga pernah mengalami apa yang dia
KENZO“Apa? Kamu suka aku?” sergah Putri. Ia tampak terkejut. Tidak mengira bahwa aku menyukainya.Aku pun terkejut. Benar-benar terkejut. Terkejut bukan karena melihat reaksi Putri. Melainkan karena aku tidak menyangka, aku mampu mengatakannya.Aku mengira bahwa aku hanya membisikkan kata-kata itu dalam benakku saja. Tapi ternyata tidak. Aku mengucapkannya, tanpa basa-basi!Apa aku terlalu gugup, hingga tak sengaja meluncurkan kalimat itu dari mulutku? Apa ini? Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri hingga berbicara di luar kendaliku?Cokelat praline dalam genggaman Putri nyaris terlepas, sebagai bagian dari reaksi keterkejutan dirinya atas kata-kata yang aku lontarkan. Putri segera menyelamatkan pemberianku itu, lalu buru-buru meletakkan kaleng tersebut di sisinya.“Beneran, Ken? Kamu nggak lagi ngelindur, ‘kan? Nggak main-main, ‘kan?” tanya Putri sambil menatap mataku. Ia seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka.Aku gelagapan. Bingung mau bicara apa setelah