KENZO
Husna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini. Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota. Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya. Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini? Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali bertanya padaku, tapi biasanya langsung ditegur oleh kakaknya. Aku sendiri hanya tersenyum canggung menanggapi pertanyaan-pertanyaan Asma. Bagaimana mau menjawab, kakaknya saja tidak mengizinkan adiknya bertanya. Atau, haruskah aku menjawab saja agar suasana lebih cair? Kulirik Husna sekali lagi. Dialah gadis cantik yang kulihat saat kecelakaan di pagi buta itu. Gadis pahlawan yang sudah menyelamatkan nyawa Papi. Aku mulai menyesal karena berpikir bahwa apa yang selama ini Mami lakukan untuk Husna sudah lebih dari cukup. Padahal, utang nyawa seperti ini, bagaimana membalasnya? Aku tidak tahu. Apakah selamanya kami sekeluarga harus merasa berutang pada gadis sederhana ini? Husna memang dibantu oleh pihak lain untuk menolong Papi. Tapi, tetap saja, dia adalah orang pertama yang tiba di lokasi. Papi yang terlempar ke samping mobil, ia bawa dengan susah payah untuk ditempatkan di tempat yang lebih nyaman. Sementara aku, anak Papi sendiri, hanya bisa menyaksikan tanpa daya, bagaimana orang asing menyelamatkan keluargaku. Malah, akulah yang menjadi penyebab kecelakaan yang menimpa Papi. Jadi, kelihatannya, seumur hidup, kami—terutama aku, tidak akan bisa membalas kebaikan Husna. Sebelum tiba di kediaman keluargaku, mobil yang aku kendarai melewati sebuah portal yang hanya bisa dibuka oleh orang-orang yang tinggal dan bekerja di kediaman kami. Setelah itu, mobil pun menyusuri sebuah jalan pribadi yang di kedua sisinya terdapat pepohonan yang rindang. Asma menengok kiri kanan, takjub melihat apa yang terbentang sepanjang perjalanan menuju ke kediaman kami. Kulihat pula Husna melirik ke tempat yang sama. Barangkali mulai menduga-duga, sehebat apa kediaman yang hendak ia kunjungi. Jalan menuju tempat itu saja sebagus ini, apa lagi kediaman keluarga kami. Aku terkekeh pelan. Mungkin aku norak, tapi aku ingin sekali berkata, tunggu sampai kalian melihat tempat kami tinggal selama tiga generasi. Setelah berjalan selama sepuluh menit, kami akhirnya tiba di kediaman keluargaku yang berdiri di atas lahan seluas lebih dari sebelas ribu meter persegi. Seperti dugaanku, Asma memekik melihat kediaman kami yang bak istana dan memiliki empat lantai. Ia membelalak, lalu kegirangan karena akhirnya bisa menginap di tempat seluas dan semewah ini. Aku kembali menengok pada Husna. Gadis itu tampak terkesiap. Meski lebih tenang daripada adiknya, aku tahu, dia juga sama tersentaknya melihat kediaman keluargaku. “Kak, ini betul rumah Kak Kenzo?!” pekik Asma. Dia benar-benar tak percaya, rupanya. “Iya. Kamar kalian berdua sudah disiapkan,” jawabku kalem. Asma memekik lagi. Girang sekali. Tapi, kali ini, kakaknya tak menegur sama sekali. *** HUSNA Aku menyaksikan Asma bergembira gembira di kamar kami. Adikku itu sangat bersuka cita karena bisa menginap di rumah—ehm, mungkin lebih tepat jika disebut istana—ini. Aku duduk di tepi ranjang besar yang empuknya terasa menenggelamkan, memandang adikku yang masih sibuk memeriksa seisi kamar yang luas itu. Setelah melihat-lihat isi kamar, Asma lalu masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar pekikannya. Tak lama kemudian, ia sudah berlari padaku. Melaporkan apa yang ia lihat. “Kak, Kak! Kamar mandinya besaaar! Lebih luas daripada kos-kosan kita dulu!” Aku hanya tersenyum lalu menyuruhnya mandi. Bu Krisye dan Pak Kenta akan pulang tak lama lagi. Jadi, kupikir ada baiknya jika kami sudah rapi saat menyambutnya. Jika biasanya adikku paling malas disuruh mandi, kini tanpa perlu disuruh dua kali, ia sudah berlari ke kamar mandi. Sejenak aku merasa khawatir bahwa dia akan kesulitan menggunakan kamar mandi yang pasti mewah dan dilengkapi dengan peralatan yang ‘canggih’ itu. Tapi ternyata tidak ada panggilan minta tolong dari adik semata wayangku itu. Kelihatannya dia sudah mempelajari cara menggunakan kamar mandi yang isinya lebih dari sekadar ember dan gayung. Boleh juga. Adikku mungkin punya bakat jadi orang kaya. Sambil menunggu adikku selesai mandi—aku yakin dia pasti akan berlama-lama di kamar mandi itu, aku membongkar isi tasku untuk mengeluarkan pakaian ganti. Namun bunyi ketukan pintu membuatku harus menghentikan sejenak kegiatanku. Ternyata Bu Krisye. Beliau sudah pulang rupanya. Barangkali karena aku hanya mematung di ambang pintu, wanita paruh baya itu akhirnya mengisyaratkan agar aku menyilakan beliau masuk. Aku terkesiap. Merasa malu dan telah lancang. Meskipun ini rumahnya, Bu Krisye ternyata sangat menghargai tamu dan privasinya. “Senang di rumah ini?” tanya Bu Krisye sambil duduk di sebuah kursi meja tulis di kamar yang aku dan Asma tempati. “Alhamdulillah, Bu. Kami sangat senang dengan undangan menginap di sini.” “Kalau begitu, menginap saja di sini lebih lama.” Aku tentu saja tidak bisa menerima tawaran itu. Aku punya toko kue yang harus dibuka sebagai mata pencaharian. Menutupnya lebih lama berarti menghilangkan kesempatan mendapatkan penghasilan. Tapi kelihatannya Bu Krisye tidak tertarik dengan jawabanku. Tanpa menunggu tanggapanku, dia mengajukan satu pertanyaan lagi. “Sudah ketemu anak saya, ‘kan? Menurut kamu, Kenzo itu pemuda yang seperti apa?” Deg! Kenapa tiba-tiba pertanyaannya mengarah ke situ, sih? Kami baru pertama kali saling berbincang. ‘Pertemuan’ pertama malah terjadi pada saat kecelakaan yang melibatkan Kenzo tiga bulan lalu. “Saya… saya pikir Kak Kenzo cowok eh, pemuda yang baik,” jawabku agak gelagapan. Sejujurnya, aku tidak tahu harus mengatakan apa-apa selain mengatakan hal yang jamak dijadikan jawaban seperti itu. Mau bilang dia keren, kok kesannya aku ini kegatelan, ya? “Kalau menurut kamu baik, itu artinya dia bisa jadi calon suami yang baik, ya?” tanya Bu Krisye lagi. Eh? Ini kenapa ya, kok bicara tentang calon suami? Memangnya Kenzo akan menikah dan Bu Krisye meminta pendapatku? “Maaf sebelumnya tidak memberi tahu tentang keinginan saya dan Papi-nya Kenzo. Kami pikir, Husna adalah gadis yang cocok untuk menjadi calon istri Kenzo. Makanya, kami mengundang kamu untuk membicarakan keinginan kami ini.” Eh? Gimana, gimana? Aku yakin, aku pasti sedang ternganga di hadapan wanita paling berkelas yang pernah aku lihat itu.KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
KENZOSudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik.Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku.Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal.Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku.Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada pa
HUSNAAsma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas.Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami.“Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu.“Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya.“Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Ka
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZOHusna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali
HUSNAAsma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas.Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami.“Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu.“Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya.“Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Ka
KENZOSudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik.Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku.Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal.Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku.Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada pa
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt