HUSNA
Asma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas. Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami. “Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu. “Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya. “Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Kakak, diangkat anak sama orang kaya? Ayo, mendarat. Jangan kelamaan terbangnya,” kataku sambil tertawa meledek. Adikku ini daya khayalnya memang kelewatan tingginya. Sampai-sampai lupa menjejakkan kaki di tanah. “Ah, Kakak. Ntar kalau kata-kata Asma jadi kenyataan, Kakak bisa malu sendiri nanti,” sergah Asma ngambek. Dia tidak terima karena aku memandang enteng khayalannya yang memang tidak masuk akal itu. Aku hanya terkekeh. Aku tahu, namanya juga masih anak-anak. Asma mengkhayalnya tidak tanggung-tanggung. Tapi, mana boleh dia dibiarkan berpikir seperti itu? “Ya sudah. Sekarang, periksa lagi barang-barangmu. Yakin sudah masuk semua ke dalam tas?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. “Sudah semua, Kak. Tapi, Kakak yakin, kita menginap semalam saja di sana? Boleh minta tambahan hari?” Aku menepuk keningku. Adikku ini tidak tertolong lagi rupanya. Tak lama kemudian, sebuah sedan yang sangat, sangat mewah, berhenti tepat di depan rumah kontrakan kami. Baik aku mau pun Asma sempat terpana melihat betapa berkilaunya mobil yang entah apa jenis dan namanya itu. Aku hanya tahu bahwa merek mobil yang berlogo lingkaran dibagi tiga itu adalah merek mobil super mewah. Tidak pernah aku bayangkan, kami akan dijemput menggunakan mobil yang biasanya aku lihat hanya di TV mau pun video influencers itu. Seseorang kemudian turun dari mobil itu. Dia adalah seorang pemuda yang kelihatannya hanya sedikit lebih tua daripada aku. Lagi-lagi, aku dan Asma dibuat terpana. Pemuda itu memiliki tubuh jangkung dan atletis, mirip dengan sosok-sosok pemeran utama film yang biasa muncul di TV. Rambut ikalnya bergerak lembut ditiup angin sore itu. Cukup menggemaskan, tapi tentu saja aku tidak bisa menyentuhnya. Kacamata hitamnya memang menutupi matanya, tapi aku yakin dia pasti memiliki mata yang bagus dan…. Astagfirullah, pekikku dalam hati, memohon ampun atas pikiranku yang tidak benar ini. Kenapa aku ini? Kenapa aku malah memikirkan fisik pria yang belum aku kenal, sekalipun dia adalah anak Bu Krisye dan Pak Kenta? “Sore,” sapa pemuda yang belum aku ketahui namanya itu, “saya Kenzo, anak Pak Kenta dan Bu Krisye. Saya disuruh Ma—maksud saya, orang tua saya, untuk menjemput Husna dan Asma.” “Oh, iya,” balasku gugup. “Terima kasih. Kami sudah siap, kok.” Jadi namanya Kenzo. Mirip nama Jepang. Atau, dia memang keturunan Jepang? Apa matanya juga sipit seperti orang Jepang, atau malah lebar seperti karakter anime? Aduh, aku jadi ngelantur lagi. Pikiranku bisa semakin aneh kalau berlama-lama menatap makhluk Tuhan yang satu ini. Harus memohon ampun agar tidak menjadi zina mata yang menjerumuskan. Aku menoleh pada Asma untuk mengajaknya berangkat bersama Kenzo. Namun adikku itu ternyata masih terpana sehingga aku harus menyenggol halus lengannya. “Asma, ayo berangkat. Tasmu sudah siap, ‘kan?” Asma tersentak, lalu menoleh padaku. Ia menyeringai, membuatku hampir menjitaknya karena tidak sopan di hadapan tamu. Apalagi, tamu itu adalah seorang pemuda terhormat dan berkelas seperti…. Husna, tenangkan dirimu! Fokus! Fokus! Penampilan hanya pengalih perhatian. Yang utama adalah…. “Kak, kayaknya bakal kesampaian, deh, kata-kata Asma barusan tentang pergi dari rumah ini,” bisik Asma jahil, mengalihkan pikiranku yang mulai aneh-aneh karena baru kali ini bertemu dengan pemuda seperti Kenzo. Aku melotot, lalu mencubit pinggang Asma. Tak peduli di hadapan kami masih ada Kenzo. Kenzo menatap kami berdua. Walaupun kacamata hitamnya menutup matanya, aku bisa melihat kebingungan dalam dalam ekspresinya. Lucu juga. Lagi-lagi aku beristigfar. Ya Allah, setelah kehilangan kedua orang tua kami, apa ini ujian selanjutnya untukku? Engkau mengirim seorang pria yang membuat hati dan pikiranku berkecamuk? Sepertinya, aku harus banyak-banyak memohon ampun usai melaksanakan salat. Ujian ini terlalu berat!KENZOHusna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali
KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
KENZOSudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik.Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku.Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal.Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku.Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada pa
KENZO“Papi, Mami, Ken minta waktu untuk mencari sendiri cewek eh, calon istri yang Ken mau. Ken bukannya tidak suka dengan pilihan Mami dan Papi, tapi Ken mau mencari calon istri yang bisa memahami Ken.”“Kamu ‘kan belum kenal Husna dengan baik. Tahu dari mana, dia tidak akan memahamimu?” sahut Papi.“Atau mungkin karena Husna terlalu alim untuk kamu, Nak? Kamu mencari gadis yang bisa diajak bersenang-senang tapi juga mau bekerja, begitu?” sela Mami.Dengan berat hati, aku mengangguk. Membuat Papi dan Mami menatapku dengan tajam, seolah bisa menusuk jantungku.Percakapanku dengan kedua orang tuaku tempo hari melintas lagi di benakku. Hingar bingar musik di club tak lantas membuatku tertarik untuk melantai. Aku masih memikirkan cara, bagaimana menemukan wanit
KENZOMalam itu, aku tengah melakukan rutinitasku. Berenang bolak-balik di kolam renang standar Olimpiade di kediaman kami untuk menjaga kebugaranku.Sebelum kecelakaan tiga bulan yang lalu, aku bahkan sanggup melakukannya sebanyak dua puluh kali, yakni sama dengan menempuh jarak sepanjang satu kilometer. Namun kini, bisa berenang bolak-balik sebanyak lima kali saja sudah hebat bagiku. Aku memang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala.Saat aku tengah menyelesaikan putaran terakhirku, Papi tampak berjalan mendekati kolam renang. Beliau tidak mengenakan pakaian renang, pertanda hanya ingin menemuiku. Maka, setelah menyelesaikan sesi latihanku, aku bergegas naik untuk menemuinya.Aku lalu mengenakan jubah mandi. Belum sempat mengikatkan talinya, Papi sudah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku seolah berhenti mendadak.“Nak, setelah lulus kuliah nanti, kamu langsung menikah, ya. Dengan Husna. Dia calon istri yang cocok buat kamu.”Aku melotot. Aku yakin pendengaranku tidak berma
KENZOHusna ternyata baru berusia sembilan belas tahun, hanya terpaut setahun denganku. Dia dan adiknya adalah gadis-gadis berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan di kota ini.Menurut Mami, mereka berdua adalah anak yatim piatu. Setahun sebelumnya, keduanya kehilangan orang tua dalam kecelakaan tunggal di pinggiran kota.Setelah mengetahui latar belakang kakak-beradik itu, aku mulai memahami maksud Mami dan Papi untuk menolong mereka. Bagaimana pun, aku nyaris mengalami hal yang sama dengan mereka. Bedanya, Papi selamat dalam kecelakaan itu hingga aku tidak perlu kehilangan sosok ayah seperti yang dialami oleh Husna dan adiknya.Apa yang aku ketahui tentang Husna, semuanya berasal dari Mami. Sebab, meskipun kini dia duduk di sebelahku, gadis itu membisu dengan kepala agak menunduk. Mungkin malu atau risih. Atau justru gugup karena baru kali ini naik sedan semewah ini?Di belakang kami, adik Husna, Asma, tak henti-hentinya mengagumi interior mobil yang aku kendarai. Ia sesekali
HUSNAAsma tidak sabar menunggu jemputan dari Bu Krisye dan Pak Kenta. Adikku itu pernah mendengar bahwa pasangan suami istri itu adalah pengusaha yang kaya raya, sehingga penasaran dengan kediaman mereka. Dia yakin, dia akan betah tinggal di sana karena kediaman pasangan suami istri itu pastilah menyerupai istana yang megah dan luas.Oleh sebab itu, ia mondar-mandir di teras rumah kontrakan kami. Menunggu dengan tak sabar anak Bu Krisye dan Pak Kenta yang katanya akan menjemput kami.“Kita hanya menginap semalam, bukan mau tinggal di situ selamanya. Itu juga karena rasa terima kasih Bu Krisye dan Pak Kenta karena waktu itu kita menolong Pak Kenta,” kataku mengingatkan adikku yang sedang bersemangat itu.“Ih, Kakak ini. Siapa tahu besok-besok kita malah bisa tinggal selamanya di sana. Kak Husna diangkat jadi anak, terus kita bisa pindah dari sini, deh,” balas Asma, masih yakin dengan khayalannya.“Oke, cukup. Kamu terlalu banyak nonton sinetron. Mana ada orang yang sudah gede kayak Ka
KENZOSudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan di pagi buta itu. Aku sudah pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Cindy juga sudah dioperasi hingga patah tulang kaki yang ia alami, sudah tertangani. Korban-korban lain, yakni Bang Rano dan supir Papi, juga sudah membaik.Akan tetapi, yang paling aku syukuri adalah keadaan Papi. Beliau kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, beliau baru saja pulang dari Jepang dengan membawa serta Mami agar Mami tidak marah-marah terus setiap kali melihatku.Mami masih marah padaku. Ya, aku menyadarinya. Ulahku yang mengemudi dalam keadaan mabuk, sudah membawa musibah bagi kami dan orang-orang kami kenal.Setelah pulang dari Jepang, aku belum tahu apakah Mami sudah melupakan kemarahannya padaku atau masih menyimpannya. Aku sendiri hanya bisa diam. Sudah terlalu banyak kekacauan yang aku lakukan hingga membuatku pasrah setiap kali Mami memarahiku.Orang tuaku juga menuntutku untuk ikut memberikan sumbangan yang cukup besar pada pa
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt