KENZO
Setelah menutup telepon, aku kembali melangkah. Tak lama kemudian, aku mendapatkan pemberitahuan bahwa rekening yang aku maksud sudah dapat aku kugunakan lagi sesukanya. Termasuk untuk membayarkan uang kuliah Vita sebagai langkah awal untuk menjadikannya calon pengganti Husna.
***
HUSNA
Hari ini hari yang penuh drama. Mungkin aku berlebihan. Tapi setelah kunjungan Tante Fitri, aku mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka: pembeli baru bernama Kenzo. Dia juga ternyata cukup baik hingga memberikan tip untuk adikku. Orang kaya mah bebas, ya. Hehehe.
Meskipun aku masih bingung, bagaimana bisa Kenzo mengenal Bang Farid yang menjadi perantara bagi pelangganku, aku akhirnya memilih untuk tidak memikirkan alasannya. Malah, aku berharap kelak Kenzo akan membeli kue lagi dariku sehingga ia menjadi pelanggan toko kecilku.
Saat sedang berharap agar pela
HUSNA“K-Kue spesial seperti apa, Bu Krisye?” tanyaku tergagap sambil buru-buru memberikan kursi untuk diduduki pengunjung istimewaku itu.“Apa yang terbaik yang dapat kamu buat, Nak,” jawab wanita yang menyebutku sebagai calon menantunya itu. Meskipun sebenarnya aku sendiri masih mempertimbangkannya.“Saya membuat brownies dan beberapa jenis kue tradisional yang pernah diajarkan oleh almarhumah ibu saya.”“Kalau begitu, pembicaraan selesai,” sela Bu Krisye sambil bertepuk tangan lembut. “Tolong kamu buatkan kami kue perayaan pernikahan dari brownies. Untuk sajian kudapannya, tolong buatkan kue-kue tradisional dengan kemampuan terbaikmu. Kami hanya akan mengadakan perayaan sederhana dengan jumlah tamu terbatas. Jadi jumlah yang hadir hanya tiga puluh orang.”Aku melongo. Bu Krisye bahkan tidak ingin melihat gambar atau c
KENZO“Iya, membantunya. Mengantarnya berbelanja bahan, misalnya. Pastikan sebagian bahan yang Husna butuhkan dibeli di Trixmart, ya. Hahaha.”Sempat-sempatnya Papi bercanda pada saat aku sedang terkejut seperti ini.“Tapi, Pi. Kenapa Ken harus membantu Husna? Ken harus memusatkan perhatian untuk mencari jodoh sendiri. Masa’ Ken harus membagi waktu dengan Husna juga? Itu bisa merusak rencana Ken,” protesku.“Papi pikir ini pertukaran yang cukup adil. Papi dan Mami sudah memfasilitasi pencarian jodoh ini dengan membuka blokiran rekeningmu. Dengan begitu, kamu memiliki sumber daya nyaris tanpa batas untuk melakukan rencanamu. Nah, sebagai ganti kelonggaran itu, Papi setuju bahwa kamu diberi kewajiban untuk melakukan apa yang Mami inginkan, yaitu membantu Husna. Bagaimana pun, bagi Papi dan Mami, Husna adalah pilihan kami.”
HUSNAAku panik hingga napasku sesak. Hingga kepergian Bu Krisye dengan mobilnya, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Terlalu banyak yang berkelebatan di kepalaku, hingga aku merasa tidak kuat lagi dan terpaksa menutup sementara tokoku!Setelah mengunci pintu dan menutup toko di aplikasi ojol, aku berjalan gontai menuju ke kamarku. Merebahkan diri di tempat tidur, memejamkan mata untuk menenangka diri. Aku tidak mengkhawatirkan Asma yang sebentar lagi pulang sekolah. Ia punya kunci rumah sendiri, sehingga tidak akan membangunkan aku untuk membukakan pintu.Apa seharusnya aku tegas saja, ya? Tidak, Bu Krisye. Saya tidak ingin menjadi calon menantu Bu Krisye dan Pak Kenta. Saya masih bisa hidup meskipun tidak menjadi bagian dari keluarga Bu Krisye dan Pak Kenta.Astagfirullah, pekikku dalam hati. Sombong sekali kata-kataku. Menjadi menantu dari pasangan kaya raya seperti Bu Krisye
HUSNA“Belanjanya itu saja? Haruma, yang ulang tahun ‘kan kakakmu. Masa’ kadonya hanya itu? Makanya, duit jajanmu jangan dihabiskan di mobile game,” celetuk Asma saat anak laki-laki itu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. Aku sampai menegur Asma agar tidak meledek temannya seperti itu. Apalagi, teman Asma ituTapi anak yang ternyata bernama Haruma itu cuek, tidak menang. Setelah menerima uang kembalian dariku, ia mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang. Asma mengantarnya hingga ke mobilnya yang lagi-lagi entah apa mereknya itu. Bisa kubayangkan para tetangga akan bergunjing tentang para pelangganku hari ini yang datang dengan mobil mewah.“Haruma itu teman sekelasmu?” tanyaku saat Asma kembali ke toko.“Iya. Kakaknya hari ini ulang tahun, jadi dia mau kasih kado nanti malam. Aneh sih. Kasih kado kok brownies. Tapi nggak apa-apa juga, s
HUSNAKenzo pasti menempati posisi yang istimewa bagi Putri, demikian juga sebaliknya. Mereka duduk bersebelahan seperti pasangan. Di pergelangan tangan Putri, melingkar sebuah gelang berwarna keputih-putihan yang aku kira terbuat dari emas putih. Hadiah dari Kenzo untuk teman lamanya yang istimewa.Ternyata benar, Kenzo dan keluarganya sekaya itu ya, hingga bisa memberikan hadiah yang saangat mahal seperti itu. Dan aku merasa ragu. Orang gila mana yang berpikir untuk menolak tawaran menjadi menantu keluarga kaya raya, padahal jika dilihat dari segi kelas sosial dan ekonomi, dia tidak setara dengan keluarga itu?Orang gila itu adalah aku! Aku, yang berusaha meyakinkan diriku bahwa keluarga Kenzo itu hanya sedang berusaha membalas budi seperti dalam cerita novel-novel atau film-film. Aku, yang …Perdebatanku dengan diriku sendiri terhenti mana kala aku menyadari bahwa sajian pencuci mulut sudah
KENZOBegitu Putri mengetahui bahwa Husna kini berprofesi sebagai seorang pembuat kue, ia segera menghidangkan hadiah dari Husna pada teman-temannya. Maka, Husna pun menerima pesanan berkat klappertaart yang ia buat dan tentu saja, rekomendasi dari Putri.Selama ini, aku menyebut diriku sebagai pengusaha muda. Aku lebih mengutamakan pekerjaan daripada membangun relasi yang juga menjadi modal kuat untuk mengembangkan bisnis. Ketidaktahuan diriku atas hubungan Putri dengan Husna adalah contohnya.Tetapi setelah melihat apa yang dilakukan oleh Putri untuk seorang teman yang tengah berjuang, aku kini sadar bahwa aku harus lebih banyak menjalin komunikasi yang lebih luas dengan pihak luar untuk mengembangkan diri, termasuk mengembangkan bisnis yang sedang kulakukan.Tidak salah jika aku menjadikan Putri sebagai salah seorang calon pengganti menantu pilihan orang tuaku.“Besok, k
HUSNA“Husna! Husna!”Aku menoleh karena merasa mengenali suara yang memanggilku itu. Ternyata dugaanku benar. Itu suara Kenzo!Kenzo berjalan cepat untuk menyusulku. Di belakangnya, tidak kulihat lagi mobil yang sebelumnya kutumpangi. Hanya ada mobil Kenzo yang tengah menepi di dekat trotoar.Aku pun berbalik untuk menghampirinya. Melupakan ketakutanku saat turun dari taksi online beberapa saat lalu. Kenzo adalah orang yang aku kenal, jadi aku merasa lebih aman bersamanya.“Kak! Kak Kenzo!”Seandainya aku dekat dengannya, barangkali aku sudah menangis di hadapannya untuk mengungkapkan ketakutanku barusan. Namun, saat kami akhirnya saling berhadapan, aku hanya terdiam. Kupikir wajahku kini tampak pucat. Yang jelas, aku masih agak gemetaran usai berhasil kabur dari taksi online yang kutumpangi sebelumnya.
KENZOSesuatu yang membuat darahku seperti mendidih. Tapi, tentu saja tidak akan aku tunjukkan pada Husna.Setelah perjalanan selama setengah jam kami lalui, mobilku tiba di rumah Husna.“Eh … Kak, mau mam—“Ucapan Husna menggantung. Ia pasti hendak berbasa-basi untuk mengajakku singgah. Namun tiba-tiba teringat bahwa saat ini malam sudah sangat larut, sehingga mengurungkan ajakannya. Mana mungkin seorang gadis sepertinya mengajak laki-laki masuk ke rumahnya pada tengah malam begini?“Sudah malam. Masuk saja, terus istirahat,” sahutku untuk mengusir ketidaknyamanan ini.“Eh, iya. Terima kasih sudah menolong dan mengantar saya pulang,” balas Husna pelan.“Sama-sama. Kalau tahu kamu juga kenal dengan Putri, seharusnya kita berangkat bareng saja,” balasku.Ups, aku nyaris menutup mulutku yang keceplosan. Mana ada orang y
HUSNANovi masih meneleponku hingga tiga kali, tapi semua panggilannya kuabaikan. Aku tidak mau mendengarkan lagi ucapannya yang memicu air mataku untuk keluar.Sesaat kemudian, Novi mengirimkan pesan yang hanya aku baca. Ia memberitahukan keberadaan Kenzo dan Novi saat ini.Di kampus, ya? Tempat pendidikan tinggi yang hanya menjadi impian untukku. Apa Novi menyuruhku ke sana dan melabrak mereka?Aku mengucapkan istigfar saat pemikiran untuk memergoki Kenzo dan Putri itu tercetus di benakku. Apa hakku melakukan itu? Lagipula, baik Putri mau pun Kenzo adalah orang-orang yang baik padaku. Tidak mungkin aku menyerang mereka seperti itu.Dadaku kembali terasa panas. Perih. Darahku seperti mengalir lebih cepat saat aku membantah pikiran burukku sendiri. Aku memang tidak boleh menyakiti hati Kenzo dan Putri. Tapi, bagaimana caranya agar hatiku sendiri bisa menjadi tenang?“Husna … ada air minum, nggak? Aku haus ….”Aku tersentak dan menoleh. Melihat Himawari sudah berdiri tak jauh dariku. A
HUSNA“Nov, kalau kamu nggak punya kerjaan lain selain ngemis-ngemis apa yang nggak aku miliki, mendingan kamu ngapain. Kalau memang mau sama Ken, bilang aja ke dia langsung, jangan ke aku,” semburku.Bahkan jika Putri atau Himawari memang punya hubungan khusus dengan Kenzo, aku bisa apa? Mau melarang? Baik aku dan Kenzo sama-sama belum mengatakan apa-apa tentang perjodohan yang diinginkan oleh Bu Krisye dan Pak Kenta itu. Jadi terserah masing-masing dalam menyikapinya.“Tapi cewek seperti kita nggak akan punya kesempatan kalau saingannya cewek tajir seperti Putri, teman sekolahmu dulu.”Sesuai dugaanku, ternyata gadis yang Novi maksud adalah Putri.Justru karena itu, Novi! Aku sudah punya kesempatan untuk menjadi pasangan Kenzo, tapi belum aku ambil karena … aku menyadari diriku. Siapa sih, aku ini? Apa aku memang pantas menjadi calon pasangan Kenzo?Aku ikhlas menolong Pak Kenta, tak mengharapkan imbalan sekalipun imbalan itu adalah Kenzo. Jadi, kesempatan itu masih aku diamkan hing
HUSNA“Assalamu ‘alaikum,” sapaku ogah-ogahan. Bagaimana pun, aku masih enggan menerima orang yang sudah mengusikku tempo hari.Agak lama tak terdengar jawaban. Aku hanya mendengar tangisan lirih. Eh, Novi menangis?Jujur, aku masih menyimpan dendam pada keluarga yang sudah mengusir aku dan Asma. Novi adalah bagian dari keluarga itu. Mau terlibat langsung dalam pengusiran mau pun hanya menyaksikan tanpa mencegah, bagiku sama saja. Sama jahatnya.Akan tetapi, saat mendengar tangisan lirih Novi di seberang sana, hatiku seperti digores. Novi yang aku tahu adalah anak yang pandai bergaul, ekspresif dan blak-blakan. Kenapa ia justru terdengar rapuh seperti ini?“Una …. Kalau aku minta Ken, maksudku Kenzo, dari kamu. Nggak apa-apa, ‘kan?”Sekonyong-konyong, Novi berbicara. Tapi kata-katanya membuat hatiku tergores. Ah, bukan hanya itu. Aku merasakan sesuatu yang panas di dadaku. Perasaan yang tidak asing. Singkat saja. Aku geram mendengarnya.Kenapa sepertinya semua orang menyukai dan mengi
HUSNAAku membiarkan Himawari minum, menghabiskan isi botol yang tersisa. Kondisinya cukup mengkhawatirkan. Walaupun dia adalah sainganku, aku tidak akan tega membiarkannya menderita seperti ini.Hah? Saingan? Astaga Husna, sadarlah! Jangan terbawa mimpi lagi. Jika Kenzo menolakmu, maka itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika Kenzo menolak gadis seperti Himawari atau Putri.Putri. Entah kenapa, bayangan teman sekolahku itu melintas di benakku. Teringat pada hadiah dari Kenzo untuknya pada saat makan malam bersama. Kenzo pasti sangat dekat dengannya sampai bersedia memberikan gelang secantik itu. Atau, sejak awal, Kenzo memang menginginkan Putri?“Hoek!”Himawari kembali muntah, membuat pikiranku yang sedang ke mana-mana, kembali ke toko ini. Air minum yang sudah melewati tenggorokannya, kini ditumpahkan lagi.Aku juga pernah mengalami apa yang dia
KENZO“Apa? Kamu suka aku?” sergah Putri. Ia tampak terkejut. Tidak mengira bahwa aku menyukainya.Aku pun terkejut. Benar-benar terkejut. Terkejut bukan karena melihat reaksi Putri. Melainkan karena aku tidak menyangka, aku mampu mengatakannya.Aku mengira bahwa aku hanya membisikkan kata-kata itu dalam benakku saja. Tapi ternyata tidak. Aku mengucapkannya, tanpa basa-basi!Apa aku terlalu gugup, hingga tak sengaja meluncurkan kalimat itu dari mulutku? Apa ini? Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri hingga berbicara di luar kendaliku?Cokelat praline dalam genggaman Putri nyaris terlepas, sebagai bagian dari reaksi keterkejutan dirinya atas kata-kata yang aku lontarkan. Putri segera menyelamatkan pemberianku itu, lalu buru-buru meletakkan kaleng tersebut di sisinya.“Beneran, Ken? Kamu nggak lagi ngelindur, ‘kan? Nggak main-main, ‘kan?” tanya Putri sambil menatap mataku. Ia seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka.Aku gelagapan. Bingung mau bicara apa setelah
HUSNA“Kalian saling sayang ya, karena sejak kecil sudah saling kenal?” tanyaku hati-hati.Saatnya menggali informasi. Aku ingin tahu, seperti apa sebenarnya hubungan di antara dua orang keluarga jauh ini.Sayangnya, Himawari terlalu ‘mabuk’ untuk menjawab. Gadis itu malah menangis sesenggukan lagi.“Dia jahat! Aku nggak terima, pokoknya!” seru Himawari. Kemudian menghabiskan potongan brownies yang terakhir.Uh. Aku harus bersabar. Orang patah hati memang sulit diajak bicara.Eh? Patah hati? Apa memang benar, di antara Himawari dan Kenzo, memang ada hubungan yang sangat kuat?Sepertinya iya. Kalau tidak, kenapa Himawari tampak frustrasi seperti ini? Kalau mereka hanya berteman, tidak mungkin Himawari akan sekalut ini.Aku memilin ujung jilbabku, menahan diri agar tidak larut dalam p
KENZOAku yang dulu, mungkin akan kabur untuk menghindari konflik tak terduga ini. Mengabaikan panggilan seorang gadis demi gadis lainnya, namun pada akhirnya justru bertemu dengan gadis yang aku abaikan itu.Ya, aku pasti akan cari aman. Bersembunyi, lalu kembali saat keadaan sudah memungkinkan. Pengecut.Tapi itu dulu. Aku yang sekarang, entah mengapa, malah terpaku di tempatku. Menanti kedatangan Putri dan Viina yang bisa saja membawa badai yang tidak diinginkan oleh siapa pun.Aku melirik apa yang aku pegang saat ini. Sekotak praline dan minuman ringan dua kaleng untuk dinikmati berdua dengan Putri. Aku tentu saja tidak mengira bahwa Vita akan hadir di sini. Barangkali seharusnya, aku membeli minuman tiga kaleng untuk berjaga-jaga. Entahlah.Dua orang gadis itu kini sudah berhadapan denganku. Ekspresi wajah mereka bertolak belakang. Putri dengan senyuman yang menente
HUSNAAku benar-benar bingung. Juga tidak menyangka. Seorang gadis tangguh seperti Himawari bisa berada dalam keadaan seperti ini.Air matanya memang sudah berhenti mengalir. Tapi sesekali Himawari masih menarik napas, menahan tangisan yang setiap saat masih bisa mendera lagi.Aku tertegun. Seperti inikah seorang gadis yang patah hati? Merasa hancur karena perbuatan seorang pemuda sudah mengasarinya?“Kak, Kak Himawari sudah makan kue terlalu banyak. Berhenti dulu, ya,” bujukku.Aku meringis pelan. Himawari sudah memakan dua kotak brownies sendirian, belum termasuk kue-kue kering yang kupajang di tokoku.Ya, Himawari memang sudah membayar apa yang dia makan. Bahkan dengan harga dua kali lipat lebih tinggi.Tapi, tetap saja, memakan kue sebanyak itu jelas tidak baik untuk kesehatan. Aku sudah bingung, dengan cara apa lagi aku h
HUSNAPagi-pagi sekali, aku sudah menyapu dan mengepel lantai tokoku. Perabotan di dalamnya aku bersihkan dengan saksama. Kaca toko pun aku bersihkan dengan pembersih khusus. Hingga saat Asma meminta uang jajan sebelum berangkat ke sekolah, aku sudah menyelesaikan pekerjaan beres-beres sebelum membuka toko itu.“Kinclong, Kak. Memangnya hari ini Kak Kenzo mau datang ke sini?” celetuk Asma usai menghirup wangi karbol yang aku gunakan untuk mengepel lantai.“Hah? Apa hubungannya dengan Kak Kenzo? Kakak ‘kan tiap hari beres-beres begini,” tukasku sambil membuka dompet untuk mengambilkan jatah harian Asma.“Nggak. Kakak hanya mengelap kaca sampai kinclong begini pas Kak Kenzo datang ke sini. Waktu Kak Kenzo nganterin belanja bahan kue pesanan Bu Krisye itu, loh,” bantah Asma nyengir. Matanya berbinar melihat warna lembaran uang yang aku berikan.Aku tersentak. Apa iya? Apa iya, aku hanya bersih-bersih total jika mengetahui bahwa Kenzo akan berkunjung ke toko ini?Setelah menerima uang sak