HUSNA
“Belanjanya itu saja? Haruma, yang ulang tahun ‘kan kakakmu. Masa’ kadonya hanya itu? Makanya, duit jajanmu jangan dihabiskan di mobile game,” celetuk Asma saat anak laki-laki itu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. Aku sampai menegur Asma agar tidak meledek temannya seperti itu. Apalagi, teman Asma itu
Tapi anak yang ternyata bernama Haruma itu cuek, tidak menang. Setelah menerima uang kembalian dariku, ia mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang. Asma mengantarnya hingga ke mobilnya yang lagi-lagi entah apa mereknya itu. Bisa kubayangkan para tetangga akan bergunjing tentang para pelangganku hari ini yang datang dengan mobil mewah.
“Haruma itu teman sekelasmu?” tanyaku saat Asma kembali ke toko.
“Iya. Kakaknya hari ini ulang tahun, jadi dia mau kasih kado nanti malam. Aneh sih. Kasih kado kok brownies. Tapi nggak apa-apa juga, s
HUSNAKenzo pasti menempati posisi yang istimewa bagi Putri, demikian juga sebaliknya. Mereka duduk bersebelahan seperti pasangan. Di pergelangan tangan Putri, melingkar sebuah gelang berwarna keputih-putihan yang aku kira terbuat dari emas putih. Hadiah dari Kenzo untuk teman lamanya yang istimewa.Ternyata benar, Kenzo dan keluarganya sekaya itu ya, hingga bisa memberikan hadiah yang saangat mahal seperti itu. Dan aku merasa ragu. Orang gila mana yang berpikir untuk menolak tawaran menjadi menantu keluarga kaya raya, padahal jika dilihat dari segi kelas sosial dan ekonomi, dia tidak setara dengan keluarga itu?Orang gila itu adalah aku! Aku, yang berusaha meyakinkan diriku bahwa keluarga Kenzo itu hanya sedang berusaha membalas budi seperti dalam cerita novel-novel atau film-film. Aku, yang …Perdebatanku dengan diriku sendiri terhenti mana kala aku menyadari bahwa sajian pencuci mulut sudah
KENZOBegitu Putri mengetahui bahwa Husna kini berprofesi sebagai seorang pembuat kue, ia segera menghidangkan hadiah dari Husna pada teman-temannya. Maka, Husna pun menerima pesanan berkat klappertaart yang ia buat dan tentu saja, rekomendasi dari Putri.Selama ini, aku menyebut diriku sebagai pengusaha muda. Aku lebih mengutamakan pekerjaan daripada membangun relasi yang juga menjadi modal kuat untuk mengembangkan bisnis. Ketidaktahuan diriku atas hubungan Putri dengan Husna adalah contohnya.Tetapi setelah melihat apa yang dilakukan oleh Putri untuk seorang teman yang tengah berjuang, aku kini sadar bahwa aku harus lebih banyak menjalin komunikasi yang lebih luas dengan pihak luar untuk mengembangkan diri, termasuk mengembangkan bisnis yang sedang kulakukan.Tidak salah jika aku menjadikan Putri sebagai salah seorang calon pengganti menantu pilihan orang tuaku.“Besok, k
HUSNA“Husna! Husna!”Aku menoleh karena merasa mengenali suara yang memanggilku itu. Ternyata dugaanku benar. Itu suara Kenzo!Kenzo berjalan cepat untuk menyusulku. Di belakangnya, tidak kulihat lagi mobil yang sebelumnya kutumpangi. Hanya ada mobil Kenzo yang tengah menepi di dekat trotoar.Aku pun berbalik untuk menghampirinya. Melupakan ketakutanku saat turun dari taksi online beberapa saat lalu. Kenzo adalah orang yang aku kenal, jadi aku merasa lebih aman bersamanya.“Kak! Kak Kenzo!”Seandainya aku dekat dengannya, barangkali aku sudah menangis di hadapannya untuk mengungkapkan ketakutanku barusan. Namun, saat kami akhirnya saling berhadapan, aku hanya terdiam. Kupikir wajahku kini tampak pucat. Yang jelas, aku masih agak gemetaran usai berhasil kabur dari taksi online yang kutumpangi sebelumnya.
KENZOSesuatu yang membuat darahku seperti mendidih. Tapi, tentu saja tidak akan aku tunjukkan pada Husna.Setelah perjalanan selama setengah jam kami lalui, mobilku tiba di rumah Husna.“Eh … Kak, mau mam—“Ucapan Husna menggantung. Ia pasti hendak berbasa-basi untuk mengajakku singgah. Namun tiba-tiba teringat bahwa saat ini malam sudah sangat larut, sehingga mengurungkan ajakannya. Mana mungkin seorang gadis sepertinya mengajak laki-laki masuk ke rumahnya pada tengah malam begini?“Sudah malam. Masuk saja, terus istirahat,” sahutku untuk mengusir ketidaknyamanan ini.“Eh, iya. Terima kasih sudah menolong dan mengantar saya pulang,” balas Husna pelan.“Sama-sama. Kalau tahu kamu juga kenal dengan Putri, seharusnya kita berangkat bareng saja,” balasku.Ups, aku nyaris menutup mulutku yang keceplosan. Mana ada orang y
HUSNAAsma pasti sangat senang dan bangga saat diturunkan oleh Kenzo di depan gerbang sekolahnya. Aku sendiri kurang paham mengenai mobil. Tapi saat sebagian orang menoleh untuk mengamati mobil yang dikemudikan oleh Kenzo, aku tahu bahwa mobil ini bukan sedan standar yang sangat mudah ditemui di jalan.“Asma masuk dulu ya, Kak,” pamit Asma pada kami berdua.“Iya. Pulang sekolah langsung ke rumah,” pesanku pada adikku satu-satunya itu.“Iya, Kak,” balas Asma, kemudian berbalik dan bergegas ke dalam sekolah.Aku dan Kenzo memandang kepergian Asma hingga ia menghilang di balik pagar sekolah. Setelah itu, aku menoleh pada Kenzo.“Kak, pesanan Bu Krisye masih dua minggu lagi. Masih ada waktu untuk membeli bahan, tidak perlu terburu-buru begini.”Kenzo menatapku. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu, namun mengurungkannya karena sesuatu hal. Ia
KENZOPria itu menyambut kami dengan ramah. Sebagai basa-basi, ia menanyakan kabar Mami. Ternyata benar, beliau adalah adik kelas Mami saat masih kuliah dulu.“Harap menunggu ya, Nak. Orangnya sedang dipanggil ke sini,” ujar adik kelas Mami itu.“Baik, Om. Maaf sudah mengganggu pagi-pagi begini,” balasku dengan basa-basi. Padahal aku tahu, beliau mau membantuku karena hubungan perusahaan tempatnya bekerja dengan bisnis keluargaku.Atas bantuan Bang Rano, aku jadi tahu, harus pergi ke mana jika ingin menyelesaikan masalah ini. Bang Rano-lah yang menemukan perusahaan tempat orang yang akan kami temui itu bekerja. Bang Rano pula yang menemukan siapa orang yang sebaiknya kami temui sebelumnya, yakni Kepala HRD yang ternyata adalah yunior Mami.Saat aku dan Kepala HRD sedang berbincang, Bang Farid—yang memang aku nantikan kehadirannya—muncul. Husna tersentak saat melihat kehadiran pri
HUSNAAku tidak peduli lagi jika tingkahku tampak seperti gadis murahan karena mendekat pada laki-laki yang bukan keluarganya. Yang jelas, saat ini aku merasa takut dan tidak aman.Aku mengintip dari balik bahu Kenzo. Kulihat pria itu tengah menatapku bingung, tak mengerti mengapa aku takut padanya. Astaga, apa dia tidak mengenaliku? Apa dia lupa perbuatannya semalam? Apakah ulahnya semalam bukan yang pertama kalinya, sehingga ia bisa melupakannya begitu saja?“Jadi, apa orang ini yang semalam menggangggumu?” tanya Kenzo padaku.Aku menatap Kenzo dengan mata berair. Empat orang pria di ruangan ini menatapku, menunggu jawaban.Aku bisa melihat bahwa pria yang membuatku takut itu, tengah menelan ludah. Ia tampak cemas. Kelihatannya, orang itu mulai mengingat apa yang telah ia lakukan semalam.Semalam, aku hanya ingin pulang ke rumah dan beristirahat
KENZO“Tangannya masih sakit, Bang?” tanyaku pada Bang Farid.“Sudah enakan, kok,” jawab Bang Farid tenang.“Syukurlah.”Siang itu, setelah membawa Bang Farid ke klinik untuk diobati, aku mengantar Bang Farid pulang ke apartemennya. Papi memberinya cuti berbayar untuk memulihkan tangannya, sebagai tanda terima kasih karena sudah membela calon menantu pilihannya.“Terima kasih, Bang Farid,” kata Husna sebelum Bang Farid turun dari mobil. Barangkali berterima kasih atas pembelaan Bang Farid untuknya.“Sama-sama.”Bang Farid melenggang memasuki gedung apartemen. Ia sempat melambaikan tangannya yang tidak terluka sebelum benar-benar masuk ke dalam. Aku membalasnya dengan acungan jempol, sementara Husna hanya menatap dalam diam.Pagi tadi, kami menyelesaikan insid
HUSNANovi masih meneleponku hingga tiga kali, tapi semua panggilannya kuabaikan. Aku tidak mau mendengarkan lagi ucapannya yang memicu air mataku untuk keluar.Sesaat kemudian, Novi mengirimkan pesan yang hanya aku baca. Ia memberitahukan keberadaan Kenzo dan Novi saat ini.Di kampus, ya? Tempat pendidikan tinggi yang hanya menjadi impian untukku. Apa Novi menyuruhku ke sana dan melabrak mereka?Aku mengucapkan istigfar saat pemikiran untuk memergoki Kenzo dan Putri itu tercetus di benakku. Apa hakku melakukan itu? Lagipula, baik Putri mau pun Kenzo adalah orang-orang yang baik padaku. Tidak mungkin aku menyerang mereka seperti itu.Dadaku kembali terasa panas. Perih. Darahku seperti mengalir lebih cepat saat aku membantah pikiran burukku sendiri. Aku memang tidak boleh menyakiti hati Kenzo dan Putri. Tapi, bagaimana caranya agar hatiku sendiri bisa menjadi tenang?“Husna … ada air minum, nggak? Aku haus ….”Aku tersentak dan menoleh. Melihat Himawari sudah berdiri tak jauh dariku. A
HUSNA“Nov, kalau kamu nggak punya kerjaan lain selain ngemis-ngemis apa yang nggak aku miliki, mendingan kamu ngapain. Kalau memang mau sama Ken, bilang aja ke dia langsung, jangan ke aku,” semburku.Bahkan jika Putri atau Himawari memang punya hubungan khusus dengan Kenzo, aku bisa apa? Mau melarang? Baik aku dan Kenzo sama-sama belum mengatakan apa-apa tentang perjodohan yang diinginkan oleh Bu Krisye dan Pak Kenta itu. Jadi terserah masing-masing dalam menyikapinya.“Tapi cewek seperti kita nggak akan punya kesempatan kalau saingannya cewek tajir seperti Putri, teman sekolahmu dulu.”Sesuai dugaanku, ternyata gadis yang Novi maksud adalah Putri.Justru karena itu, Novi! Aku sudah punya kesempatan untuk menjadi pasangan Kenzo, tapi belum aku ambil karena … aku menyadari diriku. Siapa sih, aku ini? Apa aku memang pantas menjadi calon pasangan Kenzo?Aku ikhlas menolong Pak Kenta, tak mengharapkan imbalan sekalipun imbalan itu adalah Kenzo. Jadi, kesempatan itu masih aku diamkan hing
HUSNA“Assalamu ‘alaikum,” sapaku ogah-ogahan. Bagaimana pun, aku masih enggan menerima orang yang sudah mengusikku tempo hari.Agak lama tak terdengar jawaban. Aku hanya mendengar tangisan lirih. Eh, Novi menangis?Jujur, aku masih menyimpan dendam pada keluarga yang sudah mengusir aku dan Asma. Novi adalah bagian dari keluarga itu. Mau terlibat langsung dalam pengusiran mau pun hanya menyaksikan tanpa mencegah, bagiku sama saja. Sama jahatnya.Akan tetapi, saat mendengar tangisan lirih Novi di seberang sana, hatiku seperti digores. Novi yang aku tahu adalah anak yang pandai bergaul, ekspresif dan blak-blakan. Kenapa ia justru terdengar rapuh seperti ini?“Una …. Kalau aku minta Ken, maksudku Kenzo, dari kamu. Nggak apa-apa, ‘kan?”Sekonyong-konyong, Novi berbicara. Tapi kata-katanya membuat hatiku tergores. Ah, bukan hanya itu. Aku merasakan sesuatu yang panas di dadaku. Perasaan yang tidak asing. Singkat saja. Aku geram mendengarnya.Kenapa sepertinya semua orang menyukai dan mengi
HUSNAAku membiarkan Himawari minum, menghabiskan isi botol yang tersisa. Kondisinya cukup mengkhawatirkan. Walaupun dia adalah sainganku, aku tidak akan tega membiarkannya menderita seperti ini.Hah? Saingan? Astaga Husna, sadarlah! Jangan terbawa mimpi lagi. Jika Kenzo menolakmu, maka itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika Kenzo menolak gadis seperti Himawari atau Putri.Putri. Entah kenapa, bayangan teman sekolahku itu melintas di benakku. Teringat pada hadiah dari Kenzo untuknya pada saat makan malam bersama. Kenzo pasti sangat dekat dengannya sampai bersedia memberikan gelang secantik itu. Atau, sejak awal, Kenzo memang menginginkan Putri?“Hoek!”Himawari kembali muntah, membuat pikiranku yang sedang ke mana-mana, kembali ke toko ini. Air minum yang sudah melewati tenggorokannya, kini ditumpahkan lagi.Aku juga pernah mengalami apa yang dia
KENZO“Apa? Kamu suka aku?” sergah Putri. Ia tampak terkejut. Tidak mengira bahwa aku menyukainya.Aku pun terkejut. Benar-benar terkejut. Terkejut bukan karena melihat reaksi Putri. Melainkan karena aku tidak menyangka, aku mampu mengatakannya.Aku mengira bahwa aku hanya membisikkan kata-kata itu dalam benakku saja. Tapi ternyata tidak. Aku mengucapkannya, tanpa basa-basi!Apa aku terlalu gugup, hingga tak sengaja meluncurkan kalimat itu dari mulutku? Apa ini? Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri hingga berbicara di luar kendaliku?Cokelat praline dalam genggaman Putri nyaris terlepas, sebagai bagian dari reaksi keterkejutan dirinya atas kata-kata yang aku lontarkan. Putri segera menyelamatkan pemberianku itu, lalu buru-buru meletakkan kaleng tersebut di sisinya.“Beneran, Ken? Kamu nggak lagi ngelindur, ‘kan? Nggak main-main, ‘kan?” tanya Putri sambil menatap mataku. Ia seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka.Aku gelagapan. Bingung mau bicara apa setelah
HUSNA“Kalian saling sayang ya, karena sejak kecil sudah saling kenal?” tanyaku hati-hati.Saatnya menggali informasi. Aku ingin tahu, seperti apa sebenarnya hubungan di antara dua orang keluarga jauh ini.Sayangnya, Himawari terlalu ‘mabuk’ untuk menjawab. Gadis itu malah menangis sesenggukan lagi.“Dia jahat! Aku nggak terima, pokoknya!” seru Himawari. Kemudian menghabiskan potongan brownies yang terakhir.Uh. Aku harus bersabar. Orang patah hati memang sulit diajak bicara.Eh? Patah hati? Apa memang benar, di antara Himawari dan Kenzo, memang ada hubungan yang sangat kuat?Sepertinya iya. Kalau tidak, kenapa Himawari tampak frustrasi seperti ini? Kalau mereka hanya berteman, tidak mungkin Himawari akan sekalut ini.Aku memilin ujung jilbabku, menahan diri agar tidak larut dalam p
KENZOAku yang dulu, mungkin akan kabur untuk menghindari konflik tak terduga ini. Mengabaikan panggilan seorang gadis demi gadis lainnya, namun pada akhirnya justru bertemu dengan gadis yang aku abaikan itu.Ya, aku pasti akan cari aman. Bersembunyi, lalu kembali saat keadaan sudah memungkinkan. Pengecut.Tapi itu dulu. Aku yang sekarang, entah mengapa, malah terpaku di tempatku. Menanti kedatangan Putri dan Viina yang bisa saja membawa badai yang tidak diinginkan oleh siapa pun.Aku melirik apa yang aku pegang saat ini. Sekotak praline dan minuman ringan dua kaleng untuk dinikmati berdua dengan Putri. Aku tentu saja tidak mengira bahwa Vita akan hadir di sini. Barangkali seharusnya, aku membeli minuman tiga kaleng untuk berjaga-jaga. Entahlah.Dua orang gadis itu kini sudah berhadapan denganku. Ekspresi wajah mereka bertolak belakang. Putri dengan senyuman yang menente
HUSNAAku benar-benar bingung. Juga tidak menyangka. Seorang gadis tangguh seperti Himawari bisa berada dalam keadaan seperti ini.Air matanya memang sudah berhenti mengalir. Tapi sesekali Himawari masih menarik napas, menahan tangisan yang setiap saat masih bisa mendera lagi.Aku tertegun. Seperti inikah seorang gadis yang patah hati? Merasa hancur karena perbuatan seorang pemuda sudah mengasarinya?“Kak, Kak Himawari sudah makan kue terlalu banyak. Berhenti dulu, ya,” bujukku.Aku meringis pelan. Himawari sudah memakan dua kotak brownies sendirian, belum termasuk kue-kue kering yang kupajang di tokoku.Ya, Himawari memang sudah membayar apa yang dia makan. Bahkan dengan harga dua kali lipat lebih tinggi.Tapi, tetap saja, memakan kue sebanyak itu jelas tidak baik untuk kesehatan. Aku sudah bingung, dengan cara apa lagi aku h
HUSNAPagi-pagi sekali, aku sudah menyapu dan mengepel lantai tokoku. Perabotan di dalamnya aku bersihkan dengan saksama. Kaca toko pun aku bersihkan dengan pembersih khusus. Hingga saat Asma meminta uang jajan sebelum berangkat ke sekolah, aku sudah menyelesaikan pekerjaan beres-beres sebelum membuka toko itu.“Kinclong, Kak. Memangnya hari ini Kak Kenzo mau datang ke sini?” celetuk Asma usai menghirup wangi karbol yang aku gunakan untuk mengepel lantai.“Hah? Apa hubungannya dengan Kak Kenzo? Kakak ‘kan tiap hari beres-beres begini,” tukasku sambil membuka dompet untuk mengambilkan jatah harian Asma.“Nggak. Kakak hanya mengelap kaca sampai kinclong begini pas Kak Kenzo datang ke sini. Waktu Kak Kenzo nganterin belanja bahan kue pesanan Bu Krisye itu, loh,” bantah Asma nyengir. Matanya berbinar melihat warna lembaran uang yang aku berikan.Aku tersentak. Apa iya? Apa iya, aku hanya bersih-bersih total jika mengetahui bahwa Kenzo akan berkunjung ke toko ini?Setelah menerima uang sak