Ari baru usai menghabiskan sarapannya saat Tarissa datang ke restoran. Ia mencebik, kemudian menatap jalan raya. Bukan tanpa sebab, kemarin ia ditinggal pergi begitu saja.
Bukannya mendekat, Tarissa malah mengambil duduk jauh dari jangkauan Ari. Sebenarnya ia ingin mendekati Ari lagi. Namun, kepergiannya kemarin seolah menjelma menjadi jarak yang membentangi keduanya.
Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh. Bukan lagi waktunya sarapan, tetapi Tarissa bersikukuh membeli makanan utama. Meksi sudah disarankan berbagai menu makanan ringan yang tinggi kalori, ia enggan mendengar.
Sembari menunggu, ia terus menatap punggung Ari yang tampak teratur naik turun. Pandangannya mengedar, seolah-ah tengah mencari bahan perbincangan.
Ari yang merasa mulai bebas pun akhirnya mengambil ponsel, mulai mengaktifkan. Hal pertama yang dilakukan adalah menghubungi Rendi. Ia sudah terlalu rindu meski hanya dua hari tak bertem
"Sorry.""Buat apa elu minta maaf?""Karena enggak bisa nerusin ngerenov rumah.""Elu sakit? Kan gue udah ngomong. Lara yang nerusin."Sontak Ari terperenyak. "Ma, maksudmu apa?""Katanya buat hadiah karena kamu mau bikin Tarissa balik kek semula."Ari menoleh ke belakang, Tarissa sudah tak menelepon kembali. Tangannya sudah mulai sibuk dengan sendok dan garpu, sedangkan mulutnya komat-kamit seperti orang sedang merapal mantra."Ya udah biarin. Toh, bukan aku yang minta," ujar Ari enteng. "Aku mau balik dulu.""Bentar!""Apaan?""Elu cinta sama Lara?"Ari terdiam. Ia enggan menanggapi pertanyaan itu. "Udah sana belajar. Habis itu lulus. Biar kita bisa balik lagi.*Usai berkata demikian, Ari langsung memutuskan sambungan telepon. Dengan
Hari sudah menjelang sore kala Ari memutuskan untuk berhenti. Peluh pada tubuhnya tak ubahnya air yang mengguyur tanpa jeda.Ia sudah amat kelelahan hingga harus mengistirahatkan badan. Perutnya terasa lapar bahkan dua botol air mineral berukuran besar sudah habis ditenggaknya sedari tadi.Demi mengusir bayangan Lara, ia rela meneruskan permainan. Diamati oleh banyak pasang mata. Pun menjadi tontonan para wanita.Pada restoran cepat saji di lantai Ground, Ari mendaratkan bokongnya. Ia telah memesan banyak makanan."Sajikan semua secara bersamaan," pinta Ari pada sang pramusaji.Ia sengaja meminta hal demikian agar ia bisa beristirahat barang sebentar. Matanya terasa berat untuk sekadar mengedar pandang.Tanpa ragu, ia merebah pada sofa di ujung restoran. Meski kakinya menggantung, yang dibutuhkan hanyalah meluruskan punggung."Nyama
Tarissa tak merasakan apa pun yang sama saat melihat Lara bersama Ari. Ia hanya sedikit merasa sepi saat tak ada Ari di sisi. Untuk kali pertamanya, Tarissa tak seceroboh seperti biasa.Ia malah terkesan begitu tak ada kawan bicara. Seolah-olah inilah dia apa adanya.Usai menyantap makan malam yang kesorean, ia hendak kembali ke kamar. Hingga saat Ari tiba, Tarissa baru sadar bahwa ia memang tak melihat Ari sejak kali terakhir sarapan yang kesiangan."Dari mana?" Pertanyaan Tarissa mengambang di udara. Tak ada jawab atau bahkan tatapan yang memberinya isyarat untuk tak perlu banyak tanya."Ri?"Sontak, Ari hanya melihatnya tanpa bicara. Wajahnya yang kusam dan sayu telah menjawab segalanya. Cepat ia masuk, membawa Ari ke dalam.Ari masih enggan bicara. Ia ingin ini menjadi moment untuk Tarissa mengetahui rasa apa yang terjadi dalam sanubari.
Sudah tiga hari sejak Tarissa dan Ari saling diam, tak bertegur sapa. Meski Tarissa sudah meminta Ari untuk mengajaknya berkeliling kota, Ari tetap enggan buka suara.Ya, keduanya memang berkeliling kota. Menikmati senja yang indah, serta berbelanja, bahkan menonton film kesayangan. Bedanya, mereka melakukan hal itu tanpa percakapan. Pun jarak keduanya bak orang asing yang tengah kebetulan sekali bersama.Seperti kala itu. Malam baru saja datang saat Tarissa hendak mengetik pintu. Sayangnya, gengsinya terlalu tinggi untuk menelan ludahnya kembali.Namun, demi apa pun, ia tak bisa terus berdiam diri. Maka dari itu, disisihkannya sikap arogan dan mulai bertutur lembut meski melalui tulisan.Sebuah memo ia selipkan lewat lubang di bawah pintu. Tak ada debar bak genderang perang walau ia harus bertarung melawan ego-nya. Pun tak ada harap yang bisa dipintal selain agar Ari mau menerima ajakannya untuk men
Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh saat Lara memeriksa ponselnya kembali. Ada sebuah pesan dari Rendi. Lekas dibukanya aplikasi perpesanan, menuju ke ruang obrolan bersama sang adik ipar. "Ada apa?" balas Lara singkat. Sembari menunggu balasan dari Rendi, ia menuang cairan pembersih pada sehelai kapas. Lantas, diusapnya seluruh riasan dan kotoran yang menempel seharian pada wajah. Usai demikian, Lara segera ke wastafel untuk mencuci muka. Dituangkannya cairan penyegar pada tiga helai kapas, lalu ditempelkannya pada tiap sisi wajah. Meski terkesan boros, tetapi itu efektif membuat Lara merasa begitu segar menjelang jam tidurnya. Ponsel yang bergetar membuat Lara langsung menyambar. Usai memposisikan diri merebah dengan nyaman, dibukanya notifikasi pesan. "Gue mau ngomong, tapi malu." Lara yang tak suka hal yang berbau basa-basi pun mencebik. Dibua
Usai menikmati semua hidangan yang tersaji, Tarissa kembali mengunggah foto pada feed media sosialnya. Dituliskannya kata-kata indah sebagai teman foto yang dibagikan."Elu bilang, "elu terindah yang pernah ada. Makan enggak pernah bisa habis kalo ada elu, tapi kali ini beda. Elu udah jadi candu buat gue."," tulis Tarissa.Sementara itu, Lara yang masih belum memejamkan mata pun melihat laporan dari Derisca. Lara terbahak, bahkan sampai berair mata. "Elu drama queen banget, Tar!"Bukan tanpa sebab, ia tahu pasti Ari tak akan bisa mengatakan hal-hal manis. Sebaliknya, romantis yang selama ini dirasakan Lara malah karena perlakuannya yang tak biasa.Seperti halnya dengan merelakan alas kaki untuk dipakai Lara, sedangkan ia sendiri menggunakan alas kaki murahan. Dengan dalih khawatir, romantisme pun terjalin.Lantas, Lara mengirim pesan teks pada Derisca. "Udah, abaikan aja. Makasih udah kirim ke gue. Tapi next, biarin. Gue tau betul Ari
Sudah tiga hari Ari enggan menyapa Tarissa. Selama itu pulalah, Ari menghabiskan waktunya bersama Teguh. Kawan lama yang dijumpainya sepulang dari pasar malam.Pagi sudah terlalu terik saat ia sudah akan pergi dari hotel Majapahit. Bukan untuk berhura-hura, menghabiskan waktu dan menghamburkan uang. Melainkan untuk mencari tempat-tempat paling bagus sebagai referensi jika ia kembali bersama seorang gadis tentunya.Ari ingat betul bagaimana percakapannya dengan Teguh dua malam lalu. Tentang tawaran menjadi sopir pribadi hingga ia kembali ke kota rantau."Lah, terus aku enggak ngojek, Brai? Enggak mangan, aku!"Ari berdecak, lantas melipat tangannya di dada. "Aku minta kamu jadi sopirku, Goh! Bukan nemenin aku! Sing genna ae! Yo tak bayar ntar jasamu! Ngadi-ngadi!"Sontak tawa Teguh lepas. Ia memicing menatap sinis pada kawan lamanya. "Bukane kamu Dewe yang bilang kalo kamu habis d
Sudah lebih dari empat jam Ari dan Teguh membicarakan banyak hal. Terkait hidup yang berbeda di tiap kota, serta tentang hati yang telah dijaga.Teguh bukan lagi pria lajang yang bisa seenaknya main tanpa beban. Sebab itu pulalah, ia harus berusaha keras menjadi tukang ojek dalam jaringan.Menurut pengakuan Teguh, sepinya penumpang bisa ditebak. Seperti saat haru-hari kerja, lebih banyak menganggurnya.Terkadang, ia hanya narik dua kali saat jam berangkat kerja. Tiga kali pula saat jam pulang. Selebihnya sepi.Paling sedikit ia hanya membawa 20 ribu sebagai uang belanja harian sang istri. Sebab itulah, saat ditawari Ari menjadi sopir pribadi dengan upah paling besar, ia langsung tancap gas. Toh, kebetulan ini hari kerja."Pemandangan dari sini sebenarnya bagus ya, Goh.""Kalo malem lebih bagus lagi, Ri."Ari mengedar pandang pada tiap sud