Tarissa tak merasakan apa pun yang sama saat melihat Lara bersama Ari. Ia hanya sedikit merasa sepi saat tak ada Ari di sisi. Untuk kali pertamanya, Tarissa tak seceroboh seperti biasa.
Ia malah terkesan begitu tak ada kawan bicara. Seolah-olah inilah dia apa adanya.
Usai menyantap makan malam yang kesorean, ia hendak kembali ke kamar. Hingga saat Ari tiba, Tarissa baru sadar bahwa ia memang tak melihat Ari sejak kali terakhir sarapan yang kesiangan.
"Dari mana?" Pertanyaan Tarissa mengambang di udara. Tak ada jawab atau bahkan tatapan yang memberinya isyarat untuk tak perlu banyak tanya.
"Ri?"
Sontak, Ari hanya melihatnya tanpa bicara. Wajahnya yang kusam dan sayu telah menjawab segalanya. Cepat ia masuk, membawa Ari ke dalam.
Ari masih enggan bicara. Ia ingin ini menjadi moment untuk Tarissa mengetahui rasa apa yang terjadi dalam sanubari.
Sudah tiga hari sejak Tarissa dan Ari saling diam, tak bertegur sapa. Meski Tarissa sudah meminta Ari untuk mengajaknya berkeliling kota, Ari tetap enggan buka suara.Ya, keduanya memang berkeliling kota. Menikmati senja yang indah, serta berbelanja, bahkan menonton film kesayangan. Bedanya, mereka melakukan hal itu tanpa percakapan. Pun jarak keduanya bak orang asing yang tengah kebetulan sekali bersama.Seperti kala itu. Malam baru saja datang saat Tarissa hendak mengetik pintu. Sayangnya, gengsinya terlalu tinggi untuk menelan ludahnya kembali.Namun, demi apa pun, ia tak bisa terus berdiam diri. Maka dari itu, disisihkannya sikap arogan dan mulai bertutur lembut meski melalui tulisan.Sebuah memo ia selipkan lewat lubang di bawah pintu. Tak ada debar bak genderang perang walau ia harus bertarung melawan ego-nya. Pun tak ada harap yang bisa dipintal selain agar Ari mau menerima ajakannya untuk men
Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh saat Lara memeriksa ponselnya kembali. Ada sebuah pesan dari Rendi. Lekas dibukanya aplikasi perpesanan, menuju ke ruang obrolan bersama sang adik ipar. "Ada apa?" balas Lara singkat. Sembari menunggu balasan dari Rendi, ia menuang cairan pembersih pada sehelai kapas. Lantas, diusapnya seluruh riasan dan kotoran yang menempel seharian pada wajah. Usai demikian, Lara segera ke wastafel untuk mencuci muka. Dituangkannya cairan penyegar pada tiga helai kapas, lalu ditempelkannya pada tiap sisi wajah. Meski terkesan boros, tetapi itu efektif membuat Lara merasa begitu segar menjelang jam tidurnya. Ponsel yang bergetar membuat Lara langsung menyambar. Usai memposisikan diri merebah dengan nyaman, dibukanya notifikasi pesan. "Gue mau ngomong, tapi malu." Lara yang tak suka hal yang berbau basa-basi pun mencebik. Dibua
Usai menikmati semua hidangan yang tersaji, Tarissa kembali mengunggah foto pada feed media sosialnya. Dituliskannya kata-kata indah sebagai teman foto yang dibagikan."Elu bilang, "elu terindah yang pernah ada. Makan enggak pernah bisa habis kalo ada elu, tapi kali ini beda. Elu udah jadi candu buat gue."," tulis Tarissa.Sementara itu, Lara yang masih belum memejamkan mata pun melihat laporan dari Derisca. Lara terbahak, bahkan sampai berair mata. "Elu drama queen banget, Tar!"Bukan tanpa sebab, ia tahu pasti Ari tak akan bisa mengatakan hal-hal manis. Sebaliknya, romantis yang selama ini dirasakan Lara malah karena perlakuannya yang tak biasa.Seperti halnya dengan merelakan alas kaki untuk dipakai Lara, sedangkan ia sendiri menggunakan alas kaki murahan. Dengan dalih khawatir, romantisme pun terjalin.Lantas, Lara mengirim pesan teks pada Derisca. "Udah, abaikan aja. Makasih udah kirim ke gue. Tapi next, biarin. Gue tau betul Ari
Sudah tiga hari Ari enggan menyapa Tarissa. Selama itu pulalah, Ari menghabiskan waktunya bersama Teguh. Kawan lama yang dijumpainya sepulang dari pasar malam.Pagi sudah terlalu terik saat ia sudah akan pergi dari hotel Majapahit. Bukan untuk berhura-hura, menghabiskan waktu dan menghamburkan uang. Melainkan untuk mencari tempat-tempat paling bagus sebagai referensi jika ia kembali bersama seorang gadis tentunya.Ari ingat betul bagaimana percakapannya dengan Teguh dua malam lalu. Tentang tawaran menjadi sopir pribadi hingga ia kembali ke kota rantau."Lah, terus aku enggak ngojek, Brai? Enggak mangan, aku!"Ari berdecak, lantas melipat tangannya di dada. "Aku minta kamu jadi sopirku, Goh! Bukan nemenin aku! Sing genna ae! Yo tak bayar ntar jasamu! Ngadi-ngadi!"Sontak tawa Teguh lepas. Ia memicing menatap sinis pada kawan lamanya. "Bukane kamu Dewe yang bilang kalo kamu habis d
Sudah lebih dari empat jam Ari dan Teguh membicarakan banyak hal. Terkait hidup yang berbeda di tiap kota, serta tentang hati yang telah dijaga.Teguh bukan lagi pria lajang yang bisa seenaknya main tanpa beban. Sebab itu pulalah, ia harus berusaha keras menjadi tukang ojek dalam jaringan.Menurut pengakuan Teguh, sepinya penumpang bisa ditebak. Seperti saat haru-hari kerja, lebih banyak menganggurnya.Terkadang, ia hanya narik dua kali saat jam berangkat kerja. Tiga kali pula saat jam pulang. Selebihnya sepi.Paling sedikit ia hanya membawa 20 ribu sebagai uang belanja harian sang istri. Sebab itulah, saat ditawari Ari menjadi sopir pribadi dengan upah paling besar, ia langsung tancap gas. Toh, kebetulan ini hari kerja."Pemandangan dari sini sebenarnya bagus ya, Goh.""Kalo malem lebih bagus lagi, Ri."Ari mengedar pandang pada tiap sud
Lara menahan tawanya saat melihat isi postingan Rendi yang kian menunjukkan betapa besar keinginannya untuk membersamai sang kawan. Menurut pengakuan Rendi dua malam lalu, ia tengah suka pada seorang gadis.Awalnya, ia mengira rasa detak jantung yang berdetak lebih kencang itu serupa dengan yang terjadi saat bertemu Lara. Sayangnya, setelah dijelaskan panjang lebar dan melalui tahap uji coba, Rendi sadar itu bukan rasa yang sama.Berkali-kali, Lara mencoba mendekati Rendi demi memastikan apa yang terjadi. Ia pernah sekali sakit hati saat Tarissa dan Ari terpergok jalan berdua. Sebab itulah, ia tak mau Rendi membuat Lalita juga merasa tersiksa."Apaan, sih, Ra? Jauhan!"Rendi mendorong bahu Lara hingga menjauh. Menurutnya, tes yang dilakukan sang kakak ipar sangat tak masuk akal."Ini penting, Ren! Gue cuma mau mastiin. Elu sukanya beneran sama Lalita!""Gue b
Ari dan Tarissa sudah saling berhadapan di meja makan sejak sejam belakangan. Tak ada aktivitas berarti selain saling membuang pandang usia menyantap makan malam.Entah kebetulan dari mana hingga seluruh isi restoran penuh sesak pengunjungnya. Hingga mau tak mau, Tarissa harus duduk semeja dengan sosok yang berhasil direbutnya dari Lara.Ari enggan buka suara. Ia tahu betul, jika ia tak memilih bungkam maka rencananya gagal. Empat hari tak saling bicara akan sia-sia rasanya.Sementara Tarissa, gengsi yang tinggi tentu tak membiarkannya membuka percakapan lebih dulu. Ia ingin, pria itu yang mengajaknya berbicara sebentar.Hingga akhirnya, Ari bersikeras tetap bungkam sekali lalu beranjak dari kursinya. Padahal, puding buahnya belum dihabiskan.Mulanya, Tarissa enggan mengejar. Namun, ada sisi lain dalam dirinya yang terus membisiki untuk mengejar Ari sebelum ia masuk ke kamar.
"Kenapa ngediemin gue?"Ari mencebik, lantas ia mengurungkan niat untuk pulang ke hotel. Kembali, ia enyakkan pantat pada kursi berplat besi. "Kenapa? Enggak ada yang berubah, 'kan?"Kedua alis Tarissa menukik, lantas mendekat dan ikut duduk di samping Ari. "Maksudmu elu apa? Gue yang enggak berubah? Gue udah sabar-sabarin elu, malah elunya ngelunjak. Lupa daratan?"Ari kembali mengulas senyum hampa. Lantas, ia menumpukan masing-masing siku pada kedua pada. Jemarinya bertaut dan mencoba menutupi mulut."Enggak ada yang bisa ngerubah fakta, kalo kamu enggak punya rasa apa pun ke aku. Begitu juga aku. Hampa."Sontak saja, Tarissa melempar tasnya hingga mengenai kepala Ari. Giginya saling bergemeletuk sebab amarah yang ditahan. "Yang gue tau, gue cemburu liat elu deket sama Lara!"Kali itu, Ari memejamkan mata. Bukan hanya Tarissa, ia juga tengah menahan amarah
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla