Ari dan Tarissa sudah saling berhadapan di meja makan sejak sejam belakangan. Tak ada aktivitas berarti selain saling membuang pandang usia menyantap makan malam.
Entah kebetulan dari mana hingga seluruh isi restoran penuh sesak pengunjungnya. Hingga mau tak mau, Tarissa harus duduk semeja dengan sosok yang berhasil direbutnya dari Lara.
Ari enggan buka suara. Ia tahu betul, jika ia tak memilih bungkam maka rencananya gagal. Empat hari tak saling bicara akan sia-sia rasanya.
Sementara Tarissa, gengsi yang tinggi tentu tak membiarkannya membuka percakapan lebih dulu. Ia ingin, pria itu yang mengajaknya berbicara sebentar.
Hingga akhirnya, Ari bersikeras tetap bungkam sekali lalu beranjak dari kursinya. Padahal, puding buahnya belum dihabiskan.
Mulanya, Tarissa enggan mengejar. Namun, ada sisi lain dalam dirinya yang terus membisiki untuk mengejar Ari sebelum ia masuk ke kamar.
"Kenapa ngediemin gue?"Ari mencebik, lantas ia mengurungkan niat untuk pulang ke hotel. Kembali, ia enyakkan pantat pada kursi berplat besi. "Kenapa? Enggak ada yang berubah, 'kan?"Kedua alis Tarissa menukik, lantas mendekat dan ikut duduk di samping Ari. "Maksudmu elu apa? Gue yang enggak berubah? Gue udah sabar-sabarin elu, malah elunya ngelunjak. Lupa daratan?"Ari kembali mengulas senyum hampa. Lantas, ia menumpukan masing-masing siku pada kedua pada. Jemarinya bertaut dan mencoba menutupi mulut."Enggak ada yang bisa ngerubah fakta, kalo kamu enggak punya rasa apa pun ke aku. Begitu juga aku. Hampa."Sontak saja, Tarissa melempar tasnya hingga mengenai kepala Ari. Giginya saling bergemeletuk sebab amarah yang ditahan. "Yang gue tau, gue cemburu liat elu deket sama Lara!"Kali itu, Ari memejamkan mata. Bukan hanya Tarissa, ia juga tengah menahan amarah
Empat hari usai malam yang menyebalkan bagi Tarissa, ia kini sudah baik-baik saja mengingat fakta bahwa Ari tak menyukainya. Pun bahwa realitanya, ia bahkan tak menginginkan Ari untuk dirinya sendiri.Ia tak lagi peduli, bahkan terkesan begitu asing dengan Ari. Sesekali, ia hanya akan menanyakan perihal perut pada Ari. Seperti sore ini."Makan bareng, yuk!" ajak Tarissa, sesaat setelah pintu kamar Ari dibuka.Ari mengedik, kemudian mengekori Tarissa begitu saja. Terhitung sudah tiga Minggu ia berada di sini, menemani Tarissa yang sedang 'sakit' hati dan pikirannya.Ia tak mau ambil pusing dengan keadaan apa pun. Terlebih, dengan kondisi Tarissa. Sesekali, ia akan bermain Pop It Up seseprti biasa. Meski tak harus pergi sejauh beberapa waktu silam.Tak jauh dari hotel Majapahit, ada mal Tunjungan Plaza. Di sana juga banyak game dancer tersedia. Jadi, saat ia merasa begitu kesepian,
Ari baru saja tiba di bandara Juanda Surabaya bersama Tarissa dan Daviq. Koper pada tangan kanannya ditarik sedemikian rupa hingga sampai di gerbang pemeriksaan. Tiket dan identitasnya sudah di tangan, begitu pula tasnya yang tengah diperiksa. Tarissa manatap Ari penuh harap, tentang maaf yang dipintanya semalam. Ari menganggut, lantas mengangkat jempolnya tinggi kala ia mulai masuk lebih jauh lagi. Ia ingat betul, permintaan yang diurai Tarissa Kamis malam kemarin. "Sorry, kalo gegara gue elu jadi di sini. Jauh dari adik juga dari sosok yang elu cintai." Ari menganggut mendengar ucapan Tarissa, lantas memeluknya erat tanpa diminta. "Ini namanya takdir, Tar. Udah, jan dipikirin. Yang penting elu udah nerima kalo rasa yang selama ini itu bukan cinta yang sesungguhnya. Tapi lebih ke iri gegara liat Lara yang lagi bahagia." "Gue bahkan enggak pernah ngerasain yang namanya
Lara yang sudah kepalang senang hendak bertemu Ari pun hanya bisa mengembangkan senyum selebar mungkin. Sesekali ia menatap pada tiap gedung-gedung pencakar yang tak setinggi Jakarta. Beberapa kali ia juga merasa takjub sebab kebersihan jalan protokol Surabaya.Rindangnya pepohonan yang hampir tak mampu dijumpa pada kota tempatnya tinggal, membuat Lara membulatkan tekat untuk tinggal lebih lama di sana. Pada sebuah pusat perbelanjaan di perbatasan kota Surabaya, Lara ingin mampir sebentar."Pak, di sini aja, deh. Maaf, ya."Sopir taksi hanya mengangguk, lantas menepikan kendaraan dan masuk ke dekat pintu utama. Lara turun setelah membayar sejumlah uang tambahan bagi petugas sopir. Lantas, ia masuk ke dalam City of Tomorrow.Koper masih dibawanya ke mana-mana, hingga bertemu dengan seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah kawannya dahulu."Lara?"Lara mengernyit, lalu mengingat sosok yang memanggilnya. "Loh, Dinda? Elu stay
Ari baru saja tiba di bandara Soetta. Ia mengerek kopernya hingga sampa pada gerbang kedatangan. Meski tak ada seseorang yang menjemput, euforia dalam hatinya pun sama besar dengan para pelancong lain.Cepat, ia masuk mobil angkutan pribadi, lantas segera menuju ke rumah indekosnya daerah Mogot. Bagaimanapun, orang pertama yang harus tau kedatangannya adalah Rendi. Sang adik tercinta.Di sepanjang perjalanan, Ari terus menatap lalu-lalang kendaraan yang tak pernah ada habisnya. Kepadatan kendaraan yang mungkin menjadi daya tarik para perantau. Mereka akan berpikir, ibu kota terlalu sibuk hingga harus berlama-lama di jalanan.Ari mengedikkan bahu, lantas bersenandung. Beberapa kali, ia menatap langit biru yang berlukiskan wajah ayu Lara. Sosok yang telah dirindunya. Tak butuh waktu lama, kendaarn pun berhenti tepat di depan rumah indekosnya.Usai membayar, ia segera turun dari taksi. Lantas, ia masuk
"Maafin gue, Ra."Lara masih terisak di sofa dudukan tiga. Tepat di dalam kamar Tarissa setelah tahu bahwa Ari kembali ke Jakarta. Bersamaan dengan ia yang datang ke Surabaya."Bukan itu yang bikin gue kesel, Tar."Tarissa mengernyit, lalu mendekat ke arah sang kawan. "Terus apa? Sorry kalo gue bikin elu sama Lalita ketakutan. Bahkan gue sempet ngancem Lalita. Gue ngerasa bersalah banget, Ra. Maafin ...."Lara bergeming. Ia masih terisak. Lantas, dipeluknya sang kawan yang memang dijanjikan untuk kembali seperti sosok semula. "Gue kesel karena Ari terbang ke Jakarta pas gue udah niat banget nyusulin dia kemari!"Sontak saja, Tarissa menyimpul senyum kecut. "Gue yang nyuruh dia balik duluan. Gue pikir elu enggak bakal ke sini, makanya gue nyuruh dia balik dulu. Biar cepet ketemu, Ra. Sorry again."Kini, Lara makin keras isaknya. Bukan sebab fakta mengenai Tari
"Biar gue aja yang balik Jakarta, Ri. Udah pesen tiket juga," ujar Lara.Usai berbincang hangat dengan Tarissa, ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Toh, ia ke Surabaya juga untuk menemui Ari."Kami capek ntar, Ra. Mending aku aja yang ke sana, tunggu di kamar Tarissa, ya."Ari pun tak ingin kalah. Keduanya sama-sama ingin terbang ke tempat di mana masing-masing hati melabuhkan kaki."Enggak usah, Ri, gue udah mau berangkat ini."Mendengar adu mulut yang manis, tentu saja Tarissa dan Daviq ikut geram. Pasalnya sudah hampir sejam, percakapan mereka hanya seputar siapa yang akan lebih dulu terbang.Sontak, Tarissa bangkit dan meraih ponsel Lara. Dimatikannya sambungan telepon dan menarik Lara agar segera bangkit."Kalo udah kangen buru balik sana! Udah mau telat jam penerbangan!"Dibentak sedemikian rupa, tentu saja
Saat pintu kedatangan dibuka sedemikian rupa, banyak wajah keluar dari sana. Ari sudah mencari-cari sosok yang sudah memenangi hatinya. Berkali-kali ia memastikan, mencari sosok yang selama ini dirindukan.Terang saja, Ari mulai kecewa. Ia sudah hampir pergi dari sana saat lengkingan suara terdengar telinganya."Lalita! Deris!"Sontak, Ari menanap. Ia menoleh tepat saat Lara telah memeluk kedua sahabatnya. Ia hampir saja meraih kotak perhiasan yang disembunyikan di balik jaket saat Lara juga memeluknya erat."Jangan peluk-peluk, Ra. Diliat orang banyak!"Lalita dan Derisca mencoba menarik Lara yang tengah merayakan euforianya. Sayang, usaha keduanya gagal sekuat apa pun mereka mencoba.Sementara Ari, ia terlihat tak mampu berkata-kata. Sesekali, ia memang memeluk erat tubuh Lara."Udah, hei. Banyak paparazi, Ra!"Sont