"Biar gue aja yang balik Jakarta, Ri. Udah pesen tiket juga," ujar Lara.
Usai berbincang hangat dengan Tarissa, ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Toh, ia ke Surabaya juga untuk menemui Ari.
"Kami capek ntar, Ra. Mending aku aja yang ke sana, tunggu di kamar Tarissa, ya."
Ari pun tak ingin kalah. Keduanya sama-sama ingin terbang ke tempat di mana masing-masing hati melabuhkan kaki.
"Enggak usah, Ri, gue udah mau berangkat ini."
Mendengar adu mulut yang manis, tentu saja Tarissa dan Daviq ikut geram. Pasalnya sudah hampir sejam, percakapan mereka hanya seputar siapa yang akan lebih dulu terbang.
Sontak, Tarissa bangkit dan meraih ponsel Lara. Dimatikannya sambungan telepon dan menarik Lara agar segera bangkit.
"Kalo udah kangen buru balik sana! Udah mau telat jam penerbangan!"
Dibentak sedemikian rupa, tentu saja
Saat pintu kedatangan dibuka sedemikian rupa, banyak wajah keluar dari sana. Ari sudah mencari-cari sosok yang sudah memenangi hatinya. Berkali-kali ia memastikan, mencari sosok yang selama ini dirindukan.Terang saja, Ari mulai kecewa. Ia sudah hampir pergi dari sana saat lengkingan suara terdengar telinganya."Lalita! Deris!"Sontak, Ari menanap. Ia menoleh tepat saat Lara telah memeluk kedua sahabatnya. Ia hampir saja meraih kotak perhiasan yang disembunyikan di balik jaket saat Lara juga memeluknya erat."Jangan peluk-peluk, Ra. Diliat orang banyak!"Lalita dan Derisca mencoba menarik Lara yang tengah merayakan euforianya. Sayang, usaha keduanya gagal sekuat apa pun mereka mencoba.Sementara Ari, ia terlihat tak mampu berkata-kata. Sesekali, ia memang memeluk erat tubuh Lara."Udah, hei. Banyak paparazi, Ra!"Sont
Lara dan Ari turun di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Bukan tanpa sebab, keduanya ingin menghabiskan waktu bersama setelah hampir sebulan terpisah.Apalagi, Ari punya sesuatu untuk ditunjukkan pada Lara. Apa pun itu jawabannya, yang penting ia harus mengungkapkan isi hatinya.Ari sudah memesan makanan dan minuman saat Lara baru kembali dari kamar mandi. Pada restoran siap saji yang menunya didominasi oleh makanan khas Italia, keduanya melabuhkan pilihan.Usai Lara memilih, Ari bersikeras menggenggam tangan Lara erat-erat. Kali itu, ia hanya ingin memegang tangan Lara beberapa jenak. Ia hanya ingin, sosok di depannya tak lagi pergi jauh dari sisinya.Sementara Lara, degup jantungnya tak keruan. Ia bahkan berharap agar musik yang mengalun di seantero ruangan restoran tak berhenti begitu saja. Sebab jika berhenti, ia akan malu setengah mati karena debar jantungnya mampu dide
Ari ternganga di depan bangunan dalam gang. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri.Tanah yang dulunya terbangun rumah masa kecil, kini telah berdiri Kokok bangunan dua lantai yang tampak minimalis.Pagar batuan alam yang menjulang berkombinasi dengan besi sebagai rangka dan kayu sebagai pintunya, mampu membuat siapa saja kagum pada maha karya luar biasa.Lara mengangsurkan sebuah kunci, yang kepada Ari ia iming-imingi. Namun, meski sudah beberapa jenak menggoyang-goyangkan anak kunci di depan mata, Ari masih bergeming.Kala Lara meliriknya dari ekor mata, betapa terkejutnya ia saat mendapati Ari yang pelupuk matanya tergenang air. Hidungnya kembang kempis.Cepat Lara memeluk Ari dari samping. "Sesuai janjiku. Ini hadiahmu."Usai mengucapkan kalimatnya, Lara mengambil tangan Ari. Lantas meletakkan anak kunci pada genggamannya. "Y
Keduanya telah kembali ke rumah indekos di Mogot saat Rendi datang bersama Lalita. Tanpa mereka ketahui, Lara juga sudah berada di kamar Ari. Bersama, keduanya menahan tawa kala merencakan sesuatu.Lara yang tertular jahil oleh Ari pun segera mengirim pesan pada Lalita."Ta, elu di mana?"Tak lupa pula dikirimnya beruntun beberapa pesan demi mendapat ketegangan."Ta?""Please, Ta.""Ta?"Ari lantas menyuruh Lara untuk memanggil melalui sambungan telepon. Sayangnya, tak diangkat. Sekali lagi, Lara mencoba memanggil Lalita dalam jaringan dengan fitul video call. Nahasnya, Lalita masih enggan menjawab.Sampai pada akhirnya, Lalita membuka pesan yang Lara kirimkan."Sorry, tadi lagi kerja kelompok. Ada apa, Ra?"Mendengar jawaban Lalita, tentu saja keduanya terbahak. Mereka memang
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta