Share

Bab 71: Langkah ke Depan

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-16 12:29:03

Pagi itu, matahari merangkak pelan dari balik siluet gedung-gedung pencakar langit Jakarta, menumpahkan semburat oranye keemasan yang menyelinap di antara kaca-kaca jendela dan dinding beton.

Hujan yang turun semalam meninggalkan jejak samar di udara—aroma tanah basah yang berpadu dengan kesejukan pagi, menyeruak lembut ke dalam apartemen Amara melalui jendela yang sedikit terbuka. 

Di meja dapur, Amara duduk diam, jemarinya melingkari cangkir teh yang masih mengepul. Uap hangat membelai wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam ingatan tentang malam sebelumnya.

Sesuatu berubah.  

Bukan sekadar kata-kata atau gerakan, tapi sesuatu yang lebih subtil—sesuatu yang bersembunyi di balik ekspresi Laksha, di balik genggaman tangannya yang begitu erat, seolah Amara adalah satu-satunya jangkar yang bisa menyelamatkannya dari sesuatu yang tak kasatmata. 

Nada suaranya juga berbeda. Ada retakan halus dalam keheningan

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 72: Sentuhan yang Mengubah Segalanya

    Gemerlap lampu gantung menggantung anggun di langit-langit ballroom, memancarkan kilauan lembut yang seharusnya menghadirkan kehangatan. Namun, bagi Amara, sinar itu tak lebih dari tirai tipis yang menyelubungi kepalsuan.Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan denting halus gelas sampanye dan tawa lembut yang terdengar terlalu disengaja. Aroma parfum mahal bercampur dengan hawa sejuk pendingin ruangan, menciptakan atmosfer eksklusif yang terasa asing di kulitnya.Gaun satin berwarna gading membalut tubuhnya dengan sempurna, lembut mengikuti lekuk tubuhnya seolah dirancang khusus untuknya.Namun, keindahan itu tak bisa mengusir perasaan ganjil yang merayapi dirinya. Jarinya melingkari batang gelas kristal, merasakan sensasi dingin yang kontras dengan telapak tangannya yang mulai menghangat karena kegelisahan.Tatapannya terpaku pada satu sosok di seberang ruangan.Lidya.Wanita itu berdiri di dekat pilar marmer, tubuhnya tegap dengan aur

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-16
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 73: Rahasia di Balik Mata

    Udara malam berembus lembut, menyusup melalui celah balkon kamar hotel, membawa serta aroma laut yang tipis, bercampur dengan jejak asin dan embusan angin yang menggelitik kulit. Langit di luar pekat, dihiasi kelip bintang yang tertutup tipis awan yang mengambang lambat di atas perairan.Amara berdiri di sana, membiarkan angin memainkan ujung gaunnya yang melambai pelan.Tapi pikirannya tidak berada di sini.Ia masih tertinggal di satu momen yang terus mengulang di kepalanya—momen yang menyisakan jejak tak kasatmata di kulitnya.Pelukan itu.Sentuhan Laksha.Seolah masih tertinggal di permukaan kulitnya, menguar samar di udara, mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Bukan sekadar hangatnya tubuh pria itu, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu dalam tatapannya.Malam ini, untuk pertama kalinya, mata itu terasa nyata. Tak ada kepura-puraan, tak ada sinisme seperti biasanya. Hanya kejujuran yang telan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-17
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 74: Bisik-Bisik yang Mengganggu

    Langit pagi di Jakarta masih kelabu ketika Amara membuka mata. Cahaya samar menyusup dari celah tirai yang terbuka sedikit, menggoreskan bayangan lembut di dinding kamar hotel. Udara di dalam ruangan terasa dingin, menyisakan keheningan yang menggantung di antara denging samar pendingin ruangan.Di sampingnya, tempat tidur terasa kosong.Laksha sudah pergi.Amara menghela napas pelan, duduk di tepi ranjang sambil meremas pelipisnya. Sisa-sisa kehangatan masih tertinggal di lipatan sprei, seolah membuktikan bahwa tadi malam bukan sekadar mimpi.Sentuhan itu, dekapan itu, dan sorot mata yang ia tangkap dalam keheningan kamar—sebuah tatapan yang mengandung sesuatu yang asing, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Namun kini, semuanya kembali ke titik awal.Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Layar menyala, dan saat itu juga, perasaan di dadanya seolah mengencang.Sebuah artikel."Laksha Wijanarko Terl

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-17
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 75: Retakan di Balik Sandiwara

    Hujan turun tipis malam itu, menorehkan jejak basah di kaca jendela kamar hotel. Butiran air merayap perlahan, berkelindan dengan pantulan lampu kota yang temaram. Jakarta di luar sana tenggelam dalam kabut gerimis, seakan menyembunyikan riuhnya dalam selimut kelabu. Di dalam kamar yang hangat, Amara duduk di tepi ranjang, lututnya terlipat, tangannya mendekap diri sendiri. Ia menatap hujan dengan pandangan kosong, seolah berusaha menemukan sesuatu di balik tirai air yang jatuh tanpa henti.Tapi yang ia temukan hanyalah bayangan dirinya sendiri di kaca—siluet yang rapuh, terjebak dalam pusaran perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Notifikasi di ponselnya masih bermunculan. Komentar pedas, spekulasi liar, foto-foto yang menyudutkannya—semuanya mengalir deras, seperti sungai yang menolak surut. Sejak pagi ia mencoba mengabaikannya.Sungguh, ia sudah berusaha. Namun semakin ia menghindar, semakin berita itu terasa nyata.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 76: Reza yang Kembali

    Angin sore membelai lembut wajah Amara, membawa aroma kopi yang menguar dari mesin espresso di dalam kafe. Sisa cahaya senja masih menggantung di cakrawala Jakarta, memulas langit dengan semburat jingga yang perlahan meredup.Di sekelilingnya, obrolan pelanggan bercampur dengan denting gelas dan alunan musik jazz lembut dari speaker kafe.Namun, bagi Amara, semua itu terasa jauh. Samar.Pikirannya berputar, terlalu penuh oleh sesuatu yang enggan ia akui.Di depannya, Reza duduk diam, tangannya melingkari cangkir kopi yang sejak tadi belum disentuhnya. Mata pria itu menelisik wajahnya, dalam dan tajam, seolah ingin menguliti setiap rahasia yang coba Amara simpan.“Jadi…” Suara Reza akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Apa kau bahagia, Amara?”Jantung Amara mencelos.Pertanyaan sederhana itu menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya.Jari-jarinya mengaduk-aduk buih cappuccino di cangk

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 77: Percakapan yang Membelah

    Langit Jakarta perlahan berubah, dari semburat jingga yang hangat menuju ungu keabuan yang sendu. Cahaya-cahaya kota mulai bermunculan satu per satu, lampu jalan memantulkan bias temaram di trotoar basah sisa hujan yang turun sore tadi.Udara masih mengandung jejak hujan—dingin, sedikit lembab, bercampur dengan aroma aspal yang basah. Namun, di antara itu semua, ada wangi kopi yang menguar dari celah pintu kafe, menyelinap masuk ke dalam ingatan seperti potongan-potongan kenangan yang enggan dilupakan.Di sudut kafe yang menghadap ke jendela besar, Amara duduk dengan jemari melingkari cangkir cappuccino yang kini hanya menyisakan kehangatan samar.Sendok kecil di tangannya bergerak perlahan, mengaduk cairan kecokelatan itu bukan karena butuh, melainkan karena pikirannya terlalu riuh untuk sekadar membiarkan tangan diam begitu saja.Pandangannya kosong, terarah pada pusaran kopi yang berputar dalam lingkaran kecil—seolah ada jawaban tersembunyi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 78: Laksha yang Tidak Pasti

    Langit Jakarta telah sepenuhnya diselimuti gelap saat Amara akhirnya sampai di rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena perasaan yang menyesakkan dadanya sejak tadi.Ia melangkah melewati pintu utama dengan gerakan lambat, seolah ingin menunda sesuatu yang tak terhindarkan. Sepatunya ia lepas tanpa suara, ujung jemarinya sedikit ragu sebelum menyentuh lantai dingin. Di dalam, lampu chandelier bersinar redup, memantulkan cahaya ke dinding marmer yang dingin dan tak bernyawa. Ruangan itu luas, nyaris sunyi, hanya sesekali suara jarum jam yang berdetak dari arah meja konsol.Rumah ini selalu terasa terlalu besar untuknya, seakan ruang-ruang kosong di dalamnya menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Di sofa panjang dekat rak buku, Laksha duduk diam, tubuhnya sedikit membungkuk dengan satu tangan menyangga dahinya. Gelas scotch di tangan satunya t

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 79: Bayangan Masa Lalu yang Mengintai

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun suhu AC tetap di angka yang sama. Dingin itu bukan sekadar hawa, tetapi sesuatu yang merayap perlahan ke dalam tulang—mengisi ruang dengan ketegangan yang tak terucap.Laksha duduk tegap di kursi berhadapan dengan ayahnya, punggung lurus seperti bilah pedang, tetapi jari-jarinya yang mengepal di atas paha mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan.Napasnya dalam dan terkendali, namun matanya—mata seorang pria yang sudah terbiasa bermain dalam lingkaran ketidakpastian—terus menatap lurus ke arah Aditya, siap menghadapi apa pun yang akan dikatakan pria itu.Di balik meja kayu mahoni yang besar dan mengilap, Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tenang. Wajahnya sulit dibaca, sorot matanya tajam seperti seorang hakim yang tengah menimbang vonis.Ia menopang dagunya dengan tangan yang penuh urat, mengamati Laksha dengan teliti, seolah mencari ce

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 98: Langkah yang Tak Terucap

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 97: Di Antara Dua Diri

    Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 96: Bisikan di Tengah Jazz yang Syahdu

    Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 95: Jarak yang Tak Pernah Benar-Benar Ada

    Gemerlap lampu kristal di ballroom hotel itu menari-nari di atas permukaan marmer, menciptakan kilauan yang berpendar seperti bintang jatuh.Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan nada lembut musik jazz yang mengalun dari sudut ruangan, melukiskan kemewahan yang hampir terasa asing bagi Amara.Ia berdiri di salah satu sisi ruangan, setengah tersembunyi di balik pilar berukir. Jemarinya menggenggam gelas anggur yang dinginnya merambat ke kulit, tapi isinya masih utuh. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya dengan anggun.Rambutnya disanggul sederhana, hanya beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya—membingkainya dengan lembut. Dari luar, ia mungkin tampak seperti bagian dari dunia ini: elegan, tenang, tak tersentuh.Tapi di balik raut wajah yang tampak terkendali, jantungnya berdebar kencang.Bukan karena gemerlap pesta.Bukan karena tatapan tamu-tamu yang sesekali meliriknya denga

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 94: Surat yang Tak Terlambat

    Hujan menari pelan di balik kaca jendela, menciptakan irama samar yang menyusup ke dalam kamar Amara. Udara malam yang lembap berembus melalui celah sempit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan bau buku-buku tua yang memenuhi rak kayunya.Cahaya lampu meja berpendar lembut, membentuk bayangan samar di dinding, seakan ikut menyimpan rahasia yang berat di dada.Di tangannya, selembar kertas lusuh tergenggam erat—sebuah surat yang tepinya mulai lecek karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Jemarinya terus meraba permukaannya, seolah berharap menemukan jawaban di antara serat kertas yang tipis.Ia telah membaca surat itu berulang kali, setiap katanya terpatri di benaknya seperti ukiran yang tak bisa dihapus. Tulisan tangan itu begitu familiar—goresan khas yang selama ini lebih sering ia temui dalam dokumen-dokumen bisnis, laporan rapat, kontrak kerja.Selalu tegas, selalu tanpa cela. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gor

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 93: Tiga Minggu Tanpa Suara

    Langit senja menyelimuti Jakarta dengan gradasi jingga yang perlahan meredup, seolah mencair ke dalam gelapnya malam. Gedung-gedung tinggi berdiri membisu, jendela-jendelanya berpendar oleh cahaya lampu, menciptakan pantulan samar di aspal yang masih menyisakan panas siang tadi.Di sebuah balkon apartemen di lantai tinggi, Laksha berdiri membatu, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi hitam yang dingin. Angin sore mengacak rambutnya, menelusup ke dalam kemeja yang tak lagi rapi.Di genggamannya, segelas whiskey hanya tersentuh setengahnya, cairan amber itu berpendar samar di bawah cahaya lampu balkon.Matanya kosong, menatap lalu lintas yang tak pernah berhenti, tetapi pikirannya melayang jauh—terjebak pada satu nama yang tak kunjung pergi dari benaknya.Amara.Sejak kepergiannya tiga minggu lalu, apartemen ini seperti kehilangan nyawanya. Sunyi. Dingin. Sepi. Laksha tak pernah benar-benar peduli pada kesepian sebelumnya—selalu merasa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 92: Di Antara Rindu dan Luka

    Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 91: Sebelum Semuanya Terlambat

    Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 90: Bayangan di Permukaan Kaca

    Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status