Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 145: Lidya, Ini Akhir Permainanmu

Share

Bab 145: Lidya, Ini Akhir Permainanmu

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-04-22 16:11:51

Amara menyandarkan punggungnya pada kursi, kedua tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam, menusuk ke arah perempuan di seberangnya. “Jadi, biar aku mengerti. Kau ingin aku meninggalkan Laksha karena kau masih terobsesi padanya?”  

Lidya tersenyum tipis, bibirnya melengkung dengan keangkuhan yang dingin. “Aku hanya ingin menyelamatkan dia dari seseorang sepertimu.”  

Amara tertawa pelan, tapi tak ada kehangatan di sana. Sebuah tawa yang lebih mirip cerminan ketidakpercayaan. “Kau benar-benar ingin menyelamatkan dia,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan, “atau kau hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia memilihku?”  

Sorot mata Lidya sedikit berubah, sekilas ketegangan melintas di sana, tapi ia dengan cepat menyembunyikannya di balik ekspresi wajah yang tetap datar.  

“Percaya atau tidak,” lanjut Amara, suaranya kini lebih stabil, lebih kokoh, “aku sudah m

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 146: Deklarasi Cinta di Bawah Sorotan

    Sorotan lampu kamera kembali menyinari wajah Laksha Wijanarko, membingkai garis rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang tak lagi menyimpan keraguan. Namun kali ini, ia berdiri bukan sebagai pewaris kerajaan bisnis atau tokoh yang dipuja karena kejeniusannya dalam dunia korporasi.Tidak. Hari ini, ia berdiri sebagai seorang pria yang memilih untuk mencintai—tanpa syarat, tanpa perhitungan, tanpa kepura-puraan. Di belakangnya, logo Wijanarko Group terpampang megah, membayangi sosoknya seperti monumen kekuasaan yang telah ia sandang sepanjang hidup. Ruangan luas itu dipenuhi barisan wartawan yang duduk rapi, mata mereka tajam, penuh antisipasi.Mikrofon-mikrofon di depan Laksha berbaris seperti sekumpulan saksi yang siap merekam setiap kata yang akan mengubah narasi hidupnya. Namun di antara semua mata yang tertuju padanya, hanya ada satu pasang yang lebih berarti daripada yang lain. Amara. Ia duduk di bari

    Last Updated : 2025-04-22
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 147: Sebuah Pilihan yang Tak Bisa Dimenangkan

    Langit sore di Jakarta membentang dalam semburat jingga keemasan, menyapu gedung-gedung tinggi dengan cahaya hangat yang berpendar pelan. Dari balkon apartemen lantai dua puluh, kota tampak seperti lautan lampu yang mulai menyala perlahan, bersiap menyambut malam.Udara masih menyisakan jejak panas siang yang menyengat, tetapi angin yang bertiup lembut membawa sejuk yang samar—seakan membisikkan ketenangan yang tak sepenuhnya nyata. Amara berdiri di tepi balkon, kedua tangannya melingkari cangkir teh yang kini hanya tersisa kehangatan tipis. Uapnya sudah menghilang, seperti perasaannya yang perlahan menguap entah ke mana.Matanya menatap kosong ke jalanan di bawah sana, tempat kendaraan berseliweran tanpa henti, membentuk arus kehidupan yang tak peduli pada kegelisahan seseorang di atas sana. Namun, pikirannya melayang jauh, tersesat di pusaran dilema yang tak mudah terurai. Di dalam, Laksha duduk bersandar di sofa, matanya terpejam, s

    Last Updated : 2025-04-23
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 148: Meninggalkan Segalanya Demi Cinta

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seakan beban tak kasatmata menggantung di antara dinding-dinding kayu mahoni yang megah. Dari jendela besar di belakang meja kerjanya, langit kelabu terbentang muram, mendung seolah mencerminkan suasana hati di dalam ruangan.Aroma kayu tua yang dipernis halus bercampur dengan wangi kopi hitam yang sudah mulai mendingin, menambah kesan tegang yang memenuhi udara.Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Bahunya lurus, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap datar—tenang, seperti permukaan air yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Hanya sorot matanya yang mengisyaratkan keteguhan, ketegangan yang tak bisa diabaikan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit lebih dekat daripada yang ia sadari. Jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuan, dan ia bisa merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdegup lebih cepat dari seharusnya.Matanya bergantian menatap pungg

    Last Updated : 2025-04-23
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 149: Ruko Tua dan Mimpi yang Terlupakan

    Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"

    Last Updated : 2025-04-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 150: Ruang Kecil, Rasa yang Besar

    Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra

    Last Updated : 2025-04-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 151: Restu di Ambang Pintu

    Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika

    Last Updated : 2025-04-25
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

    Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

    Last Updated : 2025-04-25
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 153: Pelarian dari Kemewahan

    Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p

    Last Updated : 2025-04-26

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 154: Ayah, Aku Bukan Bayanganmu

    Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 153: Pelarian dari Kemewahan

    Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

    Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 151: Restu di Ambang Pintu

    Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 150: Ruang Kecil, Rasa yang Besar

    Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 149: Ruko Tua dan Mimpi yang Terlupakan

    Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 148: Meninggalkan Segalanya Demi Cinta

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seakan beban tak kasatmata menggantung di antara dinding-dinding kayu mahoni yang megah. Dari jendela besar di belakang meja kerjanya, langit kelabu terbentang muram, mendung seolah mencerminkan suasana hati di dalam ruangan.Aroma kayu tua yang dipernis halus bercampur dengan wangi kopi hitam yang sudah mulai mendingin, menambah kesan tegang yang memenuhi udara.Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Bahunya lurus, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap datar—tenang, seperti permukaan air yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Hanya sorot matanya yang mengisyaratkan keteguhan, ketegangan yang tak bisa diabaikan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit lebih dekat daripada yang ia sadari. Jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuan, dan ia bisa merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdegup lebih cepat dari seharusnya.Matanya bergantian menatap pungg

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 147: Sebuah Pilihan yang Tak Bisa Dimenangkan

    Langit sore di Jakarta membentang dalam semburat jingga keemasan, menyapu gedung-gedung tinggi dengan cahaya hangat yang berpendar pelan. Dari balkon apartemen lantai dua puluh, kota tampak seperti lautan lampu yang mulai menyala perlahan, bersiap menyambut malam.Udara masih menyisakan jejak panas siang yang menyengat, tetapi angin yang bertiup lembut membawa sejuk yang samar—seakan membisikkan ketenangan yang tak sepenuhnya nyata. Amara berdiri di tepi balkon, kedua tangannya melingkari cangkir teh yang kini hanya tersisa kehangatan tipis. Uapnya sudah menghilang, seperti perasaannya yang perlahan menguap entah ke mana.Matanya menatap kosong ke jalanan di bawah sana, tempat kendaraan berseliweran tanpa henti, membentuk arus kehidupan yang tak peduli pada kegelisahan seseorang di atas sana. Namun, pikirannya melayang jauh, tersesat di pusaran dilema yang tak mudah terurai. Di dalam, Laksha duduk bersandar di sofa, matanya terpejam, s

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 146: Deklarasi Cinta di Bawah Sorotan

    Sorotan lampu kamera kembali menyinari wajah Laksha Wijanarko, membingkai garis rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang tak lagi menyimpan keraguan. Namun kali ini, ia berdiri bukan sebagai pewaris kerajaan bisnis atau tokoh yang dipuja karena kejeniusannya dalam dunia korporasi.Tidak. Hari ini, ia berdiri sebagai seorang pria yang memilih untuk mencintai—tanpa syarat, tanpa perhitungan, tanpa kepura-puraan. Di belakangnya, logo Wijanarko Group terpampang megah, membayangi sosoknya seperti monumen kekuasaan yang telah ia sandang sepanjang hidup. Ruangan luas itu dipenuhi barisan wartawan yang duduk rapi, mata mereka tajam, penuh antisipasi.Mikrofon-mikrofon di depan Laksha berbaris seperti sekumpulan saksi yang siap merekam setiap kata yang akan mengubah narasi hidupnya. Namun di antara semua mata yang tertuju padanya, hanya ada satu pasang yang lebih berarti daripada yang lain. Amara. Ia duduk di bari

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status