Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 70: Kebekuan yang Retak

Share

Bab 70: Kebekuan yang Retak

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-03-15 13:27:48

Hujan turun lagi malam ini. Bukan hujan deras yang membasuh kota dengan derasnya, melainkan rintik-rintik halus yang menari pelan di kaca jendela apartemen Amara. Butiran air itu meninggalkan jejak transparan yang meluncur perlahan, mencerminkan kerlip lampu kota di kejauhan.

Cahaya-cahaya itu berpendar dalam nuansa keemasan dan kebiruan, menciptakan bayangan samar yang bergerak di lantai kayu, seolah menjadi saksi bisu dari keheningan yang mengisi ruangan.  

Aroma teh melati masih menggantung di udara, bercampur dengan kehangatan samar yang seolah enggan pergi. Di atas sofa, Amara duduk diam, jemarinya saling bertaut di pangkuan, tetapi matanya tak lepas dari pria di hadapannya.  

Laksha duduk di kursi seberang, tubuhnya condong ke depan, satu tangan menopang keningnya, sementara tangan lainnya terkulai di lutut. Jasnya telah dilepas, dasinya melonggar, dan kancing teratas kemejanya terbuka, memberi celah bagi napasnya yang tampak berat.

Rambut

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 71: Langkah ke Depan

    Pagi itu, matahari merangkak pelan dari balik siluet gedung-gedung pencakar langit Jakarta, menumpahkan semburat oranye keemasan yang menyelinap di antara kaca-kaca jendela dan dinding beton.Hujan yang turun semalam meninggalkan jejak samar di udara—aroma tanah basah yang berpadu dengan kesejukan pagi, menyeruak lembut ke dalam apartemen Amara melalui jendela yang sedikit terbuka.Di meja dapur, Amara duduk diam, jemarinya melingkari cangkir teh yang masih mengepul. Uap hangat membelai wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam ingatan tentang malam sebelumnya.Sesuatu berubah. Bukan sekadar kata-kata atau gerakan, tapi sesuatu yang lebih subtil—sesuatu yang bersembunyi di balik ekspresi Laksha, di balik genggaman tangannya yang begitu erat, seolah Amara adalah satu-satunya jangkar yang bisa menyelamatkannya dari sesuatu yang tak kasatmata.Nada suaranya juga berbeda. Ada retakan halus dalam keheningan

    Last Updated : 2025-03-16
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 72: Sentuhan yang Mengubah Segalanya

    Gemerlap lampu gantung menggantung anggun di langit-langit ballroom, memancarkan kilauan lembut yang seharusnya menghadirkan kehangatan. Namun, bagi Amara, sinar itu tak lebih dari tirai tipis yang menyelubungi kepalsuan.Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan denting halus gelas sampanye dan tawa lembut yang terdengar terlalu disengaja. Aroma parfum mahal bercampur dengan hawa sejuk pendingin ruangan, menciptakan atmosfer eksklusif yang terasa asing di kulitnya.Gaun satin berwarna gading membalut tubuhnya dengan sempurna, lembut mengikuti lekuk tubuhnya seolah dirancang khusus untuknya.Namun, keindahan itu tak bisa mengusir perasaan ganjil yang merayapi dirinya. Jarinya melingkari batang gelas kristal, merasakan sensasi dingin yang kontras dengan telapak tangannya yang mulai menghangat karena kegelisahan.Tatapannya terpaku pada satu sosok di seberang ruangan.Lidya.Wanita itu berdiri di dekat pilar marmer, tubuhnya tegap dengan aur

    Last Updated : 2025-03-16
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 73: Rahasia di Balik Mata

    Udara malam berembus lembut, menyusup melalui celah balkon kamar hotel, membawa serta aroma laut yang tipis, bercampur dengan jejak asin dan embusan angin yang menggelitik kulit. Langit di luar pekat, dihiasi kelip bintang yang tertutup tipis awan yang mengambang lambat di atas perairan.Amara berdiri di sana, membiarkan angin memainkan ujung gaunnya yang melambai pelan.Tapi pikirannya tidak berada di sini.Ia masih tertinggal di satu momen yang terus mengulang di kepalanya—momen yang menyisakan jejak tak kasatmata di kulitnya.Pelukan itu.Sentuhan Laksha.Seolah masih tertinggal di permukaan kulitnya, menguar samar di udara, mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Bukan sekadar hangatnya tubuh pria itu, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu dalam tatapannya.Malam ini, untuk pertama kalinya, mata itu terasa nyata. Tak ada kepura-puraan, tak ada sinisme seperti biasanya. Hanya kejujuran yang telan

    Last Updated : 2025-03-17
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 74: Bisik-Bisik yang Mengganggu

    Langit pagi di Jakarta masih kelabu ketika Amara membuka mata. Cahaya samar menyusup dari celah tirai yang terbuka sedikit, menggoreskan bayangan lembut di dinding kamar hotel. Udara di dalam ruangan terasa dingin, menyisakan keheningan yang menggantung di antara denging samar pendingin ruangan.Di sampingnya, tempat tidur terasa kosong.Laksha sudah pergi.Amara menghela napas pelan, duduk di tepi ranjang sambil meremas pelipisnya. Sisa-sisa kehangatan masih tertinggal di lipatan sprei, seolah membuktikan bahwa tadi malam bukan sekadar mimpi.Sentuhan itu, dekapan itu, dan sorot mata yang ia tangkap dalam keheningan kamar—sebuah tatapan yang mengandung sesuatu yang asing, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Namun kini, semuanya kembali ke titik awal.Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Layar menyala, dan saat itu juga, perasaan di dadanya seolah mengencang.Sebuah artikel."Laksha Wijanarko Terl

    Last Updated : 2025-03-17
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 75: Retakan di Balik Sandiwara

    Hujan turun tipis malam itu, menorehkan jejak basah di kaca jendela kamar hotel. Butiran air merayap perlahan, berkelindan dengan pantulan lampu kota yang temaram. Jakarta di luar sana tenggelam dalam kabut gerimis, seakan menyembunyikan riuhnya dalam selimut kelabu. Di dalam kamar yang hangat, Amara duduk di tepi ranjang, lututnya terlipat, tangannya mendekap diri sendiri. Ia menatap hujan dengan pandangan kosong, seolah berusaha menemukan sesuatu di balik tirai air yang jatuh tanpa henti.Tapi yang ia temukan hanyalah bayangan dirinya sendiri di kaca—siluet yang rapuh, terjebak dalam pusaran perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Notifikasi di ponselnya masih bermunculan. Komentar pedas, spekulasi liar, foto-foto yang menyudutkannya—semuanya mengalir deras, seperti sungai yang menolak surut. Sejak pagi ia mencoba mengabaikannya.Sungguh, ia sudah berusaha. Namun semakin ia menghindar, semakin berita itu terasa nyata.

    Last Updated : 2025-03-18
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 76: Reza yang Kembali

    Angin sore membelai lembut wajah Amara, membawa aroma kopi yang menguar dari mesin espresso di dalam kafe. Sisa cahaya senja masih menggantung di cakrawala Jakarta, memulas langit dengan semburat jingga yang perlahan meredup.Di sekelilingnya, obrolan pelanggan bercampur dengan denting gelas dan alunan musik jazz lembut dari speaker kafe.Namun, bagi Amara, semua itu terasa jauh. Samar.Pikirannya berputar, terlalu penuh oleh sesuatu yang enggan ia akui.Di depannya, Reza duduk diam, tangannya melingkari cangkir kopi yang sejak tadi belum disentuhnya. Mata pria itu menelisik wajahnya, dalam dan tajam, seolah ingin menguliti setiap rahasia yang coba Amara simpan.“Jadi…” Suara Reza akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Apa kau bahagia, Amara?”Jantung Amara mencelos.Pertanyaan sederhana itu menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya.Jari-jarinya mengaduk-aduk buih cappuccino di cangk

    Last Updated : 2025-03-18
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 77: Percakapan yang Membelah

    Langit Jakarta perlahan berubah, dari semburat jingga yang hangat menuju ungu keabuan yang sendu. Cahaya-cahaya kota mulai bermunculan satu per satu, lampu jalan memantulkan bias temaram di trotoar basah sisa hujan yang turun sore tadi.Udara masih mengandung jejak hujan—dingin, sedikit lembab, bercampur dengan aroma aspal yang basah. Namun, di antara itu semua, ada wangi kopi yang menguar dari celah pintu kafe, menyelinap masuk ke dalam ingatan seperti potongan-potongan kenangan yang enggan dilupakan.Di sudut kafe yang menghadap ke jendela besar, Amara duduk dengan jemari melingkari cangkir cappuccino yang kini hanya menyisakan kehangatan samar.Sendok kecil di tangannya bergerak perlahan, mengaduk cairan kecokelatan itu bukan karena butuh, melainkan karena pikirannya terlalu riuh untuk sekadar membiarkan tangan diam begitu saja.Pandangannya kosong, terarah pada pusaran kopi yang berputar dalam lingkaran kecil—seolah ada jawaban tersembunyi

    Last Updated : 2025-03-19
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 78: Laksha yang Tidak Pasti

    Langit Jakarta telah sepenuhnya diselimuti gelap saat Amara akhirnya sampai di rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena perasaan yang menyesakkan dadanya sejak tadi.Ia melangkah melewati pintu utama dengan gerakan lambat, seolah ingin menunda sesuatu yang tak terhindarkan. Sepatunya ia lepas tanpa suara, ujung jemarinya sedikit ragu sebelum menyentuh lantai dingin. Di dalam, lampu chandelier bersinar redup, memantulkan cahaya ke dinding marmer yang dingin dan tak bernyawa. Ruangan itu luas, nyaris sunyi, hanya sesekali suara jarum jam yang berdetak dari arah meja konsol.Rumah ini selalu terasa terlalu besar untuknya, seakan ruang-ruang kosong di dalamnya menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Di sofa panjang dekat rak buku, Laksha duduk diam, tubuhnya sedikit membungkuk dengan satu tangan menyangga dahinya. Gelas scotch di tangan satunya t

    Last Updated : 2025-03-19

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

    Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 151: Restu di Ambang Pintu

    Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 150: Ruang Kecil, Rasa yang Besar

    Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 149: Ruko Tua dan Mimpi yang Terlupakan

    Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 148: Meninggalkan Segalanya Demi Cinta

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seakan beban tak kasatmata menggantung di antara dinding-dinding kayu mahoni yang megah. Dari jendela besar di belakang meja kerjanya, langit kelabu terbentang muram, mendung seolah mencerminkan suasana hati di dalam ruangan.Aroma kayu tua yang dipernis halus bercampur dengan wangi kopi hitam yang sudah mulai mendingin, menambah kesan tegang yang memenuhi udara.Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Bahunya lurus, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap datar—tenang, seperti permukaan air yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Hanya sorot matanya yang mengisyaratkan keteguhan, ketegangan yang tak bisa diabaikan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit lebih dekat daripada yang ia sadari. Jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuan, dan ia bisa merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdegup lebih cepat dari seharusnya.Matanya bergantian menatap pungg

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 147: Sebuah Pilihan yang Tak Bisa Dimenangkan

    Langit sore di Jakarta membentang dalam semburat jingga keemasan, menyapu gedung-gedung tinggi dengan cahaya hangat yang berpendar pelan. Dari balkon apartemen lantai dua puluh, kota tampak seperti lautan lampu yang mulai menyala perlahan, bersiap menyambut malam.Udara masih menyisakan jejak panas siang yang menyengat, tetapi angin yang bertiup lembut membawa sejuk yang samar—seakan membisikkan ketenangan yang tak sepenuhnya nyata. Amara berdiri di tepi balkon, kedua tangannya melingkari cangkir teh yang kini hanya tersisa kehangatan tipis. Uapnya sudah menghilang, seperti perasaannya yang perlahan menguap entah ke mana.Matanya menatap kosong ke jalanan di bawah sana, tempat kendaraan berseliweran tanpa henti, membentuk arus kehidupan yang tak peduli pada kegelisahan seseorang di atas sana. Namun, pikirannya melayang jauh, tersesat di pusaran dilema yang tak mudah terurai. Di dalam, Laksha duduk bersandar di sofa, matanya terpejam, s

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 146: Deklarasi Cinta di Bawah Sorotan

    Sorotan lampu kamera kembali menyinari wajah Laksha Wijanarko, membingkai garis rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang tak lagi menyimpan keraguan. Namun kali ini, ia berdiri bukan sebagai pewaris kerajaan bisnis atau tokoh yang dipuja karena kejeniusannya dalam dunia korporasi.Tidak. Hari ini, ia berdiri sebagai seorang pria yang memilih untuk mencintai—tanpa syarat, tanpa perhitungan, tanpa kepura-puraan. Di belakangnya, logo Wijanarko Group terpampang megah, membayangi sosoknya seperti monumen kekuasaan yang telah ia sandang sepanjang hidup. Ruangan luas itu dipenuhi barisan wartawan yang duduk rapi, mata mereka tajam, penuh antisipasi.Mikrofon-mikrofon di depan Laksha berbaris seperti sekumpulan saksi yang siap merekam setiap kata yang akan mengubah narasi hidupnya. Namun di antara semua mata yang tertuju padanya, hanya ada satu pasang yang lebih berarti daripada yang lain. Amara. Ia duduk di bari

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 145: Lidya, Ini Akhir Permainanmu

    Amara menyandarkan punggungnya pada kursi, kedua tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam, menusuk ke arah perempuan di seberangnya. “Jadi, biar aku mengerti. Kau ingin aku meninggalkan Laksha karena kau masih terobsesi padanya?” Lidya tersenyum tipis, bibirnya melengkung dengan keangkuhan yang dingin. “Aku hanya ingin menyelamatkan dia dari seseorang sepertimu.” Amara tertawa pelan, tapi tak ada kehangatan di sana. Sebuah tawa yang lebih mirip cerminan ketidakpercayaan. “Kau benar-benar ingin menyelamatkan dia,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan, “atau kau hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia memilihku?” Sorot mata Lidya sedikit berubah, sekilas ketegangan melintas di sana, tapi ia dengan cepat menyembunyikannya di balik ekspresi wajah yang tetap datar. “Percaya atau tidak,” lanjut Amara, suaranya kini lebih stabil, lebih kokoh, “aku sudah m

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 144: Permainan Terakhir Lidya

    Kafe di sudut kota itu terasa lebih sepi dari biasanya. Di luar, hujan rintik-rintik mengguyur trotoar, menciptakan genangan yang memantulkan cahaya dari lampu jalan. Butiran air yang menempel di jendela kaca membentuk pola acak, perlahan meluncur ke bawah seolah enggan melepaskan diri.Di dalam, suasana temaram, hangat oleh cahaya keemasan dari lampu gantung yang bergelayut rendah, membentuk bayangan lembut di atas meja marmer.Aroma kopi yang pekat bercampur dengan jejak samar kayu cendana memenuhi udara, menciptakan kehangatan yang menenangkan—setidaknya bagi siapa pun selain Amara.Ia duduk tegak, punggungnya tidak bersandar, seolah setiap otot di tubuhnya bersiaga. Jemarinya saling bertaut di pangkuan, tetapi tidak cukup erat untuk terlihat gugup—hanya cukup untuk menjaga ketenangan.Matanya, tajam dan penuh kewaspadaan, terpaku pada wanita di hadapannya.Lidya Pramesti.Wanita itu bersandar di kursinya dengan sikap angkuh,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status