Gemerlap lampu gantung menggantung anggun di langit-langit ballroom, memancarkan kilauan lembut yang seharusnya menghadirkan kehangatan. Namun, bagi Amara, sinar itu tak lebih dari tirai tipis yang menyelubungi kepalsuan.
Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan denting halus gelas sampanye dan tawa lembut yang terdengar terlalu disengaja. Aroma parfum mahal bercampur dengan hawa sejuk pendingin ruangan, menciptakan atmosfer eksklusif yang terasa asing di kulitnya.
Gaun satin berwarna gading membalut tubuhnya dengan sempurna, lembut mengikuti lekuk tubuhnya seolah dirancang khusus untuknya.
Namun, keindahan itu tak bisa mengusir perasaan ganjil yang merayapi dirinya. Jarinya melingkari batang gelas kristal, merasakan sensasi dingin yang kontras dengan telapak tangannya yang mulai menghangat karena kegelisahan.
Tatapannya terpaku pada satu sosok di seberang ruangan.
Lidya.
Wanita itu berdiri di dekat pilar marmer, tubuhnya tegap dengan aur
Udara malam berembus lembut, menyusup melalui celah balkon kamar hotel, membawa serta aroma laut yang tipis, bercampur dengan jejak asin dan embusan angin yang menggelitik kulit. Langit di luar pekat, dihiasi kelip bintang yang tertutup tipis awan yang mengambang lambat di atas perairan.Amara berdiri di sana, membiarkan angin memainkan ujung gaunnya yang melambai pelan.Tapi pikirannya tidak berada di sini.Ia masih tertinggal di satu momen yang terus mengulang di kepalanya—momen yang menyisakan jejak tak kasatmata di kulitnya.Pelukan itu.Sentuhan Laksha.Seolah masih tertinggal di permukaan kulitnya, menguar samar di udara, mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Bukan sekadar hangatnya tubuh pria itu, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu dalam tatapannya.Malam ini, untuk pertama kalinya, mata itu terasa nyata. Tak ada kepura-puraan, tak ada sinisme seperti biasanya. Hanya kejujuran yang telan
Langit pagi di Jakarta masih kelabu ketika Amara membuka mata. Cahaya samar menyusup dari celah tirai yang terbuka sedikit, menggoreskan bayangan lembut di dinding kamar hotel. Udara di dalam ruangan terasa dingin, menyisakan keheningan yang menggantung di antara denging samar pendingin ruangan.Di sampingnya, tempat tidur terasa kosong.Laksha sudah pergi.Amara menghela napas pelan, duduk di tepi ranjang sambil meremas pelipisnya. Sisa-sisa kehangatan masih tertinggal di lipatan sprei, seolah membuktikan bahwa tadi malam bukan sekadar mimpi.Sentuhan itu, dekapan itu, dan sorot mata yang ia tangkap dalam keheningan kamar—sebuah tatapan yang mengandung sesuatu yang asing, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Namun kini, semuanya kembali ke titik awal.Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Layar menyala, dan saat itu juga, perasaan di dadanya seolah mengencang.Sebuah artikel."Laksha Wijanarko Terl
Hujan turun tipis malam itu, menorehkan jejak basah di kaca jendela kamar hotel. Butiran air merayap perlahan, berkelindan dengan pantulan lampu kota yang temaram. Jakarta di luar sana tenggelam dalam kabut gerimis, seakan menyembunyikan riuhnya dalam selimut kelabu. Di dalam kamar yang hangat, Amara duduk di tepi ranjang, lututnya terlipat, tangannya mendekap diri sendiri. Ia menatap hujan dengan pandangan kosong, seolah berusaha menemukan sesuatu di balik tirai air yang jatuh tanpa henti.Tapi yang ia temukan hanyalah bayangan dirinya sendiri di kaca—siluet yang rapuh, terjebak dalam pusaran perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Notifikasi di ponselnya masih bermunculan. Komentar pedas, spekulasi liar, foto-foto yang menyudutkannya—semuanya mengalir deras, seperti sungai yang menolak surut. Sejak pagi ia mencoba mengabaikannya.Sungguh, ia sudah berusaha. Namun semakin ia menghindar, semakin berita itu terasa nyata.
Angin sore membelai lembut wajah Amara, membawa aroma kopi yang menguar dari mesin espresso di dalam kafe. Sisa cahaya senja masih menggantung di cakrawala Jakarta, memulas langit dengan semburat jingga yang perlahan meredup.Di sekelilingnya, obrolan pelanggan bercampur dengan denting gelas dan alunan musik jazz lembut dari speaker kafe.Namun, bagi Amara, semua itu terasa jauh. Samar.Pikirannya berputar, terlalu penuh oleh sesuatu yang enggan ia akui.Di depannya, Reza duduk diam, tangannya melingkari cangkir kopi yang sejak tadi belum disentuhnya. Mata pria itu menelisik wajahnya, dalam dan tajam, seolah ingin menguliti setiap rahasia yang coba Amara simpan.“Jadi…” Suara Reza akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Apa kau bahagia, Amara?”Jantung Amara mencelos.Pertanyaan sederhana itu menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya.Jari-jarinya mengaduk-aduk buih cappuccino di cangk
Langit Jakarta perlahan berubah, dari semburat jingga yang hangat menuju ungu keabuan yang sendu. Cahaya-cahaya kota mulai bermunculan satu per satu, lampu jalan memantulkan bias temaram di trotoar basah sisa hujan yang turun sore tadi.Udara masih mengandung jejak hujan—dingin, sedikit lembab, bercampur dengan aroma aspal yang basah. Namun, di antara itu semua, ada wangi kopi yang menguar dari celah pintu kafe, menyelinap masuk ke dalam ingatan seperti potongan-potongan kenangan yang enggan dilupakan.Di sudut kafe yang menghadap ke jendela besar, Amara duduk dengan jemari melingkari cangkir cappuccino yang kini hanya menyisakan kehangatan samar.Sendok kecil di tangannya bergerak perlahan, mengaduk cairan kecokelatan itu bukan karena butuh, melainkan karena pikirannya terlalu riuh untuk sekadar membiarkan tangan diam begitu saja.Pandangannya kosong, terarah pada pusaran kopi yang berputar dalam lingkaran kecil—seolah ada jawaban tersembunyi
Langit Jakarta telah sepenuhnya diselimuti gelap saat Amara akhirnya sampai di rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena perasaan yang menyesakkan dadanya sejak tadi.Ia melangkah melewati pintu utama dengan gerakan lambat, seolah ingin menunda sesuatu yang tak terhindarkan. Sepatunya ia lepas tanpa suara, ujung jemarinya sedikit ragu sebelum menyentuh lantai dingin. Di dalam, lampu chandelier bersinar redup, memantulkan cahaya ke dinding marmer yang dingin dan tak bernyawa. Ruangan itu luas, nyaris sunyi, hanya sesekali suara jarum jam yang berdetak dari arah meja konsol.Rumah ini selalu terasa terlalu besar untuknya, seakan ruang-ruang kosong di dalamnya menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Di sofa panjang dekat rak buku, Laksha duduk diam, tubuhnya sedikit membungkuk dengan satu tangan menyangga dahinya. Gelas scotch di tangan satunya t
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun suhu AC tetap di angka yang sama. Dingin itu bukan sekadar hawa, tetapi sesuatu yang merayap perlahan ke dalam tulang—mengisi ruang dengan ketegangan yang tak terucap.Laksha duduk tegap di kursi berhadapan dengan ayahnya, punggung lurus seperti bilah pedang, tetapi jari-jarinya yang mengepal di atas paha mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan.Napasnya dalam dan terkendali, namun matanya—mata seorang pria yang sudah terbiasa bermain dalam lingkaran ketidakpastian—terus menatap lurus ke arah Aditya, siap menghadapi apa pun yang akan dikatakan pria itu.Di balik meja kayu mahoni yang besar dan mengilap, Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tenang. Wajahnya sulit dibaca, sorot matanya tajam seperti seorang hakim yang tengah menimbang vonis.Ia menopang dagunya dengan tangan yang penuh urat, mengamati Laksha dengan teliti, seolah mencari ce
Malam merayap perlahan di balik tirai jendela, membungkus Jakarta dalam selimut cahaya neon yang redup.Dari lantai atas apartemen Laksha, gedung-gedung tinggi menjulang seperti bayangan bisu, sementara jalanan di bawah masih berdenyut dengan kehidupan—lampu kendaraan berkelip seperti bintang-bintang tersesat, dan suara klakson serta deru mesin melebur menjadi gumaman samar, jauh, hampir tak tersentuh oleh dunia yang lebih tinggi ini.Di dalam ruangan, udara dingin dari AC berpadu dengan aroma kayu cendana yang menguar lembut dari diffuser, menyusup ke dalam setiap sudut dengan keheningan yang nyaris ritualistik.Lampu temaram memeluk ruangan dalam cahaya keemasan, menciptakan kontras dengan sosok yang berdiri di dekat jendela—tegak, nyaris membatu, seperti patung yang diukir dari bayangan.Laksha.Jari-jarinya menggenggam gelas kristal berisi cairan amber, tetapi isinya nyaris tak berkurang. Matanya terpaku pada lanskap kota, namun sor
Hujan telah reda, tapi sisa rinainya masih melekat di kaca jendela, membentuk garis-garis transparan yang perlahan memudar. Uap tipis masih menggantung di udara, mengaburkan cahaya kota yang berpendar di kejauhan, membuat lampu-lampu gedung terlihat seperti lukisan cat air yang hampir luntur.Malam semakin larut, namun tak satu pun dari mereka beranjak. Seolah waktu berhenti di ruangan itu, membiarkan mereka terperangkap dalam keheningan yang menggantung di antara embusan napas.Amara masih duduk di sofa, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Telapak tangannya terasa dingin, bukan hanya karena sisa udara hujan, tetapi juga karena pikirannya yang masih berusaha mencerna kata-kata Laksha barusan.Radit.Nama itu terasa berat di lidahnya, meski ia hanya mengucapkannya dalam hati. Nama yang membawa kembali luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Luka yang selama ini ternyata bukan hanya miliknya, tetapi juga milik pria di hadapannya.
Hujan turun tipis, menari di atas kaca jendela apartemen, membentuk pola-pola acak yang memudar seiring waktu. Di luar sana, Jakarta tetap terjaga—lampu kendaraan berpendar di jalanan basah, menciptakan pantulan berkilauan di aspal yang licin.Suara klakson dan gemuruh kendaraan samar terdengar menembus dinding, tapi di dalam ruangan ini, dunia terasa lebih kecil. Lebih sunyi. Lebih berat.Laksha duduk di sofa panjang berwarna abu-abu, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, jemarinya saling bertaut, seolah menggenggam sesuatu yang tak kasat mata—sesuatu yang rapuh dan nyaris lepas dari genggamannya.Matanya terpaku pada satu titik di lantai, kosong. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena pikirannya sedang mengembara ke tempat lain. Ke suatu sudut dalam hidupnya yang mungkin sudah lama ia hindari.Di dekatnya, Amara berdiri dalam diam, memeluk cangkir teh yang masih mengepul di tangannya. Kehangatannya ter
Pagi merayap perlahan ke dalam apartemen Laksha, menyapa ruangannya dengan cara yang lembut. Cahaya matahari yang temaram menerobos tirai putih yang menggantung, melukis pola-pola keemasan di atas lantai kayu yang mengilap.Ruangan itu terasa hangat, meskipun udara pagi masih menyisakan kesegaran semalam. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar memenuhi udara, bersaing dengan sisa-sisa kehangatan dari malam yang belum sepenuhnya hilang.Di dapur, Amara duduk dengan santai di kursi kayu, mengenakan kaus longgar milik Laksha yang terasa kebesaran di tubuhnya. Rambutnya yang acak-acakan tidak tampak mengganggu, justru memberi kesan santai yang jarang ia tunjukkan.Wajahnya, meski terlihat lelah, dipenuhi ketenangan yang begitu asing baginya. Di depannya, secangkir teh yang sudah setengah dingin tergeletak di atas meja, tidak lagi menarik perhatian.Amara memperhatikan Laksha yang sedang berdiri dekat meja dapur, tubuhnya yang tegap tampak lebih ringan tanpa se
Langit malam menggantung dengan tenang di atas Jakarta, seolah menyelimuti kota yang sibuk dengan kilauan lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip, seakan mimpi yang terjerat di celah-celah kegelapan.Bintang-bintang, yang samar dan tersembunyi di balik pendar cahaya itu, berbisik pelan, memberi ruang bagi keheningan malam yang memeluk segala yang ada di bawahnya.Amara berdiri di depan pintu apartemen Laksha, jemarinya menggenggam erat tali tas tangan, seolah mencari pegangan di tengah kegelisahannya. Udara malam terasa lembap dan hangat, meskipun hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.Rasanya, segala sesuatu di sekitarnya berputar lebih cepat, menariknya ke titik ini—ke titik di mana ia harus memilih apakah akan melangkah maju atau mundur lagi.Ia sudah pernah berdiri di sini sebelumnya, beberapa kali, dengan perasaan yang berbeda-beda. Dulu, ada keraguan yang terus menggerogoti setiap langkahnya, ada amarah yang tersimpan rapat di dadanya, ad
Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut
Malam turun perlahan, menyelimuti Jakarta dalam pijar lampu-lampu jalan yang berkedip seperti bintang jatuh. Dari balik jendela taksi, Amara menatap pantulan cahaya di kaca, berpendar seiring lalu lintas yang tak pernah benar-benar tidur.Bayangan gedung-gedung tinggi berkelebat, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.Di pangkuannya, secarik kertas terlipat rapi. Sebuah alamat."Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan."Itu satu-satunya pesan dari Laksha sejak pertemuan mereka sore tadi di kafe. Tanpa penjelasan, tanpa petunjuk. Hanya kalimat singkat yang menggantung di benaknya selama berjam-jam, membuatnya ragu—dan entah bagaimana, tetap memutuskan untuk datang.Ketika taksi melambat dan akhirnya berhenti, Amara mengangkat wajah. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua, berbeda dari hiruk-pikuk kota yang selalu bergerak. Dinding putihnya sedikit pudar, menampakkan jejak waktu.J
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda
Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,
Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.