Setelah kecelakaan itu, hari-hari Karina di rumah sakit terasa suram. Ia terbangun dari rasa sakit fisik, namun hati dan pikirannya lebih kacau. Setiap kali mengingat Daniel dan Vera, ada perasaan marah yang tidak bisa diredam, bercampur dengan rasa kecewa yang menyesakkan dada. Tapi di sisi lain, ia harus menghadapi kenyataan baru bahwa ada kehidupan yang tumbuh dalam dirinya.
Karina duduk di ranjang rumah sakitnya, menatap kosong keluar jendela. Pikirannya terus berputar, tak henti bertanya-tanya bagaimana ia harus melanjutkan hidupnya. “Seharusnya aku lebih berhati-hati,” gumamnya pelan. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan seorang dokter muda masuk bersama perawat. Ia menatap Karina dengan senyum tenang, membawa tablet yang berisi hasil pemeriksaannya. “Selamat pagi, Nona Karina. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya dokter itu ramah. Karina mencoba tersenyum, meski samar. “Lumayan, Dok.” Dokter itu mengangguk. “Saya membawa kabar baik. Kondisi Anda dan kandungan Anda stabil. Kami akan memantau Anda dengan lebih ketat untuk memastikan semuanya berjalan lancar.” Karina hanya mengangguk pelan, merasa lega tapi juga bingung. “Terima kasih, Dok. Tapi … saya masih merasa cemas. Saya … saya belum tahu harus bagaimana dengan semuanya.” Dokter itu meletakkan tangannya di bahu Karina, memberi sentuhan menenangkan. “Itu wajar, Nona Karina. Menghadapi perubahan besar memang tidak mudah, apalagi dengan keadaan yang tidak terduga seperti ini. Tapi Anda tidak sendiri. Kami di sini untuk membantu.” Perawat yang mendampinginya menambahkan, “Jika Anda membutuhkan bantuan konseling atau dukungan psikologis, kami bisa mengaturkannya.” Karina hanya mengangguk. “Mungkin itu ide yang bagus. Saya … saya merasa semuanya terlalu cepat.” Namun, sebelum sempat menjawab lebih banyak, Karina merasa mual lagi. Ia buru-buru mengambil kantong plastik di sampingnya, menahan muntah yang tiba-tiba datang. Perawat sigap membantunya, sementara dokter itu memperhatikan dengan penuh perhatian. “Reaksi tubuh Anda ini normal, tapi kami akan memberikan obat untuk membantu meredakannya,” ucap dokter itu setelah Karina merasa lebih baik. Setelah beberapa menit, dokter dan perawat meninggalkan ruangan, memberi Karina waktu untuk beristirahat. Namun, pikirannya tak kunjung tenang. Perasaannya terlalu campur aduk. --- Beberapa hari berlalu, dan Karina mulai mencoba menerima kenyataan bahwa ia kini mengandung seorang anak. Namun, setiap kali ia mencoba berpikir lebih dalam, rasa sakit akibat pengkhianatan Daniel dan Vera kembali membayanginya. Apakah ia harus memberitahu Daniel? Atau lebih baik membesarkan anak ini seorang diri? Di tengah kebimbangan itu, ia tak tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi—sesuatu yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. --- Pada saat yang sama, di sisi lain rumah sakit, seorang pria bernama Adrian menunggu dengan gelisah di ruang tunggu. Adrian adalah pewaris perusahaan besar dan sedang menjalani proses bayi tabung bersama istrinya, Alicia, yang seorang model terkenal. Tapi hubungan mereka tak pernah harmonis; Adrian tahu bahwa Alicia lebih mencintai kariernya dibandingkan dirinya atau keluarga yang seharusnya mereka bangun. “Seharusnya ini tak perlu sesulit ini,” gumam Adrian pelan, melirik jam tangannya. Sementara itu, Alicia, yang duduk di sebelahnya, hanya sibuk dengan ponselnya. Ia sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan atau perhatian pada proses bayi tabung yang sedang mereka jalani. “Alicia, kau yakin dengan keputusan ini?” tanya Adrian, mencoba mencari jawaban dari wajah dingin istrinya. Alicia hanya mendesah pendek, meletakkan ponselnya sejenak. “Adrian, kita sudah membicarakannya. Aku tidak punya waktu untuk hamil. Ini cara terbaik untuk kita berdua.” Adrian menghela napas panjang, merasa hubungan mereka semakin berjarak. Tapi demi warisan dari kakeknya dan demi reputasi keluarga, ia harus mengikuti semua ini, setidaknya untuk sementara. Di saat itulah seorang perawat mendekati mereka, wajahnya tampak sedikit tegang. “Tuan Adrian, Nyonya Alicia, saya minta maaf, tetapi ada kesalahan kecil dalam proses ini. Kami sedang melakukan pengecekan ulang untuk memastikan semuanya aman.” Wajah Adrian mengeras. “Kesalahan? Maksud Anda bagaimana?” Perawat itu terlihat gugup. “Ini hanya masalah administrasi, tapi kami akan menyelesaikannya secepat mungkin. Kami mohon pengertiannya.” Alicia hanya mengangkat bahu, kembali sibuk dengan ponselnya. Adrian merasa semakin frustasi, namun memilih untuk menunggu penjelasan lebih lanjut. Namun yang Adrian dan Alicia tidak ketahui, kesalahan yang dimaksud itu lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. --- Sementara itu, di kamar Karina, seorang perawat datang membawa hasil pemeriksaan lanjutan. Tanpa curiga, Karina hanya menerima kertas yang diberikan perawat tersebut, meskipun tak sepenuhnya mengerti arti dari beberapa istilah medis di dalamnya. Ia berpikir itu hanyalah hasil pengecekan umum. Beberapa hari setelahnya, Karina diperbolehkan pulang dengan beberapa instruksi dari dokter untuk menjaga kondisi kehamilannya. Ia mencoba menguatkan diri, berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa meski dengan perasaan yang masih campur aduk. Namun, bayangan tentang masa depannya masih terasa berat. Di hari yang sama, Adrian menerima panggilan telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa proses inseminasi telah selesai. Tanpa mengetahui bahwa kesalahan yang terjadi membuat anak yang ia harapkan tidak ditanamkan pada ibu pengganti yang direncanakan, ia merasa sedikit lega, meskipun masih tidak sepenuhnya yakin akan masa depannya bersama Alicia. Karina kembali ke apartemennya, mencoba menyusun kembali hidupnya yang terasa berantakan. Tapi kenyataan tentang kehamilannya terus menghantui. Seiring waktu, ia menyadari bahwa ia harus membuat keputusan penting tentang masa depan anak yang ia kandung. Beberapa minggu kemudian, ia mulai bekerja di sebuah perusahaan baru sebagai cara untuk memulai hidup dari awal dan melupakan semua yang terjadi dengan Daniel dan Vera. Di hari pertamanya bekerja, ia diperkenalkan kepada atasannya, seorang pria tampan dengan wajah dingin dan pandangan tajam. “Selamat datang, Nona Karina. Nama saya Adrian,” ucap pria itu, mengulurkan tangannya. Karina menerima uluran tangan itu, sedikit terkejut dengan tatapan tajam pria di depannya. Ada sesuatu dalam diri Adrian yang membuatnya merasa gugup, namun ia berusaha tetap tenang. “Terima kasih, Tuan Adrian. Senang bisa bergabung di perusahaan ini.” Mereka bertukar tatapan sejenak, namun tak ada yang menyadari bahwa takdir mereka telah terjalin dalam cara yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Karina, tanpa sadar, telah mengandung anak Adrian, dan pertemuan mereka adalah awal dari perjalanan yang lebih rumit. Adrian tidak pernah menduga bahwa wanita yang berdiri di depannya adalah orang yang tanpa sengaja membawa anak yang seharusnya menjadi bagian dari keluarga yang ia rencanakan dengan Alicia. Dan Karina, yang kini mencoba menata kembali hidupnya, tak pernah tahu bahwa pria di depannya akan menjadi pusat dari babak baru dalam hidupnya yang penuh teka-teki. Setiap hari, keduanya mulai saling mengenal di tempat kerja, meski dengan cara yang profesional. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada rasa penasaran dan ketertarikan di antara mereka. Adrian merasa ada sesuatu yang istimewa pada Karina, sementara Karina merasakan kehangatan yang aneh meski Adrian sering terlihat dingin dan keras kepala. Namun, setiap kali Karina mulai merasakan ketertarikan pada Adrian, ia selalu mengingat masa lalunya yang menyakitkan. Kehamilannya adalah rahasia yang ia simpan rapat-rapat, dan ia berjanji tidak akan melibatkan siapa pun dalam masalah pribadinya, termasuk pria yang kini menjadi atasannya. Di balik semua ketegangan itu, kehidupan mereka mulai terjalin dalam cara yang tak terduga, membawa keduanya semakin dekat dalam rahasia besar yang hanya menunggu waktu untuk terungkap.Karina memandang pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Kulitnya tampak sedikit pucat, dan matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan, meski ia sudah berusaha tegar sejak keluar dari rumah sakit. Namun, di balik kepenatan itu, ada percikan semangat yang membuatnya bertahan. Bagaimanapun, ada kehidupan di dalam dirinya yang menunggu untuk tumbuh, dan ia tidak ingin menyerah begitu saja.Hari ini, ia harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk memastikan bahwa kondisinya benar-benar baik. Bayangan dokter yang mengatakan kondisi janinnya stabil memberikan sedikit kelegaan, namun ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Entah kenapa, perasaan bahwa sesuatu yang janggal sedang terjadi tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.Pintu ruang praktik terbuka, dan dokter itu kembali masuk dengan ekspresi serius yang sulit diartikan.“Selamat pagi, Nona Karina. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” sapanya hangat.Karina mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar tak menentu. “Lebih
Karina menatap keluar jendela taksi yang membawanya pulang dari rumah sakit, mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang setelah mendengar kabar dokter. Ia merasakan campuran lega dan cemas, seolah-olah dunia ini memberinya tantangan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan yang tumbuh, anak yang tak pernah ia duga akan hadir, namun sekarang menjadi alasan terbesar baginya untuk bertahan.Dalam hati, ia memutuskan untuk melanjutkan hidup, mencari pekerjaan, dan menata masa depan yang baru. Ia tahu, ia tidak bisa mengandalkan siapa pun lagi. Daniel dan Vera, orang-orang yang pernah ia percayai sepenuhnya, telah mengkhianati hatinya. Dan kini, hanya dirinya sendiri yang bisa diandalkan.Setelah berminggu-minggu mencari pekerjaan, Karina akhirnya diterima di sebuah perusahaan besar. Sebuah kesempatan yang tak terduga, namun ia melihat ini sebagai awal dari lembaran baru. Hari pertamanya di kantor itu, ia mengenakan pakaian yang ra
Karina duduk di atas sofa kecil di sudut apartemennya, menatap layar ponsel yang kini gelap. Pesan terakhir itu masih terngiang di kepalanya. Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur. Siapa pun pengirimnya, orang itu jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi kenapa dia diancam? Dan kenapa sekarang, saat ia mencoba bangkit dari keterpurukan?Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang mulai sedikit membesar. “Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu kita,” gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia usir begitu saja.Alicia berdiri di depan cermin besar di kamar utama, membiarkan jari-jarinya menyusuri permukaan kulit wajahnya yang mulus. Wajah itu sempurna, dan ia tahu itu. Setiap sudutnya dipoles dengan hati-hati oleh tim profesional yang ia bayar mahal. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya malam itu. Sesuatu tentang Adrian.P
Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan. Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya. “Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?” Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita p
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Sore itu, hujan deras mengguyur kota. Karina duduk di sofa kecil di apartemennya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Suara rintik hujan yang menghantam kaca seolah menyuarakan kekacauan di hatinya. Semua yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Pikiran Karina terus melayang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Adrian, Alicia, bayi yang tengah tumbuh di rahimnya, dan semua rahasia yang seolah saling bertumpuk di sekitarnya. Dia ingin marah, ingin menangis, tapi tak ada gunanya. Semua ini sudah terjadi, dan dia hanya bisa mencari cara untuk bertahan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Karina menoleh, alisnya sedikit berkerut. Siapa yang datang di tengah hujan seperti ini? Dia bangkit perlahan dan membuka pintu, menemukan Adrian berdiri di sana, basah kuyup dengan tumpukan dokumen di tangannya.“Apa kamu selalu suka muncul tiba-tiba?” tanya Karina, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ada sesuatu tentang pria in
Karina memandang koper di sudut ruangan. Koper itu sudah ada di sana selama tiga hari terakhir, penuh dengan pakaian dan barang-barang pentingnya. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk pergi. Meninggalkan semua kekacauan ini. Tapi ia tahu, pergi bukan lagi pilihan. Dan bertahan? Itu juga sama mustahilnya. Ruang sempit apartemennya terasa makin mencekik. Karina menghela napas panjang, berusaha menenangkan kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran. Di meja kecil di depannya, surat panggilan pengadilan dari pengacara Alicia tergeletak. Kata-kata di atas kertas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya. Alicia. Wanita itu. Karina menggigit bibir, mencoba menahan amarah sekaligus rasa tak berdaya yang terus menguar. Bagaimana bisa wanita seperti itu mengajukan tuntutan hukum untuk hak asuh anak yang bahkan tidak ia kandung? Sial. Karina meremas surat itu lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergetar, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk
Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g
Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud