Setelah kecelakaan itu, hari-hari Karina di rumah sakit terasa suram. Ia terbangun dari rasa sakit fisik, namun hati dan pikirannya lebih kacau. Setiap kali mengingat Daniel dan Vera, ada perasaan marah yang tidak bisa diredam, bercampur dengan rasa kecewa yang menyesakkan dada. Tapi di sisi lain, ia harus menghadapi kenyataan baru bahwa ada kehidupan yang tumbuh dalam dirinya.
Karina duduk di ranjang rumah sakitnya, menatap kosong keluar jendela. Pikirannya terus berputar, tak henti bertanya-tanya bagaimana ia harus melanjutkan hidupnya. “Seharusnya aku lebih berhati-hati,” gumamnya pelan. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan seorang dokter muda masuk bersama perawat. Ia menatap Karina dengan senyum tenang, membawa tablet yang berisi hasil pemeriksaannya. “Selamat pagi, Nona Karina. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya dokter itu ramah. Karina mencoba tersenyum, meski samar. “Lumayan, Dok.” Dokter itu mengangguk. “Saya membawa kabar baik. Kondisi Anda dan kandungan Anda stabil. Kami akan memantau Anda dengan lebih ketat untuk memastikan semuanya berjalan lancar.” Karina hanya mengangguk pelan, merasa lega tapi juga bingung. “Terima kasih, Dok. Tapi … saya masih merasa cemas. Saya … saya belum tahu harus bagaimana dengan semuanya.” Dokter itu meletakkan tangannya di bahu Karina, memberi sentuhan menenangkan. “Itu wajar, Nona Karina. Menghadapi perubahan besar memang tidak mudah, apalagi dengan keadaan yang tidak terduga seperti ini. Tapi Anda tidak sendiri. Kami di sini untuk membantu.” Perawat yang mendampinginya menambahkan, “Jika Anda membutuhkan bantuan konseling atau dukungan psikologis, kami bisa mengaturkannya.” Karina hanya mengangguk. “Mungkin itu ide yang bagus. Saya … saya merasa semuanya terlalu cepat.” Namun, sebelum sempat menjawab lebih banyak, Karina merasa mual lagi. Ia buru-buru mengambil kantong plastik di sampingnya, menahan muntah yang tiba-tiba datang. Perawat sigap membantunya, sementara dokter itu memperhatikan dengan penuh perhatian. “Reaksi tubuh Anda ini normal, tapi kami akan memberikan obat untuk membantu meredakannya,” ucap dokter itu setelah Karina merasa lebih baik. Setelah beberapa menit, dokter dan perawat meninggalkan ruangan, memberi Karina waktu untuk beristirahat. Namun, pikirannya tak kunjung tenang. Perasaannya terlalu campur aduk. --- Beberapa hari berlalu, dan Karina mulai mencoba menerima kenyataan bahwa ia kini mengandung seorang anak. Namun, setiap kali ia mencoba berpikir lebih dalam, rasa sakit akibat pengkhianatan Daniel dan Vera kembali membayanginya. Apakah ia harus memberitahu Daniel? Atau lebih baik membesarkan anak ini seorang diri? Di tengah kebimbangan itu, ia tak tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi—sesuatu yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. --- Pada saat yang sama, di sisi lain rumah sakit, seorang pria bernama Adrian menunggu dengan gelisah di ruang tunggu. Adrian adalah pewaris perusahaan besar dan sedang menjalani proses bayi tabung bersama istrinya, Alicia, yang seorang model terkenal. Tapi hubungan mereka tak pernah harmonis; Adrian tahu bahwa Alicia lebih mencintai kariernya dibandingkan dirinya atau keluarga yang seharusnya mereka bangun. “Seharusnya ini tak perlu sesulit ini,” gumam Adrian pelan, melirik jam tangannya. Sementara itu, Alicia, yang duduk di sebelahnya, hanya sibuk dengan ponselnya. Ia sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan atau perhatian pada proses bayi tabung yang sedang mereka jalani. “Alicia, kau yakin dengan keputusan ini?” tanya Adrian, mencoba mencari jawaban dari wajah dingin istrinya. Alicia hanya mendesah pendek, meletakkan ponselnya sejenak. “Adrian, kita sudah membicarakannya. Aku tidak punya waktu untuk hamil. Ini cara terbaik untuk kita berdua.” Adrian menghela napas panjang, merasa hubungan mereka semakin berjarak. Tapi demi warisan dari kakeknya dan demi reputasi keluarga, ia harus mengikuti semua ini, setidaknya untuk sementara. Di saat itulah seorang perawat mendekati mereka, wajahnya tampak sedikit tegang. “Tuan Adrian, Nyonya Alicia, saya minta maaf, tetapi ada kesalahan kecil dalam proses ini. Kami sedang melakukan pengecekan ulang untuk memastikan semuanya aman.” Wajah Adrian mengeras. “Kesalahan? Maksud Anda bagaimana?” Perawat itu terlihat gugup. “Ini hanya masalah administrasi, tapi kami akan menyelesaikannya secepat mungkin. Kami mohon pengertiannya.” Alicia hanya mengangkat bahu, kembali sibuk dengan ponselnya. Adrian merasa semakin frustasi, namun memilih untuk menunggu penjelasan lebih lanjut. Namun yang Adrian dan Alicia tidak ketahui, kesalahan yang dimaksud itu lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. --- Sementara itu, di kamar Karina, seorang perawat datang membawa hasil pemeriksaan lanjutan. Tanpa curiga, Karina hanya menerima kertas yang diberikan perawat tersebut, meskipun tak sepenuhnya mengerti arti dari beberapa istilah medis di dalamnya. Ia berpikir itu hanyalah hasil pengecekan umum. Beberapa hari setelahnya, Karina diperbolehkan pulang dengan beberapa instruksi dari dokter untuk menjaga kondisi kehamilannya. Ia mencoba menguatkan diri, berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa meski dengan perasaan yang masih campur aduk. Namun, bayangan tentang masa depannya masih terasa berat. Di hari yang sama, Adrian menerima panggilan telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa proses inseminasi telah selesai. Tanpa mengetahui bahwa kesalahan yang terjadi membuat anak yang ia harapkan tidak ditanamkan pada ibu pengganti yang direncanakan, ia merasa sedikit lega, meskipun masih tidak sepenuhnya yakin akan masa depannya bersama Alicia. Karina kembali ke apartemennya, mencoba menyusun kembali hidupnya yang terasa berantakan. Tapi kenyataan tentang kehamilannya terus menghantui. Seiring waktu, ia menyadari bahwa ia harus membuat keputusan penting tentang masa depan anak yang ia kandung. Beberapa minggu kemudian, ia mulai bekerja di sebuah perusahaan baru sebagai cara untuk memulai hidup dari awal dan melupakan semua yang terjadi dengan Daniel dan Vera. Di hari pertamanya bekerja, ia diperkenalkan kepada atasannya, seorang pria tampan dengan wajah dingin dan pandangan tajam. “Selamat datang, Nona Karina. Nama saya Adrian,” ucap pria itu, mengulurkan tangannya. Karina menerima uluran tangan itu, sedikit terkejut dengan tatapan tajam pria di depannya. Ada sesuatu dalam diri Adrian yang membuatnya merasa gugup, namun ia berusaha tetap tenang. “Terima kasih, Tuan Adrian. Senang bisa bergabung di perusahaan ini.” Mereka bertukar tatapan sejenak, namun tak ada yang menyadari bahwa takdir mereka telah terjalin dalam cara yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Karina, tanpa sadar, telah mengandung anak Adrian, dan pertemuan mereka adalah awal dari perjalanan yang lebih rumit. Adrian tidak pernah menduga bahwa wanita yang berdiri di depannya adalah orang yang tanpa sengaja membawa anak yang seharusnya menjadi bagian dari keluarga yang ia rencanakan dengan Alicia. Dan Karina, yang kini mencoba menata kembali hidupnya, tak pernah tahu bahwa pria di depannya akan menjadi pusat dari babak baru dalam hidupnya yang penuh teka-teki. Setiap hari, keduanya mulai saling mengenal di tempat kerja, meski dengan cara yang profesional. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada rasa penasaran dan ketertarikan di antara mereka. Adrian merasa ada sesuatu yang istimewa pada Karina, sementara Karina merasakan kehangatan yang aneh meski Adrian sering terlihat dingin dan keras kepala. Namun, setiap kali Karina mulai merasakan ketertarikan pada Adrian, ia selalu mengingat masa lalunya yang menyakitkan. Kehamilannya adalah rahasia yang ia simpan rapat-rapat, dan ia berjanji tidak akan melibatkan siapa pun dalam masalah pribadinya, termasuk pria yang kini menjadi atasannya. Di balik semua ketegangan itu, kehidupan mereka mulai terjalin dalam cara yang tak terduga, membawa keduanya semakin dekat dalam rahasia besar yang hanya menunggu waktu untuk terungkap.Karina memandang pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Kulitnya tampak sedikit pucat, dan matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan, meski ia sudah berusaha tegar sejak keluar dari rumah sakit. Namun, di balik kepenatan itu, ada percikan semangat yang membuatnya bertahan. Bagaimanapun, ada kehidupan di dalam dirinya yang menunggu untuk tumbuh, dan ia tidak ingin menyerah begitu saja.Hari ini, ia harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk memastikan bahwa kondisinya benar-benar baik. Bayangan dokter yang mengatakan kondisi janinnya stabil memberikan sedikit kelegaan, namun ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Entah kenapa, perasaan bahwa sesuatu yang janggal sedang terjadi tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.Pintu ruang praktik terbuka, dan dokter itu kembali masuk dengan ekspresi serius yang sulit diartikan.“Selamat pagi, Nona Karina. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” sapanya hangat.Karina mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar tak menentu. “Lebih
Karina menatap keluar jendela taksi yang membawanya pulang dari rumah sakit, mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang setelah mendengar kabar dokter. Ia merasakan campuran lega dan cemas, seolah-olah dunia ini memberinya tantangan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan yang tumbuh, anak yang tak pernah ia duga akan hadir, namun sekarang menjadi alasan terbesar baginya untuk bertahan.Dalam hati, ia memutuskan untuk melanjutkan hidup, mencari pekerjaan, dan menata masa depan yang baru. Ia tahu, ia tidak bisa mengandalkan siapa pun lagi. Daniel dan Vera, orang-orang yang pernah ia percayai sepenuhnya, telah mengkhianati hatinya. Dan kini, hanya dirinya sendiri yang bisa diandalkan.Setelah berminggu-minggu mencari pekerjaan, Karina akhirnya diterima di sebuah perusahaan besar. Sebuah kesempatan yang tak terduga, namun ia melihat ini sebagai awal dari lembaran baru. Hari pertamanya di kantor itu, ia mengenakan pakaian yang ra
Karina duduk di atas sofa kecil di sudut apartemennya, menatap layar ponsel yang kini gelap. Pesan terakhir itu masih terngiang di kepalanya. Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur. Siapa pun pengirimnya, orang itu jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi kenapa dia diancam? Dan kenapa sekarang, saat ia mencoba bangkit dari keterpurukan?Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang mulai sedikit membesar. “Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu kita,” gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia usir begitu saja.Alicia berdiri di depan cermin besar di kamar utama, membiarkan jari-jarinya menyusuri permukaan kulit wajahnya yang mulus. Wajah itu sempurna, dan ia tahu itu. Setiap sudutnya dipoles dengan hati-hati oleh tim profesional yang ia bayar mahal. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya malam itu. Sesuatu tentang Adrian.P
Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan. Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya. “Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?” Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita p
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Adrian menghela napas berat setelah telepon itu terputus. Wajahnya yang tadi tenang kini berubah tegang. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di sebelahnya.“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Karina, yang kini berdiri di sampingnya. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran.Adrian menoleh, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Aku tidak tahu siapa,” ucapnya singkat. “Tapi orang itu sempat menyebut nama Jonathan, sayangnya sebelum dia sempat jelasin, sinyalnya terputus.”Karina mengerutkan kening. "Ada apa lagi dengan Jonathan?"“Aku juga nggak tahu,” jawab Adrian sambil menekan tombol panggil ulang di ponselnya. Tapi telepon itu ternyata tidak tersambung. Adrian memijat pelipisnya, jelas sekali ia merasa frustrasi.“Kamu yakin ini soal Jonathan? Mungkin dia cuma bikin drama lagi? Terlebih kan sekarang dia sudah ditahan?” tanya Karina, mencoba meringankan suasana. Tapi dalam hatinya, ia pun tidak bisa menyangkal kal
Pikirannya kembali pada ancaman Jonathan. Meskipun ia ingin mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini belum selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada." Dan di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, seseorang berdiri, memperhatikan apartemen Karina dengan tatapan yang sulit dijelaskan.---Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh gejolak. Kemenangan memang sudah di depan mata, tapi apa artinya jika ia terus merasa tidak tenang? Jonathan jelas bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dia licik, manipulatif, dan lebih dari segalanya, ambisius. Adrian tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat posisinya hancur. Namun pikirannya segera teralihkan oleh suara dari belakang. Langkah kaki kecil yang pelan tapi jelas mendekat. “Adrian?” Suara lembut Karina memanggilnya. Adrian berbalik, mendapati Karina berd
Adrian masih duduk di kursinya, tatapannya kosong menatap dokumen-dokumen di atas meja. Kata-kata Alicia terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa lelah yang kian menumpuk. Tapi otaknya tak mau berhenti bekerja. "Kalau ini benar ...." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia mengangkat telepon di mejanya, jarinya mengetik nomor seseorang yang sudah dihafalnya luar kepala. "Halo?" suara pria di seberang terdengar tegas. "Kita harus bicara. Sekarang," ujar Adrian, singkat tapi penuh tekanan. "Ada apa lagi? Apa kau ingin menyerah?" "Kalau kau penasaran, datanglah!"Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih serius. "Oke, aku datang." ---Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Adrian terbuka. Jonathan, sepupunya, melangkah masuk dengan senyum kecil di wajahnya. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Adrian semak
Alicia masih berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Ponselnya yang tadi dilempar ke tempat tidur kini bergetar lagi, mengganggu kesunyian ruangan. Kali ini dia tidak berniat untuk mengecek pesan itu lagi. Dia sudah tahu siapa pengirimnya—Jonathan. Ancaman yang dia terima tadi masih terngiang jelas di pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Alicia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris seperti bisikan. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil koper besar yang sudah lama tidak ia sentuh. Tangannya gemetar saat membuka resleting koper itu, namun kali ini ia sudah memutuskan. Sementara itu, di ruang kerja besar Adrian yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kerja kayu mahoni yang kokoh, Karina duduk di depan Adrian dengan ekspresi serius. Di tangannya, ada tumpukan dokumen yang baru saja ia serahkan pada pria itu. "Ini semua bukti yang kita punya," ucap Karina, suaranya tegas. "Aku udah cek semua
Karina masih berdiri di depan ruangan, menatap Kakek Adrian yang baru saja mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh ruangan membisu. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya lagi, perlahan, dengan nada penuh wibawa. Adrian duduk dengan tenang, meski matanya tak lepas dari Karina. Di sebelahnya, Jonathan tampak gelisah, tangannya mengepal di atas meja, seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri di sudut, wajahnya kaku dan pucat, seperti menyadari bahwa ini adalah titik balik dari semuanya."Karina," suara Kakek Adrian memecahkan keheningan. "Presentasimu meyakinkan. Aku suka caramu berpikir. Kau memiliki visi yang jelas tentang masa depan perusahaan ini. Tapi ..." Suaranya menggantung, membuat udara di ruangan semakin tegang.Karina menghela napas pelan. Ia tahu, ini belum selesai."Aku ingin waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh," lanjut Kakek Adrian. "Tapi aku mengapresiasi usahamu. Adrian, Jonathan, aku ingin kalian tetap profesional. Ki
Langkah Adrian dan Karina terhenti di depan pintu ruang baca. Karina menggenggam tasnya erat-erat, perasaan gugup merayap di tubuhnya. Ia tahu betul bahwa ini adalah momen besar yang akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk Adrian, tapi juga untuk Reyna, anak yang kini menjadi pusat dunia barunya.Adrian melirik Karina sekilas, lalu berkata pelan, "Tenang saja. Aku ada di sini."Karina hanya mengangguk kecil. Tapi sebelum Adrian sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Jonathan muncul. Wajah datarnya tak mampu menyembunyikan sorot mata penuh kewaspadaan."Oh, kalian di sini?" katanya dingin, matanya bergantian menatap Adrian dan Karina. "Aku rasa aku tahu apa yang kalian bawa."Adrian berdiri tegap, tak menghindari tatapan Jonathan sama sekali. "Bagus kalau begitu," jawabnya dengan nada datar yang tak kalah tajam. "Kita nggak perlu basa-basi."Jonathan tertawa kecil, seperti mengejek. "Kau memang selalu terburu-buru, Adrian. Tapi jangan lupa, Kakek tak
Alicia menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan napasnya yang tidak beraturan. Suara sirene polisi semakin mendekat, membuat pikirannya kacau. Dia tahu, waktunya hampir habis. Jonathan semakin mendesaknya, dan Adrian ... Adrian selalu satu langkah di depan, membuatnya semakin terpojok.“Kamu harus memutuskan, Alicia,” gumamnya sendiri. Tapi apa yang harus dia lakukan? Dia terlalu dalam terlibat dengan Jonathan, dan jika Adrian tahu segalanya, hidupnya akan hancur.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Adrian berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Jonathan yang baru saja melangkah masuk. Di belakang Jonathan, dua pria bertubuh kekar mengikutinya, memberi kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar obrolan biasa.Jonathan melirik sekilas ke arah Adrian, lalu tersenyum kecil. "Jadi, kamu benar-benar memanggilku ke sini, Adrian. Aku harus bilang, ini cukup berani. Atau bodoh?"Adrian tidak menanggapi ejekan itu. Dia hanya melangkah maju, jaraknya ki
Di ujung lain kota, Adrian menatap Karina dengan tatapan serius. "Kita harus melakukannya malam ini. Kalau tidak, kita mungkin kehilangan kesempatan ini selamanya."Karina mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Ia tahu apa yang mereka hadapi berbahaya, tapi ia tidak punya pilihan. Demi anaknya, ia harus berani. Keselamatan Reyna adalah taruhannya.Karina duduk di sofa kecil ruang apartemennya, menggenggam tangan Adrian yang terasa dingin. Malam itu begitu sunyi, seolah dunia di luar hanya menunggu sesuatu meledak. "Aku nggak bisa terus begini, Adrian," kata Karina akhirnya, memecah keheningan. Suaranya gemetar, tapi matanya menunjukkan tekad. "Jonathan itu licik. Kalau kita terus nunda, dia bisa selangkah lebih maju dan menghancurkan semuanya."Adrian menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak sebelum membukanya kembali. Tatapan dinginnya malam itu sedikit melunak. "Aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa gegabah. Apa yang kita rencanakan ini nggak cuma soal aku atau kam
Langit mendung sore itu seakan menjadi pertanda buruk. Karina duduk di sofa apartemennya, mengayun pelan-pelan kursi bayi yang berdiri di sampingnya. Bayi kecil itu, Reynata, buah hatinya, terlelap dengan wajah tenang. Perempuan kecil itu adalah segalanya bagi Karina. Namun, hatinya justru dipenuhi kecemasan—gelisah oleh amplop yang beberapa hari terakhir tersimpan di laci meja ruang tamunya, membara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Pintu apartemen tiba-tiba diketuk keras. Karina terlonjak. Siapa yang datang di jam seperti ini?Ia menoleh ke arah pintu, napasnya tertahan. "Siapa?" tanyanya dengan suara setenang mungkin, meskipun hatinya diliputi kecemasan."Karina, ini aku," suara Adrian terdengar dari luar.Karina menarik napas lega. Ia bangkit, membuka pintu, dan mendapati Adrian berdiri di sana dengan wajah tegang. Tanpa menunggu undangan, Adrian masuk begitu saja."Ada apa, Adrian?" Karina bertanya, bingung melihat ekspresi gelisah di wajahnya.Adrian menghela napas