Karina memandang pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Kulitnya tampak sedikit pucat, dan matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan, meski ia sudah berusaha tegar sejak keluar dari rumah sakit. Namun, di balik kepenatan itu, ada percikan semangat yang membuatnya bertahan. Bagaimanapun, ada kehidupan di dalam dirinya yang menunggu untuk tumbuh, dan ia tidak ingin menyerah begitu saja.
Hari ini, ia harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk memastikan bahwa kondisinya benar-benar baik. Bayangan dokter yang mengatakan kondisi janinnya stabil memberikan sedikit kelegaan, namun ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Entah kenapa, perasaan bahwa sesuatu yang janggal sedang terjadi tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Pintu ruang praktik terbuka, dan dokter itu kembali masuk dengan ekspresi serius yang sulit diartikan. “Selamat pagi, Nona Karina. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” sapanya hangat. Karina mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar tak menentu. “Lebih baik, Dok.” Dokter mengangguk, namun sorot matanya masih serius. Ia lalu duduk di depan Karina dan membuka beberapa lembar hasil pemeriksaan. “Saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda mengenai kondisi kandungan Anda,” ucapnya perlahan. Karina menggigit bibirnya, cemas menunggu penjelasan lebih lanjut. “Berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir, kami mendapati bahwa ada perubahan pada kondisi janin Anda. Setelah kecelakaan itu, kami awalnya menduga bahwa janin Anda mungkin tidak dapat bertahan … tapi, secara mengejutkan, kondisi kehamilan Anda tetap stabil.” Dokter berhenti sejenak, seolah mencoba mencari kata yang tepat. Karina hanya bisa menatap, bingung sekaligus resah. “Maksud Dokter … ada sesuatu yang tidak beres?” Dokter menggeleng pelan. “Tidak ada yang berbahaya sejauh ini. Namun, ada hal yang agak tidak biasa. Biasanya, dengan cedera yang Anda alami, kemungkinan untuk tetap hamil cukup kecil, namun kondisi Anda berbeda. Saya tak bisa menjelaskan lebih lanjut tanpa pemeriksaan yang lebih mendalam, namun sejauh ini, bayi Anda dalam kondisi sehat.” Karina merasakan denyut kuat di dadanya. Perasaan aneh yang menyelimuti pikirannya selama ini semakin kuat. Namun, ia memilih untuk mengabaikan rasa takut yang perlahan merayap. Bagaimanapun, hidupnya sudah cukup berantakan; ia tidak ingin menambah beban dengan mencurigai kehamilan ini. “Apakah ini … mungkin efek dari kecelakaan itu?” tanyanya pelan. Dokter mengangguk ringan. “Bisa jadi. Tapi Anda tak perlu terlalu khawatir. Yang penting adalah menjaga kesehatan Anda dan bayi Anda. Jika ada hal lain yang mencurigakan, kami akan segera memberi tahu.” Karina mengangguk, meski hatinya masih dirundung kebingungan. Ia mengucapkan terima kasih kepada dokter, kemudian keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega bahwa bayinya baik-baik saja. Namun, di sisi lain, ada perasaan ganjil yang tak bisa ia abaikan. --- Waktu berlalu, dan Karina mulai mencoba menjalani hidup baru. Ia mengalihkan fokusnya pada pekerjaan dan kehamilannya, berusaha melupakan segala hal buruk yang pernah terjadi dengan Daniel dan Vera. Namun, kenangan tentang mereka masih sering datang mengganggu, terutama ketika ia teringat betapa ia dulu sangat mempercayai Daniel. Ketika tiba di kantornya hari itu, Karina merasa sedikit mual dan lelah, namun ia tetap berusaha tersenyum pada rekan-rekannya. Seorang kolega baru datang menyapanya dengan senyum ramah. “Bagaimana kabar kamu, Karina? Apa semuanya berjalan lancar?” tanyanya dengan penuh perhatian. Karina mengangguk pelan. “Lumayan, terima kasih. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk menyesuaikan diri.” Obrolan mereka terputus saat sosok Adrian mendekat, membuat jantung Karina berdegup sedikit lebih cepat. Meski sikapnya dingin, ada sesuatu dalam sorot matanya yang selalu menarik perhatian Karina, membuatnya merasa seolah ia tak pernah benar-benar bisa menjauh. Adrian berhenti di depan Karina dan rekan kerjanya, pandangannya tajam namun penuh wibawa. “Nona Karina, saya ingin berbicara dengan Anda mengenai proyek yang sedang kita kerjakan,” ujarnya dengan nada serius. Karina mengangguk, mengikuti Adrian ke ruangan kerjanya. Suasana di dalam ruangan terasa hening ketika Adrian menutup pintu, membuat Karina semakin gugup. Ia berusaha menjaga ketenangannya, namun perasaan bahwa ia selalu merasakan kehangatan yang aneh di sekitar pria ini membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. “Silakan duduk,” ucap Adrian, duduk di kursinya dan menatap Karina dengan pandangan serius. Karina duduk dengan canggung, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang semakin kencang. “Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan tentang progres proyek ini,” ucap Adrian, membuka dokumen di meja. Namun, ketika ia mulai berbicara, pandangannya sekilas bertemu dengan mata Karina, dan untuk sejenak, Karina merasakan sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu. “Apakah semuanya baik-baik saja, Nona Karina?” tanya Adrian tiba-tiba, nadanya sedikit melunak. Karina terdiam sejenak, kaget dengan perubahan nada bicara Adrian. “Ya, semuanya baik-baik saja, Pak Adrian. Hanya … sedikit penyesuaian setelah keluar dari rumah sakit,” jawabnya pelan. Adrian mengangguk, namun ia tampak berpikir sejenak sebelum kembali menatap Karina. “Jika ada yang mengganggu atau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa mengatakannya. Saya bisa mengatur agar pekerjaan Anda tidak terlalu membebani.” Karina tersenyum samar, merasa sedikit tersentuh. “Terima kasih, Tuan Adrian. Tapi saya baik-baik saja. Saya justru ingin fokus pada pekerjaan ini untuk membantu melupakan … hal-hal yang terjadi.” Adrian menatapnya sejenak, matanya penuh sorot penasaran namun juga kehangatan yang samar. “Baiklah, jika itu yang Anda inginkan,” jawabnya akhirnya, mencoba menjaga profesionalisme meskipun Karina bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dalam nada bicaranya. Pembicaraan mereka berlanjut dengan lebih serius, namun setiap kali pandangan mereka bertemu, ada sesuatu yang tak terucapkan, seolah masing-masing menyimpan rahasia yang tak bisa diungkapkan. Karina berusaha menjaga jarak, namun ada perasaan aneh yang semakin sulit ia abaikan setiap kali berada di dekat Adrian. --- Hari itu berlalu dengan cepat. Ketika Karina pulang, ia merasa tubuhnya lelah namun hatinya sedikit lebih tenang. Keberadaan Adrian yang tenang namun penuh karisma sedikit banyak memberinya kekuatan untuk menjalani hari-harinya yang semakin berat. Namun, di malam harinya, ketika ia berbaring di tempat tidur, bayangan masa lalunya kembali menghantui. Ingatan tentang pengkhianatan Daniel masih menyisakan luka yang belum sepenuhnya pulih. Bagaimana bisa ia begitu percaya pada seseorang yang ternyata begitu mudah mengkhianatinya? Rasa sakit itu terkadang begitu menyiksa hingga ia merasa seperti tak sanggup bernapas. Karina mengelus perutnya yang mulai sedikit membesar, merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalamnya. “Aku akan melindungi mu,” bisiknya lembut. “Aku akan berjuang untukmu, meski aku harus melakukannya sendirian.” Namun, dalam hatinya, ada perasaan ragu yang tak bisa ia hilangkan. Apakah ia benar-benar bisa menghadapi semua ini sendiri? Apakah ia bisa menjadi ibu yang baik untuk anak ini, tanpa dukungan siapa pun? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya, mengantarkannya ke dalam tidur yang penuh dengan mimpi-mimpi tak menentu. --- Keesokan harinya, Karina kembali ke kantor dengan semangat baru. Namun, saat berjalan menuju meja kerjanya, ia mendapati sosok Adrian berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Ada ekspresi muram di wajahnya yang tak biasa terlihat. Karina merasa ragu sejenak, namun akhirnya mendekat. “Tuan Adrian, apakah Anda baik-baik saja?” tanyanya pelan. Adrian menoleh, tampak sedikit kaget melihat Karina. Namun, ia segera tersenyum tipis, meski senyumnya terlihat dipaksakan. “Hanya … memikirkan beberapa hal.” Karina mengangguk, mencoba memahami tanpa bertanya lebih lanjut. Namun, ada dorongan dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu yang lebih, untuk menghiburnya. “Kadang-kadang … menghadapi masalah seorang diri memang tidak mudah,” ujarnya, mencoba tersenyum. Adrian menatapnya sejenak, tampak terkejut dengan pernyataan itu. “Anda benar, Nona Karina. Tapi terkadang, ada masalah yang tidak bisa diungkapkan kepada siapa pun.” Karina merasakan debaran di dadanya. “Jika ada sesuatu yang bisa saya bantu, saya … saya siap mendengarkan.”Karina menatap keluar jendela taksi yang membawanya pulang dari rumah sakit, mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang setelah mendengar kabar dokter. Ia merasakan campuran lega dan cemas, seolah-olah dunia ini memberinya tantangan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan yang tumbuh, anak yang tak pernah ia duga akan hadir, namun sekarang menjadi alasan terbesar baginya untuk bertahan.Dalam hati, ia memutuskan untuk melanjutkan hidup, mencari pekerjaan, dan menata masa depan yang baru. Ia tahu, ia tidak bisa mengandalkan siapa pun lagi. Daniel dan Vera, orang-orang yang pernah ia percayai sepenuhnya, telah mengkhianati hatinya. Dan kini, hanya dirinya sendiri yang bisa diandalkan.Setelah berminggu-minggu mencari pekerjaan, Karina akhirnya diterima di sebuah perusahaan besar. Sebuah kesempatan yang tak terduga, namun ia melihat ini sebagai awal dari lembaran baru. Hari pertamanya di kantor itu, ia mengenakan pakaian yang ra
Karina duduk di atas sofa kecil di sudut apartemennya, menatap layar ponsel yang kini gelap. Pesan terakhir itu masih terngiang di kepalanya. Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur. Siapa pun pengirimnya, orang itu jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi kenapa dia diancam? Dan kenapa sekarang, saat ia mencoba bangkit dari keterpurukan?Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang mulai sedikit membesar. “Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu kita,” gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia usir begitu saja.Alicia berdiri di depan cermin besar di kamar utama, membiarkan jari-jarinya menyusuri permukaan kulit wajahnya yang mulus. Wajah itu sempurna, dan ia tahu itu. Setiap sudutnya dipoles dengan hati-hati oleh tim profesional yang ia bayar mahal. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya malam itu. Sesuatu tentang Adrian.P
Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan. Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya. “Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?” Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita p
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Sore itu, hujan deras mengguyur kota. Karina duduk di sofa kecil di apartemennya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Suara rintik hujan yang menghantam kaca seolah menyuarakan kekacauan di hatinya. Semua yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Pikiran Karina terus melayang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Adrian, Alicia, bayi yang tengah tumbuh di rahimnya, dan semua rahasia yang seolah saling bertumpuk di sekitarnya. Dia ingin marah, ingin menangis, tapi tak ada gunanya. Semua ini sudah terjadi, dan dia hanya bisa mencari cara untuk bertahan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Karina menoleh, alisnya sedikit berkerut. Siapa yang datang di tengah hujan seperti ini? Dia bangkit perlahan dan membuka pintu, menemukan Adrian berdiri di sana, basah kuyup dengan tumpukan dokumen di tangannya.“Apa kamu selalu suka muncul tiba-tiba?” tanya Karina, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ada sesuatu tentang pria in
Karina memandang koper di sudut ruangan. Koper itu sudah ada di sana selama tiga hari terakhir, penuh dengan pakaian dan barang-barang pentingnya. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk pergi. Meninggalkan semua kekacauan ini. Tapi ia tahu, pergi bukan lagi pilihan. Dan bertahan? Itu juga sama mustahilnya. Ruang sempit apartemennya terasa makin mencekik. Karina menghela napas panjang, berusaha menenangkan kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran. Di meja kecil di depannya, surat panggilan pengadilan dari pengacara Alicia tergeletak. Kata-kata di atas kertas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya. Alicia. Wanita itu. Karina menggigit bibir, mencoba menahan amarah sekaligus rasa tak berdaya yang terus menguar. Bagaimana bisa wanita seperti itu mengajukan tuntutan hukum untuk hak asuh anak yang bahkan tidak ia kandung? Sial. Karina meremas surat itu lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergetar, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk
Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g
Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud