Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis.
Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kuduknya meremang. --- Pagi berikutnya, Karina memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya di kantor. Ia tahu, mengalihkan perhatian adalah cara terbaik untuk menjaga pikirannya tetap waras. Namun, saat ia membuka pintu kantornya, sebuah amplop tanpa nama tergeletak di mejanya. Karina mengambil amplop itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Di dalamnya, terdapat foto dirinya bersama Vera di masa kecil. Keduanya berdiri di depan rumah tua yang ada dalam mimpinya. Jantung Karina berdegup kencang. “Apa ini ... maksudnya apa?” gumamnya, tangannya bergetar. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara Adrian memanggil dari pintu. “Nona Karina, Anda bisa ke ruangan saya sebentar?” Karina cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke dalam laci mejanya. “Tentu, Pak. Ada apa?” “Jonathan akan datang untuk membahas proyek merger. Saya ingin Anda membantu mencatat poin-poin penting selama diskusi.” Karina mengangguk, meski pikirannya masih terpaku pada foto tadi. “Baik, Pak. Saya akan segera ke ruangan Anda.” --- Di ruang rapat, Jonathan sudah menunggu. Pria itu tampak elegan dengan jas mahalnya, tapi sorot matanya dingin dan penuh perhitungan. Karina langsung merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Jonathan menyambut Adrian dengan senyum tipis. “Adrian, selalu sibuk seperti biasa, ya?” Adrian duduk di ujung meja, memandang sepupunya dengan tatapan datar. “Kamu juga, Jonathan. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” Pertemuan berlangsung cukup lama, dengan Jonathan terus mencoba menggiring pembicaraan ke arah yang menguntungkan dirinya. Karina mencatat setiap poin dengan saksama, tapi ia tak bisa mengabaikan perasaan bahwa Jonathan terus mencuri pandang ke arahnya. Ketika rapat berakhir, Jonathan mendekati Karina. “Nona Karina, ya?” Karina tersenyum sopan. “Iya, Pak Jonathan. Ada yang bisa saya bantu?” Jonathan mengangguk pelan, matanya memperhatikan wajah Karina dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman. “Anda kelihatan sangat ... berdedikasi. Saya yakin Adrian beruntung memiliki pegawai seperti Anda.” Karina hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus berkata apa. Adrian yang melihat interaksi mereka langsung berkata dengan nada tegas, “Jonathan, kalau tidak ada hal lain, kita sudahi dulu pembicaraan hari ini.” Jonathan mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Tentu. Sampai jumpa lagi, Nona Karina.” Setelah Jonathan pergi, Adrian menatap Karina dengan pandangan serius. “Apa dia mengatakan sesuatu yang tidak pantas?” Karina menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Dia hanya ... basa-basi.” Adrian tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk tidak memaksakan diri. “Kalau ada sesuatu yang mengganggu Anda, beri tahu saya.” Karina mengangguk, meski dalam hati ia masih merasa bingung dengan sikap Jonathan. --- Malamnya, Karina tidak bisa berhenti memikirkan foto yang ia temukan pagi tadi. Ia mengambilnya dari laci meja, memperhatikan setiap detailnya. Ia ingat hari itu, meski samar. Itu adalah salah satu momen langka ketika ia dan Vera bermain bersama di rumah seorang kerabat. Namun, ada sesuatu yang ganjil. Mengapa Vera tidak pernah menyebutkan tentang foto ini? Dan kenapa ia tiba-tiba merasa ada rahasia besar yang disembunyikan darinya? Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang rumah tua itu. Menggunakan petunjuk samar dari mimpinya, ia mencari informasi di internet, mencoba menghubungkan ingatannya dengan fakta-fakta yang ada. Ketika ia akhirnya menemukan alamat rumah itu, sebuah nama muncul di layar komputer yang membuatnya terkejut. Rumah itu pernah dimiliki oleh keluarga ibunya. --- Sementara itu, di rumah Adrian, Alicia sedang berbicara dengan Jonathan melalui telepon. “Dia hamil,” ujar Jonathan dengan nada penuh kemenangan. Alicia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Apa maksudmu?” “Karina. Pegawai baru Adrian. Dia sedang mengandung anaknya.” Alicia meremas gagang telepon, wajahnya berubah pucat. “Kamu serius? Jadi, mereka selingkuh di belakangku? Aku tidak akan membiarkan ini!” “Serius sekali. Kamu harus tetap tenang dan berpura-pura tidak tahu, ini bisa menjadi senjata yang sangat berguna untuk menjatuhkan Adrian.” Alicia menghela napas berat. “Apa rencanamu?” Jonathan tersenyum di ujung telepon, meski Alicia tidak bisa melihatnya. “Tenang saja. Aku akan membuat semuanya terlihat alami. Adrian tidak akan tahu apa yang menimpanya.” --- Keesokan harinya, Karina memutuskan untuk mengunjungi rumah tua itu. Ia mengambil cuti setengah hari, memberitahu Adrian bahwa ia ada urusan mendesak. Rumah tua itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi pohon-pohon besar yang tampak angker. Ketika Karina sampai di depan gerbangnya, ia merasa seperti kembali ke masa kecil. Ia melangkah masuk, pintu kayu tua berderit saat ia membukanya. Di dalam, ruangan itu dipenuhi dengan debu dan aroma kayu yang lapuk. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kotak kayu kecil tergeletak di sudut ruangan. Karina mengambil kotak itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Di dalamnya, terdapat beberapa surat dan foto lama. Salah satu surat itu ditulis oleh ibunya, berbicara tentang seorang anak yang dititipkan kepada keluarga lain. Karina membaca surat itu dengan tangan gemetar. Air matanya mulai mengalir saat ia menyadari kebenaran yang selama ini tersembunyi. “Vera ... dia ... dia saudara kandungku?” --- Namun, sebelum Karina sempat mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Karina segera menyembunyikan surat-surat itu ke dalam tasnya, jantungnya berdegup kencang. Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria masuk. Jonathan. “Ah, Karina. Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujarnya dengan senyum licik. Karina mundur beberapa langkah, merasa terjebak. “Apa yang Anda lakukan di sini?” Jonathan melangkah lebih dekat, matanya memandang Karina dengan intensitas yang membuatnya merasa terancam. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu di mana posisimu.” Karina mengangkat dagunya, mencoba terlihat tegar meski hatinya penuh ketakutan. “Apa maksud Anda?” Jonathan tertawa kecil. “Kamu pikir Adrian akan peduli padamu? Dia hanya memanfaatkan mu. Dan ketika kamu tidak berguna lagi, dia akan membuang mu.” Kata-kata itu menusuk hati Karina, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. “Kalau Anda tidak punya alasan lain untuk ada di sini, lebih baik Anda pergi.” Jonathan mendekat, suaranya menjadi lebih dingin. “Jangan bermain-main denganku, Karina. Aku tahu segalanya tentangmu. Tentang kehamilanmu. Dan aku akan memastikan itu menjadi akhir bagi Adrian.” Karina membeku, matanya membelalak. “Apa hubungan kehamilanku dengan Pak Adrian?” Jonathan tersenyum puas. "Tentu saja ada hubungannya! Karena anak itu adalah anak Adrian! Dan aku akan menggunakan itu untuk menjatuhkannya. Jadi, kalau aku jadi kamu, aku akan mulai berpikir keras siapa yang sebenarnya bisa kamu percayai.” Sebelum Karina sempat menjawab, Jonathan melangkah keluar, meninggalkannya dalam keheningan yang penuh ketakutan. To Be Continued...Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa
Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g
Karina memandang koper di sudut ruangan. Koper itu sudah ada di sana selama tiga hari terakhir, penuh dengan pakaian dan barang-barang pentingnya. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk pergi. Meninggalkan semua kekacauan ini. Tapi ia tahu, pergi bukan lagi pilihan. Dan bertahan? Itu juga sama mustahilnya. Ruang sempit apartemennya terasa makin mencekik. Karina menghela napas panjang, berusaha menenangkan kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran. Di meja kecil di depannya, surat panggilan pengadilan dari pengacara Alicia tergeletak. Kata-kata di atas kertas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya. Alicia. Wanita itu. Karina menggigit bibir, mencoba menahan amarah sekaligus rasa tak berdaya yang terus menguar. Bagaimana bisa wanita seperti itu mengajukan tuntutan hukum untuk hak asuh anak yang bahkan tidak ia kandung? Sial. Karina meremas surat itu lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergetar, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk
Sore itu, hujan deras mengguyur kota. Karina duduk di sofa kecil di apartemennya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Suara rintik hujan yang menghantam kaca seolah menyuarakan kekacauan di hatinya. Semua yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Pikiran Karina terus melayang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Adrian, Alicia, bayi yang tengah tumbuh di rahimnya, dan semua rahasia yang seolah saling bertumpuk di sekitarnya. Dia ingin marah, ingin menangis, tapi tak ada gunanya. Semua ini sudah terjadi, dan dia hanya bisa mencari cara untuk bertahan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Karina menoleh, alisnya sedikit berkerut. Siapa yang datang di tengah hujan seperti ini? Dia bangkit perlahan dan membuka pintu, menemukan Adrian berdiri di sana, basah kuyup dengan tumpukan dokumen di tangannya.“Apa kamu selalu suka muncul tiba-tiba?” tanya Karina, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ada sesuatu tentang pria in
Adrian menghela napas berat setelah telepon itu terputus. Wajahnya yang tadi tenang kini berubah tegang. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di sebelahnya.“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Karina, yang kini berdiri di sampingnya. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran.Adrian menoleh, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Aku tidak tahu siapa,” ucapnya singkat. “Tapi orang itu sempat menyebut nama Jonathan, sayangnya sebelum dia sempat jelasin, sinyalnya terputus.”Karina mengerutkan kening. "Ada apa lagi dengan Jonathan?"“Aku juga nggak tahu,” jawab Adrian sambil menekan tombol panggil ulang di ponselnya. Tapi telepon itu ternyata tidak tersambung. Adrian memijat pelipisnya, jelas sekali ia merasa frustrasi.“Kamu yakin ini soal Jonathan? Mungkin dia cuma bikin drama lagi? Terlebih kan sekarang dia sudah ditahan?” tanya Karina, mencoba meringankan suasana. Tapi dalam hatinya, ia pun tidak bisa menyangkal kal
Pikirannya kembali pada ancaman Jonathan. Meskipun ia ingin mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini belum selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada." Dan di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, seseorang berdiri, memperhatikan apartemen Karina dengan tatapan yang sulit dijelaskan.---Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh gejolak. Kemenangan memang sudah di depan mata, tapi apa artinya jika ia terus merasa tidak tenang? Jonathan jelas bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dia licik, manipulatif, dan lebih dari segalanya, ambisius. Adrian tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat posisinya hancur. Namun pikirannya segera teralihkan oleh suara dari belakang. Langkah kaki kecil yang pelan tapi jelas mendekat. “Adrian?” Suara lembut Karina memanggilnya. Adrian berbalik, mendapati Karina berd
Adrian masih duduk di kursinya, tatapannya kosong menatap dokumen-dokumen di atas meja. Kata-kata Alicia terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa lelah yang kian menumpuk. Tapi otaknya tak mau berhenti bekerja. "Kalau ini benar ...." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia mengangkat telepon di mejanya, jarinya mengetik nomor seseorang yang sudah dihafalnya luar kepala. "Halo?" suara pria di seberang terdengar tegas. "Kita harus bicara. Sekarang," ujar Adrian, singkat tapi penuh tekanan. "Ada apa lagi? Apa kau ingin menyerah?" "Kalau kau penasaran, datanglah!"Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih serius. "Oke, aku datang." ---Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Adrian terbuka. Jonathan, sepupunya, melangkah masuk dengan senyum kecil di wajahnya. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Adrian semak
Alicia masih berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Ponselnya yang tadi dilempar ke tempat tidur kini bergetar lagi, mengganggu kesunyian ruangan. Kali ini dia tidak berniat untuk mengecek pesan itu lagi. Dia sudah tahu siapa pengirimnya—Jonathan. Ancaman yang dia terima tadi masih terngiang jelas di pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Alicia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris seperti bisikan. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil koper besar yang sudah lama tidak ia sentuh. Tangannya gemetar saat membuka resleting koper itu, namun kali ini ia sudah memutuskan. Sementara itu, di ruang kerja besar Adrian yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kerja kayu mahoni yang kokoh, Karina duduk di depan Adrian dengan ekspresi serius. Di tangannya, ada tumpukan dokumen yang baru saja ia serahkan pada pria itu. "Ini semua bukti yang kita punya," ucap Karina, suaranya tegas. "Aku udah cek semua
Karina masih berdiri di depan ruangan, menatap Kakek Adrian yang baru saja mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh ruangan membisu. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya lagi, perlahan, dengan nada penuh wibawa. Adrian duduk dengan tenang, meski matanya tak lepas dari Karina. Di sebelahnya, Jonathan tampak gelisah, tangannya mengepal di atas meja, seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri di sudut, wajahnya kaku dan pucat, seperti menyadari bahwa ini adalah titik balik dari semuanya."Karina," suara Kakek Adrian memecahkan keheningan. "Presentasimu meyakinkan. Aku suka caramu berpikir. Kau memiliki visi yang jelas tentang masa depan perusahaan ini. Tapi ..." Suaranya menggantung, membuat udara di ruangan semakin tegang.Karina menghela napas pelan. Ia tahu, ini belum selesai."Aku ingin waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh," lanjut Kakek Adrian. "Tapi aku mengapresiasi usahamu. Adrian, Jonathan, aku ingin kalian tetap profesional. Ki
Langkah Adrian dan Karina terhenti di depan pintu ruang baca. Karina menggenggam tasnya erat-erat, perasaan gugup merayap di tubuhnya. Ia tahu betul bahwa ini adalah momen besar yang akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk Adrian, tapi juga untuk Reyna, anak yang kini menjadi pusat dunia barunya.Adrian melirik Karina sekilas, lalu berkata pelan, "Tenang saja. Aku ada di sini."Karina hanya mengangguk kecil. Tapi sebelum Adrian sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Jonathan muncul. Wajah datarnya tak mampu menyembunyikan sorot mata penuh kewaspadaan."Oh, kalian di sini?" katanya dingin, matanya bergantian menatap Adrian dan Karina. "Aku rasa aku tahu apa yang kalian bawa."Adrian berdiri tegap, tak menghindari tatapan Jonathan sama sekali. "Bagus kalau begitu," jawabnya dengan nada datar yang tak kalah tajam. "Kita nggak perlu basa-basi."Jonathan tertawa kecil, seperti mengejek. "Kau memang selalu terburu-buru, Adrian. Tapi jangan lupa, Kakek tak
Alicia menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan napasnya yang tidak beraturan. Suara sirene polisi semakin mendekat, membuat pikirannya kacau. Dia tahu, waktunya hampir habis. Jonathan semakin mendesaknya, dan Adrian ... Adrian selalu satu langkah di depan, membuatnya semakin terpojok.“Kamu harus memutuskan, Alicia,” gumamnya sendiri. Tapi apa yang harus dia lakukan? Dia terlalu dalam terlibat dengan Jonathan, dan jika Adrian tahu segalanya, hidupnya akan hancur.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Adrian berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Jonathan yang baru saja melangkah masuk. Di belakang Jonathan, dua pria bertubuh kekar mengikutinya, memberi kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar obrolan biasa.Jonathan melirik sekilas ke arah Adrian, lalu tersenyum kecil. "Jadi, kamu benar-benar memanggilku ke sini, Adrian. Aku harus bilang, ini cukup berani. Atau bodoh?"Adrian tidak menanggapi ejekan itu. Dia hanya melangkah maju, jaraknya ki
Di ujung lain kota, Adrian menatap Karina dengan tatapan serius. "Kita harus melakukannya malam ini. Kalau tidak, kita mungkin kehilangan kesempatan ini selamanya."Karina mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Ia tahu apa yang mereka hadapi berbahaya, tapi ia tidak punya pilihan. Demi anaknya, ia harus berani. Keselamatan Reyna adalah taruhannya.Karina duduk di sofa kecil ruang apartemennya, menggenggam tangan Adrian yang terasa dingin. Malam itu begitu sunyi, seolah dunia di luar hanya menunggu sesuatu meledak. "Aku nggak bisa terus begini, Adrian," kata Karina akhirnya, memecah keheningan. Suaranya gemetar, tapi matanya menunjukkan tekad. "Jonathan itu licik. Kalau kita terus nunda, dia bisa selangkah lebih maju dan menghancurkan semuanya."Adrian menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak sebelum membukanya kembali. Tatapan dinginnya malam itu sedikit melunak. "Aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa gegabah. Apa yang kita rencanakan ini nggak cuma soal aku atau kam
Langit mendung sore itu seakan menjadi pertanda buruk. Karina duduk di sofa apartemennya, mengayun pelan-pelan kursi bayi yang berdiri di sampingnya. Bayi kecil itu, Reynata, buah hatinya, terlelap dengan wajah tenang. Perempuan kecil itu adalah segalanya bagi Karina. Namun, hatinya justru dipenuhi kecemasan—gelisah oleh amplop yang beberapa hari terakhir tersimpan di laci meja ruang tamunya, membara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Pintu apartemen tiba-tiba diketuk keras. Karina terlonjak. Siapa yang datang di jam seperti ini?Ia menoleh ke arah pintu, napasnya tertahan. "Siapa?" tanyanya dengan suara setenang mungkin, meskipun hatinya diliputi kecemasan."Karina, ini aku," suara Adrian terdengar dari luar.Karina menarik napas lega. Ia bangkit, membuka pintu, dan mendapati Adrian berdiri di sana dengan wajah tegang. Tanpa menunggu undangan, Adrian masuk begitu saja."Ada apa, Adrian?" Karina bertanya, bingung melihat ekspresi gelisah di wajahnya.Adrian menghela napas