Beranda / Romansa / Terpaksa Jadi Ibu Surogasi / Kedatangan Vera di Kantor

Share

Kedatangan Vera di Kantor

Penulis: Merry
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-09 03:09:03

Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan.  

Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan.  

Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya.  

“Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?”  

Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”  

Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita presentasikan sore ini. Saya ingin Anda yang membawakannya.”  

Karina tertegun. “Saya, Pak? Tapi biasanya ... biasanya Bapak yang ....”  

Adrian menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, pandangannya tetap pada Karina. “Anggap ini kesempatan. Saya ingin melihat bagaimana Anda menangani tugas ini. Saya yakin Anda bisa.”  

Karina menerima berkas itu dengan tangan sedikit gemetar. “Baik, Pak. Saya akan berusaha.”  

Adrian mengangguk, lalu berbalik hendak pergi. Tapi sebelum mencapai pintu, ia berhenti sejenak. “Oh, satu lagi.”  

Karina mendongak, menunggu kata-katanya.  

“Pastikan Anda percaya diri. Tidak ada ruang untuk ragu di ruangan nanti.”  

Senyum kecil Adrian membuat jantung Karina berdebar. “Baik, Pak.”  

---

Siang itu, Karina memanfaatkan waktu istirahat untuk mempersiapkan presentasinya. Ia duduk di kantin kantor dengan laptop di depannya, mencoba mempelajari dokumen yang Adrian berikan.  

Saat ia tenggelam dalam pekerjaannya, suara familiar membuatnya menoleh. “Karina!”  

Karina membeku sejenak sebelum mengenali sosok itu. Vera.  

Vera melangkah mendekat dengan senyum lebar, terlihat begitu ramah seperti dulu. “Apa kabar? Lama banget kita nggak ketemu.”  

Karina menutup laptopnya perlahan, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman. “Vera ... apa yang kamu lakukan di sini?”  

“Oh, aku kebetulan lewat daerah sini. Aku dengar kamu sekarang kerja di perusahaan besar. Keren banget.”  

Karina hanya tersenyum tipis. “Iya, begitulah.”  

Tanpa menunggu undangan, Vera duduk di depan Karina, matanya memperhatikan Karina dengan cermat. “Aku tahu hubungan kita belakangan ini ... ya, nggak bagus. Tapi aku pengen kita baikan. Aku kangen sama kamu.”  

Karina menatap Vera, mencoba membaca maksud di balik senyum itu. “Vera, aku ... nggak tahu. Aku butuh waktu.”  

Vera mengangguk, wajahnya menunjukkan rasa penyesalan. “Aku ngerti. Aku cuma pengen kita mulai dari awal lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat.”  

Karina merasa ada yang janggal. Tapi ia juga tidak ingin menimbulkan konflik. “Aku pikir-pikir dulu, ya?”  

Vera tersenyum, meski ada kilatan licik di matanya yang Karina hampir tidak sadari. “Tentu. Aku tunggu kapan pun kamu siap.”  

---

Di ruangannya, Adrian sedang memeriksa laporan di layar komputernya ketika ponselnya berbunyi. Pesan dari Alicia muncul di layar:  

Alicia : Apa kita bisa bicara malam ini?_

Adrian menatap pesan itu dengan ekspresi datar. Hubungannya dengan Alicia semakin jauh, seperti jurang yang tak lagi bisa dijembatani. Tapi, ia tahu percakapan ini tak akan membawa hasil yang baik.  

Ia mengabaikan pesan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” katanya tanpa mengangkat kepala.  

Karina masuk, membawa berkas yang tadi Adrian berikan. “Pak, saya mau konfirmasi beberapa poin di laporan ini.”  

Adrian menatapnya, lalu melipat tangannya di dada. “Apa yang Anda temukan?”  

Karina duduk dengan hati-hati, membuka berkasnya. “Angka di halaman ini berbeda dari laporan sebelumnya. Saya hanya ingin memastikan apakah ini bukan kesalahan.”  

Adrian mengangguk pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Anda jeli, Nona Karina. Itu memang perubahan yang saya buat. Saya sengaja tidak memberitahu, ingin melihat apakah Anda memperhatikan.”  

Karina tertegun. “Jadi ... ini semacam ujian?”  

“Anggap saja begitu. Dan Anda lulus.”  

Karina merasa sedikit lega. Ia menghela napas, lalu tersenyum. “Terima kasih, Pak.”  

Adrian memperhatikan senyumnya. Ada sesuatu tentang Karina yang berbeda dari orang lain di kantor ini. Ia sendiri tidak yakin apa, tapi ia merasa ada koneksi yang sulit ia abaikan.  

“Anda sudah siap untuk presentasi nanti?” tanya Adrian, mengubah topik pembicaraan.  

“Saya akan berusaha, Pak. Meski sejujurnya saya sedikit gugup.”  

“Tidak perlu gugup. Anda mampu. Percaya pada diri sendiri.”  

Kata-kata Adrian membuat Karina merasa lebih percaya diri. Ia mengangguk mantap. “Baik, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik.”  

---

Rapat sore itu berjalan lancar. Meski awalnya gugup, Karina berhasil mempresentasikan laporannya dengan baik. Ia menjelaskan dengan jelas dan percaya diri, bahkan berhasil menjawab beberapa pertanyaan sulit dari peserta rapat.  

Adrian yang duduk di ujung meja, tersenyum kecil melihat performa Karina.  

Setelah rapat selesai, Adrian menghampiri Karina yang sedang merapikan dokumen di meja. “Kerja bagus. Saya tidak salah memilih Anda untuk tugas ini.”  

Karina tersenyum lega. “Terima kasih, Pak. Itu berarti banyak buat saya.”  

Adrian mengangguk, lalu melangkah pergi. Tapi di dalam hatinya, ia merasa semakin penasaran dengan Karina.  

---

Malam harinya, Adrian pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Alicia sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan gaun tidur satin yang elegan.  

“Apa kita bisa bicara sekarang?” tanyanya dengan nada tegas.  

Adrian mendesah, lalu duduk di sofa. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”  

“Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Adrian. Dan aku nggak akan berhenti sampai aku tahu apa itu.”  

“Alicia, kamu terlalu paranoid. Tidak ada yang aku sembunyikan,” jawab Adrian dengan nada datar.  

“Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu berubah.”  

Adrian berdiri, tidak ingin memperpanjang argumen ini. “Aku capek. Kita bicara besok.”  

Namun, Alicia tidak menyerah. “Kalau kamu nggak mau jujur, aku akan cari tahu sendiri.”  

Adrian tidak menanggapi. Ia melangkah ke kamar, meninggalkan Alicia dengan rasa frustrasi yang membara.  

---

Sementara itu, Karina sedang menikmati secangkir teh di apartemennya. Ia mencoba menenangkan pikirannya setelah hari yang panjang. Namun, sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuat tubuhnya menegang.  

Anonim : Aku sudah dekat.

Karina merasa darahnya membeku. Pesan-pesan ini terus datang dari nomor yang tidak ia kenal. Ia memandang sekeliling apartemennya, merasa seperti diawasi.  

Dengan cepat, ia mengunci semua pintu dan jendela, mencoba menenangkan dirinya. Tapi ketakutannya tidak mudah hilang.  

Di luar apartemennya, Vera berdiri di bawah bayang-bayang gedung, memandang ke arah jendela Karina dengan senyum kecil di wajahnya.  

“Kita lihat, Karina. Sampai kapan kamu bisa bertahan,” gumamnya sebelum berbalik pergi.  

To Be Continued...

Bab terkait

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jonathan Tahu Semua?

    Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Identitas Vera 

    Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Menemui Vera 

    Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Status Kehamilan Karina

    Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jarak yang Kian Menganga

    Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Pergi untuk Bertahan

    Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Perjuangan dalam Sunyi

    Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jebakan dan Pengkhianatan

    Karina memandang koper di sudut ruangan. Koper itu sudah ada di sana selama tiga hari terakhir, penuh dengan pakaian dan barang-barang pentingnya. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk pergi. Meninggalkan semua kekacauan ini. Tapi ia tahu, pergi bukan lagi pilihan. Dan bertahan? Itu juga sama mustahilnya. Ruang sempit apartemennya terasa makin mencekik. Karina menghela napas panjang, berusaha menenangkan kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran. Di meja kecil di depannya, surat panggilan pengadilan dari pengacara Alicia tergeletak. Kata-kata di atas kertas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya. Alicia. Wanita itu. Karina menggigit bibir, mencoba menahan amarah sekaligus rasa tak berdaya yang terus menguar. Bagaimana bisa wanita seperti itu mengajukan tuntutan hukum untuk hak asuh anak yang bahkan tidak ia kandung? Sial. Karina meremas surat itu lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergetar, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Rahasia yang Mulai Terungkap

    Sore itu, hujan deras mengguyur kota. Karina duduk di sofa kecil di apartemennya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Suara rintik hujan yang menghantam kaca seolah menyuarakan kekacauan di hatinya. Semua yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Pikiran Karina terus melayang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Adrian, Alicia, bayi yang tengah tumbuh di rahimnya, dan semua rahasia yang seolah saling bertumpuk di sekitarnya. Dia ingin marah, ingin menangis, tapi tak ada gunanya. Semua ini sudah terjadi, dan dia hanya bisa mencari cara untuk bertahan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Karina menoleh, alisnya sedikit berkerut. Siapa yang datang di tengah hujan seperti ini? Dia bangkit perlahan dan membuka pintu, menemukan Adrian berdiri di sana, basah kuyup dengan tumpukan dokumen di tangannya.“Apa kamu selalu suka muncul tiba-tiba?” tanya Karina, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ada sesuatu tentang pria in

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jebakan dan Pengkhianatan

    Karina memandang koper di sudut ruangan. Koper itu sudah ada di sana selama tiga hari terakhir, penuh dengan pakaian dan barang-barang pentingnya. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk pergi. Meninggalkan semua kekacauan ini. Tapi ia tahu, pergi bukan lagi pilihan. Dan bertahan? Itu juga sama mustahilnya. Ruang sempit apartemennya terasa makin mencekik. Karina menghela napas panjang, berusaha menenangkan kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran. Di meja kecil di depannya, surat panggilan pengadilan dari pengacara Alicia tergeletak. Kata-kata di atas kertas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya. Alicia. Wanita itu. Karina menggigit bibir, mencoba menahan amarah sekaligus rasa tak berdaya yang terus menguar. Bagaimana bisa wanita seperti itu mengajukan tuntutan hukum untuk hak asuh anak yang bahkan tidak ia kandung? Sial. Karina meremas surat itu lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergetar, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Perjuangan dalam Sunyi

    Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Pergi untuk Bertahan

    Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jarak yang Kian Menganga

    Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Status Kehamilan Karina

    Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Menemui Vera 

    Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Identitas Vera 

    Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jonathan Tahu Semua?

    Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud

DMCA.com Protection Status