Karina duduk di atas sofa kecil di sudut apartemennya, menatap layar ponsel yang kini gelap. Pesan terakhir itu masih terngiang di kepalanya. Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur. Siapa pun pengirimnya, orang itu jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi kenapa dia diancam? Dan kenapa sekarang, saat ia mencoba bangkit dari keterpurukan?
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang mulai sedikit membesar. “Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu kita,” gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri. Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia usir begitu saja. Alicia berdiri di depan cermin besar di kamar utama, membiarkan jari-jarinya menyusuri permukaan kulit wajahnya yang mulus. Wajah itu sempurna, dan ia tahu itu. Setiap sudutnya dipoles dengan hati-hati oleh tim profesional yang ia bayar mahal. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya malam itu. Sesuatu tentang Adrian. Pria itu telah berubah. Sudah berhari-hari mereka hampir tidak berbicara, kecuali basa-basi singkat saat mereka bertemu di meja makan atau di pintu. Adrian selalu sibuk, atau itulah yang selalu ia katakan. Namun, Alicia bukan orang bodoh. Ia tahu ketika seorang pria mulai menjauh. “Dia nggak mungkin punya waktu untuk orang lain,” gumamnya sambil melipat kedua lengannya di dada. Namun, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin besar rasa curiganya. Pria seperti Adrian, yang keras kepala dan ambisius, tidak akan berubah tanpa alasan. Ia memalingkan wajahnya dari cermin dan berjalan menuju pintu kamar. --- Adrian duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang penuh dengan angka dan laporan. Ia menghela napas panjang, merasa beban itu semakin berat. Di luar pintu, ia mendengar langkah kaki Alicia. Perempuan itu sudah beberapa kali mondar-mandir malam ini, seperti mencari alasan untuk mendekatinya. Ketukan lembut di pintu memecah lamunannya. “Adrian, kamu masih sibuk?” Adrian menutup layar komputernya dengan satu klik cepat sebelum menjawab, “Iya, ada beberapa laporan yang harus aku selesaikan.” Pintu terbuka, memperlihatkan Alicia dengan gaun satin biru yang mengalir indah di tubuhnya. “Kamu nggak pernah punya waktu lagi untuk aku. Apa ada sesuatu yang aku nggak tahu?” Adrian menatapnya sebentar, mencoba menilai apa maksud pertanyaannya. “Aku cuma sibuk, Alicia. Perusahaan ini nggak jalan sendiri.” “Aku ngerti kamu sibuk,” jawabnya sambil berjalan mendekat. “Tapi aku bukan orang asing, Adrian. Aku ini istrimu.” Nada suaranya menyiratkan rasa tidak puas, tapi Adrian memilih untuk tidak merespon. Ia sudah tahu ke mana arah percakapan ini akan berakhir. “Kamu menghindar dariku,” lanjut Alicia, matanya menatap Adrian penuh selidik. “Apa ada orang lain?” Adrian mendongak dengan alis terangkat. “Kamu serius? Alicia, aku nggak punya waktu untuk drama ini.” “Ini bukan drama. Aku tahu kamu berubah.” Adrian berdiri, melangkah ke sisi meja kerjanya. Ia mendekat, suaranya menjadi lebih tenang, tapi dingin. “Aku nggak berubah. Kamu yang terlalu sibuk mencari kesalahan.” Tatapan mereka bertemu, tapi hanya sesaat sebelum Adrian berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Alicia sendirian. Di belakang pintu tertutup, Alicia mengepalkan tangannya. Apa pun yang sedang terjadi, ia bertekad untuk mencari tahu. --- Sementara itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota, Vera duduk di depan Daniel. Pria itu tampak gelisah, matanya terus melirik pintu masuk seolah takut ada yang melihat mereka. Namun, Vera tampak santai, bahkan sedikit menikmati situasi ini. “Kamu nggak perlu setegang itu,” ujar Vera sambil menyeruput cappuccino-nya. “Nggak ada yang peduli kita di sini.” Daniel menggeleng. “Kamu nggak ngerti. Kalau Karina tahu—” “Karina?” Vera tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. “Dia bahkan nggak mau lihat muka kamu lagi. Percayalah, aku lebih tahu dia daripada kamu.” Daniel menunduk, merasa kata-kata Vera seperti tamparan. Ia tahu ia salah, tapi rasa bersalah itu tidak mengubah apa pun. “Aku cuma nggak ngerti, Vera. Kenapa kamu harus hancurin hubungan kami? Aku pikir kamu temannya.” “Teman?” Vera mendengus, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu nggak tahu cerita lengkapnya, Daniel.” Daniel mengerutkan kening, kebingungan. “Apa maksudmu?” Vera menatapnya, senyumnya memudar. Untuk sesaat, ada bayangan luka di matanya, tapi ia segera menyembunyikannya. “Karina itu terlihat sempurna karena apa yang ia miliki. Dia selalu dapat yang terbaik. Kehidupan yang sempurna. Orang tua yang mencintainya. Kesempatan yang aku nggak pernah punya.” Daniel terdiam. Ada kepahitan dalam suara Vera yang membuatnya merasa lebih tidak nyaman. “Jadi, ini soal iri?” tanyanya akhirnya. “Ini soal keadilan,” jawab Vera dengan suara pelan tapi tegas. “Karina udah punya segalanya. Dan aku? Aku cuma figuran di hidupnya. Jadi, aku ambil sesuatu darinya. Sesuatu yang penting.” Daniel terdiam lama, menyadari bahwa ia telah menjadi bagian dari rencana Vera yang jauh lebih dalam dari yang ia kira. --- Kembali ke kantor, Karina sedang memindahkan dokumen dari satu meja ke meja lain saat ia mendengar suara Adrian memanggilnya. “Nona Karina, Anda punya waktu sebentar?” Karina mengangguk, mengikuti Adrian ke ruangannya. Ia merasa jantungnya berdebar setiap kali berada di dekat pria itu, tapi ia mencoba tetap tenang. Di dalam ruangannya, Adrian menatap Karina dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia tampak ragu. “Ada apa, Pak?” Karina memecah keheningan. Adrian mendesah, kemudian duduk di kursi kerjanya. “Saya cuma ingin memastikan, Anda merasa nyaman bekerja di sini?” Pertanyaannya terdengar sederhana, tapi cara ia mengucapkannya membuat Karina bingung. “Tentu, Pak. Kenapa Bapak tanya begitu?” Adrian mengangguk pelan, lalu menatapnya lagi. “Nggak ada alasan khusus. Saya cuma ingin tahu.” Keheningan kembali mengisi ruangan. Karina merasa aneh dengan sikap Adrian malam itu, tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. “Saya harap Anda bisa tetap fokus. Proyek ini penting,” tambah Adrian sebelum Karina pergi. Karina hanya mengangguk, merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, tapi ia tidak tahu apa. --- Malam harinya, saat Adrian tiba di rumah, ia mendapati Alicia duduk di ruang tamu, menunggu. Wajahnya menunjukkan bahwa ia belum selesai dengan percakapan mereka sebelumnya. “Kita harus bicara,” ujarnya tegas. Adrian menghela napas. “Alicia, aku capek. Kita bisa bahas ini besok.” “Tidak. Kita bahas sekarang.” Alicia berdiri, mendekatinya. “Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Adrian. Jadi, katakan padaku sekarang.” Adrian menatapnya, rasa lelah bercampur dengan frustrasi. “Aku nggak sembunyikan apa-apa. Ini cuma imajinasi kamu.” Alicia mendekat, matanya tajam. “Imajinasi? Kalau begitu, kenapa kamu terlihat … berbeda? Kenapa kamu menghindar dariku?” Adrian terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Alicia melanjutkan, “Apa kamu tertarik pada orang lain di kantor?” Pertanyaan itu membuat Adrian terkejut, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Kamu berlebihan, Alicia.” “Jawab aku,” desak Alicia. “Apa aku harus cari tahu sendiri?” Adrian tidak menjawab, memilih untuk berjalan ke arah tangga. Tapi langkahnya terhenti saat Alicia berkata, “Aku akan cari tahu, Adrian. Dan aku pastikan, siapa pun dia, dia nggak akan menghancurkan pernikahan ini.” Tatapan Adrian menegang, tapi ia tidak menoleh. Ia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Alicia yang masih berdiri dengan penuh kemarahan di ruang tamu. Di balik kemarahan Alicia, ada ketakutan besar—takut kehilangan kendali atas sesuatu yang selalu ia anggap miliknya. --- Sementara itu, di apartemennya, Karina kembali menerima pesan dari nomor yang sama. Kali ini, isinya lebih singkat, tapi lebih mengerikan. “Aku sudah dekat.” Karina merasa tubuhnya dingin. Ia memandang ke sekeliling apartemennya, merasa diawasi. Namun, tidak ada siapa pun. Dengan tangan gemetar, ia mengunci semua pintu dan jendela, mencoba menenangkan dirinya. Namun, di luar sana, seseorang memang sedang memperhatikannya. Vera berdiri di bawah bayang-bayang gedung, tersenyum kecil sambil memandang ke arah apartemen Karina. “Kita lihat, Karina. Seberapa kuat kamu bertahan.”Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan. Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya. “Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?” Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita p
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa
Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g
Sore itu, hujan deras mengguyur kota. Karina duduk di sofa kecil di apartemennya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Suara rintik hujan yang menghantam kaca seolah menyuarakan kekacauan di hatinya. Semua yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Pikiran Karina terus melayang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Adrian, Alicia, bayi yang tengah tumbuh di rahimnya, dan semua rahasia yang seolah saling bertumpuk di sekitarnya. Dia ingin marah, ingin menangis, tapi tak ada gunanya. Semua ini sudah terjadi, dan dia hanya bisa mencari cara untuk bertahan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Karina menoleh, alisnya sedikit berkerut. Siapa yang datang di tengah hujan seperti ini? Dia bangkit perlahan dan membuka pintu, menemukan Adrian berdiri di sana, basah kuyup dengan tumpukan dokumen di tangannya.“Apa kamu selalu suka muncul tiba-tiba?” tanya Karina, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ada sesuatu tentang pria in
Karina memandang koper di sudut ruangan. Koper itu sudah ada di sana selama tiga hari terakhir, penuh dengan pakaian dan barang-barang pentingnya. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk pergi. Meninggalkan semua kekacauan ini. Tapi ia tahu, pergi bukan lagi pilihan. Dan bertahan? Itu juga sama mustahilnya. Ruang sempit apartemennya terasa makin mencekik. Karina menghela napas panjang, berusaha menenangkan kepalanya yang penuh dengan berbagai pikiran. Di meja kecil di depannya, surat panggilan pengadilan dari pengacara Alicia tergeletak. Kata-kata di atas kertas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya bahwa hidupnya kini bukan lagi miliknya. Alicia. Wanita itu. Karina menggigit bibir, mencoba menahan amarah sekaligus rasa tak berdaya yang terus menguar. Bagaimana bisa wanita seperti itu mengajukan tuntutan hukum untuk hak asuh anak yang bahkan tidak ia kandung? Sial. Karina meremas surat itu lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergetar, tapi ia tahu ini bukan waktunya untuk
Malam itu, Karina duduk di tengah apartemennya yang sunyi. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini membuatnya limbung. Hidupnya berubah dalam sekejap, dan ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar. Tapi keputusan apa? Tinggal dan menghadapi semua ini, atau pergi dan memulai semuanya dari awal?Pandangannya tertuju pada koper di sudut ruangan, sudah setengah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Ia menghela napas panjang. “Harusnya aku pergi sejak dulu,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Namun, tepat ketika ia hendak meraih kopernya, ponselnya berbunyi. Kesunyian malam itu pecah oleh suara getarannya. Karina ragu sejenak sebelum mengambilnya dari meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Anonim : Kau tidak akan pernah bisa lari dari kami.Jantung Karina berdegup kencang. Tangannya g
Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud