Karina menatap keluar jendela taksi yang membawanya pulang dari rumah sakit, mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang setelah mendengar kabar dokter. Ia merasakan campuran lega dan cemas, seolah-olah dunia ini memberinya tantangan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan yang tumbuh, anak yang tak pernah ia duga akan hadir, namun sekarang menjadi alasan terbesar baginya untuk bertahan.
Dalam hati, ia memutuskan untuk melanjutkan hidup, mencari pekerjaan, dan menata masa depan yang baru. Ia tahu, ia tidak bisa mengandalkan siapa pun lagi. Daniel dan Vera, orang-orang yang pernah ia percayai sepenuhnya, telah mengkhianati hatinya. Dan kini, hanya dirinya sendiri yang bisa diandalkan. Setelah berminggu-minggu mencari pekerjaan, Karina akhirnya diterima di sebuah perusahaan besar. Sebuah kesempatan yang tak terduga, namun ia melihat ini sebagai awal dari lembaran baru. Hari pertamanya di kantor itu, ia mengenakan pakaian yang rapi, dengan sedikit riasan untuk menutupi kantung mata akibat malam-malam tanpa tidur. Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya; sebaliknya, ia ingin menunjukkan bahwa ia mampu, bahwa ia bisa kembali bangkit meskipun hatinya masih terasa retak. Di tengah kesibukannya mengenali lingkungan kerja baru, seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan tatapan tajam berjalan melintas di depannya. Ia adalah Adrian, pemilik perusahaan. Karina merasakan detak jantungnya berdebar saat mata mereka bertemu sejenak. Ada aura kuat dari pria itu yang tak bisa diabaikan. Ia tampak keras, namun karismatik, dan entah bagaimana, ada daya tarik yang sulit dijelaskan. Adrian berhenti sejenak, memandang Karina dengan tatapan serius, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya tanpa sepatah kata pun. Karina menarik napas dalam, berusaha mengabaikan perasaan yang aneh itu. Di kantor ini, ia hanya ingin bekerja dengan profesional. Hari-hari berlalu, dan interaksi antara Karina dan Adrian mulai meningkat. Adrian kerap memberikan arahan dengan nada suara yang tegas, nyaris tanpa emosi. Namun, ada kalanya Karina merasakan kehangatan yang samar dalam cara Adrian menatapnya, meskipun ia selalu cepat menyembunyikannya di balik sikap dinginnya. Suatu hari, ketika sedang bekerja di meja kerjanya, Karina mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan mendapati Adrian berdiri di sampingnya, dengan ekspresi serius seperti biasa. “Nona Karina, bisa Anda ikut saya ke ruang rapat? Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan tentang proyek ini,” ujarnya dengan nada yang tenang namun memerintah. Karina mengangguk pelan, mengikuti langkah Adrian menuju ruang rapat. Suasana hening saat mereka berjalan berdampingan. Dalam hatinya, Karina bertanya-tanya apa yang sebenarnya dirasakan oleh pria ini di balik tatapan dinginnya. Apakah ia hanya seorang bos yang keras? Ataukah ada sisi lain yang belum ia ketahui? Sesampainya di ruang rapat, Adrian mempersilakan Karina duduk, sementara ia membuka dokumen yang dibawanya. Namun, sesekali, tatapan Adrian berhenti di wajah Karina, seolah-olah sedang mencoba menembus pikirannya. “Jadi, apa yang Anda pikirkan tentang proyek ini?” tanya Adrian tiba-tiba, membuat Karina sedikit terkejut. “Ehm … saya pikir proyek ini memiliki potensi besar, Pak. Namun, ada beberapa bagian yang mungkin bisa kita optimalkan lagi,” jawab Karina, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup cepat. Adrian mengangguk, tampak puas dengan jawaban Karina. “Bagus. Saya suka cara Anda berpikir. Tetap fokus seperti ini.” Karina hanya tersenyum kecil, merasa sedikit canggung di bawah tatapan intens Adrian. Mereka melanjutkan diskusi, namun setiap kali pandangan mereka bertemu, Karina merasakan ada sesuatu yang tak terucapkan, seolah ada magnet yang menarik mereka satu sama lain. Perasaan itu semakin kuat, namun ia mencoba mengabaikannya, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya sekadar hubungan kerja. Setelah pertemuan itu berakhir, Adrian memperhatikan Karina yang bergegas keluar dari ruang rapat. Tatapan pria itu tampak jauh, seolah-olah sedang merenungkan sesuatu. Sementara itu, Karina, dengan perasaan campur aduk, kembali ke mejanya dan berusaha fokus pada pekerjaan, meskipun pikirannya terus dihantui oleh sorot mata Adrian yang selalu berhasil membuatnya merasakan sesuatu yang asing. --- Di luar kantor, kehidupan Karina menjadi semakin tenang meski tak mudah. Bayangan masa lalunya bersama Daniel dan Vera sesekali masih muncul, menghantui pikirannya. Namun, ia menolak untuk menyerah. Kehadiran bayi dalam kandungannya membuatnya lebih kuat. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi ibu yang baik, meskipun harus menghadapi semuanya seorang diri. Namun, di balik ketenangan itu, Vera ternyata tidak benar-benar pergi dari hidup Karina. Diam-diam, Vera memperhatikan setiap langkah Karina, seolah-olah memiliki agenda tersembunyi yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Ada kebencian dalam tatapan mata Vera saat melihat Karina, namun di balik kebencian itu, tersimpan rasa iri yang dalam. Ia merasa bahwa Karina seharusnya tidak pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah pengkhianatan yang ia rencanakan. --- Pada suatu hari di kantor, Adrian kembali memanggil Karina untuk berdiskusi tentang proyek yang sedang mereka kerjakan. Kali ini, pertemuan mereka berlangsung lebih lama dari biasanya. Adrian mengajaknya untuk makan siang bersama di ruangannya, sebuah ajakan yang cukup mengejutkan bagi Karina, namun ia tidak menolak. Saat makan siang itu, mereka mengobrol dengan lebih santai. Adrian mulai membuka diri, menceritakan sedikit tentang masa lalunya, tentang bagaimana ia harus menjadi pewaris perusahaan di usia muda, dan tekanan yang selalu mengikutinya. Karina mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa ada sisi lain dari Adrian yang selama ini tersembunyi di balik sikap dinginnya. “Saya kira, menjadi pewaris perusahaan besar pasti menyenangkan,” ujar Karina pelan, sambil menatap Adrian yang tampak serius. Adrian tersenyum tipis. “Orang sering berpikir begitu. Tapi, kenyataannya, ini jauh dari apa yang mereka bayangkan. Ada banyak tanggung jawab dan … pengorbanan yang harus dilakukan.” Karina menatapnya dengan simpati, merasakan kedalaman dari kata-kata Adrian. Mungkin, ia pun merasakan hal yang sama—kehidupan yang tidak selalu seindah bayangan orang lain. “Sepertinya, kita punya lebih banyak kesamaan daripada yang saya duga,” ujar Karina pelan, nyaris seperti bisikan. Adrian menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Mungkin. Dan itu membuat saya … tertarik untuk mengenal Anda lebih dalam, Karina.” Kata-kata Adrian itu membuat jantung Karina berdegup kencang. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan pria itu, sesuatu yang membuat Karina merasa tak mampu berpaling. Ia tahu, mungkin ia tidak seharusnya merasakan hal ini. Namun, ia tidak bisa menolak perasaan itu. Setelah makan siang, mereka kembali ke rutinitas kerja. Namun, setiap kali bertemu, perasaan aneh itu terus menghantui mereka berdua, seolah ada magnet yang semakin kuat menarik mereka satu sama lain. Meskipun tidak ada kata-kata yang diucapkan, mereka tahu bahwa perasaan itu nyata. --- Malam itu, ketika Karina tiba di apartemennya, ia mendapati sebuah pesan tak terduga di ponselnya. Dari nomor yang tidak dikenal, namun isinya membuat hatinya berdegup kencang. “Jangan kira kamu bisa lolos begitu saja, Karina. Aku tahu semua tentangmu.” Pesan itu membuat Karina tertegun. Ia tahu, ini pasti dari seseorang yang berniat jahat. Tapi, siapa? Dan kenapa? Dengan tangan gemetar, ia membalas pesan itu, mencoba mencari tahu identitas pengirimnya. “Apa maksudmu? Siapa ini?” Beberapa saat kemudian, pesan balasan datang. “Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur.” Karina merasa jantungnya berhenti berdetak. Pesan ini membuatnya sadar bahwa ancaman itu nyata, dan entah bagaimana, ia merasa Vera ada di balik ini. Mungkin, sahabatnya yang dulu kini menjadi musuh terbesar yang diam-diam mengintainya, siap menghancurkan hidupnya. Ia menatap ke luar jendela, dengan pikiran yang penuh ketakutan dan kebingungan. Bayangan Adrian yang hangat dan perhatian tiba-tiba muncul dalam pikirannya, seolah-olah hanya pria itu yang bisa memberinya perlindungan. Namun, ia sadar bahwa ini bukan hanya tentang dirinya lagi; ini tentang anak dalam kandungannya, tentang masa depannya yang harus ia perjuangkan. Di tengah malam yang sunyi itu, Karina bertekad untuk tidak menyerah. Meski ancaman datang menghampiri, ia akan terus melangkah. Namun, perasaan takut itu tak bisa ia abaikan. Seolah-olah, sesuatu yang buruk akan segera terjadi.Karina duduk di atas sofa kecil di sudut apartemennya, menatap layar ponsel yang kini gelap. Pesan terakhir itu masih terngiang di kepalanya. Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur. Siapa pun pengirimnya, orang itu jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi kenapa dia diancam? Dan kenapa sekarang, saat ia mencoba bangkit dari keterpurukan?Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang mulai sedikit membesar. “Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu kita,” gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia usir begitu saja.Alicia berdiri di depan cermin besar di kamar utama, membiarkan jari-jarinya menyusuri permukaan kulit wajahnya yang mulus. Wajah itu sempurna, dan ia tahu itu. Setiap sudutnya dipoles dengan hati-hati oleh tim profesional yang ia bayar mahal. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya malam itu. Sesuatu tentang Adrian.P
Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan. Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya. “Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?” Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita p
Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kud
Langit pagi itu tampak kelabu, seperti menyerap segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati Karina. Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Tentang fakta yang diungkapkan Jonathan semalam dan tentu saja surat yang ia temukan. Untuk kehamilannya, ia memilih untuk memikirkannya nanti, rasanya apa yang diucapkan Jonathan tidak berdasar, ia baru mengenal Adrian di tempat kerja, bagaimana ia bisa hamil anaknya? Walaupun secara logika ia juga tidak akan hamil dari siapapun mengingat setahun kemarin ia fokus kuliah, jauh dari tunangannya, Daniel, yang ternyata sibuk selingkuh dengan Vera. Jadi jika harus memikirkan tentang sosok yang ada di dalam perutnya ini, hanya akan membuat Karina gila. Bagaimanapun untuk saat ini, Karina sudah memutuskan akan membesarkan calon bayinya seorang diri. Sekarang yang lebih menyita pikirannya adalah surat yang ia temukan di rumah tua itu, yang kini tersimpan rapat dalam tasnya, tetapi isinya
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Karina duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota yang dipenuhi gemerlap lampu. Di tangannya, surat yang ia temukan di rumah tua itu terus mengganggunya. Surat itu seperti bom waktu, menghancurkan setiap ilusi yang ia miliki tentang keluarganya. "Vera," gumam Karina pelan, nama itu terasa begitu asing dan sekaligus akrab di lidahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menjadi musuh terbesarnya, sekaligus bagian dari darahnya sendiri? Ia meraih ponselnya, ragu-ragu mengetik pesan. Karina : Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa. Pesan itu terkirim kepada Vera, dan Karina merasa jantungnya berdegup kencang, seperti akan meledak kapan saja. ---Vera datang setengah jam kemudian ke sebuah kafe kecil yang biasanya menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu. Dengan rambut yang tertata rapi dan senyuman tipis, ia terlihat begitu santai, seolah tidak a
Malam terasa dingin ketika Dr. Gita menutup pintu ruang kerjanya. Suasana klinik sudah sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menyusuri koridor. Di tangannya, ia membawa berkas yang belakangan ini terus membayanginya, seperti beban yang tak mampu ia lepaskan.Ia tahu ada yang salah. Kesalahan prosedur yang terjadi beberapa bulan lalu kini tampak semakin jelas di depannya. Nama Karina tertulis di berkas itu, sebuah nama yang sebelumnya ia pikir hanyalah salah satu ibu pengganti yang telah dipilih oleh Adrian dan Alicia. Namun, kenyataan bahwa Karina tidak pernah mendaftar untuk program tersebut kini menghantamnya keras.Dr. Gita mendesah panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menyimpan ini sendiri. Ia harus memberi tahu Adrian—dan mungkin juga Alicia. Tapi bagaimana cara menyampaikan ini tanpa memicu kekacauan?---Di tempat lain, Adrian sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang tak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang pada Kar
Adrian masih berdiri di sana, memandang Karina dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, seperti udara yang sulit untuk dihirup. Karina menunduk, tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan. Matanya tak ingin menatap Adrian, seakan takut jika ia menatapnya, semua emosinya akan tumpah begitu saja.“Aku tahu ini semua terlalu berat untukmu,” suara Adrian akhirnya memecah keheningan. Ia mendekat, namun langkahnya ragu. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Karina. Aku tidak pernah bermaksud ... semua ini ... aku—aku hanya ingin memperbaikinya.”Karina mendongak perlahan, menatap lelaki di depannya dengan mata yang mulai memerah. “Memperbaiki?” suaranya rendah, namun penuh dengan luka yang dalam. “Adrian, ini hidupku. Hidupku yang sudah kau porak-porandakan tanpa aku bahkan tahu apa yang terjadi. Bagaimana kau bisa memperbaiki sesuatu yang sudah hancur seperti ini?”Adrian terdiam. Kata-kata Karina menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia
Karina berdiri di depan jendela apartemennya yang sederhana. Matanya menatap ke luar kota yang sibuk, namun pikirannya jauh dari semua itu. Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih belum terlalu terlihat ada kehidupan lain di dalamnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sulit ia uraikan. Ketakutan, marah, bingung, dan lelah bercampur menjadi satu. Ia tahu satu hal pasti: ia harus pergi. Keputusan itu tidak mudah. Ia telah mencoba bertahan, mencoba menerima bahwa hidupnya tidak lagi sama. Namun, semakin hari, ia merasa semakin terkepung. Semua orang di sekitarnya—Adrian, Alicia, bahkan Vera—seakan menjadi ancaman. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak yang ia kandung.Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sambil menggenggam surat pengunduran diri yang baru saja ia cetak, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ini adalah langkah pertama untuk memulai hidup baru.---Di kantor, suasana terasa
Adrian menghela napas berat setelah telepon itu terputus. Wajahnya yang tadi tenang kini berubah tegang. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di sebelahnya.“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Karina, yang kini berdiri di sampingnya. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran.Adrian menoleh, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Aku tidak tahu siapa,” ucapnya singkat. “Tapi orang itu sempat menyebut nama Jonathan, sayangnya sebelum dia sempat jelasin, sinyalnya terputus.”Karina mengerutkan kening. "Ada apa lagi dengan Jonathan?"“Aku juga nggak tahu,” jawab Adrian sambil menekan tombol panggil ulang di ponselnya. Tapi telepon itu ternyata tidak tersambung. Adrian memijat pelipisnya, jelas sekali ia merasa frustrasi.“Kamu yakin ini soal Jonathan? Mungkin dia cuma bikin drama lagi? Terlebih kan sekarang dia sudah ditahan?” tanya Karina, mencoba meringankan suasana. Tapi dalam hatinya, ia pun tidak bisa menyangkal kal
Pikirannya kembali pada ancaman Jonathan. Meskipun ia ingin mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini belum selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada." Dan di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, seseorang berdiri, memperhatikan apartemen Karina dengan tatapan yang sulit dijelaskan.---Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh gejolak. Kemenangan memang sudah di depan mata, tapi apa artinya jika ia terus merasa tidak tenang? Jonathan jelas bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dia licik, manipulatif, dan lebih dari segalanya, ambisius. Adrian tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat posisinya hancur. Namun pikirannya segera teralihkan oleh suara dari belakang. Langkah kaki kecil yang pelan tapi jelas mendekat. “Adrian?” Suara lembut Karina memanggilnya. Adrian berbalik, mendapati Karina berd
Adrian masih duduk di kursinya, tatapannya kosong menatap dokumen-dokumen di atas meja. Kata-kata Alicia terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa lelah yang kian menumpuk. Tapi otaknya tak mau berhenti bekerja. "Kalau ini benar ...." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia mengangkat telepon di mejanya, jarinya mengetik nomor seseorang yang sudah dihafalnya luar kepala. "Halo?" suara pria di seberang terdengar tegas. "Kita harus bicara. Sekarang," ujar Adrian, singkat tapi penuh tekanan. "Ada apa lagi? Apa kau ingin menyerah?" "Kalau kau penasaran, datanglah!"Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih serius. "Oke, aku datang." ---Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Adrian terbuka. Jonathan, sepupunya, melangkah masuk dengan senyum kecil di wajahnya. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Adrian semak
Alicia masih berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Ponselnya yang tadi dilempar ke tempat tidur kini bergetar lagi, mengganggu kesunyian ruangan. Kali ini dia tidak berniat untuk mengecek pesan itu lagi. Dia sudah tahu siapa pengirimnya—Jonathan. Ancaman yang dia terima tadi masih terngiang jelas di pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Alicia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris seperti bisikan. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil koper besar yang sudah lama tidak ia sentuh. Tangannya gemetar saat membuka resleting koper itu, namun kali ini ia sudah memutuskan. Sementara itu, di ruang kerja besar Adrian yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kerja kayu mahoni yang kokoh, Karina duduk di depan Adrian dengan ekspresi serius. Di tangannya, ada tumpukan dokumen yang baru saja ia serahkan pada pria itu. "Ini semua bukti yang kita punya," ucap Karina, suaranya tegas. "Aku udah cek semua
Karina masih berdiri di depan ruangan, menatap Kakek Adrian yang baru saja mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh ruangan membisu. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya lagi, perlahan, dengan nada penuh wibawa. Adrian duduk dengan tenang, meski matanya tak lepas dari Karina. Di sebelahnya, Jonathan tampak gelisah, tangannya mengepal di atas meja, seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri di sudut, wajahnya kaku dan pucat, seperti menyadari bahwa ini adalah titik balik dari semuanya."Karina," suara Kakek Adrian memecahkan keheningan. "Presentasimu meyakinkan. Aku suka caramu berpikir. Kau memiliki visi yang jelas tentang masa depan perusahaan ini. Tapi ..." Suaranya menggantung, membuat udara di ruangan semakin tegang.Karina menghela napas pelan. Ia tahu, ini belum selesai."Aku ingin waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh," lanjut Kakek Adrian. "Tapi aku mengapresiasi usahamu. Adrian, Jonathan, aku ingin kalian tetap profesional. Ki
Langkah Adrian dan Karina terhenti di depan pintu ruang baca. Karina menggenggam tasnya erat-erat, perasaan gugup merayap di tubuhnya. Ia tahu betul bahwa ini adalah momen besar yang akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk Adrian, tapi juga untuk Reyna, anak yang kini menjadi pusat dunia barunya.Adrian melirik Karina sekilas, lalu berkata pelan, "Tenang saja. Aku ada di sini."Karina hanya mengangguk kecil. Tapi sebelum Adrian sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Jonathan muncul. Wajah datarnya tak mampu menyembunyikan sorot mata penuh kewaspadaan."Oh, kalian di sini?" katanya dingin, matanya bergantian menatap Adrian dan Karina. "Aku rasa aku tahu apa yang kalian bawa."Adrian berdiri tegap, tak menghindari tatapan Jonathan sama sekali. "Bagus kalau begitu," jawabnya dengan nada datar yang tak kalah tajam. "Kita nggak perlu basa-basi."Jonathan tertawa kecil, seperti mengejek. "Kau memang selalu terburu-buru, Adrian. Tapi jangan lupa, Kakek tak
Alicia menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan napasnya yang tidak beraturan. Suara sirene polisi semakin mendekat, membuat pikirannya kacau. Dia tahu, waktunya hampir habis. Jonathan semakin mendesaknya, dan Adrian ... Adrian selalu satu langkah di depan, membuatnya semakin terpojok.“Kamu harus memutuskan, Alicia,” gumamnya sendiri. Tapi apa yang harus dia lakukan? Dia terlalu dalam terlibat dengan Jonathan, dan jika Adrian tahu segalanya, hidupnya akan hancur.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Adrian berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Jonathan yang baru saja melangkah masuk. Di belakang Jonathan, dua pria bertubuh kekar mengikutinya, memberi kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar obrolan biasa.Jonathan melirik sekilas ke arah Adrian, lalu tersenyum kecil. "Jadi, kamu benar-benar memanggilku ke sini, Adrian. Aku harus bilang, ini cukup berani. Atau bodoh?"Adrian tidak menanggapi ejekan itu. Dia hanya melangkah maju, jaraknya ki
Di ujung lain kota, Adrian menatap Karina dengan tatapan serius. "Kita harus melakukannya malam ini. Kalau tidak, kita mungkin kehilangan kesempatan ini selamanya."Karina mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Ia tahu apa yang mereka hadapi berbahaya, tapi ia tidak punya pilihan. Demi anaknya, ia harus berani. Keselamatan Reyna adalah taruhannya.Karina duduk di sofa kecil ruang apartemennya, menggenggam tangan Adrian yang terasa dingin. Malam itu begitu sunyi, seolah dunia di luar hanya menunggu sesuatu meledak. "Aku nggak bisa terus begini, Adrian," kata Karina akhirnya, memecah keheningan. Suaranya gemetar, tapi matanya menunjukkan tekad. "Jonathan itu licik. Kalau kita terus nunda, dia bisa selangkah lebih maju dan menghancurkan semuanya."Adrian menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak sebelum membukanya kembali. Tatapan dinginnya malam itu sedikit melunak. "Aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa gegabah. Apa yang kita rencanakan ini nggak cuma soal aku atau kam
Langit mendung sore itu seakan menjadi pertanda buruk. Karina duduk di sofa apartemennya, mengayun pelan-pelan kursi bayi yang berdiri di sampingnya. Bayi kecil itu, Reynata, buah hatinya, terlelap dengan wajah tenang. Perempuan kecil itu adalah segalanya bagi Karina. Namun, hatinya justru dipenuhi kecemasan—gelisah oleh amplop yang beberapa hari terakhir tersimpan di laci meja ruang tamunya, membara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Pintu apartemen tiba-tiba diketuk keras. Karina terlonjak. Siapa yang datang di jam seperti ini?Ia menoleh ke arah pintu, napasnya tertahan. "Siapa?" tanyanya dengan suara setenang mungkin, meskipun hatinya diliputi kecemasan."Karina, ini aku," suara Adrian terdengar dari luar.Karina menarik napas lega. Ia bangkit, membuka pintu, dan mendapati Adrian berdiri di sana dengan wajah tegang. Tanpa menunggu undangan, Adrian masuk begitu saja."Ada apa, Adrian?" Karina bertanya, bingung melihat ekspresi gelisah di wajahnya.Adrian menghela napas