Share

Kesepakatan.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 21:41:16

Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat. Begitu juga denganku. Gegas aku menyusulnya.

Tangan itu baru akan membuka pintu saat aku berhasil mencekalnya.

"Lepas!" sentaknya sembari melotot padaku.

"Ma, tunggu sebentar."

"Apa lagi?" tanyanya kesal.

"Tolong dengerin aku sebentar saja Ma," pintaku memelas. Kupegang erat tangan mama mertuaku itu berharap dia luluh dan mau mendengarkan aku.

Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan Mama bertemu mereka sekarang. Aku sangat yakin Mama Rosa akan marah besar dan situasinya tidak akan baik untuk semua orang, termasuk aku.

Saat ini dalam sedang ada acara tidak mungkin aku biarkan Mama Rosa mengamuk di dalam.

"Dengerin apa lagi?" Mama Rosa menepis tanganku kasar namun kupegang lagi lebih erat dan menariknya menjauhi dari pintu besar itu.

"Kamu kenapa sih?" Lagi-lagi Mama Rosa menepis tanganku. "Kamu itu ngerti gak sih, kalau saya sedang membela kamu? Saya akan memberi pelajaran pada jal*ng itu, menunjukkan di mana tempat yang pantas untuk wanita yang tidak jelas asal-usulnya."

Dua bulan menjadi menantunya, aku sudah faham dengan kelakuan ibu mertua ini. Ucapan Mama Rosa selalu pedas dan menusuk hati.

Hanya karena besar di panti asuhan Mama Rosa berulang kali mengatakan Raline, wanita yang tidak jelas asal-usulnya.

"Demi Tuhan, jangan Ma." Panik, aku meraih tangan mertuaku dan membungkuk di depannya. Tidak punya cara lain, aku merendahkan diri memohon padanya.

Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan mama mertuaku ini, Mama Rosa pasti akan mempermalukan Raline di depan umum. Dan aku tidak boleh membiarkannya atau Mas Ammar akan marah besar padaku.

"Kalau Mama masuk sekarang dan marah-marah bukan Raline yang malu tapi keluarga kita yang akan malu, Ma. Di dalam banyak sekali tamu undangan dan sebagian besar adalah istri-istri pengusaha yang mungkin saja mengenal Mama sebagai istri Papa Malik Zafier," jelasku panjang lebar.

Mama Rosa menghela nafas panjang, terlihat sedikit tenang. "Lalu aku harus bagaimana? Diam saja membiarkan anak kurang aja itu melempar kotoran di wajahku, begitu?"

"Bu-bukan begitu Ma." Aku menggelengkan kepalaku. "Kita cari cara lain. Ma-maksudku, tolong biarkan aku saja yang menyelesaikannya dengan cara lain," pintaku menatap penuh harap.

Mama Rosa bergeming. Matanya menatapku lekat seolah sedang berpikir. "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" tanyanya.

"Aku... aku akan merebut hati Mas Ammar," jawabku bersungguh-sungguh.

"Bagaimana caranya?" Mama Rosa terlihat lebih tenang.

Spontan aku menghela nafas lega, "Kita bicara di dalam mobil, Ma. Aku akan menjelaskannya," ujarku menarik mama Rosa masuk kembali ke mobil.

"Katakan," suruhnya tak sabar begitu kami duduk di dalam mobil.

"E... aku akan berusaha meluluhkan hati Mas Ammar. Membuatnya melupakan Raline dan mencintaiku," kataku bersungguh-sungguh meski jujur dalam hati aku sendiri tak yakin. Aku hanya mengatakan kata-kata yang kurasa bisa menyakinkan Mama Rosa.

"Aku mengenal Raline sejak masih remaja. Aku tahu baik dan buruknya. Jadi, aku pasti visa mencari celah untuk memisahkan mereka."

Mama Rosa masih diam, mungkin belum yakin dengan ucapanku.

"Aku janji Ma, aku akan memisahkan mereka dengan caraku. Tolong beri aku waktu," tambahku sambil memegang tangan Mama Rosa. Berharap wanita itu percaya dan memberikan aku waktu untuk memisahkan dua sejoli itu.

"Kamu yakin bisa?" Mama Rosa menatapku lekat.

"Yakin Ma." Aku mengangguk.

Mama Rosa terdiam. Wanita itu mungkin sedang mempertimbangkan usulku. Beberapa detik berlalu dan wanita itu hanya diam.

"Berikan aku waktu dua atau tiga bulan. Aku yakin aku bisa meluluhkan hati Mas Ammar dan membuatnya melupakan Raline seperti keinginan Mama tanpa harus merusak nama baik keluarga Zafier."

Mama Rosa mendengus kasar. Tiba-tiba matanya memerah dan mulai mengembun. "Saya tidak menyangka Ammar tega melakukan ini semua. Kenapa dia tidak memikirkan nama baik keluarga. Tapi malah kamu yang memikirkan nama baik keluarga kami," katanya terlihat sedih.

Tak tahu harus berkata apa, aku memilih diam.

Mama Rosa menghela nafas panjang. "Baiklah, aku ikuti maumu. Tapi ada syaratnya,"

Entah apa syaratnya tapi aku langsung menganggukkan kepalaku. "Katakan apa syaratnya, Ma. Jika aku bisa, pasti akan kulakukan."

"Penuhi keinginan Oma Rumana. Kamu harus segera hamil anak Ammar."

Aku terkesiap.

Dari awal pernikahan, memiliki momongan tidak pernah ada dalam pikiranku. Aku sadar aku bukan wanita yang diinginkan Mas Ammar menjadi istrinya. Aku tidak mau jika nantinya anakku akan bernasib sama sepertiku, tidak diharapkan.

"Kuberi waktu tiga bulan dan kamu harus bisa hamil anak Ammar bagaimanapun caranya." Mama Rosa menatap tepat ke dalam mataku.

Aku tidak mengerti, kenapa bagi mereka momongan itu sangat penting. Seakan-akan menikah hanya bertujuan untuk melanjutkan keturunan.

"Bagaimana?" Mama Rosa memegang kedua lenganku. "Saya janji, jika kamu berhasil hamil anak Ammar saya akan selalu berpihak sama kamu."

Tak punya pilihan lain, aku hanya mengangguk pasrah.

"Bagus. Tugasmu memang hanya patuh," katanya terlihat puas dan lega. "Namun sebelum itu kita perlu ke suatu tempat lebih dulu."

"Kemana Ma," tanyaku namun tak mendapatkan jawaban.

"Jalan Pak," perintah Mama Rosa pada sopir dan tanpa menunggu lama mobil mulai melaju meninggalkan pelataran panti asuhan.

Akhirnya aku bisa menghela nafas lega. Setidaknya satu masalah teratasi.

Dengan kecepatan sedang mobil melaju membelah keramaian jalanan kota siang ini. Sudah tiga puluh menit berlalu namun aku masih belum tahu akan dibawa kemana.

"Pak belok kanan, kita ke rumah sakit tempat Samudra praktek." Perintah Mama Rosa pada Pak sopir.

Bingung, aku langsung menoleh pada mama mertuaku yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Maaf Ma, untuk apa ke rumah sakit?" tanyaku hati-hati.

"Untuk memeriksakan kamu," katanya menatapku datar lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Aku makin bingung, "Tapi aku tidak sedang sakit, Ma."

Wanita itu menghela nafas panjang. "Sebelum kamu mengandung anak Ammar, saya harus memastikan kamu pantas untuk menjadi ibu dari calon cucu-cucu saya nanti."

"Ma-maksudnya?"

"Saya ingin tahu apa kamu masih peraw*an atau sudah tidak peraw*an."

Degh.....

Tubuhku seketika mematung dengan dada berdenyut nyeri.

Seburuk itukah aku di matanya?

"Saya juga harus memastikan kamu tidak mengidap H*v atau penyakit lain yang membahayakan putraku dan calon cucuku nanti."

Astaghfirullah......

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Tes keprawan*n.

    "Ada apa Mama kesini?" Setelah menunggu dua puluh menit akhirnya sang pemilik ruang kerja datang. Aku dan Mama Rosa langsung mengangkat kepala menatap pria jangkung yang baru saja masuk. "Kamu sudah selesai bertugas?" tanya Mama Rosa pada putra keduanya. "Hem..." jawab Samudra. "Mama sakit?" tanyanya terlihat khawatir. "Nggak. Mama kesini ada perlu sebentar," Samudra menghela nafas lega lalu melirikku sekilas sebelum akhirnya melepaskan jas putihnya. Dia pun duduk dibalik meja kerjanya. Samudra Albiru Zafier, adik kandung Mas Ammar. Dia sedang menjalani koas di rumah sakit ini, ynag memang milik keluarga Zafier. Tidak seperti Mas Ammar, menurut Oma Rumana, Samudra lebih tertarik dengan dunia kesehatan ketimbang meneruskan perusahaan milik keluarganya. Ya, aku juga mengenalnya. Kami kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan. Beberapa bulan yang lalu kami sempat dekat karena tergabung dalam sebuah penelitian. Tapi entah kenapa sejak aku menjadi kakak iparnya sikapnya b

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Insiden.

    Dari rumah sakit, aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online. Mama Rosa tidak bisa mengantarku pulang karena tiba-tiba tidak enak badan dan kepalanya pusing. "Kamu pulang naik taksi online saja," perintahnya yang dengan senang hati aku lakukan. Pulang sendiri lebih menenangkan untukku, karena sepanjang perjalanan tidak perlu mendengarkan omelan dn kata-kata pedas dari mulut ibu mertuaku itu. Dan lagi, aku punya waktu untuk memikirkan penjelasan apa yang akan kukatakan pada Mas Ammar. Sekarang pria itu pasti sudah menungguku di rumah. Beberapa menit yang lalu, sebuah nomor asing menelpon, yang ternyata nomor baru milik Mas Ammar. Pria itu menghubungiku untuk meminta agar aku segera pulang. Dari suaranya terdengar sedang menahan amarah. Mungkin karena takut, perjalan terasa begitu cepat. Tanpa terasa taksi yang membawaku sudah sampai di depan rumah. Meski enggan aku pun melangkah turun. Jantungku seketika berdegup kencang begitu aku melihat mobil milik Mas Ammar su

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terbangun di rumah sakit.

    Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Datang menjenguk

    Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar.

    "Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar

    Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-13
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menjelaskan dengan jelas.

    "Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-13
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Mengiba demi keselamatan Bunda Laila.

    [Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14

Bab terbaru

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Gadis introvert.

    Hari ini aku sudah mulai kembali masuk kuliah. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berangkat sebelum Mas Ammar keluar dari kamarnya. Yaitu, tepat pukul 6 pagi. Begitu aku keluar, sopir sudah stanby di samping mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. "Makasih Pak," ucapku saat pak sopir membukakan pintu. Perlahan mobil pun meninggalkan pelataran rumah dan setengah jam berlalu, mobil pun sudah sampai di parkiran kampus. Aku turun setelah mengucap terima kasih pada pak sopir dan menyuruhnya pulang. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran setelahnya ke perpustakaan menunggu kelas berikutnya. Setiap hari hanya begitu saja yang kulakukan di kampus ini.sejak kematian Arfan. Jika dulu ada Arfan yang mengajak ke kantin untuk makan atau sekedar jajan sembari menunggu kelas kini aku hanya seorang diri, duduk di meja paling pojok perpustakaan. Sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah. Selain Arfan dan Raline aku memang tidak memiliki teman dekat lain. Dulu di sekolah aku m

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terpaksa berbohong

    "Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Kedatangan tamu.

    "Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Mengiba demi keselamatan Bunda Laila.

    [Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menjelaskan dengan jelas.

    "Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar

    Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar.

    "Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Datang menjenguk

    Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terbangun di rumah sakit.

    Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status