Share

Sebuah pesan bergambar.

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2025-03-17 20:16:00

"E... Tidak ada apa-apa, Oma," balasku cepat.

Khawatir Oma curiga, aku memaksa bibirku tersenyum tipis.

Sayangnya, mama mertuaku yang kebetulan duduk di samping—justru memincingkan matanya. "Apa Ammar yang mengirim pesan? Dia mau menyusul, kan?”

Wanita itu bahkan mencoba melihat layar ponselku!

Gegas, kubalikan ponsel di atas meja agar dia tak dapat melihatnya. "Bu-bukan Ma."

"Kalau bukan Ammar, kamu kirim-kiriman pesan sama siapa?" sinisnya, “lagian kamu sih … gak becus jadi istri. Bisa-bisanya Ammar gak dateng lagi buat makan siang bersama kami.”

Tanganku mengepal, menahan perasaan kesal.

Astaghfirullah... Memang mulut Mama mertuaku ini.

Sejak awal perjodohan, wanita ini memang tidak menyukaiku. Dia menuduhku sudah memiliki kekasih, bahkan menganggapku serakah karena menikahi putranya demi harta.

Tapi anehnya, wanita itu juga tidak merestui hubungan Ammar dengan Raline?

Entah, sebenarnya apa maunya?

Haruskah aku memberitahunya bahwa putra kebanggaan itu masih menjalin hubungan dengan kekasihnya?

Sayangnya, mataku menangkap Oma Rumana yang tampak penasaran. Tak tega menghancurkan hatinya, aku pun akhirnya menjawab, "Pesan nyasar, Ma."

Lagipula, masih ada janji yang harus aku tepati. Sampai tiba saatnya aku akan diam.

"Ck…” Mertuaku tersenyum remeh. "Kamu tidak sedang berbo----"

"Sudah cukup, Rosa." Oma Rumana menyela. "Tidak perlu diperpanjang lagi. Ana tidak mungkin berbohong."

Mendengar itu, Mama Rosa langsung diam. Seperti biasa, wanita itu tidak akan berani melawan ibu mertuanya.

Dari cerita yang kudengar, dulu Mama Rosa juga tidak mendapatkan restu dari mertuanya, makanya dia selalu segan pada Oma Rumana.

Namun saat aku lengah, tanpa kuduga Mama Rosa mengambil ponselku dari atas meja. Gerakannya sangat cepat sehingga aku tak bisa mencegahnya.

"Jangan, Ma!" Panik, aku memekik sampai membuat Oma yang tadinya sibuk makan jadi menatap ke arah kami.

Sementara itu, wajah mama mertuaku sudah memerah padam. Aku yakin dia sudah melihat foto itu.

"Ya Tuhan apa ini?" pekiknya dengan mata melebar.

"Ada apa?" Oma Rumana memandang kearah Mama Rosa dan aku. "Kenapa berteriak?" tanyanya menuntut.

"I--itu...." Mama Rosa tiba-tiba gagu, dia pasti kebingungan dan juga kaget karena melihat foto putranya bersama wanita lain.

"Maaf Oma, Mama pasti kaget lihat meme lucu yang dikirim temanku," sahutku memberi alasan yang kuanggap masuk akal. "Maaf, ya Ma sudah buat Mama kaget," kataku melihat pada Mama Rosa.

"Iya, hanya gambar lucu saja," ujar Mama Rosa lalu menyerahkan ponselku. Wajahnya tersenyum tapi tatapan matanya tak bisa bohong, wanita itu shock.

Oma Rumana pun mengangguk. "Kalau hanya begitu kenapa reaksimu berlebihan," omelnya. "Sudah, lanjutkan makannya,"

Kami pun makan dengan diam. Tak ada lagi obrolan seperti beberapa menit yang lalu.

Suasana tiba-tiba berubah jadi canggung. Hanya sesekali aku atau mama Rosa menjawab pertanyaan Oma.

Selesai makan, Mama Rosa bahkan langsung izin untuk mengantarkan aku pulang. Wanita itu sedikit memaksa agar aku pulang bersamanya meski pak sopir sudah menungguku di depan.

"Foto itu baru kan?" Begitu kami sudah berada di dalam mobil, Mama Rosa bertanya dengan tangan mengepal menahan amarah.

"Sepertinya iya Ma," jawabku ragu.

"Di mana mereka sekarang?

"Saya tidak tahu Ma."

"Jangan bohong! Aku yakin kamu pasti tahu, jawab dengan jujur di mana mereka sekarang!" sentaknya menatapku tajam.

Aku memilih diam. Tak mau menjawab.

Aku tak mau bertengkar lagi dengan Mas Ammar.

Belum lagi, aku harus meminta bantuannya di perusahaan papa, agar Ibu tiriku tak menyakiti Ibu dari almarhum Arfan.

"Apa kamu tidak punya harga diri? Suamimu sedang bersama wanita lain tapi kamu diam saja dan malah berusaha menutupinya."

Mata mama Rosa berkilat penuh amarah. "Ammar benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya dia masih berhubungan dengan wanita yang tak jelas asal-usulnya itu," geram wanita itu memukul-mukulkan tangannya ke pahanya sendiri.

Jujur, aku merasa iba melihat Mama Rosa sekecewa ini. Tentu saja, putra yang dibangga-banggakan sudah melempar kotoran di wajahnya dengan berselingkuh, bagaimana dia tidak malu?

Harusnya tadi aku abaikan saja pesan dari Raline. Lagian sudah biasa, sahabatku itu selalu ingin menunjukkan kemesraannya dengan Mas Ammar padaku.

Seolah ingin memperingatkan posisiku. Padahal tanpa dia tunjukkan, aku pun sudah sadar diri, jika dialah pemilik hati Mas Ammar yang sesungguhnya. Bukan aku yang bayangannya pun tak ingin dipijak oleh Mas Ammar.

"Dia mengirim pesan padamu, artinya kalian saling mengenal?"

Aku mengangguk.

"Bagaimana bisa kamu kenal wanita itu?" tanya Mama Rosa lagi.

"Kami berteman, Ma." Kali ini aku menjawab jujur.

"Berteman? Kok bisa? Sejak kapan?" berondongnya tak sabaran.

"Sejak masih di bangku sekolah," jawabku berusaha tetap tenang.

"Astaga....." Mama Rosa mengusap wajahnya frustasi. "Ya Tuhan.... Ana," geramnya dengan tangan seperti hendak mencakarku.

Aku pun reflek memundurkan kepalaku, tapi tetap menatapnya tanpa berkedip.

"Kalau kamu tahu Ammar pacar temanmu, kenapa kamu tetap setuju menikah dengan Ammar? Harusnya kamu menolak perjodohan itu!!" jeritnya kesal.

Aku tak bisa menjawab. Tak mungkin mengatakan alasan sesungguhnya. Sebab, bisa saja Mama Rosa akan menyalahkan ibu tiriku dan membuat semua semakin runyam.

"Kamu memang sama saja dengan keluargamu itu, serakah dan tidak tahu malu." Mama Rosa menatapku jijik. "Menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta. Bahkan sampai mengkhianati temanmu sendiri."

Mendengar itu, jantungku serasa tertusuk. Meski sudah sering mendengarnya dari mulut Mas Ammar dan keluarganya, tapi kata-kata itu tetap saja menyakitkan untukku.

"Tapi bagaimanapun wanita itu tidak bisa di biarkan. Mama Rumana sudah memilihmu. Meski terpaksa aku akan membelamu," ucap Mama Rosa setelah sedikit tenang.

"Berikan ponselmu," perintahnya sambil mengulurkan tangannya.

Aku bergeming sembari memegang erat tas yang di dalamnya tersimpan ponselku. Aku tak boleh membiarkannya melihat ponselku atau situasinya akan bertambah runyam.

Namun, Mama Rosa justru memaksa mengambil ponselku dari dalam tas lalu memeriksa chat-ku dengan Raline.

"Panti Asuhan Kasih Ibu," gumamnya sambil menyeringai.

“Kita ke sana, Pak.” Setelahnya, ia meminta sopir mengantarkan kami kesana.

Astaga..... Bagaimana ini?

Hari ini, di panti asuhan 'Kasih Ibu' sedang diadakan acara penggalangan dana untuk pembebasan lahan dekat panti.

Sejujurnya aku pun diundang, tetapi aku menolak agar tidak mengganggu Mas Ammar dan Raline. Mas Ammar adalah donatur tetap di panti asuhan itu. Sedangkan aku hanya relawan yang kadang melakukan bakti sosial di sana.

“Ma, jangan,” pintaku, tak bisa kubayangkan jika sampai Mama Rosa mengamuk di sana.

“Diam!! Untuk saat ini kau tidak punya hak untuk berbicara, Renjana,” tegas wanita itu.

Deg!

Bagaimana ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Kesepakatan.

    Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat. Begitu juga denganku. Gegas aku menyusulnya. Tangan itu baru akan membuka pintu saat aku berhasil mencekalnya. "Lepas!" sentaknya sembari melotot padaku. "Ma, tunggu sebentar." "Apa lagi?" tanyanya kesal. "Tolong dengerin aku sebentar saja Ma," pintaku memelas. Kupegang erat tangan mama mertuaku itu berharap dia luluh dan mau mendengarkan aku. Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan Mama bertemu mereka sekarang. Aku sangat yakin Mama Rosa akan marah besar dan situasinya tidak akan baik untuk semua orang, termasuk aku. Saat ini dalam sedang ada acara tidak mungkin aku biarkan Mama Rosa mengamuk di dalam. "Dengerin apa lagi?" Mama Rosa menepis tanganku kasar namun kupegang lagi lebih erat dan menariknya menjauhi dari pintu besar itu. "Kamu kenapa sih?" Lagi-lagi Mama Rosa menepis tanganku. "Kamu itu ngerti gak sih, kalau saya sedang membela kamu? Saya

    Last Updated : 2025-03-17
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Tes keprawan*n.

    "Ada apa Mama kesini?" Setelah menunggu dua puluh menit akhirnya sang pemilik ruang kerja datang. Aku dan Mama Rosa langsung mengangkat kepala menatap pria jangkung yang baru saja masuk. "Kamu sudah selesai bertugas?" tanya Mama Rosa pada putra keduanya. "Hem..." jawab Samudra. "Mama sakit?" tanyanya terlihat khawatir. "Nggak. Mama kesini ada perlu sebentar," Samudra menghela nafas lega lalu melirikku sekilas sebelum akhirnya melepaskan jas putihnya. Dia pun duduk dibalik meja kerjanya. Samudra Albiru Zafier, adik kandung Mas Ammar. Dia sedang menjalani koas di rumah sakit ini, ynag memang milik keluarga Zafier. Tidak seperti Mas Ammar, menurut Oma Rumana, Samudra lebih tertarik dengan dunia kesehatan ketimbang meneruskan perusahaan milik keluarganya. Ya, aku juga mengenalnya. Kami kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan. Beberapa bulan yang lalu kami sempat dekat karena tergabung dalam sebuah penelitian. Tapi entah kenapa sejak aku menjadi kakak iparnya sikapnya b

    Last Updated : 2025-03-25
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Insiden.

    Dari rumah sakit, aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online. Mama Rosa tidak bisa mengantarku pulang karena tiba-tiba tidak enak badan dan kepalanya pusing. "Kamu pulang naik taksi online saja," perintahnya yang dengan senang hati aku lakukan. Pulang sendiri lebih menenangkan untukku, karena sepanjang perjalanan tidak perlu mendengarkan omelan dn kata-kata pedas dari mulut ibu mertuaku itu. Dan lagi, aku punya waktu untuk memikirkan penjelasan apa yang akan kukatakan pada Mas Ammar. Sekarang pria itu pasti sudah menungguku di rumah. Beberapa menit yang lalu, sebuah nomor asing menelpon, yang ternyata nomor baru milik Mas Ammar. Pria itu menghubungiku untuk meminta agar aku segera pulang. Dari suaranya terdengar sedang menahan amarah. Mungkin karena takut, perjalan terasa begitu cepat. Tanpa terasa taksi yang membawaku sudah sampai di depan rumah. Meski enggan aku pun melangkah turun. Jantungku seketika berdegup kencang begitu aku melihat mobil milik Mas Ammar su

    Last Updated : 2025-03-25
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terbangun di rumah sakit.

    Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s

    Last Updated : 2025-03-27
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Datang menjenguk

    Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany

    Last Updated : 2025-04-11
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar.

    "Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak

    Last Updated : 2025-04-11
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar

    Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te

    Last Updated : 2025-04-13
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menjelaskan dengan jelas.

    "Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala

    Last Updated : 2025-04-13

Latest chapter

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Gadis introvert.

    Hari ini aku sudah mulai kembali masuk kuliah. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berangkat sebelum Mas Ammar keluar dari kamarnya. Yaitu, tepat pukul 6 pagi. Begitu aku keluar, sopir sudah stanby di samping mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. "Makasih Pak," ucapku saat pak sopir membukakan pintu. Perlahan mobil pun meninggalkan pelataran rumah dan setengah jam berlalu, mobil pun sudah sampai di parkiran kampus. Aku turun setelah mengucap terima kasih pada pak sopir dan menyuruhnya pulang. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran setelahnya ke perpustakaan menunggu kelas berikutnya. Setiap hari hanya begitu saja yang kulakukan di kampus ini.sejak kematian Arfan. Jika dulu ada Arfan yang mengajak ke kantin untuk makan atau sekedar jajan sembari menunggu kelas kini aku hanya seorang diri, duduk di meja paling pojok perpustakaan. Sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah. Selain Arfan dan Raline aku memang tidak memiliki teman dekat lain. Dulu di sekolah aku m

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terpaksa berbohong

    "Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Kedatangan tamu.

    "Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Mengiba demi keselamatan Bunda Laila.

    [Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menjelaskan dengan jelas.

    "Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar

    Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar.

    "Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Datang menjenguk

    Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terbangun di rumah sakit.

    Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status