Dari rumah sakit, aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online. Mama Rosa tidak bisa mengantarku pulang karena tiba-tiba tidak enak badan dan kepalanya pusing.
"Kamu pulang naik taksi online saja," perintahnya yang dengan senang hati aku lakukan. Pulang sendiri lebih menenangkan untukku, karena sepanjang perjalanan tidak perlu mendengarkan omelan dn kata-kata pedas dari mulut ibu mertuaku itu. Dan lagi, aku punya waktu untuk memikirkan penjelasan apa yang akan kukatakan pada Mas Ammar. Sekarang pria itu pasti sudah menungguku di rumah. Beberapa menit yang lalu, sebuah nomor asing menelpon, yang ternyata nomor baru milik Mas Ammar. Pria itu menghubungiku untuk meminta agar aku segera pulang. Dari suaranya terdengar sedang menahan amarah. Mungkin karena takut, perjalan terasa begitu cepat. Tanpa terasa taksi yang membawaku sudah sampai di depan rumah. Meski enggan aku pun melangkah turun. Jantungku seketika berdegup kencang begitu aku melihat mobil milik Mas Ammar sudah terparkir di halaman rumah. Mendadak langkah kakiku terasa begitu berat seolah ada rantai besi yang mengikatnya. Ceklek.... Tiba-tiba pintu ruang tamu di buka dari dalam, sontak saja tubuhku mematung di tempat. Nampak sosok Mas Ammar dengan wajah merah padam dan rahang mengeras muncul dari balik pintu. "Masuk!!" sentaknya yang langsung membuat nyaliku seketika menciut. Aku bergeming di tempat. Dua bulan hidup bersama tak pernah aku lihat dia semarah ini. Tatapan matanya tajam dan dipenuhi kilatan amarah. "Aku bilang masuk," bentaknya sambil menarik tanganku kasar. "Aww.... sakit Mas. Tolong lepaskan tanganku," mohonku mengiba saat Mas Ammar menyeretku masuk ke dalam rumah. "Sakit kau bilang, hanya begini kau sudah bilang sakit. Lalu bagaimana dengan perasaanku dan Raline," bentaknya, lalu menghempaskan tanganku kasar sampai membuat tubuhku terhuyung. Beruntung aku masih bisa menjaga keseimbangan tubuhku sehingga aku tidak tersungkur. "Aku minta maaf, Mas." Lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa kuucapkan. Aku tak bisa lagi menahan tangisku. Mendapat perlakuan kasar dari pria berstatus suamiku, air mataku pun mulai bercucuran tanpa bisa kucegah. "Kumohon berhentilah berakting memelas," cibirnya dengan wajah frustasi. "Tidak bisakah kita bicara baik-baik?" pintaku. "Apa kamu pantas?" sahutnya menohok. Seburuk itukah aku? Bahkan untuk bicara baik-baik tidak bisa. "Selama ini aku sudah sangat bersabar menghadapimu tapi kau terus saja mengujiku," katanya. "Kau sendiri yang berjanji dan sekarang kau sendiri yang mengingkari janjimu, memberitahu Mama tentang hubunganku dengan Raline?" "Aku tidak memberitahu Mama, Mas," bantahku. "Demi Tuhan, berhentilah berbohong!" geramnya terlihat frustasi. "Mama mengatakan kamu menunjukkan fotoku dan Raline di ponselmu. Apa mungkin Mama yang berbohong, hah?" "Aku tidak melakukannya dengan sengaja, Mas. Raline mengirimkan foto itu saat aku bersama Mama dan Oma Rumana. Dan Mama----" "Cukup!! Sudah cukup Renjana Zuhayra. Jangan terus mencari alasan untuk menutupi kesalahanmu. Kamu benar-benar membuatku muak." "Aku tidak mencari alasan. Demi Tuhan, aku tidak melakukan semua yang kamu tuduhkan. Mama Rosa mengambil ponselku sesaat setelah aku membuka pesan dari Raline. Raline yang mengirim foto itu," jelasku sedetail mungkin. "Aku tidak percaya. Raline tidak mungkin melakukannya. Itu hanya karanganmu untuk membuatku menyalahkan Raline. Aku tahu dari dulu kamu selalu iri pada Raline. Berulang kali kamu melemparkan kesalahanmu padanya." Aku tertegun, tak tahu harus berkata apa lagi untuk menjelaskan kebenarannya. Memang seharusnya aku tidak perlu mengatakan apapun. Karena mata pria ini sudah tertutup oleh cintanya pada Raline. "Seandainya saat ini Arfan bisa melihat sifat aslimu, aku yakin dia pasti sangat menyesal sudah mengorbankan dirinya demi kamu. Membiarkan wanita sejahat kamu hidup menebar fitnah." Aku terkesiap. Mas Ammar. Kembali dia membawa Arfan dalam perdebatan kami "Apa maksudmu, Mas?" "Arfan kehilangan nyawanya untuk melindungimu. Dia mengorbankan dirinya ditabrak mobil demi menyelamatkan kamu, kan?" Apa? Dari mana informasi itu dia dapatkan? Sejak kapan Arfan meninggal karena menyelamatkan aku? Yang ada, sahabatku itu meninggal karena insiden kecelakaan yang sudah diatur oleh orang suruhan Mama Salwa. Dan itu semua karena kamu, Mas. Tak ada gunanya membantah, Mas Ammar tidak akan percaya. Dan aku memilih diam. Percuma menjelaskan pada orang yang menolak kebenaran. "Kenapa diam? Kamu mengakuinya," "Arfan sudah tidak ada. Tolong jangan lagi membawa namanya dalam masalah kita. Apapun yang terjadi antara aku dan dia, biar menjadi urusanku dengannya." "Sok bijak," celetuknya. Tak ingin berdebat lebih lama lagi, kuputuskan untuk meninggalkan Mas Ammar. Namun baru akan melangkah Mas Ammar mencekal lenganku. "Aku belum selesai bicara," katanya dengan mata melotot dan rahang mengeras. "Apa lagi, Mas? Dari tadi sudah aku jelaskan, aku tidak melakukan semua yang kamu tuduhkan. Jika tidak percaya pergi temui Mama Rosa dan tanyakan langsung padanya." Kutepis kasar tangan Mas Ammar dan segera berlari menuju tangga. "Ana berhenti," teriaknya namun tak kuhiraukan. Kupercepat langkahku menapaki anak tangga. Aku benar-benar lelah dengan semua ini. Jika boleh aku ingin menyerah dan mengikuti Arfan ke alam baka. "Renjana Zuhayra, aku bilang berhenti!!" teriakan itu semakin keras. Tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku dari belakang. Karena kaget aku kehilangan keseimbangan dan tubuhku pun oleng. Kakiku terpeleset sehingga aku terjatuh menggelinding ke bawah. "Akh...." Dugh..... Sesuatu yang keras membentur kepalaku membuat salah satu anggota tubuhku itu berdenyut nyeri dan pandanganku kabur. Rasanya sakit sekali,... Untuk beberapa detik aku masih bisa melihat Mas Ammar yang berdiri mematung sambil menatapku dingin. Detik berikutnya semuanya menjadi gelap. Dan hanya terdengar suara teriakan wanita memanggil namaku yang semakin lama suara itu semakin mengecil dan berganti kesunyian.Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s
Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany
"Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak
Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te
"Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala
[Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu
"Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"
"Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru
Hari ini aku sudah mulai kembali masuk kuliah. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berangkat sebelum Mas Ammar keluar dari kamarnya. Yaitu, tepat pukul 6 pagi. Begitu aku keluar, sopir sudah stanby di samping mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. "Makasih Pak," ucapku saat pak sopir membukakan pintu. Perlahan mobil pun meninggalkan pelataran rumah dan setengah jam berlalu, mobil pun sudah sampai di parkiran kampus. Aku turun setelah mengucap terima kasih pada pak sopir dan menyuruhnya pulang. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran setelahnya ke perpustakaan menunggu kelas berikutnya. Setiap hari hanya begitu saja yang kulakukan di kampus ini.sejak kematian Arfan. Jika dulu ada Arfan yang mengajak ke kantin untuk makan atau sekedar jajan sembari menunggu kelas kini aku hanya seorang diri, duduk di meja paling pojok perpustakaan. Sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah. Selain Arfan dan Raline aku memang tidak memiliki teman dekat lain. Dulu di sekolah aku m
"Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru
"Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"
[Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu
"Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala
Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te
"Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak
Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany
Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s