"Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"
"Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru
Hari ini aku sudah mulai kembali masuk kuliah. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berangkat sebelum Mas Ammar keluar dari kamarnya. Yaitu, tepat pukul 6 pagi. Begitu aku keluar, sopir sudah stanby di samping mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. "Makasih Pak," ucapku saat pak sopir membukakan pintu. Perlahan mobil pun meninggalkan pelataran rumah dan setengah jam berlalu, mobil pun sudah sampai di parkiran kampus. Aku turun setelah mengucap terima kasih pada pak sopir dan menyuruhnya pulang. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran setelahnya ke perpustakaan menunggu kelas berikutnya. Setiap hari hanya begitu saja yang kulakukan di kampus ini.sejak kematian Arfan. Jika dulu ada Arfan yang mengajak ke kantin untuk makan atau sekedar jajan sembari menunggu kelas kini aku hanya seorang diri, duduk di meja paling pojok perpustakaan. Sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah. Selain Arfan dan Raline aku memang tidak memiliki teman dekat lain. Dulu di sekolah aku m
"Maaf, Mas. Tadi, Mama telepon meminta kita makan siang di tempat Oma Rumana." Tengah malam, kuberanikan diri untuk berbicara pada Mas Ammar yang kebetulan baru tiba di rumah. Meski takut menghadapi sikap dingin pria berstatus suamiku itu, aku tetap melakukannya. Sebab sejak sore tadi, mama mertuaku sudah memperingatkan agar kami pergi bersama ke sana. Katanya, Oma sudah sangat rindu dengan kami. Dan jika aku gagal mengajak Mas Ammar, mertuaku itu akan membuat perhitungan denganku. Namun, Mas Ammar justru menatapku dingin. “Renjana Zuhayra, apa Kau tak lelah melakukan ini semua?" "Ma-af, Mas?" tanyaku belum paham maksud ucapannya. "Jangan pura-pura tidak mengerti, Renjana. Kau tahu kan, aku adalah kekasih Raline, tapi dengan sengaja Kau tetap menerima perjodohan ini? Bahkan sekarang, Kau mencoba memanfaatkan Oma dan Mama demi mendapatkan perhatianku." Kuhela nafas panjang, menahan rasa sakit yang mendera dalam dada. Tanpa dia mengungkitnya aku sudah tahu Ralin
Sejak kecil, Mama Salwa sangat membenciku. Dia bahkan tak segan membunuh sahabatku dan menjualku ke pernikahan ini demi menyelamatkan perusahaan keluarga yang hampir bangkrut. Rasanya, aku tak ingin mengangkatnya. Namun tahu kekejaman istri sah papaku itu, kubatalkan niatku itu. "Assallam....." “Dengarkan baik-baik, Renjana. Perusahaan Papamu membutuhkan dana tambahan untuk proyek barunya. Kamu bicaralah dengan Ammar, minta dia membatu Papamu.” Tanpa salam dari seberang sana, Mama Salwa sudah langsung memberi perintah. Kuhela nafas, baru saja bertengkar bagaimana bisa aku meminta tolong pada Mas Ammar? "Maaf Ma, untuk kali ini aku tidak bisa," balasku ketakutan. “Apa?” Suara Mama Salwa meninggi. “Apa kamu lupa alasan kamu menikah dengan Ammar? “Aku ingatkan lagi, kamu di sana hanya untuk membantu perusahaan keluarga kita, apa kamu mengerti?” "Aku mengerti, Ma, tapi–” “Baiklah aku tidak akan memaksa. Tapi jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi pada wanita penyakitan
"E... Tidak ada apa-apa, Oma," balasku cepat. Khawatir Oma curiga, aku memaksa bibirku tersenyum tipis. Sayangnya, mama mertuaku yang kebetulan duduk di samping—justru memincingkan matanya. "Apa Ammar yang mengirim pesan? Dia mau menyusul, kan?” Wanita itu bahkan mencoba melihat layar ponselku! Gegas, kubalikan ponsel di atas meja agar dia tak dapat melihatnya. "Bu-bukan Ma." "Kalau bukan Ammar, kamu kirim-kiriman pesan sama siapa?" sinisnya, “lagian kamu sih … gak becus jadi istri. Bisa-bisanya Ammar gak dateng lagi buat makan siang bersama kami.” Tanganku mengepal, menahan perasaan kesal. Astaghfirullah... Memang mulut Mama mertuaku ini. Sejak awal perjodohan, wanita ini memang tidak menyukaiku. Dia menuduhku sudah memiliki kekasih, bahkan menganggapku serakah karena menikahi putranya demi harta. Tapi anehnya, wanita itu juga tidak merestui hubungan Ammar dengan Raline? Entah, sebenarnya apa maunya? Haruskah aku memberitahunya bahwa putra kebanggaan itu masih
Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat. Begitu juga denganku. Gegas aku menyusulnya. Tangan itu baru akan membuka pintu saat aku berhasil mencekalnya. "Lepas!" sentaknya sembari melotot padaku. "Ma, tunggu sebentar." "Apa lagi?" tanyanya kesal. "Tolong dengerin aku sebentar saja Ma," pintaku memelas. Kupegang erat tangan mama mertuaku itu berharap dia luluh dan mau mendengarkan aku. Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan Mama bertemu mereka sekarang. Aku sangat yakin Mama Rosa akan marah besar dan situasinya tidak akan baik untuk semua orang, termasuk aku. Saat ini dalam sedang ada acara tidak mungkin aku biarkan Mama Rosa mengamuk di dalam. "Dengerin apa lagi?" Mama Rosa menepis tanganku kasar namun kupegang lagi lebih erat dan menariknya menjauhi dari pintu besar itu. "Kamu kenapa sih?" Lagi-lagi Mama Rosa menepis tanganku. "Kamu itu ngerti gak sih, kalau saya sedang membela kamu? Saya
"Ada apa Mama kesini?" Setelah menunggu dua puluh menit akhirnya sang pemilik ruang kerja datang. Aku dan Mama Rosa langsung mengangkat kepala menatap pria jangkung yang baru saja masuk. "Kamu sudah selesai bertugas?" tanya Mama Rosa pada putra keduanya. "Hem..." jawab Samudra. "Mama sakit?" tanyanya terlihat khawatir. "Nggak. Mama kesini ada perlu sebentar," Samudra menghela nafas lega lalu melirikku sekilas sebelum akhirnya melepaskan jas putihnya. Dia pun duduk dibalik meja kerjanya. Samudra Albiru Zafier, adik kandung Mas Ammar. Dia sedang menjalani koas di rumah sakit ini, ynag memang milik keluarga Zafier. Tidak seperti Mas Ammar, menurut Oma Rumana, Samudra lebih tertarik dengan dunia kesehatan ketimbang meneruskan perusahaan milik keluarganya. Ya, aku juga mengenalnya. Kami kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan. Beberapa bulan yang lalu kami sempat dekat karena tergabung dalam sebuah penelitian. Tapi entah kenapa sejak aku menjadi kakak iparnya sikapnya b
Hari ini aku sudah mulai kembali masuk kuliah. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berangkat sebelum Mas Ammar keluar dari kamarnya. Yaitu, tepat pukul 6 pagi. Begitu aku keluar, sopir sudah stanby di samping mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. "Makasih Pak," ucapku saat pak sopir membukakan pintu. Perlahan mobil pun meninggalkan pelataran rumah dan setengah jam berlalu, mobil pun sudah sampai di parkiran kampus. Aku turun setelah mengucap terima kasih pada pak sopir dan menyuruhnya pulang. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran setelahnya ke perpustakaan menunggu kelas berikutnya. Setiap hari hanya begitu saja yang kulakukan di kampus ini.sejak kematian Arfan. Jika dulu ada Arfan yang mengajak ke kantin untuk makan atau sekedar jajan sembari menunggu kelas kini aku hanya seorang diri, duduk di meja paling pojok perpustakaan. Sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah. Selain Arfan dan Raline aku memang tidak memiliki teman dekat lain. Dulu di sekolah aku m
"Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru
"Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"
[Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu
"Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala
Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te
"Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak
Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany
Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s