Share

Tes keprawan*n.

Author: iva dinata
last update Huling Na-update: 2025-03-25 21:49:21

"Ada apa Mama kesini?"

Setelah menunggu dua puluh menit akhirnya sang pemilik ruang kerja datang. Aku dan Mama Rosa langsung mengangkat kepala menatap pria jangkung yang baru saja masuk.

"Kamu sudah selesai bertugas?" tanya Mama Rosa pada putra keduanya.

"Hem..." jawab Samudra. "Mama sakit?" tanyanya terlihat khawatir.

"Nggak. Mama kesini ada perlu sebentar,"

Samudra menghela nafas lega lalu melirikku sekilas sebelum akhirnya melepaskan jas putihnya. Dia pun duduk dibalik meja kerjanya.

Samudra Albiru Zafier, adik kandung Mas Ammar. Dia sedang menjalani koas di rumah sakit ini, ynag memang milik keluarga Zafier.

Tidak seperti Mas Ammar, menurut Oma Rumana, Samudra lebih tertarik dengan dunia kesehatan ketimbang meneruskan perusahaan milik keluarganya.

Ya, aku juga mengenalnya. Kami kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan. Beberapa bulan yang lalu kami sempat dekat karena tergabung dalam sebuah penelitian. Tapi entah kenapa sejak aku menjadi kakak iparnya sikapnya berubah dingin dan seolah tidak mengenalku.

Mungkin dia juga menganggapku gila harta sama seperti mama dan kakaknya.

"Mama kesini mau minta tolong sama kamu," ujar Mama Rosa yang langsung membuyarkan lamunanku.

Pria itu mengerutkan dahinya. " Minta tolong apa?" katanya sambil menyandarkan punggungnya.

"Tolong kamu antar Ana untuk mejalani pemeriksaan. Mama mau kamu pastikan tidak ada prosedur yang terlewat."

Samudra menatapku sebentar sebelum kembali mengarahkan pandangannya pada sang Mama. "Pemeriksaan apa?"

"Mama ingin Renjana menjalani tes keperawa*an,"

"Apa?" pekik Samudra terkejut. Matanya melebar menatap ke arahku dan mama Rosa bergantian.

Malu, aku sangat malu sampai-sampai tak sanggup mengangkat kepalaku.

Begitu rendahnya aku sampai harus menjalani tes yang benar-benar menghancurkan harga diriku sebagai wanita.

"Apa aku nggak salah dengar?" tanya Samudra.

"Nggak. Mama ingin Ana menjalani tes keperawa*an dan tes H*V untuk memastikan dia wanita baik-baik yang tidak memiliki riwayat penyakit menular."

Terdengar helaan nafas berat dari mulut Samudra. "Jangan aneh-aneh deh, Ma. Apa Mama sadar dengan apa yang Mama katakan?"

"Memang apa ada yang salah dengan keinginan Mama? Mama hanya ingin yang terbaik untuk putra Mama. Mama gak mau kalau sampai keluarga kita memiliki keturunan yang---"

"Cukup, Ma." Samudra menatap mamanya intens. "Aku tidak tahu dari mana Mama sampai memiliki pemikiran seperti itu. Tapi yang pasti aku tidak akan membiarkan Mama merendahkan anak orang lain demi putra Mama."

Mendadak dadaku terasa hangat, ada sedikit kelegaan muncul di hatiku. Meski angkuh tapi Samudra masih memiliki empati. Sepengetahuanku Samudra juga pria yang sopan dan baik.

"Mama hanya ingin berjaga-jaga, Sam. Mama tidak mau kalau sampai Ana menularkan penyakit ke Ammar." Mama Rosa belum menyerah. "Bagaimana kalau dulunya Ana memiliki pergaulan yang tidak baik," katanya melirikku sinis.

Aku mendesah berat, menahan rasa nyeri tiba-tiba muncul karena ucapan Mama Rosa. "Saya nggak papa menjalani pemeriksaan biar Mama tenang," kataku pada akhirnya.

"Itu Ana sendiri gak keberatan," sahut Mama Rosa.

"Tes H*V saja. Aku akan mengantarnya." Samudra langsung berdiri. "Kenapa masih diam saja?" katanya sambil menatapku.

Aku menoleh pada Mama Rosa, nampak wanita itu mendengus kasar. Wajahnya terlihat tidak senang tapi tidak bisa membantah.

"Apa lagi, ikuti Samudra!" perintahnya ketus.

Aku pun segera berdiri dan mengikuti Samudra yang sudah berjalan lebih dulu. Aku mengambil langkah beberapa langkah di belakangnya. Sekitar lima menit kami sampai di depan ruang laboratorium.

Samudra berhenti dan membalikkan badannya. "Apa ini yang kau inginkan?" tanyanya yang kujawab dengan kerutan di dahi. "Apa harta lebih berharga dari harga dirimu?"

"Tidak. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk melawan. Ada orang yang tak berdosa akan celaka jika aku tak melakukannya," jawabku dalam hati. Tak ada gunanya juga menjelaskan. Dia juga tidak akan percaya.

Samudra mendengus kasar, wajahnya terlihat memerah. Mungkin kesal karena aku hanya diam saja.

"Bisakah tesnya segera dilakukan? Aku masih ada pekerjaan lain,"

Adik iparku itu mendesah berat sebelum akhirnya melangkah masuk. Gegas aku mengikutinya. Setelah berbicara dengan seorang perawat dia memintaku untuk masuk ke sebuah ruangan.

"Perawat akan mengambil darahmu untuk di tes. Aku tunggu di luar," katanya sebelum pergi.

Hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja dan hasilnya sudah keluar. Menurut hasil lab aku tidak mengidap H*V atau penyakit kelamin lainnya.

"Berikan ini pada Mama. Katakan aku sibuk dan ajak Mama pulang," perintah Samudra sambil menyerahkan kertas hasil lab milikku.

Pria itu pergi begitu saja, meninggalkan aku di depan pintu ruang kerjanya.

Saat membuka pintu, terdengar suara dari dalam.

"Mama tidak menyangka selama ini kamu tega membohongi Mama. Kamu masih menjalin hubungan dengan wanita itu. Kali ini Mama tidak akan tinggal diam. Jika kamu tidak segera mengakhiri hubunganmu dengan wanita itu. Jangan salahkan Mama jika wanita itu kehilangan karir yang baru dirintisnya,"

Ternyata Mama Rosa sedang menelpon seseorang. Dari percakapannya, aku yakin itu Mas Ammar.

"Ingat Ammar, Papamu tidak sebaik Mama. Kalau sampai Papamu mengetahuinya, dia pasti akan mengambil tindakan tegas."

Tubuhku seketika membeku di tempat. 

Apa yang akan dilakukan mertuaku ini pada Raline? Apakah karirnya sebagai desainer akan berakhir? Mengingat betapa berkuasanya keluarga Zafier, aku bahkan ngeri membayangkannya.

Lebih dari itu ... yang paling kutakutkan adalah kemarahan Mas Ammar. Pria itu pasti mengira aku yang memberitahu Mama Rosa tentang hubungannya dengan Raline.

Ya Tuhan.... bagaimana ini?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Insiden.

    Dari rumah sakit, aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online. Mama Rosa tidak bisa mengantarku pulang karena tiba-tiba tidak enak badan dan kepalanya pusing. "Kamu pulang naik taksi online saja," perintahnya yang dengan senang hati aku lakukan. Pulang sendiri lebih menenangkan untukku, karena sepanjang perjalanan tidak perlu mendengarkan omelan dn kata-kata pedas dari mulut ibu mertuaku itu. Dan lagi, aku punya waktu untuk memikirkan penjelasan apa yang akan kukatakan pada Mas Ammar. Sekarang pria itu pasti sudah menungguku di rumah. Beberapa menit yang lalu, sebuah nomor asing menelpon, yang ternyata nomor baru milik Mas Ammar. Pria itu menghubungiku untuk meminta agar aku segera pulang. Dari suaranya terdengar sedang menahan amarah. Mungkin karena takut, perjalan terasa begitu cepat. Tanpa terasa taksi yang membawaku sudah sampai di depan rumah. Meski enggan aku pun melangkah turun. Jantungku seketika berdegup kencang begitu aku melihat mobil milik Mas Ammar su

    Huling Na-update : 2025-03-25
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terbangun di rumah sakit.

    Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Datang menjenguk

    Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar.

    "Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar

    Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te

    Huling Na-update : 2025-04-13
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menjelaskan dengan jelas.

    "Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala

    Huling Na-update : 2025-04-13
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Mengiba demi keselamatan Bunda Laila.

    [Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Kedatangan tamu.

    "Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"

    Huling Na-update : 2025-04-14

Pinakabagong kabanata

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Gadis introvert.

    Hari ini aku sudah mulai kembali masuk kuliah. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu berangkat sebelum Mas Ammar keluar dari kamarnya. Yaitu, tepat pukul 6 pagi. Begitu aku keluar, sopir sudah stanby di samping mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. "Makasih Pak," ucapku saat pak sopir membukakan pintu. Perlahan mobil pun meninggalkan pelataran rumah dan setengah jam berlalu, mobil pun sudah sampai di parkiran kampus. Aku turun setelah mengucap terima kasih pada pak sopir dan menyuruhnya pulang. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran setelahnya ke perpustakaan menunggu kelas berikutnya. Setiap hari hanya begitu saja yang kulakukan di kampus ini.sejak kematian Arfan. Jika dulu ada Arfan yang mengajak ke kantin untuk makan atau sekedar jajan sembari menunggu kelas kini aku hanya seorang diri, duduk di meja paling pojok perpustakaan. Sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah. Selain Arfan dan Raline aku memang tidak memiliki teman dekat lain. Dulu di sekolah aku m

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terpaksa berbohong

    "Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?" tanya Oma Rumana begitu kami duduk di sofa ruang tengah. "Samudra bilang kamu mengalami gegar otak ringan dan sempat koma beberapa jam?" lanjutnya yang cukup membuatku terkejut. Dari mana Samudra tahu? Tidak mungkin Bibi atau Mad Ammar yang memberitahunya. Mungkinkah adik iparku itu bertanya pada dokter yang merawatku? Ah.... tidak mungkin. "Ana, kok diam? Jawab pertanyaanku," Oma menepuk lenganku pelan. "Iya Oma. Itu... Saya terpeleset di tangga saat mau ke kamar. Saya jatuh dan kepala saya membentur lantai," jawabku berbohong. Bukan atas perintah Mas Ammar, tapi inisiatifku sendiri. Karena aku tidak ingin kejadian itu menjadi pemetik kemarahan Oma Rumana kepada Mas Ammar. Lagi pula aku juga tidak yakin Oma dan Mama Rosa akan percaya dengan ceritaku jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Kenapa kamu sampai terpeleset?" tanyanya lagi seolah belum puas dengan jawabanku. Matanya menatapku penuh selidik. "Sore itu saya buru-buru

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Kedatangan tamu.

    "Nyonya Ana, ada tamu." "Iya ini aku," katanya berjalan mendekat dengan senyum yang tak luntur dari wajah cantiknya."Kamu gak amnesia kan? Astaga..... lihat kondisimu." Kekasih Mas Ammar itu menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Mas Ammar benar-benar keterlaluan," katanya lagi sambil memeriksa tubuhku. "Ya Tuhan... pasti sangat sakit kan? Makanya kamu itu jangan buat Mas Ammar marah. Susah payah aku membujuknya untuk tidak menyalahkan kamu atas perjodohan kalian. Tapi kamu malah bikin masalah dengan menunjukkan foto kami ke mamanya Mas Ammar," tambahnya mengoceh tanpa sadar dengan situasinya. Apa dia tidak sadar kedatangannya kesini akan membuat murka Mama Rosa. Bibi mungkin bisa aku larang untuk melapor pada Oma Rumana, tapi Pak Yanto. Dia adalah orang suruhan Mama Rosa yang kapan saja bisa melapor pada mama mertuaku itu. "Ana, kok kamu diam saja sih? Nggak suka aku datang?" "Bukan begitu." Aku jadi serba salah. "Untuk apa kamu kesini? Mas Ammar sudah berangkat kerja,"

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Mengiba demi keselamatan Bunda Laila.

    [Waktumu tinggal satu hari. Jika sore nanti belum ada kabar baik dari Ammar. Maka akan ada kabar duka yang masuk ke ponselmu.] Astaghfirullah,..... Bergegas aku bangkit, dengan menahan sakit aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar untuk mengejar Mas Ammar. "Mas," panggilku pada pria yang baru menapaki anak tangga pertama. Kupercepat langkahku agar tak kehilangan kesempatan untuk bicara padanya. Aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria berstatus suamiku itu jika melewatkan siang ini. Hubungan kami yang tidak harmonis membuatnya jarang pulang. Entah tidur dimana pria itu. Kadang samai berhari-hari tidak pulang. "Eh....." Karena buru-buru dan lupa jika kaki kiriku masih sakit, q terpelesat dan tubuhku jatuh ke depan. Reflek aku menutup mata. "Akh...." Brugh..... Tubuh menabrak benda keras. Namun terasa tidak begitu sakit. Selain itu ada aroma maskulin yang menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku.Begitu aku membuka mata, ternyata aku berada dalam pelu

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menjelaskan dengan jelas.

    "Sikapmu dan Samudra aneh, kalian seperti orang asing, padahal pernah berteman. Mungkinkah, ada perasaan yang kalian sembunyikan?" "Atau mungkin, kamu main hati dengan Samudra di belakang Arfan?" Deghh..... Satu sudut bibir Mas Ammar tertarik membentuk senyum tipis. Senyum yang ibarat sebuah belati tajam yang kembali memberi sayatan di hatiku yang penuh luka. Seburuk itukah aku di matanya? Bermain hati dengan dua pria. Ya Tuhan.... rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan pria lain jika hatiku sudah tertambat pada dirinya sejak pertama melihatnya melakukan kegiatan bakti sosial di panti asuhan tempat tinggal Raline. "Kenapa tersenyum?" tanya Mas Ammar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku merasa lucu," "Apa yang lucu? Pertanyaanku? Ahhhh...... harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Karena jawabannya sudah jelas, kamu berpacaran dengan Arfan tapi memiliki perasaan juga pada Samudra." "Perasaan?" Kutatap bola mata pekat itu dala

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar

    Sejak pesan pertama masuk, diikuti pesan kedua, ketiga dan seterusnya. Tak hanya pesan, panggilan masuk dari nomor kontak Raline membuat ponselku terus berpendar. Namun kuabaikan. Tak ada niat untuk menerima panggilan telpon dari sahabatku itu. Di samping karena ada Mas Ammar, aku juga merasa enggan berbicara dengannya. Entah kenapa, terkadang aku merasa curiga kepada Raline. Seringkali ucapan dan sikapnya tak sejalan. Tapi entahlah aku belum punya cukup bukti atas kecurigaanku. Pernah Raline menjadikan aku kambing hitam atas kesalahannya, yang katanya tidak sengaja. Saat itu Raline dan beberapa temannya sedang mengikuti lompa peragaan busana untuk para desainer baru. Tanpa sengaja sahabatku itu tidak sengaja merusak baju temannya yang diikutsertakan dalam lomba. Karena takut di diskualifikasi Raline memintaku untuk mengaku jika itu perbuatanku. Demi kata persahabatan, aku pun mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan itu. Dan karena kejadian itu aku jadi tidak memiliki te

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Perubahan sikap Ammar.

    "Sudah boleh pulang?" Aku menoleh saat terdengar suara berat dari arah pintu kamar. Sontak aku mengerutkan dahiku. "Kamu?" "Iya, ini aku. Kenapa, kecewa?" jawab Samudra. Adik iparku, juga seniorku di kampus. Aku cukup terkejut melihatnya. Ini bukan rumah sakit tempatnya koas, untuk apa dia di sini? "Berharap Ammar yang datang?" cibirnya lagi dengan senyum sinis. Aku tak menjawab. Pria itu sebelas dua belas dengan kakaknya. Berdebat hanya akan membuat kepalaku pusing. "Ini Bik," Samudra menyerahkan sebuah paperbag berlogo toko kue ternama. "Terima kasih," sahut Bibi. "Tapi, maaf sekarang sudah mau pulang. Ini lagi beberes," tambahnya menjelaskan. "Nggak papa bawa pulang saja sekalian Bi, itu dari Mama. Dia gak bisa datang karena sedang sakit." "Sakit apa?" tanyaku. Mendadak ada rasa khawatir bergumul di dadaku. Mungkinkah karena, "Tekanan darahnya naik," jawab Samudra dengan dagu terangkat. Sangat berbeda dengan Samudra yang pernah aku kenal. Tanpa sadar ak

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Datang menjenguk

    Ceklek, Suara pintu kamar di buka dari luar. Aku yang sejak tadi melamun sambil memegangi cincin pernikahan reflek mengangkat wajahku. Menatap seseorang yang sedang melangkah masuk. Sontak mataku membola, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri beberapa meter di depan sana. Apa aku tidak salah lihat? Dokter mengatakan aku mengalami gegar otak ringan tapi tidak ada masalah dengan indra penglihatanku. Atau mungkin saat ini aku sedang berhalusinasi? "Dimana Bibi?" Pria itu berjalan mendekat sambil menoleh ke sekeliling ruangan. Satu tangannya dimasukkan saku celana dan satunya lagi menenteng kantong plastik berlogo sebuah minimarket. "Kamu masih bisa bicara kan?" Tenyata aku tidak berhalusinasi. Dari ucapannya itu benar-benar Mas Ammar. Aku yang sempat tertegun beberapa saat, segera membuang muka. Sebisa mungkin bersikap tenang. "Pulang," jawabku singkat. "Pulang?" tanyanya. Lalu, meletakkan barang yang dibawanya diatas meja. "Siapa yang menyuruhnya pulang?" Matany

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Terbangun di rumah sakit.

    Aroma anestesi menyambut indra penciumanku begitu aku membuka mata. Rasa nyeri terasa di kepala dan beberapa anggota tubuhku. Perlahan kuendarkan pandangan ke sekeliling, sepi. "Akh...." Kepalaku berdenyut nyeri saat kucoba untuk bangun. Tak hanya kepala, tangan dan kakiku juga terasa nyeri dan beberapa bagian terasa perih. "Nyonya Anna? Nyonya sudah sadar?" Dari arah pintu suara lembut Bik Romlah terdengar. Wanita paruh baya itu baru saja masuk dan segera berlari mendekatiku. "Ya Alloh....Syukurlah, akhirnya Nyonya Anna sadar juga," ucapnya dengan mata yang sudah mengembun. "Sebentar." Bibi bergegas menekan tombol yang menempel di dinding tepat diatas kepalaku untuk memanggil perawat. "Tolong bantu saya bangun," pintaku berusaha mengangkat kepalaku namun rasa pusing itu kembali mendera. "Nyonya jangan bangun dulu," larangnya menahan tubuhku agar tetap berbaring. "Tiduran saja ya, takut luka di kepala Nyonya terbuka lagi kalau dipaksa bangun," tambah wanita yang s

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status