Adit dan Aldi terus berlari sambil berteriak menuju ruang tamu, tanpa mereka sadari bahwa ada Siska yang sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya. Mereka berdua berebut untuk bersembunyi di dekat wanita yang gemar mengoleksi berlian itu.
“Kalian kenapa, sih? Udah kayak dikejar-kejar hantu aja.” Siska berdiri, melipat tangannya di depan dada sembari menatap kedua saudara yang tengah ketakutan.
“Me-memang ada hantu di taman belakang, Sayang. Serem banget, hiii.” Aldi menjelaskan sambil bergidik ngeri saat mengingat apa yang ia lihat.
Berbeda dengan Adit, ia tidak melihat, tetapi entah mengapa perasaannya mengatakan ada hal yang tidak baik di sana. Hingga ia ikut berlari saat Aldi berteriak.
“Siang-siang gini mana ada hantu. Ngaco aja! Cemen banget, sih.” Bukannya simpatik, tetapi sikap Siska justru meremehkan pengakuan Aldi.
“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sudah melihat dengan jelas bagaimana wajah makhluk itu,” tegas Adit dengan ekspresi ngeri saat menyebut makhluk yang ia lihat.
“Memangnya wajah hantu seperti apa, Kak? Apa sama persis seperti di film horor?” Dengan polosnya Adit bertanya hal semacam itu.
Aldi menatap nyalang pada sang adik. “Yakin kamu pengen tahu?” tanya Aldi membuat Adit refleks mengangguk. “Kamu bayangin, wajahnya pucat, pinggiran mata yang hitam serta ada darah yang keluar dari mata sama bibirnya. Sama bajunya bukan putih ternyata,” lanjut Aldi menggantungkan kalimatnya.
“Terus apa?” ucap Adit dan Siska bersamaan.
“Bajunya warna ... pink,” imbuh Aldi diiringi gelak tawa yang menggema. Sementara dua orang yang sedari tadi penasaran menatap sebal.
“Gak lucu!” Siska mendengkus sebal sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan suaminya.
Adit pun beranjak ke kamar untuk melihat keadaan Reyna, meninggalkan Aldi yang masih terkekeh geli. Saat menaiki tangga, tiba-tiba tengkuknya terasa dingin. Seperti terkena embusan angin, padahal di sekitar ruangan itu tidak ada ventilasi udara atau kipas angin.
Perasaannya makin tak keruan, ia pun mempercepat langkahnya menuju kamar. Sebelum menemui sang istri, pria itu tersadar jika sejak tadi ia tidak melihat Mbok Sun dan juga Anindita. Ia ingin mengetahui kondisi Reyna, tetapi ia juga khawatir dengan sang anak.
“Cek Reyna dulu, deh. Abis itu baru ajak Anin ketemu sama om dan tantenya,” ucap adit bermonolog.
Pria itu memutar knop pintu, dan berjalan pelan mendekati Reyna yang masih terpejam, lalau duduk di sisi ranjang. Dalam hatinya ada rasa yang begitu pedih kala melihat sang belahan jiwa terbaring lemah tanpa tahu sakit apa yang diderita.
“Sayang, bangun! Apa kamu nggak kangen sama aku dan Anin?” Adit mengusap lembut wajah Reyna yang terlihat sangat pucat. Lalu, dikecupnya kening Reyna dengan penuh cinta.
Setelah itu, Adit pun kembali berdiri untuk mencari putrinya. Ia menutup pintu kamar dan bergegas turun menuju dapur. Sebelum ke dapur, Adit menuju ruang tamu dulu, untuk menawarkan makanan atau minuman. Sejak mereka datang tidak ada yang menyuguhkan apa-apa.
“Dit, gimana Reyna? Udah sadar?” Aldi bertanya saat melihat Adit berjalan ke arahnya.
“Belum,” jawab Adit lesu. “Oya, Dokter Ferdi ke mana, ya? Kok, dari tadi nggak keliatan?” lanjutnya sembari mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
“Dia pamit pulang duluan tadi, katanya banyak pasien yang nungguin. Lagi diantar sama sopir.” Siska menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dar benda pipih lima inci tersebut.
“Oya, Anindita mana? Dari tadi nggak, kok nggak ada?” tanya Aldi.
“Owh, dia lagi dijagain sama Mbok Sun, istrinya Pak Kasmo.”
“Istrinya Pak Kas?” Aldi kembali mengulang ucapan adiknya. Sementara Adit menangguk.
“Loh? Bukannya istri Pak Kas sudah lama me—“
Brak!
Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari arah dapur, membuat ucapan Aldi tak meneruskan ucapannya. Mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara, setelah itu mereka saling tatap satu sama lain.
“Suara apaan itu? Liat, gih!” seru Siska dengan mengeratkan kedua tangannya di dada.
Adit bergegas menuju dapur, takut jika terjadi sesuatu dengan buah hatinya. Sebab yang ia tahu Anindita sedang diasuh oleh Mbok Sun. Aldi pun menyusul Adit, tinggal Siska yang sendirian di ruang tamu.
Cahaya di rumah itu sangat temaram meski hari masih siang, jadi setiap saat lampu-lampu tetap menyala agar memudahkan penghuni rumah menjalankan aktivitasnya. Namun, suasana di dapur sangat gelap gulita. Adit mengerutkan kening, merasa heran mengapa bisa seperti itu? Apakah listrik di bagian dapur sedang korselet?
Pria berambut cepak itu meraba dinding dekat pintu, mencari sakelar untuk mencoba menyalakan lampu. Namun, tangannya tiba-tiba merasakan memegang sesuatu yang dingin. Bukan kulit binatang yang merayap di dinding, tetapi ini seperti kulit manusia. Ia juga seperti melihat siluet seseorang yang berada di dalam dapur.
Dengan sekali entakkan, ia menekan tombol on. Seketika ruangan yang semula gelap gulita berubah menjadi terang benderang. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana, membuat Adit merasa heran.
“Perasaan tadi ada orang di sini, kenapa sekarang kosong?” gumamnya pelan.
“Kenapa, Dit?” tanya Aldi yang melihat gelagat tak biasa dari adiknya itu.
“Oh, gapapa, Kak. Mungkin tadi tikus, kali. Oya, mau dibuatin apa? Mumpung lagi ada di dapur.” Adit mengalihkan pembiaraan, ia tidak mau terlalu memikirkan hal yang menurutnya tidak penting.
“Apa aja lah, lagian aku nggak bisa lama. Bentar lagi mau pulang.” Aldi menyahut sembari menepuk bahu adik satu-satunya itu.
“Oke, kopi aja, ya,” ucap Adit dan dijawab anggukan oleh Aldi dan pria itu memilih menunggu di ruang tamu bersama Siska.
Setelah kopi siap, Adit menaruh tiga cangkir di atas baki dan membawanya. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Reyna sedang berdiri di dekat pintu.
“Sayang, kamu ngapain di sini?” tanya Adit saat ia sudah berdiri di dekat Reyna. Akan tetapi, sang istri hanya diam dengan tatapan lurus ke depan.
“Den Adit, sedang apa?” Suara Mbok Sun membuat Adit terkejut dan refleks menoleh ke arah wanita yang gemar memakai kain jarik sebagai bawahan.
“Eh, Mbok. Ini lagi bikin minuman buat Kak Aldi,” jawab Adit. “Kamu mau apa, Sayang? Loh?” Adit kembali terkejut saat Reyna tiba-tiba menghilang.
Ia mencari ke mana perginya sang istri, sebab tidak terdengar suara langkah kaki. Akan tetapi, bagaimana bisa Reyna berjalan sangat cepat, sedangkan dari dapur menuju ruang tamu itu cukup luas.
“Den Adit cari apa?” tanya Mbok Sun yang merasa heran saat majikannya itu kebingungan. Seperti mencari sesuatu yang hilang.
“Reyna, Mbok. Tadi dia ada di sini, tapi sekarang, kok nggak ada, ya?”
Mbok Sun mengerutkan keningnya. “Non Reyna? Wong Simbok tadi nggak liat siapa-siapa di sini selain Den Adit sendiri.”
“Lama banget, sih cuma bikin kopi doang.” Aldi menggerutu saat melihat Adit baru tiba. Namun, lelaki yang selalu memakai pakaian rapi itu sedikit heran saat melihat wajah adiknya.“Kamu sehat, Dit? Kok, pucet banget mukanya?”Siska yang semula fokus dengan ponselnya pun turut melirik sang adik ipar saat mendengar ucapan Aldi. “Iya. Udah nggak usah banyak pikiran. Aku dan Aldi, bakalan nemenin kamu di rumah ini sementara buat jagain Reyna dan Anin,” ucap Siska sambil melirik Aldi. Pria itu pun hanya mengangguk sebagai jawaban.“Bukan gitu, Kak. A-aku—““Mas Adit!” Suara teriakan Reyna dari kamar membuat Adit menghentikan ucapannya. Ketiga orang itu pun kompak menoleh ke atas dan bergegas menuju ke sana.Sesampainya di dalam kamar, Adit tidak segera menghampiri Reyna. Ia hanya berdiri di ujung ranjang, begitu juga dengan Siska. Bayang-bayang sosok wanita yang mirip sang istri tak bisa
Pria berbadan kurus itu berjalan cepat menuruni tangga menuju ruang tamu. Ia segera meraih cangkir dan meneguk kopi yang sudah dingin, berharap hati yang panas bisa dingin kembali. Namun nyatanya, setelah minuman berwarna hitam itu tandas, hatinya tetap bergejolak menahan emosi. Aldi duduk di sebelah kanan adiknya itu pun meminum kopi tersebut. Menarik napas panjang agar ia pun tak ikut emosi dengan tingkah absurd adik iparnya itu. Mata elang itu menatap tajam pada wanita yang memakai dress berwarna krem, yang berdiri di ujung tangga dengan tubuh gemetar. Adit menyandarkan bahunya di sofa seraya memejamkan matanya.“Sepertinya Reyna sudah membaik, aku akan pulang sekarang,” ucap Aldi memecah keheningan di ruangan itu.“Sudah mau Magrib, Kak. Enggak sebaiknya menginap saja di sini?” Adit menoleh ke arah kakaknya masih dengan posisi bersandar.“Besok aku ada meeting dengan klien penting, jadi tidak bis ditunda. Sebaiknya kau bawa Reyna istiraha
Suara bising kendaraan yang melintas di jalan raya membuta hati Aldi kian gusar. Terhitung sejak kemarin ia menyambangi rumah Adit, Siska menghilang entah ke mana. Pria bergaya perlente itu sudah mencari sang istri ke semua tempat, tetapi tak kunjung menemukan hasil.“Sudah ketemu, Kak?” Adit tiba-tiba masuk membuyarkan lamunan pria yang memakai kacamata hitam itu.Terdengar embusan napas kasar dari Aldi, membuat Adit paham maksudnya. Pria yang mengenakan kemeja berwarna navy itu pun menarik salah satu kursi dan duduk di seberang sang kakak. Makanan lezat khas restoran bintang lima, sudah disajikan tiga puluh menit yang lalu pun hanya teronggok di atas meja bundar.“Kamu yakin tidak ada yang mencurigakan di rumah itu?” Aldi pun akhirnya bersuara setelah hampir satu jam bungkam. Adit hanya menggeleng sebagai jawaban.“Kamu ingat kapan terakhir kali Siska bersama kita?” lanjutnya dengan tatapan tajam pada Adit.Sejenak pikiran pria ber
Prang!Adit terkejut saat tangannya tak sengaja menyenggol sebuah gelas. Tiba-tiba ia teringat Reyna dan Anin di rumah. Bagaimana jika Reyna diganggu oleh makhluk tak kasat mata itu lagi? “Kenapa, Dit?” Aldi menyadari kegelisahan adiknya, ia pun menatap Adit penuh tanda tanya.“Entahlah, Kak. Tiba-tiba saja aku teringat Reyna dan Anin.”“Mungkin karena kamu sedang makan enak di sini, jadi teringat anak dan istri di rumah yang belum makan, kan?” Adit menoleh ke arah Aldi, ia merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya itu, meski yang dia katakan memang benar adanya. Adit menatap tajam sang kakak yang tersenyum mengejek, ia pun meletakkan sendok di atas piring dan segera meneguk air putih yang sisa setengah. “Aku mau pulang dulu, Kak. Takut terjadi apa-apa dengan anak dan juga istriku.” Pria berbadan kurus itu menggeser kursi, lalu beranjak. Namun, Aldi mencoba menahannya.“Tenang
“Reyna! Anin!” Adit mendobrak pintu yang terkunci. Ia berlari tak tentu arah sambil berteriak memanggil nama anak dan istrinya.Keringat dingin bercucuran dari tubuh kurus itu, lelah karena berlari dari depan kompleks tak ia rasakan. Baginya yang terpenting adalah keselamatan Reyna dan Anin. Ia berlari menuju lantai dua, kamar yang ia tempati adalah tujuan akhir. Berharap orang yang dicari ada di sana.Brak! Pintu ia buka secara kasar, terlihat Anin sedang terbaring di atas ranjang bersama Reyna. Hatinya terasa lega.“Reyna, Anin. Syukurlah,” lirih Adit seraya berjalan mendekati ranjang king size yang berbalt seprai berwarna biru.Reyna terlihat pulas, begitu juga Anin. Adit duduk di sisi ranjang dekat sang istri. Tangannya terulur menyibak rambut halus yang menutupi wajah cantiknya. Namun, ia merasakan kening istrinya sangat panas. Hatinya kembali dirundung gelisah, dengan pelan ia menepuk pipi Reyna agar wanita itu bangun. Namun, Reyn
“Tidak! Jangan!” “Ayah, kenapa? Kok, teriak-teriak?” Adit menutup mata rapat dengan kedua tangannya, ia menepis tangan kecil nan mungil Anin saat menyentuh lengannya. “Mas, kamu kenapa?”Adit terdiam saat mendengar suara lembut sang istri, tetapi ia tidak mudah percaya begitu saja. Ia takut semua hanya ilusi saja. Pria berbadan kurus itu menutup telinganya dan kembali berteriak histeris.“Pergi kalian semua! Jangan ganggu aku. Pergi!” Reyna memeluk tubuh Anin yang ketakutan mendengar suara teriakkan Adit, tetapi ekspresi lain ditunjukkan oleh wanita yang memakai kebaya berwarna merah maroon. Bibir berisinya membentuk lengkungan, bersama dengan tatapan sinis dan tajam saat melihat anak dari mantan majikannya ketakutan.Mbok Sun perlahan pergi dari tempat itu, lalu merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang, “Semua berjalan sesuai rencana, Tuan. Baiklah.”Setelah menelepon seseorang, wanita paruh ba
“Kamu yakin ini rumahnya, Mas?” tanya Reyna pada Adit-suaminya-yang tengah susah payah membawa koper. Pria berkulit putih itu pun menaruh koper di sampingnya, lalu mengambil secarik kertas yang berada di saku bajunya. “Menurut alamatnya, sih bener, Dek. Nih, kamu liat aja!” Reyna sedikit kesusahan saat meraih kertas yang disodorkan suaminya, sebab ia sedang menggendong putri semata wayangnya yang tertidur sejak di perjalanan. Setelah kertas itu berpindah ke tangan Reyna, ia pun mencocokkan alamat yang tertera di kertas dengan nomor yang ada di sisi kanan dekat pagar besi. “Sama, Mas. Tapi, kok kayak sepi? Serem lagi!” seru Reyna sambil mengusap lengannya. “Wajar sepi, kan emang udah lama kosong sejak kedua orang tua Mas meninggal. Lagi pula, menurut penjelasan Mas Aldi ada dua pekerja yang bertugas menjaga dan membersihkan rumah ini, ” jelas Adit sambil mengamati suasana rumah tersebut. “Tapi pada ke mana, ya? Sepi banget,” lanjut Adit sambil
Adit yang sedang asyik berbincang dengan Pak Kas sangat terkejut saat mendengar teriakkan sang istri dari lantai atas. Ia pun segera berlari menaiki tangga menuju kamar yang terdengar suara jeritan serta tangis dari sang buah hati. Namun sayang, pintu tersebut terkunci dari dalam. “Reyna! Buka pintunya, Sayang!” Adit berusaha mendorong pintu berwarna putih itu dan dibantu oleh Pak Kas. Setelah tiga kali entakkan, pintu yang terbuat dari kayu jati itu pun akhirnya berhasil didobrak. Adit segera berlari menghampiri Reyna yang tengah berada di atas ranjang. Tubuhnya terlihat gelisah, teriakkan pun kian mengeras membuat putri mereka ikut terbangun dan menangis. “Dek, kamu kenapa? Bangun, Dek!” Adit terus menepuk-nepuk kedua pipi Reyna, sedangkan Pak Kas menggendong Anindita yang menangis histeris. Lelaki yang suka olahraga lari itu terus membangunkan sang istri, hingga beberapa lama Reyna membuka matanya. Ketika membuka mata, wanita bermata b