Suara bising kendaraan yang melintas di jalan raya membuta hati Aldi kian gusar. Terhitung sejak kemarin ia menyambangi rumah Adit, Siska menghilang entah ke mana. Pria bergaya perlente itu sudah mencari sang istri ke semua tempat, tetapi tak kunjung menemukan hasil.
“Sudah ketemu, Kak?” Adit tiba-tiba masuk membuyarkan lamunan pria yang memakai kacamata hitam itu.Terdengar embusan napas kasar dari Aldi, membuat Adit paham maksudnya. Pria yang mengenakan kemeja berwarna navy itu pun menarik salah satu kursi dan duduk di seberang sang kakak. Makanan lezat khas restoran bintang lima, sudah disajikan tiga puluh menit yang lalu pun hanya teronggok di atas meja bundar.“Kamu yakin tidak ada yang mencurigakan di rumah itu?” Aldi pun akhirnya bersuara setelah hampir satu jam bungkam. Adit hanya menggeleng sebagai jawaban.“Kamu ingat kapan terakhir kali Siska bersama kita?” lanjutnya dengan tatapan tajam pada Adit.Sejenak pikiran pria berbadan kurus itu menerawang, kedua tangannya bertumpu pada meja dan memijit pelipisnya. Mencoba mengingat kembali kejadian yang membuatnya hilang akal.Brak!Adit menggebrak meja membuat Aldi terkejut. Beruntung, restoran yang mereka kunjungi sedang sepi pengunjung, jadi tidak ada yang merasa terganggu dengan ulah Pria berhidung mancung itu.“Aku ingat. Saat itu Reyna baru sadar, aku menyuruhnya mengambilkan air ke dapur. Karena terlalu syok dengan pengakuan Reyna yang konyol, aku sampai lupa jika Kak Siska belum kembali. Sampai, Kakak memutuskan untuk pulang.” Adit menjelaskan kronologis yang ia ingat saat kejadian itu.“Ya, saat itu aku kecewa dengan Reyna, hingga aku memutuskan secepatnya pergi. Tetapi, aku tidak menyadari jika Siska tidak pulang bersamaku.”Keduanya terdiam, memikirkan ke mana hilangnya Siska. Hingga sebuah alunan gamelan terdengar sangat dekat. Aldi dan Adit saling melirik, mencoba mencari sumber suara tersebut. Namun nihil, tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada beberapa pegawai restoran yang sedang membersihkan meja.“Kakak, dengar suara musik juga?” Aldi mengangguk.Seketika bulu kuduk Adit meremang saat hawa dingin menerpa tengkuknya. Teringat ucapan Reyna saat pagi tadi, makhluk tak kasat mata kerap mengganggu. Apakah hantu itu mengikuti dirinya hingga ke sini?“Kemarin aku mendengar suara gamelan juga di rumah, tetapi saat dicari tidak ada apa-apa. Reyna pun makin sering diganggu oleh hantu yang menghuni rumah peninggalan Bapak.” Adit menceritakan kejadian yang menimpanya pada Aldi. Namun, reaksi pria di hadapannya biasa saja. Datar.Perlahan Aldi merogoh ponsel yang ada di sakunya, suara gamelan itu kian terdengar jelas. Adit makin terlihat gelisah, tetapi sesaat ia mengernyit.“Dasar penakut! Itu suara dari ponsel aku,” cibir Aldi pada adiknya.***Kamar luas lengkap dengan furnitur yang mewah dan elegan, tak membuat wanita yang tengah meringkuk di atas ranjang itu senang. Justru rasa takut dan gelisah yang kian mendera wanita cantik itu. Tatapannya tertuju pada suara derit pintu yang terbuka, terlihat seseorang yang sangat ia benci datang membawa nampan yang berisikan makanan serta minuman.“Sudahkah kamu menikmati hari-harimu di rumah ini, Sayang?” ujar pria itu saat ia sudah meletakan makanan yang ia bawa di nakas.“Aku mau pulang!”“Tidak semudah itu, Siska Sayang. Kamu sudah ada di depanku, mana bisa aku membiarkanmu pergi begitu saja. Bahkan, kita akan selamanya tinggal di sini.”Ya, Siska telah diculik oleh seseorang dari masa lalunya, Berry. Pria yang mempunyai tato naga di lengan kirinya itu sangat terobsesi dengan kecantikan Siska. Ia selama ini rela menjadi pengintai di rumah yang dihuni Siska dan Aldi.Hingga saat melihat Siska sedang sendirian di dekat rumah kosong, Berry sigap membawa kabur wanita cantik itu. Tanpa harus bersusah payah menghindar dari para bodyguard yang selalu menjaga Siska.“Aku sudah tidak mau berurusan lagi denganmu. Kamu telah menipuku selama ini dengan me-““Ssst!” Berry tiba-tiba memotong ucapan Siska. Ia mendekatkan telunjuknya ke bibir ranum wanita itu.“Jangan pernah mengucapkan kata-kata yang membuatku marah, Sayang! Aku tidak suka itu.” Berry membelai wajah pucat Siska penuh kelembutan, tetapi ucapannya membuat nyali Siska menciut.“Dia datang lagi, Ber. Dia kembali dan akan menuntut balas padamu!”Plak!Satu tamparan pria itu layangkan pada pipi Siska yang tirus, dengan penuh emosi Berry mencengkeram wajah Siska.“Sudah kubilang jangan mengungkit kejadian yang sudah berlalu di depanku! Aku tidak suka!” tekan Berry pada wanita yang pernah mengisi relung hatinya hingga saat ini.“Lalu, apa bedanya denganmu? Aku adalah masa lalumu yang seharusnya tidak pernah kamu ungkit kembali. Aku pun tidak suka!” Siska dengan lantang menatap nyalang pada Berry, meski pipinya terasa sangat perih akibat tamparan tangan kekar Berry.“Oh. Sudah pintar berbicara kau sekarang. Rasakan akibatnya jika kamu berani membantah ucapanku.” Berry mencengkeram leher Siska dengan sangat kuat. Namun, suara benda jatuh dari arah luar jendela membuat Berry menghentikan aksinya.Dengan wajah penuh emosi, ia berjalan mendekati jendela. Membuka gorden berwarna putih dan mengawasi sekitar jendela. Tidak ada apa-apa, tetapi saat ia hendak menutup kembali gorden itu, sekelebat bayangan putih melintas tepat di depannya.Pria berbadan kekar itu terdiam sejenak, hingga perlahan kesadarannya kembali saat melihat sosok wanita memakai dress putih yang sedikit lusuh dengan luka sayatan di wajah dan juga tubuhnya.“Ka-kamu?”***Reyna mundur perlahan hingga tubuhnya membentur dinding. Ia ingin masuk kembali ke kamar, tetapi takut dengan penampakan hantu itu, sedangkan di luar pun sama. Ekspresi Mbok sun jauh lebih seram dari penampakan hantu yang ada di dalam."M-Mbok, mau ke mana?” Reyna sangat gugup, kakinya terasa sangat lemas. Beruntung ada dinding yang menopang tubuhnya, jika tidak sudah dipastikan ia akan tumbang.“Sudah waktunya makan siang, Nona. Makanan sudah tersaji di meja makan,” ucap Mbok Sun dengan suara pelan.“I-iya, saya akan turun. Tapi, nanti mau panggil Anin dulu di dalam.”Tidak ada jawaban, wanita dengan rambut yang selalu digelung itu berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sementara Reyna mulai bisa bernapas lega, ia pun memberanikan diri kembali ke dalam kamar.Berkali-kali menarik napas, wanita bermata bulat itu menekan perlahan knop pintu dan membukanya. Kepalanya menengok keadaan sekitar. Sepi. Hanya ada sang anak yang tengah sibuk bermain boneka yang berbentuk wanita berambut pirang itu.“Sayang, kita makan, yuk!” Anin menoleh ke arah Reyna yang hanya berdiri di depan pintu.“Ayo!” seru bocah berpipi chuby itu sambil berlari menuju sang mamah.Reyna menggendong Anin dan berjalan menuruni tangga. Saat ia sudah turun, tak terlihat sosok Mbok Sun di sana, hanya makanan lezat yang sudah tersaji di atas meja yang dilapisi kaca tebal. Berbagai aneka masakan tertata rapi di sana, membuat Reyna mengecap berkali-kali.“Mah, mau makan itu,” seloroh Anin sambil menunjuk ayam goreng yang terlihat sangat nikmat.“Oke, Sayang.” Reyna pun menarik dua kursi, lalu mendudukkan Anin di salah satu kursi itu. Mereka pun makan dengan lahap.Di tengah menyantap makan siang, Anin ingin minum, tetapi air yang tersedia sudah habis. Dengan terpaksa Reyna harus mengambil tambahan air dari dapur.“Tunggu sebentar, ya, Nak. Mamah ambil minum dulu.”Anin hanya mengangguk, sebab ia tengah sibuk memakan ayam goreng kesukaannya. Reyna beranjak dan berjalan menuju dapur. Jarak dapur dengan ruang makan tidak terlalu jah, hanya terhalang lemari besar yang berisikan pajangan guci dan aneka buku sejarah dan ada beberapa novel.Saat memasuki dapur, Wanita itu melihat Mbok Sun sedang sibuk menggoreng sesuatu. Dalam hati Reyna berpikir, Mbok Sun sedang memasak apalagi? Bukannya masakan di depan cukup banyak. Berbagai pertanyaan memenuhi pikirannya, ia ingin bertanya, tetapi kejadian di depan kamar bermain membuat ia enggan menyapa Mbok Sun.Prang!Gelas yang ia pegang tiba-tiba jatuh dan pecah. Reyna sangat terkejut hingga ia gugup saat Mbok Sun melihatnya.“Ma-maaf, Mbok, gelasnya licin.” Reyna dengan sigap meraih sapu dan serokan sampah yang berada tak jauh darinya.“Eh, nggak usah, Non. Biar nanti Simbok saja yang bereskan. Sekarang tanggung sedang memasak udang balado untuk Nona dan Nona Kecil makan.”Deg! Hati Reyna merasa tak tenang.“Mak-maksudnya, Mbok baru masak?” tanya Reyna dengan wajah yang sudah pucat. Sementara Mbok Sun mengangguk.“Jadi makanan yang ada di meja itu masakan siapa?” ucap Reyna lagi.“Saya belum menyajikan makanan apa pun, Non. Nasinya saja belum matang.” Mbok Sun menunjuk penanak nasi dengan dagunya. Sebab tangannya sibuk mengaduk-aduk sutil di atas penggorengan.“Mbok tadi ke atas, kan? Manggilin aku sama Anin buat makan?”“Tidak, Non. Wong saya sejak pagi di bawah terus. Abis nyapu, ngepel. Mangkanya baru sempat masak makan siang buat Non Reyna.” Mbok Sun menjelaskan dengan gayanya yang khas.Tiba-tiba kepala Reyna terasa pusing, perutnya bergejolak seakan-akan ingin mengeluarkan makanan lezat yang baru saja ia makan. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh wanita itu. Seketika ia muntah, tetapi yang keluar bukan ampas makanan yang ia makan, melainkan belatung serta cacing yang bercampur darah memenuh lantai dapur.Reyna terkejut dengan apa yang ia lihat, sekali lagi perutnya bergejolak dan mengeluarkan isi perut. Namun, lagi-lagi yang keluar hewan menjijikkan itu. Hingga ia tak sanggup menahan kepala yang terasa berat dan pusing, pandangannya pun perlahan mengabur dan gelap.Mbok Sun terlihat panik, saat tubuh Reyna hampir tumbang. Beruntung, ia dengan sigap menahannya. Wanita yang berusia setengah abad itu berteriak memanggil sang suami yang berada di teras belakang.“Pak, tolong! Non Reyna pingsan lagi, Pak!”Pak Kas yang sedang duduk santai di kursi halaman belakang sambil menyeruput kopi hitam, sangat terkejut saat mendengar suara teriakan istrinya. Ia pun segera menaruh kembali kopi yang baru satu teguk ia minum dan berlari mendatangi sang istri.“Astaga! Ada apa ini, Mbok?” Pak Kas begitu terkejut saat melihat banyak binatang menjijikkan meliuk-liuk di lantai yang penuh dengan darah.“Sudah jangan banyak tanya! Bawa Non Reyna ke kamarnya, aku mau bersihin kotoran ini dulu.”Dengan raut wajah bingung sekaligus jijik. Ia meraih tubuh ramping majikannya yang lemas bagaikan tanpa tulang. Pak Kas menuruti perintah Mbok Sun untuk membawa Reyna ke kamarnya. Saat ia berjalan menuju kamar, pria yang sudah dipenuh uban itu sempat melirik ke meja makan. Ia bergidik ngeri saat melihat Anin dengan lahap memakan tulang yang dipenuhi oleh belatung.Saat ia akan menghampiri bocah tiga tahun itu, tiba-tiba sekelebat bayangan putih melintas di depannya. Terlihat tatapan wajah Pak Kas berubah menjadi sendu, ia pun memilih meninggalkan bocah berpipi chuby itu di meja makan sendirian.Prang!Adit terkejut saat tangannya tak sengaja menyenggol sebuah gelas. Tiba-tiba ia teringat Reyna dan Anin di rumah. Bagaimana jika Reyna diganggu oleh makhluk tak kasat mata itu lagi? “Kenapa, Dit?” Aldi menyadari kegelisahan adiknya, ia pun menatap Adit penuh tanda tanya.“Entahlah, Kak. Tiba-tiba saja aku teringat Reyna dan Anin.”“Mungkin karena kamu sedang makan enak di sini, jadi teringat anak dan istri di rumah yang belum makan, kan?” Adit menoleh ke arah Aldi, ia merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya itu, meski yang dia katakan memang benar adanya. Adit menatap tajam sang kakak yang tersenyum mengejek, ia pun meletakkan sendok di atas piring dan segera meneguk air putih yang sisa setengah. “Aku mau pulang dulu, Kak. Takut terjadi apa-apa dengan anak dan juga istriku.” Pria berbadan kurus itu menggeser kursi, lalu beranjak. Namun, Aldi mencoba menahannya.“Tenang
“Reyna! Anin!” Adit mendobrak pintu yang terkunci. Ia berlari tak tentu arah sambil berteriak memanggil nama anak dan istrinya.Keringat dingin bercucuran dari tubuh kurus itu, lelah karena berlari dari depan kompleks tak ia rasakan. Baginya yang terpenting adalah keselamatan Reyna dan Anin. Ia berlari menuju lantai dua, kamar yang ia tempati adalah tujuan akhir. Berharap orang yang dicari ada di sana.Brak! Pintu ia buka secara kasar, terlihat Anin sedang terbaring di atas ranjang bersama Reyna. Hatinya terasa lega.“Reyna, Anin. Syukurlah,” lirih Adit seraya berjalan mendekati ranjang king size yang berbalt seprai berwarna biru.Reyna terlihat pulas, begitu juga Anin. Adit duduk di sisi ranjang dekat sang istri. Tangannya terulur menyibak rambut halus yang menutupi wajah cantiknya. Namun, ia merasakan kening istrinya sangat panas. Hatinya kembali dirundung gelisah, dengan pelan ia menepuk pipi Reyna agar wanita itu bangun. Namun, Reyn
“Tidak! Jangan!” “Ayah, kenapa? Kok, teriak-teriak?” Adit menutup mata rapat dengan kedua tangannya, ia menepis tangan kecil nan mungil Anin saat menyentuh lengannya. “Mas, kamu kenapa?”Adit terdiam saat mendengar suara lembut sang istri, tetapi ia tidak mudah percaya begitu saja. Ia takut semua hanya ilusi saja. Pria berbadan kurus itu menutup telinganya dan kembali berteriak histeris.“Pergi kalian semua! Jangan ganggu aku. Pergi!” Reyna memeluk tubuh Anin yang ketakutan mendengar suara teriakkan Adit, tetapi ekspresi lain ditunjukkan oleh wanita yang memakai kebaya berwarna merah maroon. Bibir berisinya membentuk lengkungan, bersama dengan tatapan sinis dan tajam saat melihat anak dari mantan majikannya ketakutan.Mbok Sun perlahan pergi dari tempat itu, lalu merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang, “Semua berjalan sesuai rencana, Tuan. Baiklah.”Setelah menelepon seseorang, wanita paruh ba
“Kamu yakin ini rumahnya, Mas?” tanya Reyna pada Adit-suaminya-yang tengah susah payah membawa koper. Pria berkulit putih itu pun menaruh koper di sampingnya, lalu mengambil secarik kertas yang berada di saku bajunya. “Menurut alamatnya, sih bener, Dek. Nih, kamu liat aja!” Reyna sedikit kesusahan saat meraih kertas yang disodorkan suaminya, sebab ia sedang menggendong putri semata wayangnya yang tertidur sejak di perjalanan. Setelah kertas itu berpindah ke tangan Reyna, ia pun mencocokkan alamat yang tertera di kertas dengan nomor yang ada di sisi kanan dekat pagar besi. “Sama, Mas. Tapi, kok kayak sepi? Serem lagi!” seru Reyna sambil mengusap lengannya. “Wajar sepi, kan emang udah lama kosong sejak kedua orang tua Mas meninggal. Lagi pula, menurut penjelasan Mas Aldi ada dua pekerja yang bertugas menjaga dan membersihkan rumah ini, ” jelas Adit sambil mengamati suasana rumah tersebut. “Tapi pada ke mana, ya? Sepi banget,” lanjut Adit sambil
Adit yang sedang asyik berbincang dengan Pak Kas sangat terkejut saat mendengar teriakkan sang istri dari lantai atas. Ia pun segera berlari menaiki tangga menuju kamar yang terdengar suara jeritan serta tangis dari sang buah hati. Namun sayang, pintu tersebut terkunci dari dalam. “Reyna! Buka pintunya, Sayang!” Adit berusaha mendorong pintu berwarna putih itu dan dibantu oleh Pak Kas. Setelah tiga kali entakkan, pintu yang terbuat dari kayu jati itu pun akhirnya berhasil didobrak. Adit segera berlari menghampiri Reyna yang tengah berada di atas ranjang. Tubuhnya terlihat gelisah, teriakkan pun kian mengeras membuat putri mereka ikut terbangun dan menangis. “Dek, kamu kenapa? Bangun, Dek!” Adit terus menepuk-nepuk kedua pipi Reyna, sedangkan Pak Kas menggendong Anindita yang menangis histeris. Lelaki yang suka olahraga lari itu terus membangunkan sang istri, hingga beberapa lama Reyna membuka matanya. Ketika membuka mata, wanita bermata b
Suara rintihan Reyna yang berada di balik selimut membuat Adit makin kalut. Pasalnya sejak semalam Reyna kembali pingsan di dalam kamar, saat tersadar tubuh wanita muda itu demam tinggi. Semalaman Adit terjaga, sebab sang istri kerap menjerit histeris tiba-tiba.Pagi harinya, lelaki berbadan kurus itu segera menelepon sang kakak dan meminta datang ke rumah bersama dokter pribadi keluarga Pak Broto.“Kak, bisa cepat tidak? Istriku kondisinya makin parah!” Adit terus-menerus menghubungi Aldi, meski Aldi menjawab sudah sampai di depan kompleks tetap saja bagi Adit itu sangat lama.Adit terlihat gelisah menanti di teras, sambil sesekali meremas rambutnya yang sudah panjang. Tubuhnya pun lusuh tak terurus, sangat kontras dengan penampilannya beberapa bulan lalu.Suara klakson mobil terdengar dari arah gerbang, Pak Kas pun sigap membukakan pintu gerbang. Mobil Pajero hitam melesat membuat daun kering seketika berhamburan saat terkena embusan angin.
Adit dan Aldi terus berlari sambil berteriak menuju ruang tamu, tanpa mereka sadari bahwa ada Siska yang sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya. Mereka berdua berebut untuk bersembunyi di dekat wanita yang gemar mengoleksi berlian itu.“Kalian kenapa, sih? Udah kayak dikejar-kejar hantu aja.” Siska berdiri, melipat tangannya di depan dada sembari menatap kedua saudara yang tengah ketakutan.“Me-memang ada hantu di taman belakang, Sayang. Serem banget, hiii.” Aldi menjelaskan sambil bergidik ngeri saat mengingat apa yang ia lihat.Berbeda dengan Adit, ia tidak melihat, tetapi entah mengapa perasaannya mengatakan ada hal yang tidak baik di sana. Hingga ia ikut berlari saat Aldi berteriak.“Siang-siang gini mana ada hantu. Ngaco aja! Cemen banget, sih.” Bukannya simpatik, tetapi sikap Siska justru meremehkan pengakuan Aldi.“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sudah melihat dengan jelas bagaimana
“Lama banget, sih cuma bikin kopi doang.” Aldi menggerutu saat melihat Adit baru tiba. Namun, lelaki yang selalu memakai pakaian rapi itu sedikit heran saat melihat wajah adiknya.“Kamu sehat, Dit? Kok, pucet banget mukanya?”Siska yang semula fokus dengan ponselnya pun turut melirik sang adik ipar saat mendengar ucapan Aldi. “Iya. Udah nggak usah banyak pikiran. Aku dan Aldi, bakalan nemenin kamu di rumah ini sementara buat jagain Reyna dan Anin,” ucap Siska sambil melirik Aldi. Pria itu pun hanya mengangguk sebagai jawaban.“Bukan gitu, Kak. A-aku—““Mas Adit!” Suara teriakan Reyna dari kamar membuat Adit menghentikan ucapannya. Ketiga orang itu pun kompak menoleh ke atas dan bergegas menuju ke sana.Sesampainya di dalam kamar, Adit tidak segera menghampiri Reyna. Ia hanya berdiri di ujung ranjang, begitu juga dengan Siska. Bayang-bayang sosok wanita yang mirip sang istri tak bisa