“Lama banget, sih cuma bikin kopi doang.” Aldi menggerutu saat melihat Adit baru tiba. Namun, lelaki yang selalu memakai pakaian rapi itu sedikit heran saat melihat wajah adiknya.
“Kamu sehat, Dit? Kok, pucet banget mukanya?”
Siska yang semula fokus dengan ponselnya pun turut melirik sang adik ipar saat mendengar ucapan Aldi. “Iya. Udah nggak usah banyak pikiran. Aku dan Aldi, bakalan nemenin kamu di rumah ini sementara buat jagain Reyna dan Anin,” ucap Siska sambil melirik Aldi. Pria itu pun hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Bukan gitu, Kak. A-aku—“
“Mas Adit!” Suara teriakan Reyna dari kamar membuat Adit menghentikan ucapannya. Ketiga orang itu pun kompak menoleh ke atas dan bergegas menuju ke sana.
Sesampainya di dalam kamar, Adit tidak segera menghampiri Reyna. Ia hanya berdiri di ujung ranjang, begitu juga dengan Siska. Bayang-bayang sosok wanita yang mirip sang istri tak bisa hilang dalam ingatannya. Seperti saat ini, Adit melihat wajah Reyna yang pucat bagaikan tak ada aliran darah dalam tubuhnya, tatapan mata yang kosong.
“Dit, malah melamun, Sini!” Aldi menarik tangan Adit agar mendekat pada Reyna.
Dengan langkah pelan, pria berbadan kurus itu pun mau tidak mau mendekati sang istri dan duduk di bibir ranjang. Keringat dingin bercucuran di dahinya, padahal ruangan itu cukup sejuk sebab ada pendingin ruangan. Adit menelan saliva saat bertatapan dengan Reyna, tetapi rasa takut itu sirna saat ia menatap mata istrinya.
“Mas, aku haus,” ucap Reyna dengan suara pelan.
Ada rasa lega dalam hati pria yang suka makanan pedas itu. Pasalnya, ia sangat yakin jika wanita yang ada di hadapannya ini Reyna yang asli, sedangkan wanita yang ia temui di dapur hanya ilusinya saja.
Adit dengan lembut membelai rambut hitam Reyna, lalu meraih gelas yang berada di atas nakas. Namun sayang, air dalam gelas itu sudah kosong, ia pun harus mengisi ulang gelas itu ke dapur. Baru saja ia akan beranjak, sekelebat bayangan sosok yang menyerupai wajah Reyna di dapur kembali terlintas. Ia pun berdiri dan berjalan ke arah Siska yang sedang berdiri malas di samping Aldi.
“Kak Siska, bisa tolong ambilkan air! Atau bisa minta tolong Mbok Sun di dapur.” Adit menyodorkan gelas kosong pada Siska.
Ada rasa tak suka saat dalam hati Siska ketika ia diperintah oleh Adit. Akan tetapi, berada di dalam ruangan itu membuat dirinya muak dan kesal. Meski malas, Siska pun mengambil gelas itu dan berjalan keluar.
Sambil menunggu Siska datang, Adit kembali duduk di dekat Reyna. “Apa yang kamu rasakan, Sayang? Mana yang sakit?” tanya Adit sembari mengusap seluruh tubuh Reyna. Namun, yang ditanya hanya menggeleng samar.
“Anin mana?” Reyna tampak melihat ke sekitar ruangan. Meski ada Aldi, Reyna tak menghiraukannya.
“Ada. Dijaga sama Mbok Sun. Sudah kamu jangan terlalu memikirkan tentang Anin, anak kita terlihat senang saat bermain dengan Mbok Sun,” sahut Adit.
***
Siska menyayangkan keputusannya saat ia akan tinggal di rumah ini untuk sementara. Namun, ia tak bisa melakukan apa-apa selain mengiakan agar dirinya bisa selalu dekat dengan sang suami. Baginya, tinggal sendiri tanpa suam itu seperti makan sayur tanpa garam. Hambar.
Saat menuruni tangga, tubuhnya merasakan aura yang tak biasa. Seperti ada seseorang yang mengikutinya dari belakang, tetapi saat ia menoleh tidak ada siapa-siapa. Seketika bulu kuduknya meremang, seiring embusan angin yang teras dingin di kulit dan tubuhnya ikut mengigil. Namun beberapa saat kemudian, wanita bermata sipit itu mendengar suara seperti seseorang yang sedang memasak.
“Syukurlah ada orang di dapur, setidaknya aku nggak sendirian di sini,” gumam Siska.
Dengan langkah pasti ia berjalan agar segera mengisi gelas yang kosong itu. Namun, semakin dekat dengan dapur, suara itu perlahan hilang dari pendengaran. Belum lagi ia sangat terkejut dengan kondisi dapur yang gelap dan sepi.
“Kok gelap? Perasaan tadi ada suara orang masak, deh.” Siska mengusap lengannya yang terasa sangat dingin.
Ia pun ragu untuk ke dalam, antar takut hantu dan takut gelap. Ya, memang wanita itu trauma dengan kegelapan. Beruntung ia selalu membawa ponsel di tangannya, segera ia nyalakan lampu yang terdapat di ponsel. Setelah menyalakan lampu senter, ia mencari tombol untuk menyalakan lampu.
Klik!
Dapur yang semula gelap kini terang benderang, tetapi Siska hanya bisa berdiam diri di tempat saat melihat sosok wanita berbaju putih yang sedikit kotor, bola mata putih semua nyaris tanpa pupil mata, serta wajah penuh luka.
“Ha-han-hantu! Tolong!” Siska berteriak histeris saat melihat sosok penghuni lama rumah itu. Tanpa sadar, ia melempar gelas hingga mengenai sosok makhluk tak kasat mata itu.
“Aaaw! Sakit, kaki gue ketiban gelas, nih, Woooy!
Siska berlari sambil terus berteriak, membuat ia tak menyadari arah yang ia tuju adalah halaman belakang. Wanita berkulit putih itu berhenti di dekat pohon rambutan, tubuhnya sedikit membungkuk sambil tangan kanan memegangi pinggan. Keringat menetes dari dahinya yang mulus hingga mengalir ke pipi.
Siska menghapus keringat itu dengan punggung tangannya. “Sial. Aku harus segera pergi dari tempat ini. Aku nggak mau berurusan dengan makhluk sialan itu,” gerutu wanita yang masih cantik di usia tiga puluh dua tahun itu.
Sesekali Siska menoleh ke arah belakang, takut jika hantu itu masih mengikutinya. Namun, tiba-tiba sebuah tangan kekar menarik tubuhnya dan menutup mulut Siska dengan sapu tangan agar wanita itu tidak berteriak. Lalu, ia dibawa ke sebuah tempat yang tersembunyi.
***
“Aku minta maaf, Mas!” ucap Reyna lirih sambil menatap Adit dan Aldo bergantian.
“Kenapa harus minta maaf, Sayang? Memangnya apa yang terjadi?” Adit menggenggam tangan istrinya.
“A-aku sebenarnya tidak sakit, hanya takut saat membuka mata. Makhluk itu terus menggangguku, walaupun aku tahu hantu itu tidak jahat, tapi wajahnya serem, Mas.” Reyna menjelaskan dengan mata yang berkaca-kaca.
Kedua kakak beradik itu merasa terkejut atas pengakuan wanita yang sedang bersandar di atas ranjang. Pasalnya, Aldi sampai rela jauh-jauh datang ke rumah ini untuk menemui mereka. Aldi sangat khawatir saat adiknya memberitahukan kondisi Reyna, bahkan pria itu sampai membawa dokter terbaik untuk merawat adik iparnya.
Adit sampai tak bisa berkata-kata, ia hanya terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan seiring genggaman tangan yang perlahan terlepas. Dalam benaknya, bagaimana bisa Reyna melakukan hal konyol seperti itu. Terlebih ia sampai berpura-pura pingsan begitu lama. Pantas saja dokter Ferdi hanya memberikan vitamin, rupanya dokter itu pun sudah menduga bahwa kondisi Reyna baik-baik saja.
Adit menarik napas panjang seraya meremas rambutnya. Ia pun beranjak dari ranjang dan berjalan ke luar tanpa berbicara sepatah kata pun. Aldi yang hanya memperhatikan sepasang suami istri itu pun ikut berjalan menyusul Adit.
“Mas, mau ke mana? Aku ikut!” Reyna yang takut saat berada di kamar pun ikut menyusul sang suami.
Pria berbadan kurus itu berjalan cepat menuruni tangga menuju ruang tamu. Ia segera meraih cangkir dan meneguk kopi yang sudah dingin, berharap hati yang panas bisa dingin kembali. Namun nyatanya, setelah minuman berwarna hitam itu tandas, hatinya tetap bergejolak menahan emosi. Aldi duduk di sebelah kanan adiknya itu pun meminum kopi tersebut. Menarik napas panjang agar ia pun tak ikut emosi dengan tingkah absurd adik iparnya itu. Mata elang itu menatap tajam pada wanita yang memakai dress berwarna krem, yang berdiri di ujung tangga dengan tubuh gemetar. Adit menyandarkan bahunya di sofa seraya memejamkan matanya.“Sepertinya Reyna sudah membaik, aku akan pulang sekarang,” ucap Aldi memecah keheningan di ruangan itu.“Sudah mau Magrib, Kak. Enggak sebaiknya menginap saja di sini?” Adit menoleh ke arah kakaknya masih dengan posisi bersandar.“Besok aku ada meeting dengan klien penting, jadi tidak bis ditunda. Sebaiknya kau bawa Reyna istiraha
Suara bising kendaraan yang melintas di jalan raya membuta hati Aldi kian gusar. Terhitung sejak kemarin ia menyambangi rumah Adit, Siska menghilang entah ke mana. Pria bergaya perlente itu sudah mencari sang istri ke semua tempat, tetapi tak kunjung menemukan hasil.“Sudah ketemu, Kak?” Adit tiba-tiba masuk membuyarkan lamunan pria yang memakai kacamata hitam itu.Terdengar embusan napas kasar dari Aldi, membuat Adit paham maksudnya. Pria yang mengenakan kemeja berwarna navy itu pun menarik salah satu kursi dan duduk di seberang sang kakak. Makanan lezat khas restoran bintang lima, sudah disajikan tiga puluh menit yang lalu pun hanya teronggok di atas meja bundar.“Kamu yakin tidak ada yang mencurigakan di rumah itu?” Aldi pun akhirnya bersuara setelah hampir satu jam bungkam. Adit hanya menggeleng sebagai jawaban.“Kamu ingat kapan terakhir kali Siska bersama kita?” lanjutnya dengan tatapan tajam pada Adit.Sejenak pikiran pria ber
Prang!Adit terkejut saat tangannya tak sengaja menyenggol sebuah gelas. Tiba-tiba ia teringat Reyna dan Anin di rumah. Bagaimana jika Reyna diganggu oleh makhluk tak kasat mata itu lagi? “Kenapa, Dit?” Aldi menyadari kegelisahan adiknya, ia pun menatap Adit penuh tanda tanya.“Entahlah, Kak. Tiba-tiba saja aku teringat Reyna dan Anin.”“Mungkin karena kamu sedang makan enak di sini, jadi teringat anak dan istri di rumah yang belum makan, kan?” Adit menoleh ke arah Aldi, ia merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya itu, meski yang dia katakan memang benar adanya. Adit menatap tajam sang kakak yang tersenyum mengejek, ia pun meletakkan sendok di atas piring dan segera meneguk air putih yang sisa setengah. “Aku mau pulang dulu, Kak. Takut terjadi apa-apa dengan anak dan juga istriku.” Pria berbadan kurus itu menggeser kursi, lalu beranjak. Namun, Aldi mencoba menahannya.“Tenang
“Reyna! Anin!” Adit mendobrak pintu yang terkunci. Ia berlari tak tentu arah sambil berteriak memanggil nama anak dan istrinya.Keringat dingin bercucuran dari tubuh kurus itu, lelah karena berlari dari depan kompleks tak ia rasakan. Baginya yang terpenting adalah keselamatan Reyna dan Anin. Ia berlari menuju lantai dua, kamar yang ia tempati adalah tujuan akhir. Berharap orang yang dicari ada di sana.Brak! Pintu ia buka secara kasar, terlihat Anin sedang terbaring di atas ranjang bersama Reyna. Hatinya terasa lega.“Reyna, Anin. Syukurlah,” lirih Adit seraya berjalan mendekati ranjang king size yang berbalt seprai berwarna biru.Reyna terlihat pulas, begitu juga Anin. Adit duduk di sisi ranjang dekat sang istri. Tangannya terulur menyibak rambut halus yang menutupi wajah cantiknya. Namun, ia merasakan kening istrinya sangat panas. Hatinya kembali dirundung gelisah, dengan pelan ia menepuk pipi Reyna agar wanita itu bangun. Namun, Reyn
“Tidak! Jangan!” “Ayah, kenapa? Kok, teriak-teriak?” Adit menutup mata rapat dengan kedua tangannya, ia menepis tangan kecil nan mungil Anin saat menyentuh lengannya. “Mas, kamu kenapa?”Adit terdiam saat mendengar suara lembut sang istri, tetapi ia tidak mudah percaya begitu saja. Ia takut semua hanya ilusi saja. Pria berbadan kurus itu menutup telinganya dan kembali berteriak histeris.“Pergi kalian semua! Jangan ganggu aku. Pergi!” Reyna memeluk tubuh Anin yang ketakutan mendengar suara teriakkan Adit, tetapi ekspresi lain ditunjukkan oleh wanita yang memakai kebaya berwarna merah maroon. Bibir berisinya membentuk lengkungan, bersama dengan tatapan sinis dan tajam saat melihat anak dari mantan majikannya ketakutan.Mbok Sun perlahan pergi dari tempat itu, lalu merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang, “Semua berjalan sesuai rencana, Tuan. Baiklah.”Setelah menelepon seseorang, wanita paruh ba
“Kamu yakin ini rumahnya, Mas?” tanya Reyna pada Adit-suaminya-yang tengah susah payah membawa koper. Pria berkulit putih itu pun menaruh koper di sampingnya, lalu mengambil secarik kertas yang berada di saku bajunya. “Menurut alamatnya, sih bener, Dek. Nih, kamu liat aja!” Reyna sedikit kesusahan saat meraih kertas yang disodorkan suaminya, sebab ia sedang menggendong putri semata wayangnya yang tertidur sejak di perjalanan. Setelah kertas itu berpindah ke tangan Reyna, ia pun mencocokkan alamat yang tertera di kertas dengan nomor yang ada di sisi kanan dekat pagar besi. “Sama, Mas. Tapi, kok kayak sepi? Serem lagi!” seru Reyna sambil mengusap lengannya. “Wajar sepi, kan emang udah lama kosong sejak kedua orang tua Mas meninggal. Lagi pula, menurut penjelasan Mas Aldi ada dua pekerja yang bertugas menjaga dan membersihkan rumah ini, ” jelas Adit sambil mengamati suasana rumah tersebut. “Tapi pada ke mana, ya? Sepi banget,” lanjut Adit sambil
Adit yang sedang asyik berbincang dengan Pak Kas sangat terkejut saat mendengar teriakkan sang istri dari lantai atas. Ia pun segera berlari menaiki tangga menuju kamar yang terdengar suara jeritan serta tangis dari sang buah hati. Namun sayang, pintu tersebut terkunci dari dalam. “Reyna! Buka pintunya, Sayang!” Adit berusaha mendorong pintu berwarna putih itu dan dibantu oleh Pak Kas. Setelah tiga kali entakkan, pintu yang terbuat dari kayu jati itu pun akhirnya berhasil didobrak. Adit segera berlari menghampiri Reyna yang tengah berada di atas ranjang. Tubuhnya terlihat gelisah, teriakkan pun kian mengeras membuat putri mereka ikut terbangun dan menangis. “Dek, kamu kenapa? Bangun, Dek!” Adit terus menepuk-nepuk kedua pipi Reyna, sedangkan Pak Kas menggendong Anindita yang menangis histeris. Lelaki yang suka olahraga lari itu terus membangunkan sang istri, hingga beberapa lama Reyna membuka matanya. Ketika membuka mata, wanita bermata b
Suara rintihan Reyna yang berada di balik selimut membuat Adit makin kalut. Pasalnya sejak semalam Reyna kembali pingsan di dalam kamar, saat tersadar tubuh wanita muda itu demam tinggi. Semalaman Adit terjaga, sebab sang istri kerap menjerit histeris tiba-tiba.Pagi harinya, lelaki berbadan kurus itu segera menelepon sang kakak dan meminta datang ke rumah bersama dokter pribadi keluarga Pak Broto.“Kak, bisa cepat tidak? Istriku kondisinya makin parah!” Adit terus-menerus menghubungi Aldi, meski Aldi menjawab sudah sampai di depan kompleks tetap saja bagi Adit itu sangat lama.Adit terlihat gelisah menanti di teras, sambil sesekali meremas rambutnya yang sudah panjang. Tubuhnya pun lusuh tak terurus, sangat kontras dengan penampilannya beberapa bulan lalu.Suara klakson mobil terdengar dari arah gerbang, Pak Kas pun sigap membukakan pintu gerbang. Mobil Pajero hitam melesat membuat daun kering seketika berhamburan saat terkena embusan angin.