Pulang sekolah telah tiba, sejak pertengkaran Alex dan Ezra yang tak penting, Laura memilih mendiamkan mereka berdua sampai ketika di kelas Alex terus mencoba berbicara dengan Laura tapi selalu tak ada tanggapan darinya, belum lagi Ezra yang terus menghubunginya lewat telepon dan chat yang membuat Laura kesal dan mematikan ponselnya tersebut.Laura kini sedang berjalan mencari angkutan umum, sejak bubar tadi Laura berlari ke gerbang sekolah sebelum Alex atau Ezra mencarinya dan meminta Laura untuk pulang bersama mereka berdua, dan membuat drama lagi."Laura," panggil seseorang di belakang tubuh Laura sambil menepuk tangannya.Laura lantas berbalik dan tak melihat siapapun tapi saat ia melihat ke bawah, matanya terbelak sempurna."Bianca," ucap Laura kaget sambil menutup mulutnya.Laura terkejut melihat Bianca yang berada di atas kursi roda, ada apa dengan Bianca? padahal terakhir kali melihat Bianca dia masih sehat-sehat saja.Laura tak menyangka bisa bertemu dengan mantan sahabatnya
Sesampainya di halaman rumah, Laura bergegas turun dari motor Alex dan berlari memasuki rumah, terlihat di ruang tamu sudah ada kedua orang tua Laura serta orang tua Alex."Ahhh bunda Laura kangen banget tau," teriak Laura sambil memeluk erat Sinta, yang langsung di balas pelukannya oleh Sinta."Sama bunda juga kangen tau," ucap Sinta lirihSementara Rio, ayah Laura tersenyum melihat mereka berdua."Sama ayah gak kangen?" tanyanya sambil melihat ke arah Sinta dan Laura.Laura melepaskan pelukannya dan langsung berhambur ke dalam pelukan Rio."Kangen banget," teriak Laura.Rio tersenyum senang dan membalas pelukan putrinya yang sudah tak berjumpa selama sebulan ini.Alex yang berdiri di ambang pintu, tersenyum simpul melihat kehangat keluarga Laura, lalu berjalan dan duduk di sebelah Dimas."Kamu jagain Laura dengan baikkan Lex?" tanya Sinta, melihat ke arah Alex."Pasti dong bun, Laura di jagain sama Alex mah, aman-aman aja," ucap Alex menggebu-gebu.Laura yang masih berpelukan dengan
Setelah acara makan dan melepas rindu, Laura tanpa sadar tertidur di sofa ruang tamu, Alex yang melihat itu pun bergegas, membopong dan membawanya ke kamar atas izin dari orang tua Laura."Jadi gimana Laura? tanya Rio serius sambil melihat Anita dan Dimas bergantian."Kami berdua minta maaf, karena telah gagal menjaga Laura," ucap Dimas pelan sambil menundukan kepalanya."Iya Sin, maafkan saya," ucap Anita lirih."Tak perlu minta maaf Anita, kamu dan Dimas tak bersalah, justru saya berterima kasih karena sudah mau menjaga Laura," jawab Sinta lembut sambil tersenyum ke arah Anita dan Dimas."Saya dan Sinta tak menyalahkan kalian berdua, mungkin memang sudah seharusnya seperti itu," ucap Rio maklum.Karena seharusnya yang menjaga Laura, adalah Rio dan Sinta sendiri bukan orang lain."Tapi siapa yang berani meneror Laura sampai seperti ini?" tanya Sinta penasaran."Tunggu Alex, biar dia yang menjelaskan semuanya," seru Dimas.Karena Dimas rasa Alex pun harus ikut andil dalam pembicaraan
Rio menatap Sinta yang kini sedang melihatnya juga."Bangunkan Laura, dia harus tau apa yang sedang terjadi padanya," perintah Rio pada Sinta."Tapi om," ucap Alex menyela."Tidak Alex, Saya berhak menentukan apa yang terbaik buat Laura," tolak Rio mentah-mentah.Sinta perlahan berdiri dengan ragu, dan berjalan menaiki anak tangga satu persatu.Alex yang melihat punggung Sinta semakin menghilang dari pandangan matanya, menghela nafas gusar, pandangannya tertunduk memainkan jari-jarinya satu sama lain."Aaakhhh," teriak Sinta dari lantai atas, membuat mereka semua yang berada di lantai bawah bergegas berlari memasuki kamar Laura."Kenapa bun?" tanya Rio khawatir.Sinta memberikan sebuah kertas pada Rio.Jangan lapor polisi atau Laura akan terbunuh di tangan ku, aku selalu memantau pergerakan kalian, kalau mau Laura selamat, bersikap lah dengan baik.Tulisan di kertas tersebut membuat semua orang terkejut bukan main, mereka melihat sekeling dan tak menemukan Laura di manapun.Padahal ta
"Lex lo mau ajakain gue kemana?" tanya Rafa pada Alex, pasalnya Alex secara tiba-tiba datang ke rumah Rafa dan cepat-cepat menyuruhnya berapa-siap karena Alex akan membawanya pergi."Mau kemana sih Lex?" tanya Rafa yang sejak tadi tak mendapat jawaban."Cepetan pake baju," perintah Alex tanpa menjawab pertanyaan Rafa."Cepetan pak baju, jangan sampai gue bawa lo pergi lo cuman pakai kolor sama singlet doang," kesal Alex pada Rafa yang malah diam memantung bak patung."Lo mau ngajakin gue diner Lex?" tanya Rafa ngaur."Gue sunat juga lo," kesal Alex sambil mengambil pisau buah yang berada di keranjang buah."Iya-iya gue pakai baju," pasrah Rafa sambil berjalan ke arah lemari dan memaki kaos serta celana panjang tak lupa hodie berwarna hitam.Melihat Rafa yang sudah selesai Alex menarik tangan Rafa dan menyeretnya ke luar kamar."Bentar elah," kesal Rafa pada Alex.Lagi enak-enak tidur, di gangguin oleh mahluk satu ini, terus main nyeret-nyeret aja."Mau kemana?" tanya Rafa untuk ke sek
Alex dan Rafa berhenti di depan sebuah rumah megah dan mewah, serta pagar yang menjulang tinggi."Lo bener ini rumahnya?" tanya Alex pada Rafa ragu.Pasalnya rumah yang di depannya ini terlihat sangat kotor serta gelap gulita belum lagi tanaman yang merambat ke pagar dan dinding seperti sudah lama tak di tempati."Yang gue tau si ini," jawab Rafa tak yakin.Ia melihat ke sekeliling dinding, "Tuh bener no 24," tunjuk Rafa pada nomor yang menempel di dinding walaupun sudah usang tapi pasti terlihat jelas."Mungkin dah lama dia pindah dari sini," seru Alex sambil turun dari motornya.Alex celingungkan melihat ke dalam rumah mewah tersebut, ia menyalakan senter lewat ponselnya dan melihat ke sekitar, hanya terlihat rumput yang menjulang tinggi serta halaman rumah yang terlihat berantakan sekali."Gak mungkin kalau mereka nyekap Laura di dalam," ucap Alex ragu."Heh kalian," teriak satpam sambil berlari ke arah Alex dan Rafa."Mau apa kalian?" tanya satpam tersebut galak."Gak pak kami cum
Setelah melihat Sinta dan Rio yang sudah masuk ke dalam kamar mereka, Anita menghampiri Dimas yang sedang berkirim pesan dengan seseorang.''Yah,'' panggil Anita sambil duduk di sebelah Dimas.Dimas yang merasa di panggil mengalihkan tatapannya ke arah Anita yang menatapnya dengan sorot mata tajam.''Kenapa?'' tanya Dimas was-was, apalagi melihat tatapan maut istrinya membuat dia merinding ketakutan.''Kenapa kamu gak bilang masalah ini ke aku?'' tanya Anita.Dari awal Anita merasa ada yang di sembunyikan dari mereka berdua, ia pikir itu hanya masalah para lelaki saja jadi ia tak mau ambil pusing, tapi dugaanya ternyata salah, mereka berdua menyembunyikan masalah besar bahkan Laura sendiri pun tak tau apa yang menimpa dirinya selama ini.Dimas menelan ludahnya berkali-kali, ini yang ia takutkan kalau ia bilang yang sebenarnya.''Maaf aku gak bermaksud nutupin semua ini, tapi aku takut kamu sedih sama apa yang menimpa Laura,'' ucap Dimas menjelaskan pada Anita dengan lembut.''Aku past
Suara motor yang mendekat ke arah Alex membuat Alex segera berdiri dan melambai ke arah suara motor, matanya yang masih perih membuat dia masih memejamkan matanya.''Tolong,'' teriak Alex.pengendara motor yang ternyata adalah Rafa dan Dimas, segera menghentikan motornya dan menghampiri Alex yang masih meringis perih.''Lo gak papa? tanya Rafa sambil berlari pelan ke arah Alex yang di susul oleh Dimas di belakang.Alex yang mengenali itu suara Rafa, berjalan pelan ke arahnya ''Mata gue perih,'' jawab Alex yang belum membuka matanya.''Nanti papa obatin sekarang pulang dulu,'' ucap Dimas sambil, menghampiri motor Alex yang tergeletak di aspal, ia mengangkat motor tersebut dan melihat bagian seblah kiri yang tergores cukup parah.Dimas menggelengkan kepalanya, padahal baru di beli ini motor tapi sudah ruksak lagi, untung saja Alex tak ada luka yang cukup parah, hanya matanya saja yang perih.Dimas menaiki motor Alex, dan menyuruh Alex naik di jok belakang, di bantu oleh Rafa agar menunt
Pagi telah berlalu, dan Alex terbangun dari tidurnya karena dering ponsel yang memecah keheningan. Suara itu begitu mengganggu, membuatnya mengerutkan dahi dengan kesal.Dengan mata yang masih berat, Alex meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung menjawab dengan suara serak, "Halo?"Suara yang tak asing terdengar di seberang, nadanya terdengar tergesa-gesa. "Alex, lo udah liat berita yang lagi viral sekarang?"Alex mengernyit, mencoba memahami maksudnya. "Berita apa?" Ia melirik layar ponsel, baru menyadari nama Rafa tertera di sana."Mendingan lo buka Instagram sekarang," suruh Rafa dengan nada cemas yang sulit disembunyikan.Alex menghela napas berat, bingung sekaligus penasaran. Ia membuka aplikasi Instagram seperti yang diminta. Matanya membelalak saat melihat unggahan yang viral di Instagram. Judulnya jelas: "Terbongkar! Pelaku Kejahatan Terhadap Laura Akhirnya Terungkap."Alex mengusap wajahnya dengan gelisah. Ia memang beren
"Bunda," panggil Alex saat memasuki rumah Laura yang tampak sepi.Ia melihat ke sana kemari, tapi tak menemukan siapa pun di lantai bawah."Oh, kamu, Lex," sahut Sinta sambil keluar dari kamar."Sepi banget, Bun. Om ke mana?" tanya Alex penasaran."Ayah Laura ada pekerjaan mendadak di luar kota. Mungkin satu atau dua hari baru balik," jelas Sinta. "Kalau Laura, paling dia di kamarnya."Alex terkekeh kecil. "Aku tahu kok dia di kamar, tadi aku lihat dari jendela. Lucu banget, dia kelihatan salah tingkah pas ngintip."Kamu pasti jahilin Laura lagi, ya?" tuduh Sinta sambil melangkah mendekati Alex."Ah, Bunda, enggak kok. Cuma manggil doang," jawab Alex sambil terkekeh kecil, mencoba membela diri."Alex ke sini mau ngasih surat buat Bunda, dari sekolah. Ini panggilan untuk orang tua Laura," ucap Alex sambil menyerahkan surat tersebut kepada Sinta.Sinta menerima surat tersebut dan membacanya sekilas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Alex dengan penuh rasa khawatir. "Ini tentang
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu kututup perlahan, tapi rasanya seperti ada beban berat yang mengunci semua energi di tubuhku. Aku duduk di sudut ranjang, memeluk lututku sendiri.Meskipun Ayah dan Bunda tadi memberikan dukungan penuh, aku tahu mereka pasti kecewa. Bagaimana tidak? Anak perempuan mereka yang diharapkan bisa menjadi kebanggaan malah menjadi beban. Aku bahkan tidak bisa bicara dengan pengacara tadi. Aku gagal lagi.Aku menunduk, menatap lantai kosong. Hidupku sudah hancur. Semua yang kubangun, semua yang kucita-citakan, rasanya sirna dalam sekejap. Masalah ini bukan hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga mencoreng nama baik keluargaku.Air mata mulai jatuh tanpa bisa kuhentikan. Suara isakan kecil memenuhi keheningan kamar. Aku tahu Ayah dan Bunda mencoba menguatkanku, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana mereka bisa bangga pada anak perempuan seperti aku—yang bahkan tidak punya keberanian untuk menghadapi semuanya?Aku merem
Sementara itu, di rumah Laura, suasana terasa canggung. Seorang pria berjas rapi, pengacara yang dipanggil oleh ayah Laura, duduk di ruang tamu bersama mereka. Ia membawa sebuah tas kerja dan setumpuk dokumen yang diletakkannya di atas meja.“Silakan diminum, Pak, tehnya,” ujar Sinta dengan senyum ramah sambil menyodorkan cangkir teh."Terima kasih, Bu," jawab pengacara itu sopan sebelum menyesap teh hangat tersebut.Namun, berbeda dengan kehangatan Sinta, Laura justru duduk di sudut sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya sibuk memainkan ujung sweater yang ia kenakan, mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Ayah Laura, yang duduk di sebelah pengacara itu, berdehem kecil, mencoba mencairkan suasana. “Jadi, Pak Adrian, bagaimana langkah awal yang bisa kita ambil untuk membantu Laura keluar dari masalah ini?”Adrian meletakkan cangkir tehnya, lalu membuka map di hadapannya. “Saya sudah membaca berkas-berkas yang Bapak kirimkan sebelumnya. Situasinya cukup rumit, tapi tida
“Grettha Cindy, ikut saya ke ruang BK,” ujar Pak Burhan tegas, matanya menatap tajam ke arah Grettha dan Cindy. Ia kemudian beralih menatap Alex, ekspresinya sama sekali tak melunak. “Kamu juga, Alex,” tambahnya, nada suaranya semakin dingin.Kerumunan siswa dan siswi di sekitar mereka mulai gelisah. “Bubar! Bukannya belajar malah nonton orang berkelahi,” seru Pak Burhan dengan suara lantang, membuat suasana di lorong sekolah seketika hening. Para siswa yang tadinya berkerumun perlahan membubarkan diri, beberapa masih melirik penasaran ke arah Grettha, Cindy dan Alex sebelum beranjak pergi. ..... Setiba di ruang BK, Grettha, Cindy, dan Alex berjalan masuk dengan langkah berat. Mereka bertiga duduk di kursi berhadapan langsung dengan Pak Burhan, yang duduk dengan posisi tubuh tegak dan ekspresi wajahnya penuh wibawa.Pak Burhan melipat kedua tangannya di atas meja, matanya bergantian menatap ketiganya dengan tajam. Suasana di ruangan itu terasa begitu menegangkan, hanya terdengar sua
POV Alex Setelah kejadian yang menimpa Laura, Alex akhirnya kembali ke sekolah. Ini adalah pertama kalinya ia melangkahkan kaki ke sana lagi setelah sekian lama. Ia sebenarnya enggan, tapi momy terus memaksa, mengingat tengah semester sudah dekat dan ia sudah terlalu banyak membolos. Dengan langkah lesu, ia memasuki gerbang sekolah, perasaan berat menggelayutinya. Alex tahu, kabar tentang apa yang menimpa Laura sudah pasti tersebar luas. Kemarin, salah satu akun I*******m bahkan dengan terang-terangan mengungkapkan identitas Laura—nama lengkapnya, Laura Varista Safa dan di mana ia bersekolah. Entah siapa yang tega menyebarkan berita itu, tapi Alex tidak akan tinggal diam. "Gue akan menemukan pelakunya," pikirnya. Meskipun kabar itu benar, Alex tak tahan membayangkan bagaimana perasaan Laura jika tahu dirinya menjadi bahan gunjingan publik. Sepanjang jalan menuju kelas, bisik-bisik dan tatapan siswa lain menghantam Alex seperti duri yang menyayat. Mereka membicarakan Laura—buruk-buru
Alex turun dari mobilnya, diikuti oleh Rafa dan Agatha. Karena keduanya datang dengan motor, Alex tidak akan mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing. Setelah memastikan Rafa dan Agatha sudah pergi, Alex bergegas masuk ke rumahnya." "Kamu sudah pulang, Lex?" tanya Anita yang tampak akan pergi keluar rumah. "Iya. Mau ke mana, Mom?" balas Alex. "Mau ke rumah Laura. Papa juga sudah ada di sana. Ada hal yang mau Papa bicarakan dengan orang tuanya Laura, soal masalah persidangan nanti. Makanya Momy mau ke sana juga, buat nenangin Laura," jelas Anita. "Mom, emang harus, ya? Apa nggak bisa persidangannya tanpa Laura? Momy tahu sendiri kan, kondisi Laura belum pulih sepenuhnya," ujar Alex dengan nada khawatir. "Lex, Momy tahu," Anita menjawab dengan nada lembut tapi tegas. "Tapi Momy juga nggak bisa berbuat apa-apa, termasuk Papa. Ini sudah keputusan hukum. Kamu mau kan, Ezra sama Bianca mendapatkan hukuman yang setimpal?" Alex terdiam, hatinya bergejolak antara rasa kasihan
Di perjalanan menuju Dufan, Laura hanya duduk diam di kursi belakang, mendengarkan candaan Rafa dan Alex yang seperti biasa tak ada habisnya. Sesekali, ia tersenyum kecil saat Agatha memutar lagu-lagu favorit mereka. Namun, senyum itu segera pudar, tergantikan oleh perasaan ragu—apakah ia benar-benar pantas menikmati momen ini?"Lo nggak ikut nyanyi, Ra? Padahal ini lagu kesukaan lo. Meski... suara lo nggak bagus-bagus amat sih," ejek Agatha sambil melirik Laura di kaca spion.Laura mendengus pelan, "Gue lagi nggak mood.""Meskipun suara Laura nggak bagus-bagus amat, tapi dia tetap juara di hati gue," timpal Alex dengan nada menggoda.Rafa tertawa keras. "Aduh, Lex. Jadi mantan aja gombalnya nggak hilang-hilang!"Candaan itu membuat Laura tersenyum kecil lagi, meski ia berusaha menyembunyikannya. Ada kehangatan di antara mereka, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, walau hanya sesaat.---Setibanya di Dufan, suara ramai langsung menyambut mereka. Anak-anak berlari kegi
"Hallo raf, lo di mana?" tanya Alex pada Rafa di seberang telepon sana."Gue lagi jalan-jalan sama Agatha, kenapa, Lex?" tanya Rafa kembali."Gue perlu bicara sama kalian berdua, tentang Laura," jawab Alex dengan nada serius."Kenapa sama Laura?" tanya Rafa, mulai khawatir."Dia kambuh lagi?" lanjut Rafa, menebak keadaan."Bukan. Laura udah pulang, cuma dia masih sedih. Gue butuh bantuan kalian buat ngehibur dia," jelas Alex.Rafa terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Alex. "Oke, gue dan Agatha bakal ke sana, Lex. Tenang aja, kita bantu. Laura nggak sendiri," jawabnya dengan penuh perhatian.Alex menghela napas panjang. "Makasih, Raf. Gue nggak tahu lagi harus gimana, tapi jangan ke sini sekarang, besok pagi aja, Kalau sekarang Laura udah istirahat, "Rafa mengangguk, meskipun Alex tidak bisa melihatnya. "Oke, besok pagi kita datang. Jangan khawatir, kita pasti bantu. Laura nggak akan sendirian," jawabnya dengan yakin."Makasi, Raf. Gue bener-bener nggak tahu h