Setelah melihat Sinta dan Rio yang sudah masuk ke dalam kamar mereka, Anita menghampiri Dimas yang sedang berkirim pesan dengan seseorang.''Yah,'' panggil Anita sambil duduk di sebelah Dimas.Dimas yang merasa di panggil mengalihkan tatapannya ke arah Anita yang menatapnya dengan sorot mata tajam.''Kenapa?'' tanya Dimas was-was, apalagi melihat tatapan maut istrinya membuat dia merinding ketakutan.''Kenapa kamu gak bilang masalah ini ke aku?'' tanya Anita.Dari awal Anita merasa ada yang di sembunyikan dari mereka berdua, ia pikir itu hanya masalah para lelaki saja jadi ia tak mau ambil pusing, tapi dugaanya ternyata salah, mereka berdua menyembunyikan masalah besar bahkan Laura sendiri pun tak tau apa yang menimpa dirinya selama ini.Dimas menelan ludahnya berkali-kali, ini yang ia takutkan kalau ia bilang yang sebenarnya.''Maaf aku gak bermaksud nutupin semua ini, tapi aku takut kamu sedih sama apa yang menimpa Laura,'' ucap Dimas menjelaskan pada Anita dengan lembut.''Aku past
Suara motor yang mendekat ke arah Alex membuat Alex segera berdiri dan melambai ke arah suara motor, matanya yang masih perih membuat dia masih memejamkan matanya.''Tolong,'' teriak Alex.pengendara motor yang ternyata adalah Rafa dan Dimas, segera menghentikan motornya dan menghampiri Alex yang masih meringis perih.''Lo gak papa? tanya Rafa sambil berlari pelan ke arah Alex yang di susul oleh Dimas di belakang.Alex yang mengenali itu suara Rafa, berjalan pelan ke arahnya ''Mata gue perih,'' jawab Alex yang belum membuka matanya.''Nanti papa obatin sekarang pulang dulu,'' ucap Dimas sambil, menghampiri motor Alex yang tergeletak di aspal, ia mengangkat motor tersebut dan melihat bagian seblah kiri yang tergores cukup parah.Dimas menggelengkan kepalanya, padahal baru di beli ini motor tapi sudah ruksak lagi, untung saja Alex tak ada luka yang cukup parah, hanya matanya saja yang perih.Dimas menaiki motor Alex, dan menyuruh Alex naik di jok belakang, di bantu oleh Rafa agar menunt
"Jangan coba-coba buat kabur," ucap seseorang di belakang Laura membuat ia terkejut.Laura membalikan tubuhnya, dan melihat Ezra yang masuk sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman."Kenapa lo kurung gue di sini?" tanya Laura sambil melangkah mendekat ke arah Ezra dengan langkah pelan."Mungkin karena dosa-dosa lo di masa lalu," ucap Ezra gamblang.Laura menyeritkan keningnya tak mengerti, dosa apa yang telah ia perbuat pada Ezra juga Bianca."Ngomong yang bener, gak usah setengah-setengah gitu," ucap Laura kesal.Ezra menatap Laura sekilas lalu menyenderkan tubuhnya ke dinding setelah menyimpan nampan yang berisi makanan di atas meja."Bianca yang akan ngasih tau lo,''"Ini di rumah Biancakan?" tanya Laura.Tak ada jawaban dari Ezra membuat Laura menghela nafas kecewa."Lepasin gue, gue mau pulang," ucap Laura memohon."Lo gak akan pernah pergi dari sini sebelum lo nebus semua dosa-dosa lo sama Bianca," jawab Ezra yang Laura tak paham sama sekali.Ezra melangkahkan kakinya be
"Kita tunggu reaksi obatnya selama 10 menit," ucap Bianca tiba-tiba, saat Ezra kembali ke dapur dan menyimpan piring serta gelas kotor ke wastapel, matanya tak lepas melihat ke arah laptop mengintai semua pergerakan Laura."Apa yang kamu berikan di makanan Laura Bi?" tanya Ezra penasaran, sambil mencuci piring kotor."Nanti juga kamu tau," jawab Bianca, sambil melihat ke arah Ezra sekilas.Bunyi ponsel Bianca membuat ia mengalihkan tatapannya pada laptop ke ponsel, tertulis di layar ponsel "papa".Bianca segera menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan dari papanya.Ezra yang melihat Bianca sedang menelepon dengan papanya hanya memperhatikan Bianca yang sesekali tertawa lepas, membuat Ezra mengangkat bibirnya.Ezra menatap ke arah layar laptop yang melihat Laura terus bergerak dengan gelisah, sambil sesekali mengibaskan bajunya.Ezra terheran dengan perilaku Laura, bukanya tadi Laura masih merasa kedinginan lalu sekarang.Apa jangan-jangan! Ezra menatap Bianca dengan penuh curig
Sinta terbangun dari tidurnya, kepalnya terasa pusing mata sembab juga hidungnya karena menangis semalam memikirkan keadaan Laura yang entah sekarang di mana.Sinta membangungkan Rio yang masih tertidur di sampingnya, "Yah bangun," sambil mengguncangkan tangan Rio yang berada di sampingnya Rio mengerjapkan matanya, ia melihat ke arah Sinta yang sudah bangun dan bersabar di ranjang."Jam berapa bun?" tanya Rio pada Sinta sambil bangun dari baringnya."Jam 8," jawab Sinta pelan.Rio bangkit dari kasur , "Aku mau hari Laura lagi," ucap Rio pada Sinta."Yah temuin Laura dalam keadaan selamat," pinta Sinta penuh harap."Tentu," Rio berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan kemudian lanjut mencari Laura.Sinta turun dari kasurnya dan berjalan ke luar kamar, ia melihat ke sekitar ruang tamu tak ada siapapun hanya terdengar suara bising di arah dapur.Sinta langsung melangkahkan kaki ke dapur, terlihat Anita sedang menata meja makan, aroma nasi goreng yang harum langsung me
Ezra membuka pintu dan langsung melihat Laura yang terus menerus bergerak gelisah, sambil menggesekan bagian intimnya.Ezra yang sudah minum obat perasang pun ikut terangsang ketika melihat Laura yang terlihat menggoda.Tanpa basa-basi Ezra segera menghampiri Laura, tak lupa melucuti pakaiannya terlebih dahulu sehingga ia telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.Laura yang melihat Ezra menanggalkan semua pakaiannya, menatapnya takut-takut.Tapi saat Ezra mulai menyentuh tubuh Laura pelan, Laura seolah tak bisa menolak sentuhan tersebut dan malah menginginkan lebih jauh.Ezra membuka pakaian yang di kenakan Laura, tanpa ada perlawanan dari Lauranya sendiri, melihat Laura yang seperti ini membuat Ezra tak bisa menahan lagi."Jangan Zra," mohon Laura dengan suara serak serta matanya yang sayu.Ezra tak mendengarkan ucapan Laura ia asik memainkan serta melumat dua daging kenyal yang begitu pas di tangan Ezra."Aah Zra stop," pinta Laura memohon, tapi ia tak bisa bohong bahwa tubuhnya men
Mereka berdua kini sudah sampai di rumah Alex yang memang sedang kosong karena Anita dan Dimas masih berada di kediaman Laura menemani Sinta di sana.Mereka berdua melangkah masuk menuju ruang tamu, lalu merebahkan tubuhnya yang terasa penat di atas sofa.Alex mengambil ponselnya yang berada di saku celana, sejak tadi ia belum memainkan ponselnya itu karena sibuk mencari keberadaan Laura.Ia mulai menekan tombol yang berada di samping ponsel, terlihat ada notifikasi pesan masuk merupakan video yang entah siapa pengirimnya karena nomornya tidak ada dalam kontak Alex.Tangan Alex dengan lincah menari di atas layar ponsel, menekan nomor pin pada ponselnya yang memang ia kunci, ia membuka aplikasi hijau berlogo gagang telepon tersebut.Setelah itu ia memutar video tersebut matanya membulat seketika ia yang tadi sedang berbaring langsung duduk dengan tegap, matanya tak lepas dari ponsel yang kini terdengar suara-suara desahan yang saking bersahutan, cengkramannya semakin kuat pada ponsel
"Mendingan kita susul bokap lo ke kantornya?" Usul Rafa pada Alex yang masih tertunduk lesu."Jangan lembek kaya cewek, hayu ah," seru Rafa sambil menarik lengan Alex agar mengikutinya.Alex melangkah dengan pelan, mengambil kunci motor yang berada di saku jaket ya g di kapai oleh Alex, ketika mereka keluar, di sebrang jalan tepat di rumah Laura, Sinta melihat mereka berdua."Kalian berdua ke sini?' Suruh Sinta.Alex dan Rafa nenganggukan kepala, mereka menyebrangi jalan menuju rumah Laura, Sinta masih setia berdiri menunggu rua pemuda tersebut."Kalian dari tadi sudah pulang?" Tanya Sinta."Terus kenapa malah pulang ke sana gak kesini?" Tanya Sinta kembali sambil menyipitkan mata."Salah belok ma," jawab Alex enteng lalu masuk ke dalam rumah melewati Sinta yang terbengong dengan jawaban aneh anaknya."Kalau salah belok kenapa gak di belokin lagi," ucap Sinta sambil menyusul Alex, tak lupa mengajak Rafa yang hanya bisa cengengesan mendengar ucapan sahabatnya."Baru ingetnya sekarang,"
Pagi telah berlalu, dan Alex terbangun dari tidurnya karena dering ponsel yang memecah keheningan. Suara itu begitu mengganggu, membuatnya mengerutkan dahi dengan kesal.Dengan mata yang masih berat, Alex meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung menjawab dengan suara serak, "Halo?"Suara yang tak asing terdengar di seberang, nadanya terdengar tergesa-gesa. "Alex, lo udah liat berita yang lagi viral sekarang?"Alex mengernyit, mencoba memahami maksudnya. "Berita apa?" Ia melirik layar ponsel, baru menyadari nama Rafa tertera di sana."Mendingan lo buka Instagram sekarang," suruh Rafa dengan nada cemas yang sulit disembunyikan.Alex menghela napas berat, bingung sekaligus penasaran. Ia membuka aplikasi Instagram seperti yang diminta. Matanya membelalak saat melihat unggahan yang viral di Instagram. Judulnya jelas: "Terbongkar! Pelaku Kejahatan Terhadap Laura Akhirnya Terungkap."Alex mengusap wajahnya dengan gelisah. Ia memang beren
"Bunda," panggil Alex saat memasuki rumah Laura yang tampak sepi.Ia melihat ke sana kemari, tapi tak menemukan siapa pun di lantai bawah."Oh, kamu, Lex," sahut Sinta sambil keluar dari kamar."Sepi banget, Bun. Om ke mana?" tanya Alex penasaran."Ayah Laura ada pekerjaan mendadak di luar kota. Mungkin satu atau dua hari baru balik," jelas Sinta. "Kalau Laura, paling dia di kamarnya."Alex terkekeh kecil. "Aku tahu kok dia di kamar, tadi aku lihat dari jendela. Lucu banget, dia kelihatan salah tingkah pas ngintip."Kamu pasti jahilin Laura lagi, ya?" tuduh Sinta sambil melangkah mendekati Alex."Ah, Bunda, enggak kok. Cuma manggil doang," jawab Alex sambil terkekeh kecil, mencoba membela diri."Alex ke sini mau ngasih surat buat Bunda, dari sekolah. Ini panggilan untuk orang tua Laura," ucap Alex sambil menyerahkan surat tersebut kepada Sinta.Sinta menerima surat tersebut dan membacanya sekilas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Alex dengan penuh rasa khawatir. "Ini tentang
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu kututup perlahan, tapi rasanya seperti ada beban berat yang mengunci semua energi di tubuhku. Aku duduk di sudut ranjang, memeluk lututku sendiri.Meskipun Ayah dan Bunda tadi memberikan dukungan penuh, aku tahu mereka pasti kecewa. Bagaimana tidak? Anak perempuan mereka yang diharapkan bisa menjadi kebanggaan malah menjadi beban. Aku bahkan tidak bisa bicara dengan pengacara tadi. Aku gagal lagi.Aku menunduk, menatap lantai kosong. Hidupku sudah hancur. Semua yang kubangun, semua yang kucita-citakan, rasanya sirna dalam sekejap. Masalah ini bukan hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga mencoreng nama baik keluargaku.Air mata mulai jatuh tanpa bisa kuhentikan. Suara isakan kecil memenuhi keheningan kamar. Aku tahu Ayah dan Bunda mencoba menguatkanku, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana mereka bisa bangga pada anak perempuan seperti aku—yang bahkan tidak punya keberanian untuk menghadapi semuanya?Aku merem
Sementara itu, di rumah Laura, suasana terasa canggung. Seorang pria berjas rapi, pengacara yang dipanggil oleh ayah Laura, duduk di ruang tamu bersama mereka. Ia membawa sebuah tas kerja dan setumpuk dokumen yang diletakkannya di atas meja.“Silakan diminum, Pak, tehnya,” ujar Sinta dengan senyum ramah sambil menyodorkan cangkir teh."Terima kasih, Bu," jawab pengacara itu sopan sebelum menyesap teh hangat tersebut.Namun, berbeda dengan kehangatan Sinta, Laura justru duduk di sudut sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya sibuk memainkan ujung sweater yang ia kenakan, mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Ayah Laura, yang duduk di sebelah pengacara itu, berdehem kecil, mencoba mencairkan suasana. “Jadi, Pak Adrian, bagaimana langkah awal yang bisa kita ambil untuk membantu Laura keluar dari masalah ini?”Adrian meletakkan cangkir tehnya, lalu membuka map di hadapannya. “Saya sudah membaca berkas-berkas yang Bapak kirimkan sebelumnya. Situasinya cukup rumit, tapi tida
“Grettha Cindy, ikut saya ke ruang BK,” ujar Pak Burhan tegas, matanya menatap tajam ke arah Grettha dan Cindy. Ia kemudian beralih menatap Alex, ekspresinya sama sekali tak melunak. “Kamu juga, Alex,” tambahnya, nada suaranya semakin dingin.Kerumunan siswa dan siswi di sekitar mereka mulai gelisah. “Bubar! Bukannya belajar malah nonton orang berkelahi,” seru Pak Burhan dengan suara lantang, membuat suasana di lorong sekolah seketika hening. Para siswa yang tadinya berkerumun perlahan membubarkan diri, beberapa masih melirik penasaran ke arah Grettha, Cindy dan Alex sebelum beranjak pergi. ..... Setiba di ruang BK, Grettha, Cindy, dan Alex berjalan masuk dengan langkah berat. Mereka bertiga duduk di kursi berhadapan langsung dengan Pak Burhan, yang duduk dengan posisi tubuh tegak dan ekspresi wajahnya penuh wibawa.Pak Burhan melipat kedua tangannya di atas meja, matanya bergantian menatap ketiganya dengan tajam. Suasana di ruangan itu terasa begitu menegangkan, hanya terdengar sua
POV Alex Setelah kejadian yang menimpa Laura, Alex akhirnya kembali ke sekolah. Ini adalah pertama kalinya ia melangkahkan kaki ke sana lagi setelah sekian lama. Ia sebenarnya enggan, tapi momy terus memaksa, mengingat tengah semester sudah dekat dan ia sudah terlalu banyak membolos. Dengan langkah lesu, ia memasuki gerbang sekolah, perasaan berat menggelayutinya. Alex tahu, kabar tentang apa yang menimpa Laura sudah pasti tersebar luas. Kemarin, salah satu akun I*******m bahkan dengan terang-terangan mengungkapkan identitas Laura—nama lengkapnya, Laura Varista Safa dan di mana ia bersekolah. Entah siapa yang tega menyebarkan berita itu, tapi Alex tidak akan tinggal diam. "Gue akan menemukan pelakunya," pikirnya. Meskipun kabar itu benar, Alex tak tahan membayangkan bagaimana perasaan Laura jika tahu dirinya menjadi bahan gunjingan publik. Sepanjang jalan menuju kelas, bisik-bisik dan tatapan siswa lain menghantam Alex seperti duri yang menyayat. Mereka membicarakan Laura—buruk-buru
Alex turun dari mobilnya, diikuti oleh Rafa dan Agatha. Karena keduanya datang dengan motor, Alex tidak akan mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing. Setelah memastikan Rafa dan Agatha sudah pergi, Alex bergegas masuk ke rumahnya." "Kamu sudah pulang, Lex?" tanya Anita yang tampak akan pergi keluar rumah. "Iya. Mau ke mana, Mom?" balas Alex. "Mau ke rumah Laura. Papa juga sudah ada di sana. Ada hal yang mau Papa bicarakan dengan orang tuanya Laura, soal masalah persidangan nanti. Makanya Momy mau ke sana juga, buat nenangin Laura," jelas Anita. "Mom, emang harus, ya? Apa nggak bisa persidangannya tanpa Laura? Momy tahu sendiri kan, kondisi Laura belum pulih sepenuhnya," ujar Alex dengan nada khawatir. "Lex, Momy tahu," Anita menjawab dengan nada lembut tapi tegas. "Tapi Momy juga nggak bisa berbuat apa-apa, termasuk Papa. Ini sudah keputusan hukum. Kamu mau kan, Ezra sama Bianca mendapatkan hukuman yang setimpal?" Alex terdiam, hatinya bergejolak antara rasa kasihan
Di perjalanan menuju Dufan, Laura hanya duduk diam di kursi belakang, mendengarkan candaan Rafa dan Alex yang seperti biasa tak ada habisnya. Sesekali, ia tersenyum kecil saat Agatha memutar lagu-lagu favorit mereka. Namun, senyum itu segera pudar, tergantikan oleh perasaan ragu—apakah ia benar-benar pantas menikmati momen ini?"Lo nggak ikut nyanyi, Ra? Padahal ini lagu kesukaan lo. Meski... suara lo nggak bagus-bagus amat sih," ejek Agatha sambil melirik Laura di kaca spion.Laura mendengus pelan, "Gue lagi nggak mood.""Meskipun suara Laura nggak bagus-bagus amat, tapi dia tetap juara di hati gue," timpal Alex dengan nada menggoda.Rafa tertawa keras. "Aduh, Lex. Jadi mantan aja gombalnya nggak hilang-hilang!"Candaan itu membuat Laura tersenyum kecil lagi, meski ia berusaha menyembunyikannya. Ada kehangatan di antara mereka, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, walau hanya sesaat.---Setibanya di Dufan, suara ramai langsung menyambut mereka. Anak-anak berlari kegi
"Hallo raf, lo di mana?" tanya Alex pada Rafa di seberang telepon sana."Gue lagi jalan-jalan sama Agatha, kenapa, Lex?" tanya Rafa kembali."Gue perlu bicara sama kalian berdua, tentang Laura," jawab Alex dengan nada serius."Kenapa sama Laura?" tanya Rafa, mulai khawatir."Dia kambuh lagi?" lanjut Rafa, menebak keadaan."Bukan. Laura udah pulang, cuma dia masih sedih. Gue butuh bantuan kalian buat ngehibur dia," jelas Alex.Rafa terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Alex. "Oke, gue dan Agatha bakal ke sana, Lex. Tenang aja, kita bantu. Laura nggak sendiri," jawabnya dengan penuh perhatian.Alex menghela napas panjang. "Makasih, Raf. Gue nggak tahu lagi harus gimana, tapi jangan ke sini sekarang, besok pagi aja, Kalau sekarang Laura udah istirahat, "Rafa mengangguk, meskipun Alex tidak bisa melihatnya. "Oke, besok pagi kita datang. Jangan khawatir, kita pasti bantu. Laura nggak akan sendirian," jawabnya dengan yakin."Makasi, Raf. Gue bener-bener nggak tahu h