Seandainya saja ia mempunyai ilmu bisa menghilang, tentu sudah ia gunakan saat ini. Bagaimana bisa, daster tidak terkancing dengan baik dan ia pun tidak memakai bra saat itu. Haris, kakak sepupu suaminya pasti melihat walau tidak sempurna. Namun, tetap saja pria itu melihatnya. Lunar kebingungan sendiri karena ia harus keluar kamar untuk memasak sarapan. Peristiwa tadi membuatnya sangat malu. "Lunar, Bira, saya berangkat!" Seru Haris dari balik pintu. Wanita itu menghela napas lega. Ia berjalan ke jendela untuk memastikan Haris sudah pergi dari rumahnya. Dengan memakai kaus biasa dan celana panjang jeans, Haris berjalan keluar rumah adik sepupunya sambil membawa ransel. Lekas ia keluar kamar untuk mandi. Sebuah kejutan lagi di hari kamis pagi, darah sedikit pekat tercetak di celananya yang berwarna crem. Padahal ia ingin di cumbu suaminya malam sabtu nanti, malah sekarang ia yang datang bulan. Mood-nya benar-benar berantakan. Setelah mandi, Lunar yang tadinya ingin memasak sarapan,
Motor Bira melaju di jalanan tanah basah yang sempit. Penuh pepohonan bambu yang sangat rimbun. Lokasi rumah seseorang yang ia akui sebagai guru spritual itu letaknya jauh dari jalanan raya ibu kota. Bahkan harus melewati hutan bambu yang luasnya mungkin sekitar satu hektar. Sepanjang jalan, pantangan bagi Bira untuk menoleh ke belakang ataupun melirik spion kanan dan kiri. Ia sudah terbiasa akan hal itu dan sangat hapal, sehingga ia biasa saja saat melewati tengah hutan. Setelah berkendara semakin masuk ke dalam hutan, Bira sampai di jalanan bebatuan yang sudah tidak begitu rimbun pepohonan. Ada lampu jalan juga di beberapa titik, tetapi rumah antar warga sangat jauh. Dalam jarak lima ratus meter, barulah bisa menemukan rumah yang lainnya. Pasokan listrik di daerah ini sepertinya belum merata, terbukti keadaan jalan sangat lengang dan juga tidak nampak terpasang antena TV di atap rumah warga. Bira memarkirkan motornya di sebuah rumah sederhana, model jaman dahulu kala. Bentuk jend
Lunar benar-benar membulatkan tekadnya untuk mengunjungi klinik pijat suaminya sore ini. Ia sudah siap jika Bira marah atau mungkin mengusirnya, tetapi ia tidak akan mundur. Paling tidak ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa suaminy benar-benar bekerja sebagai tukang pijat patah tulang dan keseleo, bukan yang lain. "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lunar saat motor ojek online berhenti di pinggir jalan raya. "Maaf, Mbak, sepertinya ban motor saya bocor. Saya cari tambal ban dulu ya, Mbak. Mbak mau ikut saya atau menunggu di sini. Setelah saya selesai menambal, nanti saya balik lagi," kata pemuda itu pada Lunar dengan wajah bersalah. "Yah, di mana tukang tambalnya? Kalau jauh, saya buang-buang energi dan waktu. Ini saya bayar aja deh, saya mau naik ojek online lain saja!" Lunar mengeluarkan uang lima puluh lima ribu dari dompetnya. Belum setengah perjalanan, sudah ada saja kendala. "Makasih, Mbak, mohon maaf ya. Jangan kasih bintang satu ya, Mbak." Pemuda itu menatap Lunar deng
"Ini sudah larut, Mbak Citra pasti kemaleman kalau masih ingin berbincang dengan Lunar. Lunar, kamu masuk dulu saja." Kedua wanita bersaudara itu kebingungan sendiri dengan situasi saat ini. Namun, Citra memilih menuruti kalimat Bira karena memang ini sudah malam dan ia sendirian datang ke sini. "Lain kali kita ngobrol ya, Lunar, saya pamit dulu." Citra mencium pipi kanan dan kiri Lunar, lalu mengangguk tipis pada Bira. Pria itu menarik Lunar masuk ke dalam ruangan klinik. Lalu ia keluar kembali membisikkan sesuatu pada Bu Dasmi. Pintu tertutup, Bira bahkan menguncinya. "Ada apa kamu ke sini? Bukankah saya sudah pernah katakan bahwa kamu tidak perlu datang ke sini?" Bira menahan amarahnya. Ia harus bisa menguasai diri agar tidak bertengkar dengan istrinya di saat pasien di luar sana masih banyak yang menunggu. "Saya hanya ingin memastikan pekerjaan suami saya. Apa itu gak boleh?" tantang Lunar dengan sorot mata tajam suaminya. "Kamu kira pekerjaan aku apa, Lunar? Jelas-jelas aku
"Abang kenapa bohong? Abang bilang pil KB itu milik anak Bu Dasmi, tetapi Bu Dasmi bilang anaknya masih SMP. Berarti Abang bohong! Terus, itu pil KB siapa, Bang? Katakan!" Lunar tidak sanggup lagi menahan kesal terhadap suaminya. Sudah menunggu lama sampai pukul dia dini hari, ditambah ada kenyataan lain perihal pil KB yang ia konfirmasi pada Bu Dasmi. Tentu saja ia tidak terima. Sepanjang perjalanan pulang dari klinik ia hanya diam sambil menumpuk amarah, begitu tiba di rumah, Lunar langsung meluapkan kekesalannya. "Abang sebenarnya yang meminumnya. Itu pun baru saja, karena Abang sering cemas. Kata teman Abang, coba minum pil KB wanita, biar bisa lebih tenang." Jawaban Bira membuat Lunar tertawa remeh. "Apa hal ini bisa saya percaya? Bukannya kita sedang dalam program memiliki momongan, kalau Abang minum pil KB, pasti saja saya tidak akan hamil. Apa yang sebenarnya Abang inginkan?" Lunar memegang kerah baju Bira dengan kesal. Namun, pria itu tetap bungkam. "Maafkan Abang, Lunar.
"Kamu salah paham, Bira. Ini gak seperti apa yang kamu pikirkan." Haris mencoba menjelaskan meski rasanya sia-sia. Wajah Bira merah padam menahan marah sambil menatap Haris dengan tajam. Lalu apa yang dilakukan oleh Lunar? Lunar hanya bisa menunduk merasa sangat bersalah pada suami dan juga iparnya. Karena ia selalu ceroboh saat berjalan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara dua saudara ini. "Saya terpeleset dan hampir jatuh, Mas, untunglah ada Mas Haris, sehingga saya tidak jadi terjerembab di lantai," ujar Lunar dengan suara gemetar. "Entah saya harus percaya atau tidak. Kalian makan berdua tanpa saya saja sudah membuat saya kecewa, sekarang ditambah ada adegan semi pelukan di depan saya. Sebaiknya Mas Haris tidak di sini lagi, kecuali memang Mas Haris memang berminat pada Lunar." Haris dan Lunar menoleh serentak pada Bira.Ingin membantah juga percuma, karena posisinya pasti tetap menjadi orang yang disalahkan. Haris berdiri, lalu mengambil ransel yang sudah ia siapkan. Sia
"Pijat saja dulu, Bu. Tadi sudah minum dari rumah." Bira tersenyum. Ia menelan ludah dalam-dalam. Ruangan dingin yang saat ini mengelilinginya tidak lagi terasa di kulitnya. Gerakan perlahan pelanggan wanita yang super semok dan montok tengah membetulkan letak bantal dan guling di ranjang, mampu membuat gairahnya memuncak, padahal ia biasa melihat Lunar membereska kasur di rumah, tetapi beda dengan Elina yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Wanita bernama Elina itu berbaring telentang dengan pasrah. Bira menelan ludah, menahan hasratnya. Ini adalah bulan ketiga ia memijat Bu Elina dan tidak berani macam-macam karena wanita ini adalah istri orang super kaya di Jakarta. Mungkin saja termasuk orang terkaya di Indonesia. Mana berani ia macam-macam, bisa menghilang nyawanya nanti. Ia harus profesional saat ini. Jikalau gairahnya tersulut, maka pasien di klinik nanti tempat ia melampiaskannya. "Saya sudah gak pakai bra dan celana dalam loh, sesuai permintaan kamu," kata Bu Elin
Sepanjang dalam perjalanan pulang, Bira sama sekali tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak saja polisi tidur dengan kecepatan tinggi, hingga tubuhnya ikut terlonjak. Sungguh pertemuannya dengan Harus yang tidak disangka-sangka. Tadi pagi ia baru saja mengusir kakak sepupunya itu dengan kesalahan yang ia sendiri tahu, tidak benar. Sekarang, ia yang terperangkap sendiri atas kelalaiannya. Ditambah ibunya di kampung meminta hal yang aneh. Bira tidak pulang ke rumah, melainkan mampir di cafe yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Elina. Di sana ia duduk termenung sambil merokok serta memikirkan bagaimana ia memberitahu Haris tentang apa yang ia lakukan di rumah Elina. Ia tidak mungkin berkilah di depan kakaknya itu, karena tingkah berani memalukan yang ia lakukan pada Elina sudah pasti dilihat oleh Haris. Ting! Pesan berbunyi. Ada nama Bu Dasmi di sana yang mengatakan ada pasien wanita bernama Nela dan juga Aima yang datang. 'Hari ini saya sedang kurang sehat