Lunar pergi ke rumah sakit ditemani oleh Haris. Sepanjang jalan di taksi online, Lunar sama sekali tidak banyak bicara. Mulutnya bungkam bukan karena marah dengan godaan Haris tadi, tetapi khawatir dengan Bira. Bagaimanapun marah dan kesalnya ia pada suaminya, Bira pernah menjadi lelaki terbaik di hidupnya. Ada yang bilang, jika kita membenci, membencinya secukupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Lunar? Wajah kamu tegang sekali," tanya Haris penasaran. Meskipun ia tahu jawaban Lunar tentu saja memikirkan suaminya yang katanya mengalami luka bakar. "Memikirkan Bang Bira. Saya khawatir lemah dengan orang yang tengah sakit. Jika ia membujuk saya untuk berbaikan dan meminta maaf, bagaimana?" Haris tersenyum miris. "Kamu akan susah seumur hidup, Lunar. Ingat, ada tiga wanita yang hamil oleh Bira, sedangkan kamu belum hamil sama sekali. Apa kamu siap kembali bersama pria yang kemaluannya tidak bisa ia jaga? Menanam benih di sana-sini tanpa memikirkan bagaimana istrinya. Beda jika Bira masih s
Hari ini adalah hari yang sudah sangat lama dinantikan oleh Lunar. Tiga bulan berlalu sejak Bira ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses sidang dan hari ini adalah sidang putusan pengadilan atas gugatan cerainya pada Bira. Ditemani oleh ayahnya, Lunar pergi ke tempat yang membuatnya bertekad untuk tidak akan mengunjungi tempat seperti ini lagi. Cukup satu kali ia ke pengadilan agama untuk urusan perceraian. Selama tiga bulan ini juga ia ngekos di tempat Harus, tetapi sudah mendapatkan kamar di kos putri. Haris benar-benar memberikannya uang untuk memasak karena sarapan, makan siang, dan Haris juga membawa bekal makan malam masakan Lunar ke tempat ia bekerja. Mereka hanya tidak tinggal satu atap saja, tetapi perhatian Haris dan baiknya sikap Haris, seperti mereka memiliki hubungan spesial. "Jadi pulang nanti sore? Yakin?" kata Pak Rahmat pada putrinya. "Yakin, Pak, kenapa memangnya?" tanya Lunar bingung. Pak Rahmat tertawa pendek sambil mengusap rambut Lunar dengan
"I-ini m-maksudnya.... " Lunar merasa napasnya sesak. Kenapa tiba-tiba Haris melamarnya tanpa bilang apapun?"Mau loh ya, masa gak mau." Haris memasang wajah cemberut."Sebelum kamu pulang kampung, saya ikat dulu, biar di sana gak disamber berondong. Tiga bulan lagi, setelah masa iddah kamu selesai, kita akan menikah. Bagaimana, Pak Rahmat, saya bolehkan menjadi menantu Bapak?""Bapak sih gimana Lunar saja." Pak Rahmat mencolek pipi putrinya yang merona."Lunar, itu dijawab pertanyaan Haris, diterima gak?" Pak Rahmat mendesak putrinya.Lunar sudah meneteskan air mata penuh haru. Tanpa banyak drama babibu, dengan beraninya Haris melamar dirinya di depan bapaknya. Ia juga pantas bahagia setelah begitu dikecewakan oleh Bira."Lunar," panggil Haris. Wanita itu mengangkat wajahnya, lalu dengan mata berkabut menatap Haris sambil mengangguk perlahan."Alhamdulillah." Pria itu pun dengan cepat meraih tangan Lunar untuk memasangkan cincin bermata satu di jari manis Lunar. Dengan penuh hikmat,
"Lunar," panggil Birawa; membangunkan istrinya yang sudah terlelap. Pria itu mengusap pipi Lunar sambil tersenyum. Tangan dingin yang terasa di pipi, tentu saja membuat Lunar terbangun. Ia membuka kelopak mata yang sangat berat, karena belum lama terlelap. Suara berat dan sentuhan tangan dingin Bira tentu saja sangat di hapal oleh semua indra yang ada di tubuhnya. "Eh, Bang Bira udah pulang. Jam berapa sekarang?" Lunar menggosok matanya sambil menoleh ke jam dinding. Sudah pukul setengah dua dini hari. Pria itu melepas bajunya dan celana batik berkantung samping, hingga tergeletak di lantai. Lunar tersenyum melihat suaminya yang begitu gagah, apalagi bila dilihat dari belakang. Dadanya bidang, ototnya juga terbentuk dengan sangat baik. Tenaganya di malam sabtu juga luar biasa. Melihat suaminya yang semakin hari semakin tampan dan gagah, membuat Lunar begitu gembira. "Ambilkan air putih hangat seperti biasa ya, Lunar," pinta Bira sambil berjalan santai keluar dari kamar, hanya mengen
Efek dari pesan yang masuk ke ponsel suaminya tadi, membuat Lunar tidak bisa tidur. Ia terus saja berbalik ke kanan dan ke kiri agar mendapat posisi nyaman untuk terlelap, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa kantuk yang hilang begitu saja. Sejak awal menikah dengan Birawa, ia tidak pernah sama sekali membuka sembarangan ponsel suaminya, jika tidak diijinkan oleh pria itu atau memang sedang diminta untuk membuka dan membalas pesan dari beberapa pasien suaminya. Namun jika untuk membuka ponsel itu sendiri secara diam-diam, ia tidak pernah berani melakukannya. Ia tidak mau lancang dan sekarang, setelah membaca pesan yang tidak tuntas tadi, Lunar benar-benar resah. Wanita itu akhirnya turun dari tempat tidur setelah suara dengkuran suaminya begitu keras. Ia menekan cukup lama tombol kecil berbentuk memanjang di sisi kanan ponsel Bira. Logo ponsel dan tema pocong pun muncul di sana. Lunar sudah biasa, sudah tidak kaget ataupun takut lagi. Ia mencoba membuka ponsel suaminya, tetapi ga
"Oh, itu, mungkin wanita itu typo saat mengirimkan pesan," jawab Bira berusaha santai. Kening Liane semakin mengerut. "Oh, jadi yang Abang pijat perempuan? Itu Abang tahu kalau yang mengirimkan pesan perempuan?" tanya balik Lunar dengan hati cemas. Ia was-was suaminya main belakang, meskipun tidak mungkin. "Ya, karena rata-rata yang ke sana pasien Abang perempuan. Mulai dari pijat keseleo, turun berok, sakit pinggang, terkilir, sakit leher, patah tulang pun Abang bisa. Kamu cemburu ya? He he he... senang Abang kalau istri cemburu gini, tapi jangan cemburu buta, Abang kan mengobati pasien. Sama kaya dokter kandungan lelaki, pasti dia setiap hari malah ketemunya perempuan terus ya kan? Sudah, masakin Abang air hangat dulu sana, habis mandi, kita ke pasar yuk!" Lunar yang tadinya curiga sampai tidak bisa tidur, akhirnya luluh juga. Ucapan suaminya selalu saja masuk akal, bukan karena membela diri, tetapi karena keadaannya yang seperti itu. "Eh, malah bengong! Mau ke pasar gak?" tanya
Selesai dengan Intan selama satu jam di ranjang, Bira menerima pasien selanjutnya, kali ini seorang anak kecil yang kakinya keseleo. Anak kecil berwajah lucu itu diantar oleh ibunya yang cantik. Tentu saja, jika pasiennya anak-anak, maka yang Bira benar-benar akan memijatnya. Tentu saja dengan siasat licik di balik itu semua. "Siapa namanya, Sayang?" tanya Bira begitu ramah pada pasien anak kecil berusia tiga tahun itu. "Aima, Om," jawab anak kecil itu sambil malu-malu. Bira tersenyum hangat, baik pada si anak kecil, maupun ibunya. "Sini, Om Bira lihat kakinya ya. Aduh, pasti sakit sekali ini. Aima jatuh di mana?" tanya Bira sambil mengusap pelan kaki gadis cilik itu. "Lagi main sama temannya, Bang Bira, tahu-tahu pulang nangis dan digendong ibu-ibu tetangga," sahut ibu dari anak kecil itu. Bira mengangguk paham. "Mbak, si Cantik ini bukan sekedar jatuh biasa. Ini ada yang senang dengan Aima dan mengikutinya." Bira menjeda ucapannya. Lalu ia berjalan menuju laci lemari. Di dalamn
Begitu membaca nama pasien berikutnya adalah Lunar, maka. Bira kalang kabut membersihkan ruangan periksanya. Satu kotak alat kontrasepsi ia buang ke dalam tempat sampah. Minyak gosok juga ia tuang ke telapak tangan, lalu ia ciprat-cipratkan ke seluruh ruangan. Ia bergerak cepat, seperti detak jantungnya saat ini. Tidak, ia belum siap kalau Lunar mengetahui pekerjaannya. Baru dua tahun lebih delapan bulan ia seperti ini dan baru saja asik dengan mainan barunya. Tentu ia tidak mau diganggu oleh siapapun termasuk Lunar. "Silakan pasien berikutnya!" Seru Bira dari dalam kamar periksa. Tangannya yang gemetar, terpaksa ia kepalkan dengan kuat agar kegugupannya tidak terlihat oleh sang Istri. Cklek"Permisi, Bang Bira, saya Sunar." Bira melongo saat seorang pria yang muncul dari balik pintu. Seorang pemuda yang tersenyum padanya, sembari berjalan dengan sedikit pincang. Kali ini pemuda itu diantar oleh pria tua. Pria itu akhirnya menghela napas lega. Ia mengusap keringat yang mengucur de
"I-ini m-maksudnya.... " Lunar merasa napasnya sesak. Kenapa tiba-tiba Haris melamarnya tanpa bilang apapun?"Mau loh ya, masa gak mau." Haris memasang wajah cemberut."Sebelum kamu pulang kampung, saya ikat dulu, biar di sana gak disamber berondong. Tiga bulan lagi, setelah masa iddah kamu selesai, kita akan menikah. Bagaimana, Pak Rahmat, saya bolehkan menjadi menantu Bapak?""Bapak sih gimana Lunar saja." Pak Rahmat mencolek pipi putrinya yang merona."Lunar, itu dijawab pertanyaan Haris, diterima gak?" Pak Rahmat mendesak putrinya.Lunar sudah meneteskan air mata penuh haru. Tanpa banyak drama babibu, dengan beraninya Haris melamar dirinya di depan bapaknya. Ia juga pantas bahagia setelah begitu dikecewakan oleh Bira."Lunar," panggil Haris. Wanita itu mengangkat wajahnya, lalu dengan mata berkabut menatap Haris sambil mengangguk perlahan."Alhamdulillah." Pria itu pun dengan cepat meraih tangan Lunar untuk memasangkan cincin bermata satu di jari manis Lunar. Dengan penuh hikmat,
Hari ini adalah hari yang sudah sangat lama dinantikan oleh Lunar. Tiga bulan berlalu sejak Bira ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses sidang dan hari ini adalah sidang putusan pengadilan atas gugatan cerainya pada Bira. Ditemani oleh ayahnya, Lunar pergi ke tempat yang membuatnya bertekad untuk tidak akan mengunjungi tempat seperti ini lagi. Cukup satu kali ia ke pengadilan agama untuk urusan perceraian. Selama tiga bulan ini juga ia ngekos di tempat Harus, tetapi sudah mendapatkan kamar di kos putri. Haris benar-benar memberikannya uang untuk memasak karena sarapan, makan siang, dan Haris juga membawa bekal makan malam masakan Lunar ke tempat ia bekerja. Mereka hanya tidak tinggal satu atap saja, tetapi perhatian Haris dan baiknya sikap Haris, seperti mereka memiliki hubungan spesial. "Jadi pulang nanti sore? Yakin?" kata Pak Rahmat pada putrinya. "Yakin, Pak, kenapa memangnya?" tanya Lunar bingung. Pak Rahmat tertawa pendek sambil mengusap rambut Lunar dengan
Lunar pergi ke rumah sakit ditemani oleh Haris. Sepanjang jalan di taksi online, Lunar sama sekali tidak banyak bicara. Mulutnya bungkam bukan karena marah dengan godaan Haris tadi, tetapi khawatir dengan Bira. Bagaimanapun marah dan kesalnya ia pada suaminya, Bira pernah menjadi lelaki terbaik di hidupnya. Ada yang bilang, jika kita membenci, membencinya secukupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Lunar? Wajah kamu tegang sekali," tanya Haris penasaran. Meskipun ia tahu jawaban Lunar tentu saja memikirkan suaminya yang katanya mengalami luka bakar. "Memikirkan Bang Bira. Saya khawatir lemah dengan orang yang tengah sakit. Jika ia membujuk saya untuk berbaikan dan meminta maaf, bagaimana?" Haris tersenyum miris. "Kamu akan susah seumur hidup, Lunar. Ingat, ada tiga wanita yang hamil oleh Bira, sedangkan kamu belum hamil sama sekali. Apa kamu siap kembali bersama pria yang kemaluannya tidak bisa ia jaga? Menanam benih di sana-sini tanpa memikirkan bagaimana istrinya. Beda jika Bira masih s
"Tolong! Tolong!" Bira berteriak sekuat tenaga. Ia masih berharap ada mukjizat dari Tuhan yang bisa menyelamatkannya dan Kek Sugi.Api kian membesar. Bira berusaha menyelamatkan Kek Sugi dengan memapahnya keluar dari pintu depan. Brak! Asbes rumah jatuh tepat di depan mereka. Bira terjebak dan tidak tahu lagi cara keluar dari api yang mengelilingi rumah. "Jendela kamar samping, cepat!" Kek Sugi yang tadinya lemas, menjadi bertenaga agar bisa menyelamatkan diri dari bencana kebakaran. Hanya di kamar samping tidak memakai teralis dan mereka ada harapan bisa keluar dari sana. Api merembet cepat, ruang tengah tempat Kek Sugi tidur sudah dilalap api dengan begitu ganas.Kamar samping aman, keduanya berlari untuk keluar dari jendela. Namun, sangat disayangkan, kaitan jendela macet dan tidak bisa dibuka. "Dobrak cepat, Bira! Cepat!" Napas Kek Sugi mulai terengah-engah. Brak! Brak! Bira berhasil keluar lebih dahulu. Tangannya terulura untuk menyelamatkan Kek Sugi. Hap! Brak! "Argh!" B
Berdasarkan data GPS, pihak kepolisian berhasil menemukan posisi Bira berada. Mereka langsung meluncur ke lokasi tanpa menunggu nanti. Surat perintah penangkapan pun sudah dipegang oleh mereka, sehingga Bira tidak akan mungkin bisa berkelit. Bu Mega pasrah, saat ia dan Kinan malah digiring ke kantor polisi menggunakan mobil petugas. Rasa malu yang luar biasa membakar wajah Bu Mega sehingga ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap orang-orang lingkungan tempat tinggal Bira yang kini tengah menatapnya dengan penuh cemooh. "Pantesan Bang Bira nyuci sempak sendirian ya. Istrinya gak boleh nyuciin. Rupanya itu celana buat lap hasil anuan ya. Ih, jijik deh!""Pantesan Mbak Lunar kabur. Dia takut kena penyakit menular dari suaminya. Astaghfirullah, ngerinya manusia.""Kedok doang tukang pijet, aslinya malah dukun mesum." Bu Mega tidak sanggup mendengar cibiran dari tetangga. Ia lekas masuk ke dalam mobil sembari menulikan telinganya. Kinan yang tidak mengerti hanya bisa terdiam.
Bira benar-benar telah hilang akal. Ketakutan akan ditangkap oleh polisi membuatnya malah nekat mengguna-guna Haris dan istrinya. Apalagi menurut penuturan Kek Sugi. Energi Haris dan Lunar sangat dekat, itu pertanda keduanya sedang bersama. Membayangkan sang Istri yang dekat dengan Haris, tentu saja membuatnya marah dan juga kesal. Ponsel keduanya juga tidak aktif, sehingga amarahnya kian memuncak. Kek Sugi tidak bisa membantunya karena masih sakit. Kakek tua itu terkena penyakit lambung dan masih lemas untuk beraktivitas. Jangankan mengguna-guna orang, untuk ke kamar mandi saja, kakek tua itu tertatih. Untunglah Bira menumpang di sana, sehingga ada yang membantunya di rumah. "Kenapa gak bisa, Kek?" tanya Bira saat lagi-lagi ia gagal. Napasnya menjadi sesak karena ulahnya sendiri yang hendak mengirimkan santet pada Haris. "Susah, aku saja tidak bisa. Apalagi kamu yang tahunya cuma mijet. Selama ini istri kamu itu tidak curiga macam-macam karena aku bisa mengikatnya, tetapi sejak a
"Mas Haris, apa sudah lihat berita semalam?" tanya Lunar saat keesokan paginya, Haris pulang dari bekerja menjaga rumah majikannya. "Sudah, ramai sekali beritanya di media sosial. Tapi kamu jangan khawatir. Kamu kan tidak bersalah." Haris membuka sepatu dan juga menggantung tas ranselnya di paku. Lunar menyiapkan air untuk Haris. "Ini, Mas, minum dulu!" pria itu tersenyum, sembari menerima segelas air putih dari tangan Lunar. "Terima kasih, Lunar. Oh, iya, soal Bira, kamu tidak mungkin tidak dimintai keterangan karena kamu bertindak sebagai saksi. Pokoknya jangan takut, apapun yang ditanyakan polisi, katakan jujur." Lunar mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat begitu cemas. Haris mengerti kecemasan tersebut karena kapanpun wanita itu bisa diminta ke kantor polisi. Ada rasa kasihan pada Lunar karena ia adalah istri baik yang tidak macam-macam dengan suami. Beda dengan mantan istrinya dahulu. Ia bekerja banting-tulang, istri malah selingkuh. "Mas, apa saya ke kantor polisi saja
"Bang Bira, maaf, ada aparat datang ke klinik sama salah satu pasien, tapi saya gak tahu nama pasien siapa. Pasien wanita muda itu menangis dan aparat itu meminta Bang Bira datang, kalau tidak mau klinik dibakar.""Apa? Siapa? Kurang ajar! Siapa yang berani mengancam saya? Pasien wanita saya banyak, Bu, mana saya inget dan kenapa juga cewek itu nangis!"Srak!Aparat itu merampas ponsel Bu Dasmi dengan tiba-tiba. "Bira, cepat kamu ke sini! Atau aku bakar klinik kamu dan aku tarik paksa kamu kantor polisi. Dasar dukun mesum! Bangsat!"Bira lekas mematikan ponselnya. Lalu berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Tentu saja hal itu membuat ibunya yang tengah menonton televisi merasa bingung. Wanita setengah baya itu menyusul putranya ke kamar dan melihat Bira tengah memasukkan pakaian ke dalam tas jinjing. "Loh, ada apa ini, Bira? Kamu mau ke mana?" tanya ibunya dengan menghampiri Bira yang berwajah tegang. "Bira sepertinya tahu Lunar di mana, Bu. Bira mau susul Lunar dulu ya." Bira mengel
"Mas Haris, saya sudah di bengkel yang Mas Haris share lock. Mas Haris di mana?" "Oh, iya udah, tunggu sebentar ya, Lunar. Kosan saya gak jauh dari situ. Jangan ke mana-mana. Biar saya jemput." Lunar pun mematikan ponselnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca keadaan lingkungan sekitar yang baru kali ini ia datangi. "Lunar!" Teriakan Haris membuat wanita itu menoleh kembali ke kanan. Ia tersenyum, lalu buru-buru mematikan ponselnya. Jangan sampai suaminya mengetahui di mana posisi ia sekarang . Haris melangkah lebar agar segera sampai di dekat Lunar. "Udah lama?" tanya Haris. Lunar menggeleng. "Baru aja, Mas." Lunar menjawab tidak semangat. Rasa kecewa dan sakit hati cenderung lebih besar menguasai hatinya saat ini. "Sini, saya yang bawakan tasnya." Lunar mengangguk; memberikan tas belanja berukuran besar itu pada Haris. Pria sederhana itu memakai sandal jepit dan juga baju kaus yang amat sederhana. Celananya juga pun sama. Berbeda dengan suaminya yang selalu