Selesai dengan Intan selama satu jam di ranjang, Bira menerima pasien selanjutnya, kali ini seorang anak kecil yang kakinya keseleo. Anak kecil berwajah lucu itu diantar oleh ibunya yang cantik. Tentu saja, jika pasiennya anak-anak, maka yang Bira benar-benar akan memijatnya. Tentu saja dengan siasat licik di balik itu semua.
"Siapa namanya, Sayang?" tanya Bira begitu ramah pada pasien anak kecil berusia tiga tahun itu."Aima, Om," jawab anak kecil itu sambil malu-malu. Bira tersenyum hangat, baik pada si anak kecil, maupun ibunya."Sini, Om Bira lihat kakinya ya. Aduh, pasti sakit sekali ini. Aima jatuh di mana?" tanya Bira sambil mengusap pelan kaki gadis cilik itu."Lagi main sama temannya, Bang Bira, tahu-tahu pulang nangis dan digendong ibu-ibu tetangga," sahut ibu dari anak kecil itu. Bira mengangguk paham."Mbak, si Cantik ini bukan sekedar jatuh biasa. Ini ada yang senang dengan Aima dan mengikutinya." Bira menjeda ucapannya. Lalu ia berjalan menuju laci lemari. Di dalamnya ada permen lolipop, lalu ia berikan pada pasien kecilnya."Ini buat Aima. Om bukakan ya," ujar Bira begitu hangat. Gadis kecil itu tentu saja senang karena mendapatkan permen darinya."Kalau nanti Om pijat gak nangis, Om kasih biskuit lagi boleh dibawa pulang.""Wah, benelan, Om?" Bira tersenyum sambil mengangguk. Gadis kecil itu pun asik dengan permennya, sedangkan Bira mulai mengolesi minyak urut keseleo pada kedua tangannya."Bang Bira, maksud Bang Bira tadi apa ada jin yang mengikuti Aima?" Bira mengangguk, lalu menaruh jari telunjuknya di bibir. Ibu dari Aima pun terdiam dan memperhatikan saat Bira mulai memijat putrinya."Aw!" Pekik Aima saat Bira lebih kuat menekan bagian kaki yang sakit itu. Namun hanya sesaat, karena setelahnya Aima sudah asik menikmati kembali permennya."Mbak, Aima sering jatuh ya?" tanya Bira. Wanita itu mengangguk."Ya, karena ada yang mengikutinya, anak kecil juga. Senang bermain dengannya. Kalau mainan sama makhluk gaib, ya pasti sering jatoh.""Aduh, Bang Bira bikin saya takut saja. Terus gimana, Bang? Saya gak mau Aima diikuti jin. Kasian, Bang. Apa Abang bisa bantu saya usir jin itu? Saya beneran takut nih!" Wanita itu mengusap leher belakangnya yang merinding. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang horor dalam ruangan praktek Bira. Memang tidak ada, hanya ada jejeran minyak urut. Handuk kecil, tempat sampah, kertas, dan kendi kecil seperti mangkuk."Jangan takut, anak kecil itu takkan masuk ke sini. Mmm... karena Aima masih kecil dan polos, maka yang harus dibersihkan dari efek buruk jin kecil tersebut adalah ibunya. Jika nanti selama pembersihan, ibu setiap malam tidur memeluk Aima ya." Wanita itu mengangguk paham."Bagaimana cara pembersihannya, Bang?""Besok Mbak ke sini, tanpa membawa Aima. Pakai baju longgar, tapi jangan pakai bra. Seluruh badan dibalur dengan air mawar ya. Nanti akan saya pijat bagian telapak kaki dan perut. Setelah itu, malamnya, Mbak tidur sambil memeluk Aima." Ibu dari Aima itu menelan ludah. Ada sedikit keraguan di hatinya, tetapi semua demi Aima, sehingga ia harus mau berkorban. Lagian hanya urut kaki dan perut."Sama satu lagi, Mbak, ayahnya Aima jangan sampai tahu, karena si jin kecil ini nanti malah berpindah ke ayahnya Aima. Kalau sering jatuh nanti, apalagi di atas motor, bisa kecelakaan. Jadi, saran saya, cukup Mbak saja yang tahu."Wanita itu pun mengangguk paham."Aw!" Pekik Aima sekali lagi setelah gerakan pijat terakhir yang dilakukan Bira."Ayo, cantik, masih sakit gak jalannya!" Bira menuntun Aima turun dari tempat tidur perlahan. Gadis kecil itu berjalan takut-takut. Kasih sedikit pincang, tetapi sudah lebih baik dari kemarin."Sudah tidak telalu sakit, Ibu." Wajah Aima pun semringah."Nanti, Aima harus dipijat selama tiga kali ya, Mbak. Mbak juga tiga kali ke sini. Satu minggu satu kali, setiap hari kamis. Sekarang hari selasa, maka Mbak kemari untuk dipijat hari kamis. Begitu seterusnya ya." Pesan Bira dengan suara pelan. Ia tidak mau jika anak kecil mendengar apa yang ia pesankan pada ibunya."Baik, Bang Bira, terima kasih atas bantuannya. Ini uang pijatnya." Ibu dari Aima meletakkan uang lima puluh ribu di dalam kendi di atas meja. Pria itu memberikan biskuit pada Aima sesuai janjinya. Gadis cantik itu tentu saja senang dan berjanji akan datang lagi minggu depan untuk dipijat.Bira mengulum senyum. Bukan hanya uang yang ia dapatkan, tetapi kepuasan akan hal intim dari setiap pasiennya. Saatnya kembali bersiap menyambut pasien berikutnya yang tadi sempat ia lihat sekilas, lebih banyak wanita daripada lelaki. Namun, wajahnya mendadak kaget saat melihat nama pasien berikutnya. Lunar.Begitu membaca nama pasien berikutnya adalah Lunar, maka. Bira kalang kabut membersihkan ruangan periksanya. Satu kotak alat kontrasepsi ia buang ke dalam tempat sampah. Minyak gosok juga ia tuang ke telapak tangan, lalu ia ciprat-cipratkan ke seluruh ruangan. Ia bergerak cepat, seperti detak jantungnya saat ini. Tidak, ia belum siap kalau Lunar mengetahui pekerjaannya. Baru dua tahun lebih delapan bulan ia seperti ini dan baru saja asik dengan mainan barunya. Tentu ia tidak mau diganggu oleh siapapun termasuk Lunar. "Silakan pasien berikutnya!" Seru Bira dari dalam kamar periksa. Tangannya yang gemetar, terpaksa ia kepalkan dengan kuat agar kegugupannya tidak terlihat oleh sang Istri. Cklek"Permisi, Bang Bira, saya Sunar." Bira melongo saat seorang pria yang muncul dari balik pintu. Seorang pemuda yang tersenyum padanya, sembari berjalan dengan sedikit pincang. Kali ini pemuda itu diantar oleh pria tua. Pria itu akhirnya menghela napas lega. Ia mengusap keringat yang mengucur de
Bira sedang memanaskan mesin motor dan sudah duduk di atasnya, barulah pria itu mengaktifkan kembali ponselnya. Ada pesan dari Lunar dan kakaknya yang sudah sampai di rumah. Waduh, Lunar sakit! Bira langsung memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya, lalu ia menuju pulang ke rumah. Tidak lupa bubur ayam malam ia belikan sesuai pesanan sang Istri. Begitu tiba di rumah, keadaan sudah gelap. Bira memarkirkan motornya di halaman rumah, lalu mengunci pagar. "Tukang pijat malam banget pulangnya, lu mijet apaan?" tanya Haris yang membukakan pintu rumah untuk adiknya. Bira tertawa, pria itu mencium punggung tangan Haris, kemudian memeluk tubuh tinggi besar abangnya itu. "Banyak pasien hari ini, Mas. Mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak. Syukur ada saja pasien setiap hari, Mas. Oh, iya, Lunar sakit ya?" Bira berjalan masuk ke dalam rumah, sedangkan Haris mengikutinya di belakang sambil mengunci pintu. "Iya, muntah-muntah tuh. Udah minum obat dan gue buatin bubur tadi. Lu mah
Sepanjang usia pernikahan, baru kali ini suaminya membentaknya dengan begitu mengerikan. Memangnya apa yang salah dengan mencucikan dalaman suami sendiri? Kenapa hal yang wajib ia lakukan, malah salah di mata suaminya? Lunar hanya bisa tertegun saat melihat Bira sudah berada di halaman belakang sedang menjemur sempaknya. Jika saja ia tidak sedang sakit, pasti ia akan balik marah pada suaminya yang ia nilai terlalu berlebihan padanya. "Buatkan Abang teh, Lunar," kata Bira memerintah. Wajah pria itu sama sekali tidak menampakan penyesalan karena sudah membentak istrinya. Lunar malas menyahut, ia berdiri untuk mengerjakan perintah suaminya. Bira ke depan untuk menemui Haris, tetapi kakaknya itu tidak ada. Bira pergi ke luar rumah, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Haris, tetapi ia tidak menemukannya. "Mas Haris ke mana, Lunar?" tanya Bira saat Lunar meletakkan teh di atas meja ruang tamu. "Olah raga mungkin." Lunar menjawab tanpa semangat. Ia masuk ke dalam rumah umtuk
"Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis. "Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. "Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh at
Lunar begitu cemas dengan penemuan pil KB yang bukan miliknya dari dalam lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain dirinya dan juga suaminya. Tidak mungkin juga milik kakak iparnya karena Haris sudah lama menduda. Lunar mengambil ponsel, lalu menekan kontak suaminya. Semakin ia tahan, maka semakin besar rasa penasarannya. Ia harus tahu obat itu milik siapa dan kenapa bisa ada di dalam lemarinya. Namun sayang, Bira tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya tetap saja tidak diangkat. Ini masih pukul satu siang, harusnya suaminya sudah selesai memijat. "Halo, Mbak Citra lagi di mana?""Masih di rumah, Nar, kenapa?""Kalau Mbak nanti sampai di klinik pijat Mas Bira, tolong sampaikan untuk menelepon saya balik ya, Mbak.""Oh, gitu, gak aktif ya HP-nya.""Iya, Mbak.""Oke, nanti begitu sampai di sana, Mbak suruh Bira telepon kamu."Lunar masih memegang plastik berisi tiga pack obat KB. Tanga
"Ya ampun, kenapa sampai nunggu bengkak begini baru dibawa ke sini?" Bira memperhatikan kaki Budi yang memang benar-benar membesar. Ini bukan sekedar pijat, ia harus benar-benar harus hati-hati dan juga pelan dalam mengobati kaki suami Citra. "Iya, nih, Bar, kata saya juga langsung ke Bira aja, tapi Citra gak nurut, akhirnya salah deh nih." Pria itu meringis saat merasakan linu pada kedua kakinya. Wanita bernama Citra hanya bisa terdiam sambil menunduk kikuk. "Gak papa, saya coba obati pelan-pelan ya, tapi ini kayaknya gak bisa satu atau dua kali sembuh." Bira memegang wajah Budi. Lalu berpindah pada kepalanya. Tepatnya memegang ubun-ubun Budi. "Hawanya panas. Apa Mas Budi jatuh di dekat pohon?" lelaki bernama Budi itu mengangguk pelan. Dari mana Bira tahu ia jatuh di dekat pohon? Batin pria itu. "Mas, ditanyai Bira tuh, jatuh dekat pohon nggak?" tegur Citra pada suaminya. "Iya, jatuh di bawah pohon. Saya mengantuk, terus, tiba-tiba mata kayak ada yang tutupi, tidur untuk sekian
"Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?""Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sang
Tentu saja sebuah kesialan baginya menjelang tutup prakte, malah mendapatkan pasien lelaki, tetapi mengaku wanita. Baru kali ini ia mendapatkan ku stoner seperti tadi. Hal itu membuat Bira kesal, sekaligus geli."Bu Dasmi, besok plang di depan klinik, ditambahin tulisan lebih spesifik ya. 'Tidak menerima pasien dengan jenis kelamin abu-abu.'"Bu Dasmi yang baru saja menutup buku pendaftaran, tentu saja merasa heran dengan tugas dari bosnya."Bang Bira, bukannya kalau jenis kelamin teh warnanya coklat, saya baru tahu kalau ada warna abu-abu. Apa diwarnai? Dipilok?" Bira menghela napas. Sakit darah tinggi yang sudah tidak lama kambuh, bisa saja kambuh mendadak, bila berbicara dengan Bu Dasmi terlalu lama."Maksud saya, lelaki yang mengaku perempuan, maupun sebaliknya. Pokoknya bikin catatan di plang seperti yang saya bilang tadi. Jangan ditambahin lagi, jangan dikurangin. Besok, sebelum praktek, saya mau lihat udah terpasang di depan jalan sana." Bira meletakkan uang dua ratus ribu rupi
"I-ini m-maksudnya.... " Lunar merasa napasnya sesak. Kenapa tiba-tiba Haris melamarnya tanpa bilang apapun?"Mau loh ya, masa gak mau." Haris memasang wajah cemberut."Sebelum kamu pulang kampung, saya ikat dulu, biar di sana gak disamber berondong. Tiga bulan lagi, setelah masa iddah kamu selesai, kita akan menikah. Bagaimana, Pak Rahmat, saya bolehkan menjadi menantu Bapak?""Bapak sih gimana Lunar saja." Pak Rahmat mencolek pipi putrinya yang merona."Lunar, itu dijawab pertanyaan Haris, diterima gak?" Pak Rahmat mendesak putrinya.Lunar sudah meneteskan air mata penuh haru. Tanpa banyak drama babibu, dengan beraninya Haris melamar dirinya di depan bapaknya. Ia juga pantas bahagia setelah begitu dikecewakan oleh Bira."Lunar," panggil Haris. Wanita itu mengangkat wajahnya, lalu dengan mata berkabut menatap Haris sambil mengangguk perlahan."Alhamdulillah." Pria itu pun dengan cepat meraih tangan Lunar untuk memasangkan cincin bermata satu di jari manis Lunar. Dengan penuh hikmat,
Hari ini adalah hari yang sudah sangat lama dinantikan oleh Lunar. Tiga bulan berlalu sejak Bira ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses sidang dan hari ini adalah sidang putusan pengadilan atas gugatan cerainya pada Bira. Ditemani oleh ayahnya, Lunar pergi ke tempat yang membuatnya bertekad untuk tidak akan mengunjungi tempat seperti ini lagi. Cukup satu kali ia ke pengadilan agama untuk urusan perceraian. Selama tiga bulan ini juga ia ngekos di tempat Harus, tetapi sudah mendapatkan kamar di kos putri. Haris benar-benar memberikannya uang untuk memasak karena sarapan, makan siang, dan Haris juga membawa bekal makan malam masakan Lunar ke tempat ia bekerja. Mereka hanya tidak tinggal satu atap saja, tetapi perhatian Haris dan baiknya sikap Haris, seperti mereka memiliki hubungan spesial. "Jadi pulang nanti sore? Yakin?" kata Pak Rahmat pada putrinya. "Yakin, Pak, kenapa memangnya?" tanya Lunar bingung. Pak Rahmat tertawa pendek sambil mengusap rambut Lunar dengan
Lunar pergi ke rumah sakit ditemani oleh Haris. Sepanjang jalan di taksi online, Lunar sama sekali tidak banyak bicara. Mulutnya bungkam bukan karena marah dengan godaan Haris tadi, tetapi khawatir dengan Bira. Bagaimanapun marah dan kesalnya ia pada suaminya, Bira pernah menjadi lelaki terbaik di hidupnya. Ada yang bilang, jika kita membenci, membencinya secukupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Lunar? Wajah kamu tegang sekali," tanya Haris penasaran. Meskipun ia tahu jawaban Lunar tentu saja memikirkan suaminya yang katanya mengalami luka bakar. "Memikirkan Bang Bira. Saya khawatir lemah dengan orang yang tengah sakit. Jika ia membujuk saya untuk berbaikan dan meminta maaf, bagaimana?" Haris tersenyum miris. "Kamu akan susah seumur hidup, Lunar. Ingat, ada tiga wanita yang hamil oleh Bira, sedangkan kamu belum hamil sama sekali. Apa kamu siap kembali bersama pria yang kemaluannya tidak bisa ia jaga? Menanam benih di sana-sini tanpa memikirkan bagaimana istrinya. Beda jika Bira masih s
"Tolong! Tolong!" Bira berteriak sekuat tenaga. Ia masih berharap ada mukjizat dari Tuhan yang bisa menyelamatkannya dan Kek Sugi.Api kian membesar. Bira berusaha menyelamatkan Kek Sugi dengan memapahnya keluar dari pintu depan. Brak! Asbes rumah jatuh tepat di depan mereka. Bira terjebak dan tidak tahu lagi cara keluar dari api yang mengelilingi rumah. "Jendela kamar samping, cepat!" Kek Sugi yang tadinya lemas, menjadi bertenaga agar bisa menyelamatkan diri dari bencana kebakaran. Hanya di kamar samping tidak memakai teralis dan mereka ada harapan bisa keluar dari sana. Api merembet cepat, ruang tengah tempat Kek Sugi tidur sudah dilalap api dengan begitu ganas.Kamar samping aman, keduanya berlari untuk keluar dari jendela. Namun, sangat disayangkan, kaitan jendela macet dan tidak bisa dibuka. "Dobrak cepat, Bira! Cepat!" Napas Kek Sugi mulai terengah-engah. Brak! Brak! Bira berhasil keluar lebih dahulu. Tangannya terulura untuk menyelamatkan Kek Sugi. Hap! Brak! "Argh!" B
Berdasarkan data GPS, pihak kepolisian berhasil menemukan posisi Bira berada. Mereka langsung meluncur ke lokasi tanpa menunggu nanti. Surat perintah penangkapan pun sudah dipegang oleh mereka, sehingga Bira tidak akan mungkin bisa berkelit. Bu Mega pasrah, saat ia dan Kinan malah digiring ke kantor polisi menggunakan mobil petugas. Rasa malu yang luar biasa membakar wajah Bu Mega sehingga ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap orang-orang lingkungan tempat tinggal Bira yang kini tengah menatapnya dengan penuh cemooh. "Pantesan Bang Bira nyuci sempak sendirian ya. Istrinya gak boleh nyuciin. Rupanya itu celana buat lap hasil anuan ya. Ih, jijik deh!""Pantesan Mbak Lunar kabur. Dia takut kena penyakit menular dari suaminya. Astaghfirullah, ngerinya manusia.""Kedok doang tukang pijet, aslinya malah dukun mesum." Bu Mega tidak sanggup mendengar cibiran dari tetangga. Ia lekas masuk ke dalam mobil sembari menulikan telinganya. Kinan yang tidak mengerti hanya bisa terdiam.
Bira benar-benar telah hilang akal. Ketakutan akan ditangkap oleh polisi membuatnya malah nekat mengguna-guna Haris dan istrinya. Apalagi menurut penuturan Kek Sugi. Energi Haris dan Lunar sangat dekat, itu pertanda keduanya sedang bersama. Membayangkan sang Istri yang dekat dengan Haris, tentu saja membuatnya marah dan juga kesal. Ponsel keduanya juga tidak aktif, sehingga amarahnya kian memuncak. Kek Sugi tidak bisa membantunya karena masih sakit. Kakek tua itu terkena penyakit lambung dan masih lemas untuk beraktivitas. Jangankan mengguna-guna orang, untuk ke kamar mandi saja, kakek tua itu tertatih. Untunglah Bira menumpang di sana, sehingga ada yang membantunya di rumah. "Kenapa gak bisa, Kek?" tanya Bira saat lagi-lagi ia gagal. Napasnya menjadi sesak karena ulahnya sendiri yang hendak mengirimkan santet pada Haris. "Susah, aku saja tidak bisa. Apalagi kamu yang tahunya cuma mijet. Selama ini istri kamu itu tidak curiga macam-macam karena aku bisa mengikatnya, tetapi sejak a
"Mas Haris, apa sudah lihat berita semalam?" tanya Lunar saat keesokan paginya, Haris pulang dari bekerja menjaga rumah majikannya. "Sudah, ramai sekali beritanya di media sosial. Tapi kamu jangan khawatir. Kamu kan tidak bersalah." Haris membuka sepatu dan juga menggantung tas ranselnya di paku. Lunar menyiapkan air untuk Haris. "Ini, Mas, minum dulu!" pria itu tersenyum, sembari menerima segelas air putih dari tangan Lunar. "Terima kasih, Lunar. Oh, iya, soal Bira, kamu tidak mungkin tidak dimintai keterangan karena kamu bertindak sebagai saksi. Pokoknya jangan takut, apapun yang ditanyakan polisi, katakan jujur." Lunar mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat begitu cemas. Haris mengerti kecemasan tersebut karena kapanpun wanita itu bisa diminta ke kantor polisi. Ada rasa kasihan pada Lunar karena ia adalah istri baik yang tidak macam-macam dengan suami. Beda dengan mantan istrinya dahulu. Ia bekerja banting-tulang, istri malah selingkuh. "Mas, apa saya ke kantor polisi saja
"Bang Bira, maaf, ada aparat datang ke klinik sama salah satu pasien, tapi saya gak tahu nama pasien siapa. Pasien wanita muda itu menangis dan aparat itu meminta Bang Bira datang, kalau tidak mau klinik dibakar.""Apa? Siapa? Kurang ajar! Siapa yang berani mengancam saya? Pasien wanita saya banyak, Bu, mana saya inget dan kenapa juga cewek itu nangis!"Srak!Aparat itu merampas ponsel Bu Dasmi dengan tiba-tiba. "Bira, cepat kamu ke sini! Atau aku bakar klinik kamu dan aku tarik paksa kamu kantor polisi. Dasar dukun mesum! Bangsat!"Bira lekas mematikan ponselnya. Lalu berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Tentu saja hal itu membuat ibunya yang tengah menonton televisi merasa bingung. Wanita setengah baya itu menyusul putranya ke kamar dan melihat Bira tengah memasukkan pakaian ke dalam tas jinjing. "Loh, ada apa ini, Bira? Kamu mau ke mana?" tanya ibunya dengan menghampiri Bira yang berwajah tegang. "Bira sepertinya tahu Lunar di mana, Bu. Bira mau susul Lunar dulu ya." Bira mengel
"Mas Haris, saya sudah di bengkel yang Mas Haris share lock. Mas Haris di mana?" "Oh, iya udah, tunggu sebentar ya, Lunar. Kosan saya gak jauh dari situ. Jangan ke mana-mana. Biar saya jemput." Lunar pun mematikan ponselnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca keadaan lingkungan sekitar yang baru kali ini ia datangi. "Lunar!" Teriakan Haris membuat wanita itu menoleh kembali ke kanan. Ia tersenyum, lalu buru-buru mematikan ponselnya. Jangan sampai suaminya mengetahui di mana posisi ia sekarang . Haris melangkah lebar agar segera sampai di dekat Lunar. "Udah lama?" tanya Haris. Lunar menggeleng. "Baru aja, Mas." Lunar menjawab tidak semangat. Rasa kecewa dan sakit hati cenderung lebih besar menguasai hatinya saat ini. "Sini, saya yang bawakan tasnya." Lunar mengangguk; memberikan tas belanja berukuran besar itu pada Haris. Pria sederhana itu memakai sandal jepit dan juga baju kaus yang amat sederhana. Celananya juga pun sama. Berbeda dengan suaminya yang selalu