"Ini sudah larut, Mbak Citra pasti kemaleman kalau masih ingin berbincang dengan Lunar. Lunar, kamu masuk dulu saja." Kedua wanita bersaudara itu kebingungan sendiri dengan situasi saat ini. Namun, Citra memilih menuruti kalimat Bira karena memang ini sudah malam dan ia sendirian datang ke sini. "Lain kali kita ngobrol ya, Lunar, saya pamit dulu." Citra mencium pipi kanan dan kiri Lunar, lalu mengangguk tipis pada Bira. Pria itu menarik Lunar masuk ke dalam ruangan klinik. Lalu ia keluar kembali membisikkan sesuatu pada Bu Dasmi. Pintu tertutup, Bira bahkan menguncinya. "Ada apa kamu ke sini? Bukankah saya sudah pernah katakan bahwa kamu tidak perlu datang ke sini?" Bira menahan amarahnya. Ia harus bisa menguasai diri agar tidak bertengkar dengan istrinya di saat pasien di luar sana masih banyak yang menunggu. "Saya hanya ingin memastikan pekerjaan suami saya. Apa itu gak boleh?" tantang Lunar dengan sorot mata tajam suaminya. "Kamu kira pekerjaan aku apa, Lunar? Jelas-jelas aku
"Abang kenapa bohong? Abang bilang pil KB itu milik anak Bu Dasmi, tetapi Bu Dasmi bilang anaknya masih SMP. Berarti Abang bohong! Terus, itu pil KB siapa, Bang? Katakan!" Lunar tidak sanggup lagi menahan kesal terhadap suaminya. Sudah menunggu lama sampai pukul dia dini hari, ditambah ada kenyataan lain perihal pil KB yang ia konfirmasi pada Bu Dasmi. Tentu saja ia tidak terima. Sepanjang perjalanan pulang dari klinik ia hanya diam sambil menumpuk amarah, begitu tiba di rumah, Lunar langsung meluapkan kekesalannya. "Abang sebenarnya yang meminumnya. Itu pun baru saja, karena Abang sering cemas. Kata teman Abang, coba minum pil KB wanita, biar bisa lebih tenang." Jawaban Bira membuat Lunar tertawa remeh. "Apa hal ini bisa saya percaya? Bukannya kita sedang dalam program memiliki momongan, kalau Abang minum pil KB, pasti saja saya tidak akan hamil. Apa yang sebenarnya Abang inginkan?" Lunar memegang kerah baju Bira dengan kesal. Namun, pria itu tetap bungkam. "Maafkan Abang, Lunar.
"Kamu salah paham, Bira. Ini gak seperti apa yang kamu pikirkan." Haris mencoba menjelaskan meski rasanya sia-sia. Wajah Bira merah padam menahan marah sambil menatap Haris dengan tajam. Lalu apa yang dilakukan oleh Lunar? Lunar hanya bisa menunduk merasa sangat bersalah pada suami dan juga iparnya. Karena ia selalu ceroboh saat berjalan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara dua saudara ini. "Saya terpeleset dan hampir jatuh, Mas, untunglah ada Mas Haris, sehingga saya tidak jadi terjerembab di lantai," ujar Lunar dengan suara gemetar. "Entah saya harus percaya atau tidak. Kalian makan berdua tanpa saya saja sudah membuat saya kecewa, sekarang ditambah ada adegan semi pelukan di depan saya. Sebaiknya Mas Haris tidak di sini lagi, kecuali memang Mas Haris memang berminat pada Lunar." Haris dan Lunar menoleh serentak pada Bira.Ingin membantah juga percuma, karena posisinya pasti tetap menjadi orang yang disalahkan. Haris berdiri, lalu mengambil ransel yang sudah ia siapkan. Sia
"Pijat saja dulu, Bu. Tadi sudah minum dari rumah." Bira tersenyum. Ia menelan ludah dalam-dalam. Ruangan dingin yang saat ini mengelilinginya tidak lagi terasa di kulitnya. Gerakan perlahan pelanggan wanita yang super semok dan montok tengah membetulkan letak bantal dan guling di ranjang, mampu membuat gairahnya memuncak, padahal ia biasa melihat Lunar membereska kasur di rumah, tetapi beda dengan Elina yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Wanita bernama Elina itu berbaring telentang dengan pasrah. Bira menelan ludah, menahan hasratnya. Ini adalah bulan ketiga ia memijat Bu Elina dan tidak berani macam-macam karena wanita ini adalah istri orang super kaya di Jakarta. Mungkin saja termasuk orang terkaya di Indonesia. Mana berani ia macam-macam, bisa menghilang nyawanya nanti. Ia harus profesional saat ini. Jikalau gairahnya tersulut, maka pasien di klinik nanti tempat ia melampiaskannya. "Saya sudah gak pakai bra dan celana dalam loh, sesuai permintaan kamu," kata Bu Elin
Sepanjang dalam perjalanan pulang, Bira sama sekali tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak saja polisi tidur dengan kecepatan tinggi, hingga tubuhnya ikut terlonjak. Sungguh pertemuannya dengan Harus yang tidak disangka-sangka. Tadi pagi ia baru saja mengusir kakak sepupunya itu dengan kesalahan yang ia sendiri tahu, tidak benar. Sekarang, ia yang terperangkap sendiri atas kelalaiannya. Ditambah ibunya di kampung meminta hal yang aneh. Bira tidak pulang ke rumah, melainkan mampir di cafe yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Elina. Di sana ia duduk termenung sambil merokok serta memikirkan bagaimana ia memberitahu Haris tentang apa yang ia lakukan di rumah Elina. Ia tidak mungkin berkilah di depan kakaknya itu, karena tingkah berani memalukan yang ia lakukan pada Elina sudah pasti dilihat oleh Haris. Ting! Pesan berbunyi. Ada nama Bu Dasmi di sana yang mengatakan ada pasien wanita bernama Nela dan juga Aima yang datang. 'Hari ini saya sedang kurang sehat
"Kenapa, Ris?" tanya Pak Cipto saat melihat Haris tengah meringis sambil memijat kepala. "Tiba-tiba sakit kepala, Pak." Haris memicingkan matanya menahan sakit. "Oh, saya ada obat sakit kepal, sebentar saya ambilkan!" "Jangan, Pak, terima kasih. Ini bukan bisa disembuhkan dengan obat sakit kepala biasa, Pak Cipto. Saya salat Isya dulu ya." Haris berjalan cepat menuju ruangan ganti berukuran dua meter kali dua meter. Di sana tempat ia menyimpan tas dan juga melaksanakan salat Ashar serta magrib tadi. Pria itu berwudhu, lalu melaksanakan salat Isya dengan khusyuk. Selepas salat, Haris merasa kepalanya yang tadi sakit, sudah berangsur sembuh. Pria itu masih duduk berzikir untuk beberapa menit, sebelum kembali bertugas. Kenapa harus ada dirinya juga di rumah Elina, padahal ada juga Pak Cipto di sana? Hal itu dikarenakan Pak Cipto sudah tidak bisa bergadang menjaga rumah. Lalu Pak Cipto sudah beralih tugas menjadi sopir Elina. Sehingga Haris-lah yang bertugas menjadi penjaga rumah.
"Ibu silakan ke rumah saya, tetapi tidak dengan wanita yang mau Ibu jodohkan dengan Bang Bira. Bang Bira tidak akan menikah dengan siapapun.""Terserah saya. Rumah itu rumah anak saya. Kalau kamu mau saya gak bawakan wanita lain ke rumah, segera hamil dari benih anak saya, kalau tidak bisa, jangan harap niatan Ibu bisa kamu gagalkan. Kalau kamu gak mau juga, silakan kamu yang keluar dari rumah anak saya. Ya ampun, minta jemput aja jadi susah gara-gara mulut istri yang comel."Percakapan itu terputus. Napas Lunar naik-turun karena kesal dengan mertuanya. Sejak awal kenal dengan Bira, mertuanya memang tidak pernah manis padanya, cenderung masa bodoh. Hal ini yang membuatnya tidak pernah dekat dengan beliau karena memang beliau yang menjaga jarak. Sementara itu, motor Bira sudah berada di jalanan setapak arah rumah tua Kek Sugi. Karena masih pagi, sinar matahari pagi juga begitu terang dan hangat, maka Bira sama sekali tidak merasakan aneh. Tidak takut atau merasakan bulu kuduknya merin
Lunar cepat-cepat menghapus air matanya, begitu ia mendengar langkah kaki suaminya mendekati kamar. Lekas ia bangun, lalu berlari naik ke tempat tidur. Berpura-pura tidur adalah hal yang paling tepat ia lakukan. Video suaminya dengan wanita dewasa sudah otomatis tersimpan di ponselnya, sedangkan riwayat chat-nya dengan Haris sudah ia hapus. Suara pintu terbuka. Lunar berbaring memunggungi arah pintu, sehingga Bira tidak akan bisa melihat kelopak matanya yang tidak benar-benar terpejam. "Lunar, ada tamu kenapa malah tidur, Sayang?" Lunar menahan mual di perutnya. Jika dahulu ia pasti sangat senang dengan panggilan sayang yang dilayangkan suaminya, tetapi kini tidak. Ia mual, enneg, apalagi mengingat bagaimana suaminya menyentuh dada pelanggan wanitanya dengan sangat menjijikkan. Lunar memilih tidak menjawab. Ia masih memejamkan mata sembari terus mengatur napas agar berembus sewajarnya. Terdengar suara Bira mendesah, lalu tidak lama suara langkah kaki menjauh, lalu pintu terbuka. Lu
"I-ini m-maksudnya.... " Lunar merasa napasnya sesak. Kenapa tiba-tiba Haris melamarnya tanpa bilang apapun?"Mau loh ya, masa gak mau." Haris memasang wajah cemberut."Sebelum kamu pulang kampung, saya ikat dulu, biar di sana gak disamber berondong. Tiga bulan lagi, setelah masa iddah kamu selesai, kita akan menikah. Bagaimana, Pak Rahmat, saya bolehkan menjadi menantu Bapak?""Bapak sih gimana Lunar saja." Pak Rahmat mencolek pipi putrinya yang merona."Lunar, itu dijawab pertanyaan Haris, diterima gak?" Pak Rahmat mendesak putrinya.Lunar sudah meneteskan air mata penuh haru. Tanpa banyak drama babibu, dengan beraninya Haris melamar dirinya di depan bapaknya. Ia juga pantas bahagia setelah begitu dikecewakan oleh Bira."Lunar," panggil Haris. Wanita itu mengangkat wajahnya, lalu dengan mata berkabut menatap Haris sambil mengangguk perlahan."Alhamdulillah." Pria itu pun dengan cepat meraih tangan Lunar untuk memasangkan cincin bermata satu di jari manis Lunar. Dengan penuh hikmat,
Hari ini adalah hari yang sudah sangat lama dinantikan oleh Lunar. Tiga bulan berlalu sejak Bira ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses sidang dan hari ini adalah sidang putusan pengadilan atas gugatan cerainya pada Bira. Ditemani oleh ayahnya, Lunar pergi ke tempat yang membuatnya bertekad untuk tidak akan mengunjungi tempat seperti ini lagi. Cukup satu kali ia ke pengadilan agama untuk urusan perceraian. Selama tiga bulan ini juga ia ngekos di tempat Harus, tetapi sudah mendapatkan kamar di kos putri. Haris benar-benar memberikannya uang untuk memasak karena sarapan, makan siang, dan Haris juga membawa bekal makan malam masakan Lunar ke tempat ia bekerja. Mereka hanya tidak tinggal satu atap saja, tetapi perhatian Haris dan baiknya sikap Haris, seperti mereka memiliki hubungan spesial. "Jadi pulang nanti sore? Yakin?" kata Pak Rahmat pada putrinya. "Yakin, Pak, kenapa memangnya?" tanya Lunar bingung. Pak Rahmat tertawa pendek sambil mengusap rambut Lunar dengan
Lunar pergi ke rumah sakit ditemani oleh Haris. Sepanjang jalan di taksi online, Lunar sama sekali tidak banyak bicara. Mulutnya bungkam bukan karena marah dengan godaan Haris tadi, tetapi khawatir dengan Bira. Bagaimanapun marah dan kesalnya ia pada suaminya, Bira pernah menjadi lelaki terbaik di hidupnya. Ada yang bilang, jika kita membenci, membencinya secukupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Lunar? Wajah kamu tegang sekali," tanya Haris penasaran. Meskipun ia tahu jawaban Lunar tentu saja memikirkan suaminya yang katanya mengalami luka bakar. "Memikirkan Bang Bira. Saya khawatir lemah dengan orang yang tengah sakit. Jika ia membujuk saya untuk berbaikan dan meminta maaf, bagaimana?" Haris tersenyum miris. "Kamu akan susah seumur hidup, Lunar. Ingat, ada tiga wanita yang hamil oleh Bira, sedangkan kamu belum hamil sama sekali. Apa kamu siap kembali bersama pria yang kemaluannya tidak bisa ia jaga? Menanam benih di sana-sini tanpa memikirkan bagaimana istrinya. Beda jika Bira masih s
"Tolong! Tolong!" Bira berteriak sekuat tenaga. Ia masih berharap ada mukjizat dari Tuhan yang bisa menyelamatkannya dan Kek Sugi.Api kian membesar. Bira berusaha menyelamatkan Kek Sugi dengan memapahnya keluar dari pintu depan. Brak! Asbes rumah jatuh tepat di depan mereka. Bira terjebak dan tidak tahu lagi cara keluar dari api yang mengelilingi rumah. "Jendela kamar samping, cepat!" Kek Sugi yang tadinya lemas, menjadi bertenaga agar bisa menyelamatkan diri dari bencana kebakaran. Hanya di kamar samping tidak memakai teralis dan mereka ada harapan bisa keluar dari sana. Api merembet cepat, ruang tengah tempat Kek Sugi tidur sudah dilalap api dengan begitu ganas.Kamar samping aman, keduanya berlari untuk keluar dari jendela. Namun, sangat disayangkan, kaitan jendela macet dan tidak bisa dibuka. "Dobrak cepat, Bira! Cepat!" Napas Kek Sugi mulai terengah-engah. Brak! Brak! Bira berhasil keluar lebih dahulu. Tangannya terulura untuk menyelamatkan Kek Sugi. Hap! Brak! "Argh!" B
Berdasarkan data GPS, pihak kepolisian berhasil menemukan posisi Bira berada. Mereka langsung meluncur ke lokasi tanpa menunggu nanti. Surat perintah penangkapan pun sudah dipegang oleh mereka, sehingga Bira tidak akan mungkin bisa berkelit. Bu Mega pasrah, saat ia dan Kinan malah digiring ke kantor polisi menggunakan mobil petugas. Rasa malu yang luar biasa membakar wajah Bu Mega sehingga ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap orang-orang lingkungan tempat tinggal Bira yang kini tengah menatapnya dengan penuh cemooh. "Pantesan Bang Bira nyuci sempak sendirian ya. Istrinya gak boleh nyuciin. Rupanya itu celana buat lap hasil anuan ya. Ih, jijik deh!""Pantesan Mbak Lunar kabur. Dia takut kena penyakit menular dari suaminya. Astaghfirullah, ngerinya manusia.""Kedok doang tukang pijet, aslinya malah dukun mesum." Bu Mega tidak sanggup mendengar cibiran dari tetangga. Ia lekas masuk ke dalam mobil sembari menulikan telinganya. Kinan yang tidak mengerti hanya bisa terdiam.
Bira benar-benar telah hilang akal. Ketakutan akan ditangkap oleh polisi membuatnya malah nekat mengguna-guna Haris dan istrinya. Apalagi menurut penuturan Kek Sugi. Energi Haris dan Lunar sangat dekat, itu pertanda keduanya sedang bersama. Membayangkan sang Istri yang dekat dengan Haris, tentu saja membuatnya marah dan juga kesal. Ponsel keduanya juga tidak aktif, sehingga amarahnya kian memuncak. Kek Sugi tidak bisa membantunya karena masih sakit. Kakek tua itu terkena penyakit lambung dan masih lemas untuk beraktivitas. Jangankan mengguna-guna orang, untuk ke kamar mandi saja, kakek tua itu tertatih. Untunglah Bira menumpang di sana, sehingga ada yang membantunya di rumah. "Kenapa gak bisa, Kek?" tanya Bira saat lagi-lagi ia gagal. Napasnya menjadi sesak karena ulahnya sendiri yang hendak mengirimkan santet pada Haris. "Susah, aku saja tidak bisa. Apalagi kamu yang tahunya cuma mijet. Selama ini istri kamu itu tidak curiga macam-macam karena aku bisa mengikatnya, tetapi sejak a
"Mas Haris, apa sudah lihat berita semalam?" tanya Lunar saat keesokan paginya, Haris pulang dari bekerja menjaga rumah majikannya. "Sudah, ramai sekali beritanya di media sosial. Tapi kamu jangan khawatir. Kamu kan tidak bersalah." Haris membuka sepatu dan juga menggantung tas ranselnya di paku. Lunar menyiapkan air untuk Haris. "Ini, Mas, minum dulu!" pria itu tersenyum, sembari menerima segelas air putih dari tangan Lunar. "Terima kasih, Lunar. Oh, iya, soal Bira, kamu tidak mungkin tidak dimintai keterangan karena kamu bertindak sebagai saksi. Pokoknya jangan takut, apapun yang ditanyakan polisi, katakan jujur." Lunar mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat begitu cemas. Haris mengerti kecemasan tersebut karena kapanpun wanita itu bisa diminta ke kantor polisi. Ada rasa kasihan pada Lunar karena ia adalah istri baik yang tidak macam-macam dengan suami. Beda dengan mantan istrinya dahulu. Ia bekerja banting-tulang, istri malah selingkuh. "Mas, apa saya ke kantor polisi saja
"Bang Bira, maaf, ada aparat datang ke klinik sama salah satu pasien, tapi saya gak tahu nama pasien siapa. Pasien wanita muda itu menangis dan aparat itu meminta Bang Bira datang, kalau tidak mau klinik dibakar.""Apa? Siapa? Kurang ajar! Siapa yang berani mengancam saya? Pasien wanita saya banyak, Bu, mana saya inget dan kenapa juga cewek itu nangis!"Srak!Aparat itu merampas ponsel Bu Dasmi dengan tiba-tiba. "Bira, cepat kamu ke sini! Atau aku bakar klinik kamu dan aku tarik paksa kamu kantor polisi. Dasar dukun mesum! Bangsat!"Bira lekas mematikan ponselnya. Lalu berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Tentu saja hal itu membuat ibunya yang tengah menonton televisi merasa bingung. Wanita setengah baya itu menyusul putranya ke kamar dan melihat Bira tengah memasukkan pakaian ke dalam tas jinjing. "Loh, ada apa ini, Bira? Kamu mau ke mana?" tanya ibunya dengan menghampiri Bira yang berwajah tegang. "Bira sepertinya tahu Lunar di mana, Bu. Bira mau susul Lunar dulu ya." Bira mengel
"Mas Haris, saya sudah di bengkel yang Mas Haris share lock. Mas Haris di mana?" "Oh, iya udah, tunggu sebentar ya, Lunar. Kosan saya gak jauh dari situ. Jangan ke mana-mana. Biar saya jemput." Lunar pun mematikan ponselnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca keadaan lingkungan sekitar yang baru kali ini ia datangi. "Lunar!" Teriakan Haris membuat wanita itu menoleh kembali ke kanan. Ia tersenyum, lalu buru-buru mematikan ponselnya. Jangan sampai suaminya mengetahui di mana posisi ia sekarang . Haris melangkah lebar agar segera sampai di dekat Lunar. "Udah lama?" tanya Haris. Lunar menggeleng. "Baru aja, Mas." Lunar menjawab tidak semangat. Rasa kecewa dan sakit hati cenderung lebih besar menguasai hatinya saat ini. "Sini, saya yang bawakan tasnya." Lunar mengangguk; memberikan tas belanja berukuran besar itu pada Haris. Pria sederhana itu memakai sandal jepit dan juga baju kaus yang amat sederhana. Celananya juga pun sama. Berbeda dengan suaminya yang selalu