"Wuih, seger banget, nih," bukan Abimana namanya jika menyapa Narendra dengan biasa saja, "Gimana? Cocok sama kerjaan baru lo?"
"Ya...begitu," jawaban teraman agar sepupunya tidak mengolok atau menggodanya.
"Masa? Kalau cocok kayaknya lo nggak bakalan di sini pakai acara booking terapis acupressure," Narendra salah, sepupunya tetap menggodanya.
"Sial!" Narendra mendengus kesal.
Abimana terbahak melihat reaksi Narendra. Pria dengan ego dan harga diri yang mengalahkan besarnya bumi tidak mungkin mengakui kalau pekerjaan barunya melelahkan dan jauh dari kata cocok.
"Udah ngapain aja lo hari ini?"
"Tidur, makan, tidur, acupressure, makan lagi," Narendra tertawa kecil, "Sekarang aku siap meeting."
"Lo yakin mau tetap kerja di SuperMart dan ngerelain satu hari weekend lo dipakai buat ngurus perusahaan?"
"Bi, aku tahu kamu berusaha membujuk biar kamu bisa akhir pekan dengan tunangan kamu, benar?"
"Ck, ketahuan, nggak asyik," Ab
"Rendra!""Ada apa?" Dia bertanya bingung.Siapa yang tidak bingung jika seseorang menerima video call dengan sebuah teriakan seakan ada sesuatu yang buruk terjadi. Tidak hanya disambut dengan teriakan, Agnia juga dengan segera memalingkan wajahnya."Kamu apa-apaan, sih?""Apa?" Dia menyugar rambut dengan frustasi. Ada apa sebenarnya?"I-ituuu!!" Gadis itu menunjuk layar ponsel yang berarti menunjuk Narendra. Dengan panik pria itu memandang berkeliling dan mencari sesuatu yang tidak lazim atau tidak seharusnya terlihat oleh tetangganya itu.Sekuat apapun dia mencari, pria itu tidak menemukan alasan Agnia menjerit histeris seakan melihat hantu. Well, bukan berarti Narendra pernah melihat makhluk tak kasat mata itu sebelumnya."Kamu kenapa? Aku tidak mengert£," akhirnya dia memilih untuk bertanya."Baru selesai mandi?""Iya. Kamu tahu?"Setelah menghabiskan satu jam di kolam renang apartemen, dia baru saja sel
“Gini, dong,” Asija yang baru bergabung bersama sang istri, Reinya, dan anaknya, Narendra, “Kamu itu sejak di sini jadi makin susah ngumpul sama Papa Mama. Sibuk sendiri.”“Maaf, Pa,” Narendra menjawab sambil memamerkan senyum, “Narendra akan usahakan lebih sering pulang dan makan malam dengan kalian.”“Bagus! Bosen banget Mama kalau dinner cuma sama Papa. Terus, ya, Papa kamu makin sering makan di luar. Curiga Mama kalau Papa kamu punya selingkuhan, deh.”Narendra terbahak. Dia tahu kalau Reinya tidak serius. Wanita itu hanya suka menggoda suaminya. Meski begitu, bukan berarti dia menutup mata. Reinya memilih untuk tidak berusaha mencari tahu. Sejak muda dia berkeyakinan sebaik apapun bangkai disimpan suatu saat baunya akan tercium. Jadi, dia tidak mencari tahu kecuali aroma tidak sedap mulai terendus olehnya. Hal ini dilakukan demi ketenangan batinnya.“Kalau Papa punya selingkuh
“Kamu nggak mau nginap aja, Dra?” Reinya yang masih bersantai di ruang keluarga menyapa Narendra yang baru keluar dari ruang kerja Asija.Selesai makan malam dan mengudap hidangan penutup, kedua pria berbeda generasi itu berpindah ke ruang kerja Asija. Hanya di sana Asija boleh menikmati cerutu ketika berada di rumah, selain itu juga ada beberapa hal yang ingin dibicarakannya dengan putra bungsunya.Walau perusahaan dalam kondisi baik dan tidak ada masalah bukan berarti mereka bisa bersantai. Sejak kecil, setiap keturunan keluarga Widjaja sudah ditanamkan pemikiran bahwa mereka bertanggung jawab untuk nyawa banyak orang, seluruh keluarga Widjaja Group. Ini penting agar mereka tidak tumbuh menjadi seorang yang hanya memintingkan diri sendiri.“Aku balik ke apartemen, Ma. Besok langsung ke kontrakan petak.”Reinya menghela napas, “Mau sampai kapan? Mama khawatir banget. Tiap hari kepikiran, takut sesuatu terjadi sama kamu. Ling
“Kukira lupanya kau sama jalan pulang!” Teriakan khas Bang Ucok menyambut kepulangan Narendra ke kontrakan petak.Sudah menjelang sore ketika dia dan Badi sampai. Tadi pagi, Narendra harus menemani orang tuanya sarapan dilanjut menemani mereka golf kemudian makan siang dengan beberapa teman keluarga baru dibolehkan untuk kembali ke apartemen. Sesampai di apartemen, Abimana membuatnya sibuk selama beberapa saat sebelum akhirnya seluruh masalah perusahaan selesai dan dia serta Badi dapat kembali ke kontrakan petak.“Maaf, Bang. Ternyata urusannya membutuhkan lebih banyak waktu dari perkiraaanku,” Narendra menuntun mematikan mesin motornya.“Halah! Banyak alasannya kau ini!” Bang Ucok yang selesai menyiram tanaman sekarang berpindah ke teras kontrakan petak Narendra, “Bawa apanya kau? Jangan bilang kau tak bawa-bawa apa-apa. Kusuruh pergi lagi kau!”Badi mengangkat kantong kertas berisi sushi yang dibelikan ole
Ketika alarm ponselnya berbunyi, Narendra bangun. Dengan kondisi seperti zombie dan mata yang masih setengah terpejam dia bersiap. Semua yang dia lakukan hanya berdasarkan rutinitas. Dia tidak benar-benar sadar dengan apa yang dilakukannya.Setelah mandi dan mengenakan pakaian, dia keluar kamar kemudian mengambil sekotak susu dari kulkas. Tanpa pikir panjang dia langsung minum dari kotaknya sambil mengeluarkan dua butir telur untuk direbus.Sambil menunggu telur rebusnya, dia mengambil tomat dan mentimun. Dengan kemampuan menggunakan pisau yang pas-pasan dia mulai memotong-motong tomat dan timun. Tentu saja potongan dan ukurannya berantakan tetapi setidaknya masih cukup kecil seperti yang yang dicontohkan oleh Calya kemarin.Begitu telurnya terebus sempurna, dia segera mengupas dan menghancurkannya dengan menggunakan garpu. Setelah dirasa cukup, dia mencampurkan telur rebus, mentimun dan tomat kemudian menambahkan mayonnaise dan saos botolan. Narendra menganduk
Seluruh pegawai SuperMart yang berda di kafetaria sedang menikmati makan siang mereka. Denting peralatan makan berpadu sempurna dengan celotehan dan obrolan. Wajar, bagi pegawai yang bertugas melayani pembeli, berbicara dengan santai hanya dapat dilakukan saat jam istirahat.Narendra dan Badi termasuk di dalamnya. Setelah bekerja tanpa henti sejak pagi, sekarang mereka menikmati makan siang dengan lahap. Memang benar, tidak ada yang dapat menandingi rasa makanan yang disantap setelah bekerja keras.“Paling nggak setelah ini kerjaan kita nggak terlalu berat lagi.”“Benar,” seorang teman setim Narendra ikut berkomentar, “Udah semua kita kerjain tadi pagi. Ini tinggal rapiin barang-barang yang ada di gudang aja.”“Untung banget senior yang sekarang baik, ya? Coba kalau kayak minggu lalu. Mendingan aku nyerah, deh. Nyari kerja lagi juga nggak apa-apa.”“Hati-hati sama omongan! Kalau sampai diaminin
“Kak, mau ikut kita jajan di depan?”Mereka baru saja berganti pakaian karena jam kerja sudah berakhir. Seperti minggu lalu, beberapa pegawai ingin bersantai sejenak sebelum berjibaku menghadapi kemacetan lalu lintas.“Hari ini tidak bisa,” Narendra menjawab sambil merapikan kaosnya.“Gaya ngomong Kakak lucu banget. Kayak resmi gitu,” salah seorang berkomentar sambil tertawa geli.“Iya! Awalnya aneh tapi lama-lama jadi lucu dengarnya,” yang lain ikut menimpali.Narendra hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung harus berkomentar apa. Dia tahu kalau itu efek dari terlalu lama tidak berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Meski beitu, dia berusaha untuk memperbaikinya dengan memperhatikan lawan bicaranya berbicara.“Teman aku memang gini ngomongnya,” Badi terkekeh, “Maklumin aja.”“Iya, Kak,” yang lain menyeletuk sambil tertawa.
Pernah merasakan penat yang begitu menyesakkan karena pekerjaan dan perjalanan untuk pulang terlalu melelahkan? Itu yang dirasakan oleh Narendra. Walau dia sudah menikmati makan malam luar biasa bersama Abimana dan Badi, ketika berbelok masuk ke gang tempat kontrakan petaknya berada, dia hanya mempu merasa penat yang menyesakkan.Sambil menguap dia menunggu Badi membukan pintu pagar. Tanpa berucap apa-apa dia mamsukkan motor dan memarkirkan di depan kontrakan petaknya. Setelah menghela napas panjang, dia mencari kunci kontrakan petak dalam tasnya.“Udah pulang?” Kepala Agnia tiba-tiba menyembul dari dinding pembatas kontrakan petak mereka.“Udah,” energi yang tadi sudah tak bersisa, entah bagaimana tiba-tiba kembali, “Kamu ngapain di luar?”“Nungguin kamu,” Agnia mengulaskan senyum terbaiknya, “Tadi aku pulang agak cepat jadi selesai bersih-bersih, aku nungguin kamu, deh.”“Maaf, kam
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan